(source : detik.com/infografis) |
Agak
lama saya menahan diri untuk tidak menulis tentang pengungkapan berita terbesar
tahun ini. Korupsi e-KTP yang jelas-jelas sangat merugikan saya, dan ratusan
juta masyarakat Indonesia diluar sana. Ntah, jika bagi sekelompok orang yang berdalih
atas nama kebijakan redaksi itu.
Saya
menahan diri bukan karena takut dengan “pembatasan” yang dilakukan segelintir
orang, karena menganggap kasus ini sensitif dan sikap paranoid yang berlebihan.
Saya menahan diri, karena harus mengikuti perkembangannya secara detil. Dan
hasilnya cukup mengejutkan.
Jujur,
ketika seorang teman berkeluh kesah di meja makan, tempat kami biasa bersantap,
tentang e-KTPnya yang tak kunjung kelar, tetiba saya disadarkan. Diingatkan
bahwa kasus ini memang harus disuarakan dan bukannya dilupakan.
“Bayangkan,
sampe sekarang gue belum punya e-KTP, padahal ngurusnya udah lama. Trus,
sekarang hanya punya selembar surat pengantar ini. Kalo surat ini hilang, kelar
hidup gue, gak punya penanda identitas lagi”, ujar teman penggemar berat mie instan
itu.
Lalu,
seorang rekan yang lain juga bercerita tentang bagaimana ia mendapatkan e-KTP
edisi pertama. e-KTP yang dimilikinya, berbeda dengan e-KTP sekarang yang
berlaku seumur hidup.
“Kalo
ntar, e-KTP saya habis dan disuruh buat baru, saya sudah siap dengan aturan
yang menyebut e-KTP edisi pertama diperlakukan sama dengan e-KTP sekarang
(seumur hidup). Kopian aturan itu masih saya simpan. Siapa tahu dibutuhkan.
Mana nge-buatnya juga harus menunggu, mesti tak selama yang lain”, ujar teman
itu bersemangat!
Perbincangan
di meja makan malam itu mengalir begitu saja. Tanpa rekayasa. Tanpa paksaan.
Pun, saya sudah lupa ikhwal cerita mengapa kami mendiskusikannya.
Beberapa
hari berselang, iseng saya men-cek rundown berita pada hari Kamis, 9 Maret
2017. Sesuatu yang mengejutkan terjadi.
Berita penting, sekaliber korupsi e-KTP ternyata tidak muncul. Bahkan hingga
rundown malam pun, berita itu tak kunjung ada, padahal telah menjadi perhatian
besar media-media di tanah air.
Sidang
perdana e-KTP dengan terdakwa mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi
Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto dan mantan Dirjen Dukcapil
Kemendagri, Irman, bagi saya, sungguh menarik untuk disimak. Saking menariknya,
hingga memunculkan amarah!
Lewat
pemberitaan media online, saya menemukan fakta jika kedua terdakwa (baca:
Sugiharto & Irman) membenarkan rangkaian peristiwa yang dibacakan oleh
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK. Mereka tidak mengajukan eksepsi atau nota
keberatan atas dakwaan tersebut. Ini artinya semua dakwaan yang dibacakan JPU
adalah sesuai dengan yang diketahui terdakwa.
Dakwaan
yang dibacakan di Pengadilan Tipikor itu menjelaskan jika pada bulan Juli
hingga Agustus 2010, DPR mulai melakukan pembahasan RAPBN tahun anggaran 2011.
Salah satunya terkait proyek e-KTP.
Saat
itu, Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku pelaksana proyek
beberapa kali bertemu sejumlah anggota DPR. Kemudian disepakati anggarannya
senilai Rp 5,9 triliun dengan kompensasi Andi memberi fee kepada beberapa
anggota DPR dan pejabat Kemendagri.
Akhirnya
disepakati 51 persen (Rp 2.662 000 000.000) dari anggaran digunakan untuk
proyek, sedang sisanya, 49 persen dikorupsi, dengan cara dibagi-bagi ke oknum Kemendagri,
anggota DPR, dan keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan.
Dalam
kasus ini, Irman didakwa memperkaya diri sebesar Rp 2.371.250.000, 877.700 dollar AS, dan 6.000 dollar
Singapura. Sementara Sugiharto mendapat jatah sejumlah
3.473.830 dollar AS. Jumlah itu sekitar 7% dari total proyek e-KTP. Menurut saya, jumlah itu cukuplah besar.
Hal
mengejutkan berikutnya adalah, Ketua Fraksi Partai Golkar, (baca: saat ini Ketua
DPR), Setya Novanto menerima jatah suap terbesar, yakni 11 persen dari total
anggaran, bersama Ketua Fraksi Partai Demokrat jaman itu, Anas Urbaningrum dan
mantan Bendahara Uumum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
Jatah
11 persen diberikan kepada Setnov, Anas Urbaningrum dan Nazaruddin karena pelaksana
proyek menganggap mereka sebagai representasi Partai Demokrat dan
Partai Golkar yang dapat mendorong Komisi II DPR menyetujui anggaran
proyek e-KTP berbasis NIK.
