(source :nutrition.tufts.edu) |
Saudara-saudaraku seluruh warga Jakarta
Waktu sudah mulai mendekat.
Jadilah bagian dari pelaku sejarah ini,
dan kita tunjukkan bahwa negara pancasila
benar-benar hadir di Jakarta.
Kita juga akan tunjukkan bahwa Bhinneka
Tunggal Ika benar-benar bukan hanya jargon,
tapi sudah membumi di Jakarta.
Siapapun kalian,
apa agama kalian,
apa suku kalian,
dari mana asal usul kalian.
Saudara- saudara semua adalah saudara
kita sebangsa dan setanah air.
Dan mempunyai hak dan kewajiban yang
sama.
Jangan tanyakan dari mana kau berasal,
Janga tanyakan apa agamamu,
Tapi tanyakan, apa yang telah kau perbuat
untuk Jakarta.
--Djarot Syaiful Hidayat
--Djarot Syaiful Hidayat
Sejak
kemarin malam, video singkat tentang pentingnya menjaga “keberagaman” di
Jakarta beredar luas di media sosial. Saya yang melihatnya pertama kali
langsung takjub. Takjub bukan karena videonya yang cukup menggugah, tapi takjub dengan “voice over”-nya yang berkarakter dan penuh energi. Btw, ini adalah
penilaian subjektif saya. Maafkan!
Voice
over atau pengisi suara di video itu tak lain adalah Djarot Syaiful Hidayat, calon wakil
gubernur nomor urut 2. Suara Djarot dipakai di video berdurasi 2 menit itu
untuk mengingatkan warga Jakarta bahwa keberagaman telah menjadi penanda
penting bagi kota yang terus berbenah ini. Keberagaman menjadi hal yang seharusnya
menguatkan bukan mengkotak-kotakan, apalagi memecah belah kedamaian dan
toleransi yang telah tercipta.
Oh ya, soal
video yang saya bahas disini, sejatinya tidak untuk mengarahkan pemilih
DKI di pilkada putaran kedua. Karena saya yakin, tiap-tiap orang sudah punya
pilihannya sendiri. Pun, tidak ada yang bisa membatalkan hal itu. Semua bebas
asal sesuai aturan yang berlaku.
Seingat
saya, suara Djarot yang digunakan di video itu merupakan penggalan
dari orasinya saat menghadiri kampanye sekaligus konser bertajuk #KonserGue2
yang digagas para relawan, di Senayan, Jakarta, pada 4 Februari lalu.
Lewat media televisi, beberapa waktu lalu, saya sempat menyaksikannya secara utuh.
Saya melihat bagaimana Djarot memulai pidatonya dengan begitu baik dan penuh
pemaknaan. Dengan pesan yang mendalam, menggunakan kata-kata yang sangat
sederhana.
Meski
suara Djarot terkesan cempreng dan tidak sebulat suara bung Karno, dan tokoh
bangsa lainnya, tapi gaya berbicaranya yang pendek-pendek dan tegas, membuat
wibawanya muncul. Saya jadi yakin, jika Djarot memang orator ulung di jamannya.
Selintas,
saya jadi teringat para orator ulung yang pernah ada di negeri ini. Sebut saja
bung Karno, bung Tomo atau tokoh lain yang mampu membakar semangat massa. Kalau
pernah mendengar atau melihat videonya, saya yakin kalian pasti sepakat, bahwa
orasi mereka mampu membangkitkan kesadaran massa, menggelorakan semangat
patriotisme hingga menyadarkan bahwa kemerdekaan harus direbut. Kemerdekaan itu
harga mati. Untuk orasi-orasi sekelas itu, “Jempolan”, saya menyebutnya.
Atau,
adakah yang pernah mendengar orasi pentolan gerakan buruh (KASBI), semisal
Sastro Ma’ruf atau Nining Elitos? Saya pikir, gaya dan pemilihan diksi mereka
diatas mimbar cukup mengesankan. Menarik untuk disimak. Atau ketika rekan Wiwin,
Iman, Komang, Ulin dan teman-teman jurnalis AJI diberi kesempatan menggenggam
‘megaphone’, orasi mereka juga tak kalah seru. Tak bisa dianggap sepele.
