Sunday, April 09, 2017

Yuk, Jaga Keberagaman!

(source :nutrition.tufts.edu)
Saudara-saudaraku seluruh warga Jakarta
Waktu sudah mulai mendekat.
Jadilah bagian dari pelaku sejarah ini,
dan kita tunjukkan bahwa negara pancasila benar-benar hadir di Jakarta.
Kita juga akan tunjukkan bahwa Bhinneka Tunggal Ika benar-benar bukan hanya jargon,
tapi sudah membumi di Jakarta.
Siapapun kalian,
apa agama kalian,
apa suku kalian,
dari mana asal usul kalian.
Saudara- saudara semua adalah saudara kita sebangsa dan setanah air.
Dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
Jangan tanyakan dari mana kau berasal,
Janga tanyakan apa agamamu,
Tapi tanyakan, apa yang telah kau perbuat untuk Jakarta.
--Djarot Syaiful Hidayat

Sejak kemarin malam, video singkat tentang pentingnya menjaga “keberagaman” di Jakarta beredar luas di media sosial. Saya yang melihatnya pertama kali langsung takjub. Takjub bukan karena videonya yang cukup menggugah, tapi takjub dengan “voice over”-nya yang berkarakter dan penuh energi. Btw, ini adalah penilaian subjektif saya. Maafkan!

Voice over atau pengisi suara di video itu tak lain adalah Djarot Syaiful Hidayat, calon wakil gubernur nomor urut 2. Suara Djarot dipakai di video berdurasi 2 menit itu untuk mengingatkan warga Jakarta bahwa keberagaman telah menjadi penanda penting bagi kota yang terus berbenah ini. Keberagaman menjadi hal yang seharusnya menguatkan bukan mengkotak-kotakan, apalagi memecah belah kedamaian dan toleransi yang telah tercipta.

Oh ya, soal video yang saya bahas disini, sejatinya tidak untuk mengarahkan pemilih DKI di pilkada putaran kedua. Karena saya yakin, tiap-tiap orang sudah punya pilihannya sendiri. Pun, tidak ada yang bisa membatalkan hal itu. Semua bebas asal sesuai aturan yang berlaku.

Seingat saya, suara Djarot yang digunakan di video itu merupakan penggalan dari orasinya saat menghadiri kampanye sekaligus konser bertajuk #KonserGue2 yang digagas para relawan, di Senayan, Jakarta, pada 4 Februari lalu. Lewat media televisi, beberapa waktu lalu, saya sempat menyaksikannya secara utuh. Saya melihat bagaimana Djarot memulai pidatonya dengan begitu baik dan penuh pemaknaan. Dengan pesan yang mendalam, menggunakan kata-kata yang sangat sederhana.

Meski suara Djarot terkesan cempreng dan tidak sebulat suara bung Karno, dan tokoh bangsa lainnya, tapi gaya berbicaranya yang pendek-pendek dan tegas, membuat wibawanya muncul. Saya jadi yakin, jika Djarot memang orator ulung di jamannya.

Selintas, saya jadi teringat para orator ulung yang pernah ada di negeri ini. Sebut saja bung Karno, bung Tomo atau tokoh lain yang mampu membakar semangat massa. Kalau pernah mendengar atau melihat videonya, saya yakin kalian pasti sepakat, bahwa orasi mereka mampu membangkitkan kesadaran massa, menggelorakan semangat patriotisme hingga menyadarkan bahwa kemerdekaan harus direbut. Kemerdekaan itu harga mati. Untuk orasi-orasi sekelas itu, “Jempolan”, saya menyebutnya.

Atau, adakah yang pernah mendengar orasi pentolan gerakan buruh (KASBI), semisal Sastro Ma’ruf atau Nining Elitos? Saya pikir, gaya dan pemilihan diksi mereka diatas mimbar cukup mengesankan. Menarik untuk disimak. Atau ketika rekan Wiwin, Iman, Komang, Ulin dan teman-teman jurnalis AJI diberi kesempatan menggenggam ‘megaphone’, orasi mereka juga tak kalah seru. Tak bisa dianggap sepele.