Dikutip
dari kompas.com, 49 persen anggaran e-KTP, setara Rp 2.558.000.000.000 (dua trilun lima ratus
lima puluh delapan miliar rupiah) dibagikan ke banyak pihak, yakni:
1. Gamawan
Fauzi (saat itu Mendagri): 4,5 juta dollar AS & Rp 50 juta
2. Diah
Anggraini (saat itu Sekjen Kemendagri): 2,7 juta dollar AS &
Rp 22,5 juta
3. Drajat
Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan e-KTP): 615.000 dollar
AS & Rp 25 juta
4.
6 anggota panitia lelang, masing-masing: 50.000 dollar AS
5. Husni
Fahmi: 150.000 dollar AS & Rp 30 juta
6. Anas
Urbaningrum: 5,5 juta dollar AS
7. Melcias
Marchus Mekeng (saat itu Ketua Banggar DPR): 1,4 juta dollar AS
8. Olly
Dondokambey: 1,2 juta dollar AS
9. Tamsil
Linrung: 700.000 dollar AS
10. Mirwan
Amir: 1,2 juta dollar AS
11. Arif
Wibowo: 108.000 dollar AS
12. Chaeruman
Harahap: 584.000 dollar AS & Rp 26 miliar
13. Ganjar
Pranowo: 520.000 dollar AS
14. Agun
Gunandjar Sudarsa (Komisi II & Banggar DPR):1,047 juta dollar AS
15. Mustokoweni:
408.000 dollar AS
16. Ignatius
Mulyono: 258.000 dollar AS
17. Taufiq
Effendi: 103.000 dollar AS
18. Teguh
Juwarno: 167.000 dollar AS
19. Miryam
S Haryani: 23.000 dollar AS
20. Rindoko,
Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Djamal Aziz,
dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI: 37.000 dollar
AS
21. Markus
Nari: Rp 4 miliar dan 13.000 dollar AS
22. Yasonna
Laoly: 84.000 dollar AS
23. Khatibul
Umam Wiranu: 400.000 dollar AS
24. M
Jafar Hafsah: 100.000 doar AS
25. Ade
Komarudin: 100.000 doar AS
26.
Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Yastriansyah Agussalam, dan Darman Mappangara
selaku direksi PT LEN Industri: Rp 1 miliar
27.
Wahyuddin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri: Rp 2 miliar
28. Marzuki
Alie: Rp 20 miliar
29.
Johannes Marliem: 14.880.000 dollar AS & Rp 25.242.546.892
30.
Sebanyak 37 anggota Komisi II yang seluruhnya berjumlah 556.000 dollar AS.
Masing-masing mendapat uang berkisar antara 13.000 hingga 18.000 dollar AS
31.
Beberapa anggota tim Fatmawati: Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko
Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan: Rp 60 juta
32.
Manajemen bersama konsorsium PNRI: Rp 137.989.835.260
33.
Perum PNRI: Rp 107.710.849.102
34. PT
Sandipala Artha Putra: Rp 145.851.156.022
35. PT
Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra:
Rp148.863.947.122
36. PT
LEN Industri: Rp 20.925.163.862
37. PT
Sucofindo: Rp 8.231.289.362
38. PT
Quadra Solution: Rp 127.320.213.798,36
38
pihak penerima aliran dana e-KTP
ternyata belumlah lengkap. Di hari yang sama, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK juga
membeberkan pihak-pihak lain yang diuntungkan atas perbuatan terdakwa, Irman
dan Sugiharto.
Salah
satunya adalah auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bernama Wulung yang
menerima uang sebesar Rp 80 juta dari Sugiharto. Setelah pemberian itu, BPK
memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) terhadap pengelolaan keuangan
pada Ditjen Dukcapil tahun 2010.
Pada November-Desember 2012, Sugiharto juga memberikan sejumlah uang kepada Staf Sekretariat Komisi II DPR, Dwi Satuti Lilik sebesar Rp 25 juta. Kemudian kepada Koordinator Wilayah II sosialisasi dan supervisi e-KTP, Ani Miryanti sebesar Rp 50 juta untuk diberikan kepada 5 orang korwil masing-masing sejumlah Rp 10 juta.
Selanjutnya mengalir ke Kasubdit Pelayanan Informasi Direktorat PIAK sejumlah Rp 40 juta, Asniwarti selaku staf Ditjen Anggaran Kemenkeu sejumlah Rp 60 juta, staf pada Biro Perencanaan Kemendagri melalui Wisnu Wibowo dan Suparmanto sebesar Rp 40 juta, dan ketua Panitia Pengadaan Barang/Jasa Kemendagri, Dradjat Wisnu Setyawan sebesar Rp 25 juta.
