Ajari aku membaca hujan,
agar aku mampu membaca air.
agar aku mampu membaca air.
Ajari Aku mendengar
angin,
agar aku sanggup mendengar.
agar aku sanggup mendengar.
Lirih cerita dibalik
bahana,
Suaramu!
***
“Ya,
aku tahu jika aku selalu ada”
Sebagaimana
yang pernah kau ungkapkan. Saat itu, di minggu pagi yang mendung. Tepat ketika
hujan telah berhenti dan semburat merah menyeruak di ufuk timur. Begitu bangun,
aku membuatkan minuman hangat. Coklat panas kesukaanmu.
“Ruy,
bangun!”
“Nih,
minumanmu sudah siap. Minumlah, mumpung masih hangat”, seruku.
Usai
meracik minuman hangat, beberapa barang berserakan dan basah mulai kurapikan.
Kebanyakan basah akibat terkena tempias hujan yang turun sejak tengah malam
tadi. Bahkan sepatu “Treksta” kebanggan yang telah kusembunyikan di balik tenda
ternyata ikutan basah.
“Wah,
bakal gak enak nih, perjalanan pulang”
“Sial”,
umpatku membathin.
Ketika
berbenah, aku tak begitu memperhatikan, apakah Ruy, wanita istimewa itu telah
bangun atau belum. Hanya saja, ketika kusodorkan cangkir ungu favoritnya, ia
sempat berkata:
“Ya..,
taroh aja di depan tenda. Ntar kuambil”
10
menit diluar tenda, kulihat banyak pendaki mulai berkeliling di alun-alun
lembah Mandalawangi. Ada yang saling sapa meski tak saling kenal. Ada yang
sendirian diatas batu menikmati pagi ditingkahi kabut tipis yang beringsut pergi.
Pun, banyak yang memulai hari dengan memasak, seperti yang kulakukan tadi.
Pagi
itu, jujur saja, cuaca agak mendung dan berangin. Sementara mega menyembul
perlahan cenderung malu. Awalnya, kupikir bisa bertahan sambil menikmati pagi. Eh
taunya, badan mulai menggigil kedinginan.
Biasanya,
saat kemping di gunung aku selalu keluar tenda ketika pagi menjelang. Maklum
suasana seperti itu jarang terjadi. Kalo dihitung-hitung palingan cuma dua
kali setahun aku mendaki. Itupun paling banter jika ada yang mengajak.
Karena
itu, suasana pagi di gunung tak pernah kusia-siakan. Sebisa mungkin berada di
luar tenda. Minimal menenggak aroma serasah sambil menyesap udara gunung yang
levelnya jauh berbeda dengan udara kota.
Saat
ingin berlama-lama diluar diluar tenda, ternyata cuaca tak bersahabat. Hembusan
angin yang menyisakan embun di rerumputan membuat bulu kuduk menegang. Aku
kedinginan. Mau tidak mau, harus balik ke tenda untuk mengambil jaket.
Sesampainya
di depan tenda, kulihat coklat panasnya belum tersentuh. Cangkirnya belum
berubah posisi dan kini menjadi dingin.
“Tumben!”,
pikirku.
Aku
lalu membangunkannya. Berharap ia beranjak. Namun ternyata tidak. Ruy tetap
dalam posisi tidur pistol, meringkuk indah di dalam kantung tidur bulu angsa
yang memang kupersiapkan khusus buatnya.
Sejurus aku pun menarik jaket Berghauss berbahan Gore-Tex yang dijadikannya sebagai bantal.
Sejurus aku pun menarik jaket Berghauss berbahan Gore-Tex yang dijadikannya sebagai bantal.
“Ruy,
jaketnya bisa kuambil?”, tanyaku.
“Aku
kedinginan! Izin ya...”
Dia
tidak menjawab. Hanya menggeser posisi badan agak kepojokan. Aku pun mengambil
jaket itu dan mengenakannya. Begitu jaket terpasang, aku menjadi lebih siap dengan
kondisi apapun. Badan berasa lebih hangat.
“Ruy,
minumannya mau kupanaskan lagi, gak?”,
tanyaku serius.
“Boleh!”,
jawabnya singkat.
Aku
lalu memasukkan minuman itu kedalam ceret kecil untuk dipanaskan di atas tungku
Trangia. Tak sampai 5 menit, minuman panas kembali.