Ya, begitulah kurang lebih saya maknai sebuah orasi yang tidak hanya sekedar merangkai kata. Orasi harus dilandaskan pada akal sehat. Orasi harus memiliki data akurat sehingga mampu men-deliver pesan yang dimaksud untuk bisa diterima banyak orang. Karena itu, saya menyebut orasi, ibarat “Mantra” yang mampu menghipnotis massa.

Jika dalam sastra, terutama prosa dan puisi, penulis merangkai kata dengan pendekatan metafora, maka tidak dengan orasi. Ketika ber-orasi, semua harus jelas. Tidak multi tafsir, agar mampu dimaknai sesuai pengetahuan dan kemampuan masing-masing.

Dengan mempersespsikan kata sebagai bagian terpenting dari orasi, seorang orator akan menyajikan pemikirannya secara jernih. Selanjutnya pendengar akan menelaah kata-kata itu. Di sini tak ada pengertian, yaitu kata-kata merupakan sesuatu yang final. Semuanya terbuka diperdebatkan dalam berdialektika. Hingga pada titik tertentu, magis makna orasi bahkan bisa melampaui usia oratornya. Ia tetap ada. Memenuhi ruang-ruang kesadaran warga. Karena itu, orasi telah berubah menjadi senjata untuk meyakinkan, menarik perhatian, dan simpati massa.

Soal orasi dan unsur yang memenuhinya kita cukupkan sampai disini. Kini kita beralih pada topik yang lebih ‘hot’ yakni tentang keberagaman. Bisa dipastikan para calon gubernur tentu memperhatikan karakteristik penduduk dan pemilihnya guna merancang strategi yang tepat untuk menggalang dukungan dan suara.

Analisis demografi akan memberikan gambaran utuh tentang perilaku pemilih dan determinan dari keputusan mereka. Pasalnya, setiap pemilih pada kelompok umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, status perkawinan, tingkat pendidikan, dan asal daerah tertentu memiliki perilaku dan kecenderungan preferensi yang berbeda.

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan jika usia dan tingkat pendidikan pemilih menjadi faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam meraih pemilih. Lalu, jika dikaitkan dengan Jakarta, kira-kira hasilnya seperti apa ya? Betulkah keberagaman itu memang nyata atau sekedar slogan tanpa makna. 

Yuk, kita mulai dari jumlah penduduk. Buku Proyeksi Penduduk Indonesia yang dipublikasikan Bappenas (2013) menjelaskan jika penduduk DKI Jakarta pada 2017 diproyeksikan mencapai lebih dari 10,37 juta jiwa. Jumlah terbesar berada dalam kelompok umur 25 tahun-34 tahun.

Kelompok umur itu disebut sebagai young adult (dewasa muda) dan akan menjadi salah satu penentu kemenangan di pilkada DKI Jakarta. Angka ketergantungan (dependency ratio) DKI Jakarta berada di bawah angka 40. Hal itu menunjukkan DKI Jakarta sedang berada dalam periode bonus demografi.

Penduduk usia produktif mencapai lebih dari 71% dengan jumlah manula sekitar 4%. Komposisi penduduk laki-laki dan perempuan relatif berimbang, dengan jumlah laki-laki sedikit lebih banyak. Dan, hampir 8 juta penduduk diperkirakan menjadi pemilih di pilkada DKI Jakarta. Fakta itu terbukti lewat DPT terakhir yang ditetapkan KPUD DKI.

Selain itu, sekitar 70% pemilih berstatus sudah/pernah menikah. Lebih dari 65% pemilih berpendidikan SLTA ke atas dan hanya 16% yang berpendidikan SD ke bawah. Ini menunjukkan pemilih di pilkada DKI Jakarta memiliki tingkat pendidikan yang tinggi untuk menentukan pilihan. Situasi itu membuat DKI Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat pendidikan penduduk terbaik di Indonesia.

Lalu, sebanyak 62% pemilih berstatus bekerja dan 38% lainnya berstatus tidak bekerja (ibu rumah tangga, pelajar/mahasiswa, pensiunan, dan sebagainya). Hampir setengah dari pemilih yang bekerja merupakan buruh atau pegawai. Sebagian besar dari mereka bekerja di sektor perdagangan, hotel, restoran, dan jasa-jasa (sekitar 38%).