Ya,
begitulah kurang lebih saya maknai sebuah orasi yang tidak hanya sekedar
merangkai kata. Orasi harus dilandaskan pada akal sehat. Orasi harus
memiliki data akurat sehingga mampu
men-deliver pesan yang dimaksud untuk bisa diterima banyak orang. Karena itu,
saya menyebut orasi, ibarat “Mantra” yang mampu menghipnotis massa.
Jika dalam
sastra, terutama prosa dan puisi, penulis merangkai kata dengan pendekatan
metafora, maka tidak dengan orasi. Ketika ber-orasi, semua harus jelas. Tidak multi
tafsir, agar mampu dimaknai sesuai pengetahuan dan kemampuan masing-masing.
Dengan
mempersespsikan kata sebagai bagian terpenting dari orasi, seorang orator akan
menyajikan pemikirannya secara jernih. Selanjutnya pendengar akan menelaah kata-kata
itu. Di sini tak ada pengertian, yaitu kata-kata merupakan sesuatu yang final.
Semuanya terbuka diperdebatkan dalam berdialektika. Hingga pada titik tertentu, magis makna orasi bahkan bisa melampaui usia oratornya. Ia tetap ada. Memenuhi
ruang-ruang kesadaran warga. Karena itu, orasi telah berubah menjadi senjata
untuk meyakinkan, menarik perhatian, dan simpati massa.
Soal
orasi dan unsur yang memenuhinya kita cukupkan sampai disini. Kini kita beralih
pada topik yang lebih ‘hot’ yakni tentang keberagaman. Bisa dipastikan para calon
gubernur tentu memperhatikan karakteristik penduduk dan pemilihnya guna merancang
strategi yang tepat untuk menggalang dukungan dan suara.
Analisis
demografi akan memberikan gambaran utuh tentang perilaku pemilih dan determinan dari
keputusan mereka. Pasalnya, setiap pemilih pada kelompok umur, jenis kelamin,
jenis pekerjaan, status perkawinan, tingkat pendidikan, dan asal daerah
tertentu memiliki perilaku dan kecenderungan preferensi yang berbeda.
Beberapa
penelitian terbaru menunjukkan jika usia dan tingkat pendidikan pemilih
menjadi faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam meraih pemilih. Lalu,
jika dikaitkan dengan Jakarta, kira-kira hasilnya seperti apa ya? Betulkah
keberagaman itu memang nyata atau sekedar slogan tanpa makna.
Yuk, kita mulai dari
jumlah penduduk. Buku
Proyeksi Penduduk Indonesia yang dipublikasikan Bappenas (2013) menjelaskan
jika penduduk DKI Jakarta pada 2017 diproyeksikan mencapai lebih dari 10,37
juta jiwa. Jumlah terbesar berada dalam kelompok umur 25 tahun-34 tahun.
Kelompok
umur itu disebut sebagai young adult (dewasa muda) dan akan menjadi salah satu
penentu kemenangan di pilkada DKI Jakarta. Angka ketergantungan (dependency
ratio) DKI Jakarta berada di bawah angka 40. Hal itu menunjukkan DKI Jakarta sedang berada dalam periode bonus demografi.
Penduduk
usia produktif mencapai lebih dari 71% dengan jumlah manula sekitar 4%. Komposisi
penduduk laki-laki dan perempuan relatif berimbang, dengan jumlah laki-laki
sedikit lebih banyak. Dan, hampir 8 juta penduduk diperkirakan menjadi pemilih di pilkada DKI Jakarta. Fakta itu terbukti lewat DPT terakhir yang
ditetapkan KPUD DKI.
Selain
itu, sekitar 70% pemilih berstatus sudah/pernah menikah. Lebih dari 65% pemilih
berpendidikan SLTA ke atas dan hanya 16% yang berpendidikan SD ke
bawah. Ini menunjukkan pemilih di pilkada DKI Jakarta memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi untuk menentukan pilihan. Situasi itu membuat DKI
Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat pendidikan penduduk terbaik di
Indonesia.
Lalu,
sebanyak 62% pemilih berstatus bekerja dan 38% lainnya berstatus tidak bekerja
(ibu rumah tangga, pelajar/mahasiswa, pensiunan, dan sebagainya). Hampir
setengah dari pemilih yang bekerja merupakan buruh atau pegawai. Sebagian besar
dari mereka bekerja di sektor perdagangan, hotel, restoran, dan jasa-jasa
(sekitar 38%).