Saat
berbalik badan hendak menyodorkan minuman hangat, aku kaget melihatnya telah duduk
dengan kedua tangan mengucek-ngucek mata sambil menguap. Kali ini ia melepaskan
pandang ke arah keluar. Ia menatapku.
“Thanks
buat minumannya, Gun!”, ujarnya sambil menerima cangkir berbahan mika yang kuberikan
“Jangan
langsung diminum. Masih panas bangat, tuh”, sergahku.
Ruy
lalu meletakkan cangkir itu di atas tanah dekat tenda. Sementara aku, mulai mengumpulkan
beberapa logistik, siap untuk dimasak menjadi menu sarapan pagi. Pilihanku
jatuh pada havermut atau oatmeal yang cara memasaknya cukup mudah.
Untuk
perjalanan sulit seperti ke gunung, menu makanan dengan volume yang lebih
ringan sangat dianjurkan. Itu sebabnya, aku tidak membawa beras, namun lebih
memilih havermut atau roti. Alasannya beban logistik yang berat membuat
pergerakan menjadi lambat. Ups.., kalo untuk tips ini, hanya sekedar berbagi
saja. Bukan ingin menggurui.
Aku
yang awalnya membelakangi Ruy saat memasak, secara perlahan merubah posisi
duduk, sehingga kami pun berhadap-hadapan. Muka ketemu muka. Dari posisiku, aku
bisa menatap wajahnya yang cantik. Cantik alami tanpa make up. Matanya yang indah dan bibir tipisnya tak
pernah bosan untuk kupandang.
“Makasih
buat coklat panasnya, Gun!”, tutur Ruy tersenyum.
“Okay...”,
sahutku.
“Tadi kupikir kamu belum bangun loh. Mungkin karena kemarin, kecapean, mendaki
seharian”
“Ya
nih, aku memang capek banget! Tapi kalo bareng kamu, semua capekku ilang, loh”, ujar Ruy
menggoda.
“Kok
gitu?”
“Ntah
juga. Aku pun heran. Hehehe”
Aku
lalu memandangnya nanar, ketika ia menyeruput minuman kesukaannya dengan
lahap. Ada perasaan senang, ketika berhasil membuatnya bahagia, walaupun hanya demi
segelas coklat panas.
“Gimana
Ruy?”
“Enak?”
Ia
hanya mengangguk! Aku lalu larut dengan kegiatan mengaduk havermut, agar tidak
terlalu keras saat dikunyah, dengan kadar air yang pas. Begitu dirasa pas,
aku mendinginkannya di wadah yang telah kusiapkan. Setelahnya, kulanjutkan
dengan menjerang air.
“Gun,
kok kamu baik banget sih?”, tanya Ruy sambil menggenggam cangkir dengan kedua
tangannya yang mungil.
“Baik???
Biasa aja, kalee”, jawabku cengengesan.
“Abis,
sejak mendaki kemarin, perhatianmu gak pernah kurang. Setiap aku hampir jatuh,
kamu pegang aku. Trus, pas kalo aku mulai capek, kamu ajak istirahat”
“Oh
itu...”
“Itu
mah, biasa, di setiap pendakian. Saling memperhatikan dan membantu”, ujarku
menjelaskan.
Setelah
itu, sekeliling menjadi sunyi dalam hitungan menit. Hening.
Ruy
tidak bersuara, demikian juga aku.
Ruy
sibuk dengan minumannya sebelum beralih mengutak atik kamera TG-4 kebanggaannya.
Ia bersiap untuk memotret, sepertinya. Sementara aku segera mengeluarkan
beberapa barang yang lembab untuk dijemur, seiring sinar mentari yang mulai
berani. Contohnya, sleeping bag, matras dan jaket.
“Gun...”,
sapanya.
“Ya...”
sahutku!
“Kamu
tahu, gak seh, jika kamu selalu ada?”
“Maksudnya?”
“Kamu
selalu ada di hatiku, Gun!”
“Selalu
dan selamanya”
“Semoga
Ruy”, jawabku dalam hati.
****
5
tahun berlalu, aku kembali terngiang kata-kata itu.
"Kamu akan selalu ada"
"Kamu akan selalu ada"
Teringat
Ruy, tepat ketika sebuah undangan tiba di atas meja kerjaku. Undangan istimewa
yang jarang-jarang kuterima.
Sejurus
kuperhatikan dengan seksama sampulnya.
Ada
namanya tertera disitu.
*Pancoran
yang dingin
No comments:
Post a Comment