(source: http://www.thecultureconcept.com) |
Perkecillah dirimu,
Maka kau akan tumbuh
lebih besar dari dunia.
Tiadakan dirimu,
Maka jatidirimu akan
terungkap tanpa kata-kata
--Jalaludin Rumi
Natal!
Natal
kali ini agak berbeda, karena tiba-tiba saja, duo folk “Banda Neira” akhirnya sepakat
bubar, bertepatan dengan momen Natal. Edan gak tuh??? Mendengar itu saya sedih.
Sesuatu yang tidak saya suka, karena Banda Neira, salah satu grup indie-folk kesukaan
saya. Favorit abis! Gaya bermusik dan lirik-lirik mereka sungguh luar biasa, demikian
pandangan personal saya. Maaf, jika agak lebay. *Hiks...
Sedih,
karena Banda Neira berhenti tepat ketika sedang berada dipuncak karir bermusik
mereka. Sampai-sampai dunia medsos berguncang, ditandai dengan kata “Banda Neira”
yang sempat bertengger jadi trending topik microblogging twitter. Itu
membuktikan jika Banda Neira sebagai duo indie ternyata punya banyak penggemar,
dan sebagian besarnya kecewa. Sama seperti saya.
Tapi
sudahlah! Mari kita kembali bicara tentang Natal.
Yup,
ini adalah waktu dimana malam natal jadi momen istimewa. Jadi penanggal hari
yang selalu dirindu. Bukan karena waktunya yang muncul setahun sekali.
Bukan pula semata-mata karena bayi Yesus telah hadir. Pun, bukan karena pernak
pernik dan lagu-lagu natal memenuhi etalase mal-mal di seantero negeri.
Bukan.
Natal
itu..., kalo mau jujur, bagi tiap-tiap orang yang merayakan mungkin berbeda
artinya. Bagi masing-masing orang yang menantikannya mungkin tak sama maksudnya. Hanya
saja, Natal adalah anugerah. Pun sebuah panggilan terindah. Masa pencerahan untuk
menuntun mereka-mereka yang sadar. Sadar akan hadirnya sebuah pemahaman baru.
Pemahaman
baru
Betul
sekali. Di Natal ini saya mendapatkan pemaknaan baru. Pembacaan yang
begitu jelas akan pesan ilahi. Pesan akan sebuah panggilan. Panggilan untuk lebih
peduli. Untuk mampu menyelami mengapa kita didisain berbeda dan bukannya
sama. Termasuk ketika harus menghormati mereka yang mungkin berbuat jahat
terhadap sesamanya.
Jujur,
peristiwa yang terjadi di sepanjang tahun ini, jadi rentetan kisah yang muncul tidak dengan
sendirinya. Sebuah catatan yang sejatinya terjadi atas izin si pemilik kuasa. Ia
yang menginginkannya dan bukan kehendak kita.
Catatan
yang saling berebut ruang hingga menyisakan isak. Pun sesak yang menghimpit
dada, memaksa tuk bernafas lebih cepat. Lebih kencang dari biasanya. Sampai-sampai kita kerap bertanya; “Tuhan, apa
maksud dari semua ini?”
Terkadang,
saya kerap bingung, mengapa mereka bisa berubah menjadi intoleran, padahal para guru bangsa tidak
mengajarkan demikian. Atau, mengapa ada yang memandang rendah yang lainnya hanya
karena berbeda. Belum lagi, begitu mudahnya manusia mengkafirkan
sesamanya, yang notabene sama-sama ciptaan Tuhan dan kodratnya sama.
Tak
selesai sampai disitu, saya seringkali
dibuat takjub, ketika kata-kata “haram” begitu mudahnya terlontar. Disebar ke
semesta. Dilekatkan pada hal-hal tertentu yang sebenarnya lebih karena
pemahaman terbatas. Distigmatisasi karena tak mampu berdialog dan sempit
akal.
Padahal,
jika kita sadar dan mau sedikit bertanya, adakah manusia mampu mengharamkan
sesuatu. Mengharamkan sesamanya. Bukankah aturan haram atau tidak merupakan
sebuah ketetapan yang dibuat oleh-Nya, bukan oleh pemikiran manusia. Karena
itu, kita tak berhak mengharamkan sesuatu, kecuali sesuai dengan
ketetapan-ketetapanNya. Sesuai dengan firmanNya.
Pada
situasi seperti ini, terbersit tanya, kira-kira mengapa semua harus
terjadi? Mengapa banyak orang tiba-tiba saja menjadi begitu militan? Begitu
mencintai agamanya lebih dari siapapun. Tiba-tiba pula jadi pembela agama yang
berdiri di garda terdepan.
Saya
bahkan sempat bertanya ke seorang teman, apakah agama perlu dibela? Teman itu
menjawab, bagi sebagian kalangan mungkin merasa perlu. Meski banyak yang tidak
melakukannya, karena alasan agama tidak butuh pembelaan. Tidak butuh sorak
sorai. Tidak butuh panggung. Tidak butuh pawai dari bundaran HI hingga Istana
Presiden.
Ehm...,
saya lebih setuju pada jawaban yang terakhir; agama tidak butuh dibela. Agama
itu hanya butuh diamalkan, dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Agama itu
adalah cerminan bagaimana kita bersikap. Berperilaku dan bertindak. Agama itu
adalah kita.