Dengan
pemberian sedetil itu, masihkah kita mengganggapnya sebagai sesuatu yang wajar?
Tentu tidak! Perbuatan korupsi berjamaah seperti itu, tentunya membuktikan jika
sebelumnya hal itu jamak dilakukan. Oleh DPR, pemerintah dan rekanan (swasta).
Model
korupsi seperti itu, seharusnya membuat saya dan kalian, marah! Marah besar,
karena yang dikorupsi adalah uang rakyat. Uang saya dan kalian juga. Kalau kita
(baca: kalian dan saya) tidak marah, berarti ada yang salah dengan itu.
Sampai-sampai
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyebut kasus ini merupakan
kasus korupsi besar dan sistematis, sehubungan dengan banyaknya pihak yang
terlibat.
Bayangin aja, mulai dari tahap awal
hingga proses pembahasan dan pengadaan barang, semuanya sudah tersistem dengan
baik untuk melakukan penyelewengan. Buktinya bisa dilihat dari pihak-pihak yang
menerima suap, selain legislatif.
Lalu, akal sehat saya kembali tergelitik dengan kemunculan grafik yang dikerjakan oleh tim detiknews. Grafik sederhana itu menjelaskan tentang dana Rp 2.3 triliun setara dengan banyak proyek pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah saat ini.
Jika dianalogikan, dana sebesar Rp. 2.3
triliun dapat dimaksimalkan untuk membangun seribu jembatan gantung, 10 persen
pembangunan LRT Jabodetabek atau 20 unit kereta metro kapsul LRT Bandung.
Anggaran Rp. 2.3 T juga bisa digunakan
untuk pembangunan 30 persen infrastruktur di Papua dan Papua Barat, atau untuk
Kartu Indonesia Pintar (KIP) bagi 2.3 juta siswa SMA/SMK se Indonesia.
Uang sebanyak Rp. 2.3 triliun ternyata setara
untuk pembuatan 15 pos lintas batas negara yang dibangun secara permanen atau
pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi hingga pembuatan 4 bendungan
baru berkapasitas 4.8 MW.
Lalu, ketika ada pihak yang membatasi
pemberitaan soal korupsi e-KTP, selaku warga negara yang aktif membayar pajak,
saya tetap marah. Saya masih tidak terima, uang pajak saya dikorupsi oleh
bajingan-bajingan tak bermoral itu.
Teristimewa ketika ada pihak yang membatasi
dengan dalih kebijakan redaksi, apakah ada
yang mau disamakan dengan mereka? Atau, jangan-jangan ada yang
berkomplot untuk mengamankan sesuatu?
Meski Setnov lewat pemberitaan media
menyebut
tidak pernah menerima apa pun dari proyek e-KTP. Termasuk membantah jika
dirinya bertemu Nazaruddin, Anas Urbaningrum, dan Andi Narogong terkait proyek
tersebut, haruskah saya manut? Di titik ini saya masih lebih percaya KPK.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Irene
Putri bahkan mengungkapkan, surat dakwaan yang dibacakan oleh JPU sudah
terkonfirmasi dengan minimal 2 alat bukti, termasuk dugaan keterlibatan Setya
Novanto.
Jika
ada yang percaya dengan bantahan Setnov dan yang lain, silahkan saja! Yang pasti,
sudah ada 14 orang (DPR dan swasta) yang mengembalikan dana proyek e-KTP.
Bukankah itu membuktikan jika korupsi besar dan sistematis seperti itu, harus
diberi porsi besar? Diberi ruang, karena telah merusak tatanan dan sendi-sendi negara
dengan praktik kotor korupsi?
Sebagai
warga negara, saya marah. Marah, karena ada yang korupsi menggunakan uang
rakyat. Marah, ketika ada pihak yang coba-coba mengaburkan, dengan alasan
tunggu vonis pengadilan dan sebagainya.
Pertanyaan
saya berikutnya, sampai berapa lama menutupinya, kawan? Apakah sampai Bumi ini
runtuh lalu menimpamu?
Semoga
tidak! Karena itu adil lah sejak dalam pikiran seperti petuah opa Pram.
Melindungi koruptor itu tak guna. Sama buruknya dengan melakukan pembatasan
yang jelas-jelas aneh sehingga menimbulkan tanya.
Pun,
bisnis media sejatinya adalah kepercayaan, maka jangan sampai kepercayaan yang
telah dipupuk itu hancur begitu saja, karena salah langkah. Berpijak dan
berpihak kepada kepentingan publik, dan bukan semata kepentingan pemilik modal
jadi panduan sebuah media yang ingin disebut independen.
Atas
dasar kepentingan publik dan selaku warga negara, saya marah, ketika ada
media yang mencoba melakukan pembatasan terhadap pemberitaan korupsi besar dan
sistematis seperti e-KTP yang jelas-jelas menyedot perhatian besar masyarakat.
Sekali
lagi, saya marah, kawan!
No comments:
Post a Comment