Dalam
demografi, penduduk yang memiliki tempat kelahiran berbeda dengan tempat
tinggal saat ini disebut sebagai life time migrant. Di Jakarta hal itu terbukti.
Faktanya 44% penduduk DKI Jakarta adalah pendatang dan tidak lahir di Jakarta.
Pendatang
terbesar berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta dengan persentase sekitar 17%
dari seluruh pemilih di Jakarta. Ada yang menyebut, fenomena itu tak
terlepas dari kemenangan Jokowi-Ahok di Pilgub 2012.
Sebanyak
12% pemilih merupakan migran yang berasal dari Jabar dan Banten dan hampir 5%
berasal dari Jatim. Sedangkan migran yang berasal dari luar Pulau Jawa,
diketahui jika asal Sumatra Utara memiliki proporsi cukup besar (sekitar 3%), diikuti pemilih kelahiran Sumatra Barat (mendekati 2%). Setelah
itu, Sumatra Selatan, Lampung, dan Kalimantan Barat.
Uniknya,
penduduk Jakarta relatif terbuka dan telah terjadi pembauran budaya. Lalu, asal
daerah pemilih sangat mungkin tidak ada hubungannya dengan asal kandidat
yang akan bertarung. Pemilih yang rasional dengan pendidikan tinggi hanya akan
mempertimbangkan kapasitas calon gubernur sebagai alasan logis.
Belum
lagi, lebih dari 50% pemilih aktif menggunakan internet, dimana hampir 95% di antaranya mengakses internet melalui
telepon genggam. Penggunaan smartphone telah memudahkan masyarakat dalam mengakses
internet dan mengikuti perkembangan yang ada.
Melihat
beragamnya karakteristik warga Jakarta, tak heran jika Djarot dalam orasinya
meminta masyarakat menunjukkan kebhinekaan itu sebagai alat pemersatu dan bukan
hanya jargon. Kebhinekaan harus ditunjukkan sebagai peluang untuk memperkokoh
kebersamaan, meski semua berasal dari beragam latar belakang suku, agama maupun
pandangan politik.
“Kita
tunjukkan bahwa negara Pancasila benar-benar hadir di Jakarta”, pinta Djarot.
Jika
keberagaman itu tetap terjaga, maka sejarah baru akan terukir di Jakarta. Saat
ada yang coba memecah belah dengan menggunakan isu agama di pilkada, maka tugas
setiap warganegara untuk berlaku bijak. Tentu saja, harganya terlalu
mahal untuk dibayar, ketika ada pihak yang menginginkan keberagaman dinegasikan.
Itu
sebabnya, seperti yang disebutkan Djarot, "Siapapun kalian, apa agama
kalian, apa suku kalian, dari mana asal usul kalian, semua adalah saudara
se-Tanah Air dan mempunyai hak dan kewajiban yang sama".
Sampai
disini, adakah yang punya pendapat berbeda? Bagi saya, siapapun kita,
terlepas dari latar belakang yang berbeda, semua punya hak yang sama, untuk
hidup dan berkarya dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia.
Karena
itu, pertanyaan “apa agamamu” sudah tidak tepat dan tidak relevan dilontarkan di
era kemajemukan dan modernisasi seperti sekarang ini. Pertanyaan seperti, apa
yang telah kau perbuat untuk Jakarta, jadi hal menarik tuk direnungkan.
Karena
itu, seperti yang saya singgung diatas, tulisan ini tidak untuk mengarahkan pemilih pada
pasangan tertentu, namun lebih kepada kemampuan berpikir kritis, bahwa
kemajemukan adalah anugerah. Bahwa beragam itu bukan dosa. Beragam itu
tidak haram. Tak harus ditakuti. Pun tak harus ditolak, karena sejatinya, itu
yang akan memperkokoh persatuan bangsa ini.
Sehingga
menjaga pilkada tetap damai menjadi kewajiban setiap warga negara. Mewujudkan
kedamaian yang sejati menjadi harapan semua orang. Caranya dengan menjauhkan
diri dari provokasi-provokasi yang tidak perlu. Provokasi yang menimbulkan
kegaduhan hingga memunculkan permusuhan sebaiknya dihindari. Cukuplah pengalaman masa lalu jadi
pelajaran berharga. Karena itu, kita harus saling menghargai satu dengan yang
lainnya. Karena kita bersaudara. Kita berbeda, tapi tetap satu jua. (jacko
agun)
No comments:
Post a Comment