Agama
hanyalah sebuah cara agar kita tidak menjadi barbar. Agama merupakan panduan
(way of life) agar kita menjadi teratur sesuai dengan ketetapan yang telah
ditetapkanNya. Agama itu adalah perwujudan atau implementasi dari sang
pencipta. Agama ibarat sang pencipta itu sendiri.
Jika
disederhanakan, agama adalah impartasi sang pencinta yang terpancar dari
perilaku keseharian kita.
Lalu,
ketika pertanyaannya dibalik; apakah kita harus membela sang pencipta? Tidak,
yang terjadi selanjutnya adalah, Ia yang membela kita. Ia yang akan berperang
ganti kita. Ia yang mengangkat kita dari jalan-jalan yang salah. Ia pula yang
kerap mengingatkan kita.
Karena
itu, menurut saya, agama tidak untuk dibela. Ia hadir untuk menuntun manusia pendosa
seperti saya, berpaling dari perilaku yang jahat. Membentuk manusia menjadi sadar
akan hakekatnya, bahwa kita tidak sendiri. Kita tidak seragam. Ada banyak
warna.
Agama
juga menginginkan kita menjadi kudus sama seperti Ia yang kudus. Bukan menjadi kudis
yang berbau busuk. Bukan! Kita tidak diciptakan untuk itu, karena kita adalah
mahkluk mulia dan derajatnya paling tinggi. Pada tahap ini, semua pasti setuju,
bukan? Kita adalah mahkluk yang seharusnya mampu berpikir rasional bukan
emosional. Semua itu terjadi, karena kita mahkluk istimewa, kawan!
Istimewa.
Kata
yang beberapa waktu lalu sempat membuat saya tergelak tawa. Kata yang jikalau boleh berkata
jujur, memang istimewa. Namanya saja sudah istimewa, ya, memang istimewa.
Titik. Tidak kurang, tidak lebih.
Sama
istimewanya dengan kata TELOLET, yang ketika dibalik, maka tulisannya tetap “telolet”.
Atau berbahagialah kalian yang bermarga Nababan. Istimewa, karena ketika
pelafalannya dibalik hingga kapanpun, tetap saja, “nababan”. Tidak berubah.
Dan
diluar semua itu, kitalah pewaris yang “istimewa”. Penerus yang akan menentukan
masa depan. Penentu yang akan memberi
warna. Penanggung takdir yang bertanggungjawab membentuk generasi-generasi selanjutnya, setelah kita.
Selintas,
saya jadi teringat postingan seorang sahabat di salah satu akun media sosial
miliknya. Disitu ia menulis kata-kata yang sangat bermakna dan menohok hati.
Dengan sederhana ia berkata:
“kalo
anakku menganggap umat lain sebagai musuh, aku gagal jadi emak”
#peganganhidupemak
#peganganhidupemak
Adakah
kita punya pemikiran serupa? Atau ternyata kita lebih suka menganggap
mereka-mereka yang tidak sama sebagai pihak yang harus dijauhi atau harus
dipandang hina?
Pilihan
kini tergantung kepada kita. Tergantung pada pemahaman-pemahaman tentang
menjadi manusia seutuhnya. Tergantung pula pada seberapa peka kita peduli
terhadap panggilanNya. Peka terhadap pencerahan-pencerahan yang kadangkala
hadir lewat beragam cara dan tak terduga.
Cara.
Finally...,
di malam Natal ini, saya diingatkan bahwa caraNya memang berbeda. Karena apa
yang tak pernah dilihat mata, dan tak pernah di dengar oleh telinga, serta yang
tidak pernah timbul di dalam hati, ternyata itu yang Dia disediakan bagi kita. Bagi
yang mengasihi dengan tulus.
Mengasihi,
bukan dengan bersujud atau menyembah semalam suntuk. Bukan dengan memberi
sumbangan terbanyak. Bukan pula dengan emas dan permata, atau pakaian terindah.
Mengasihi
itu sangat sederhana, yakni memandang yang lain sebagai ciptaan yang agung. Setara.
Menghormati plus dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Tidak dengan
bermegah diri, apalagi tinggi hati.
Tidak!
Di
malam Natal ini, saya dipaksa tunduk, bahwa beragama itu harus dipraktikkan.
Diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja, karena kita tidak
sedang berada di ruang hampa, dan kita tidak sendiri, kawan.
Kita
ada. Kita berbeda dan saling menghormati. Pun mengasihi dengan segenap hati.
Karena Natal berbicara tentang damai. Damai yang sesungguhnya dan hanya kita
yang sanggup mewujudkannya. Kita; kalian dan saya.
Karena
itu, atas kerendahan hati yang terdalam, izinkan saya mengucapkan selamat Natal
buat yang merayakan. Damai itu harus ada, bagaimana pun situasinya. Meski
terkadang terlihat muskyl, apalagi ketika banyak yang beranjak ke sungai
yang banyak ikannya. Ups, maaf... yang terakhir ini agak diluar konteks.
Lupakan!
Sekali
lagi, selamat Natal semua.
Jangan
lupa bahagia, guys!
No comments:
Post a Comment