Dalam demografi, penduduk yang memiliki tempat kelahiran berbeda dengan tempat tinggal saat ini disebut sebagai life time migrant. Di Jakarta hal itu terbukti. Faktanya 44% penduduk DKI Jakarta adalah pendatang dan tidak lahir di Jakarta.

Pendatang terbesar berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan persentase sekitar 17% dari seluruh pemilih di Jakarta. Ada yang menyebut, fenomena itu tak terlepas dari kemenangan Jokowi-Ahok di Pilgub 2012.

Sebanyak 12% pemilih merupakan migran yang berasal dari Jabar dan Banten dan hampir 5% berasal dari Jatim. Sedangkan migran yang berasal dari luar Pulau Jawa, diketahui jika asal Sumatra Utara memiliki proporsi cukup besar (sekitar 3%), diikuti pemilih kelahiran Sumatra Barat (mendekati 2%). Setelah itu, Sumatra Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat.

Uniknya, penduduk Jakarta relatif terbuka dan telah terjadi pembauran budaya. Lalu, asal daerah pemilih sangat mungkin tidak ada hubungannya dengan asal kandidat yang akan bertarung. Pemilih yang rasional dengan pendidikan tinggi hanya akan mempertimbangkan kapasitas calon gubernur sebagai alasan logis.

Belum lagi, lebih dari 50% pemilih aktif menggunakan internet, dimana hampir 95% di antaranya mengakses internet melalui telepon genggam. Penggunaan smartphone telah memudahkan masyarakat dalam mengakses internet dan mengikuti perkembangan yang ada.

Melihat beragamnya karakteristik warga Jakarta, tak heran jika Djarot dalam orasinya meminta masyarakat menunjukkan kebhinekaan itu sebagai alat pemersatu dan bukan hanya jargon. Kebhinekaan harus ditunjukkan sebagai peluang untuk memperkokoh kebersamaan, meski semua berasal dari beragam latar belakang suku, agama maupun pandangan politik.

“Kita tunjukkan bahwa negara Pancasila benar-benar hadir di Jakarta”, pinta Djarot.

Jika keberagaman itu tetap terjaga, maka sejarah baru akan terukir di Jakarta. Saat ada yang coba memecah belah dengan menggunakan isu agama di pilkada, maka tugas setiap warganegara untuk berlaku bijak. Tentu saja, harganya terlalu mahal untuk dibayar, ketika ada pihak yang menginginkan keberagaman dinegasikan.

Itu sebabnya, seperti yang disebutkan Djarot, "Siapapun kalian, apa agama kalian, apa suku kalian, dari mana asal usul kalian, semua adalah saudara se-Tanah Air dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama".

Sampai disini, adakah yang punya pendapat berbeda? Bagi saya, siapapun kita, terlepas dari latar belakang yang berbeda, semua punya hak yang sama, untuk hidup dan berkarya dalam bingkai negara kesatuan Republik  Indonesia.

Karena itu, pertanyaan “apa agamamu” sudah tidak tepat dan tidak relevan dilontarkan di era kemajemukan dan modernisasi seperti sekarang ini. Pertanyaan seperti, apa yang telah kau perbuat untuk Jakarta, jadi hal menarik tuk direnungkan.

Karena itu, seperti yang saya singgung diatas, tulisan ini tidak untuk mengarahkan pemilih pada pasangan tertentu, namun lebih kepada kemampuan berpikir kritis, bahwa kemajemukan adalah anugerah. Bahwa beragam itu bukan dosa. Beragam itu tidak haram. Tak harus ditakuti. Pun tak harus ditolak, karena sejatinya, itu yang akan memperkokoh persatuan bangsa ini.

Sehingga menjaga pilkada tetap damai menjadi kewajiban setiap warga negara. Mewujudkan kedamaian yang sejati menjadi harapan semua orang. Caranya dengan menjauhkan diri dari provokasi-provokasi yang tidak perlu. Provokasi yang menimbulkan kegaduhan hingga memunculkan permusuhan sebaiknya dihindari. Cukuplah pengalaman masa lalu jadi pelajaran berharga. Karena itu, kita harus saling menghargai satu dengan yang lainnya. Karena kita bersaudara. Kita berbeda, tapi tetap satu jua. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment