(Ilustrasi. Sumber:www.falmouthpubliclibrary.org) |
Ide tulisan seberapa pun bagusnya, hanya akan menjadi pepesan kosong jika tanpa diikuti penggalian bahan atau reportase. Seorang wartawan biasa menggunakan 3 alat untuk mengumpulkan bahan: riset, observasi atau pengamatan dan wawancara.
--Tempo Institute
Beberapa waktu lalu, seorang sahabat yang saya hormati mengajak bergabung sebagai penulis di salah satu portal berita yang mulai berkembang. Di tempat itu, pola kerjanya sebagai freelance yang dihitung berdasarkan jumlah tulisan dan viewer yang membaca.
Mendapat tawaran itu, saya langsung mengiyakan tanpa berpikir panjang dampak turunannya. Saya pikir tak ada salahnya mencoba. Toh, hitung-hitung bisa menambah penghasilan, demikian pemikiran subjektif saya.
“Bung, masih suka nulis? Kalo nulis untuk xxxx (--sensor--) mau gak? Mumpung aku sebagai salah satu admin grup penulis, nih”, ajaknya malam itu.
Saat itu, di awal-awal bergabung saya sempat menelurkan 2 tulisan yang bahannya didapat dari rilis ditambah sedikit riset. Jadilah tulisan itu keluar dengan viewer yang sangat terbatas. Kalo gak salah sekitar 70-an.
Sampai disini, keinginan menulis cukup tinggi. Namun, rutinitas harian yang menuntut konsentrasi, membuat penggalian ide untuk bahan tulisan kerap mandeg. Singkatnya, ide tulisan tidak keluar. Dan kalaupun ada, kadung terlambat dengan berita-berita di media online lainnya. Artinya, untuk mengejar kecepatan, tulisan saya kalah telak. Jauh!
Begitu seterusnya, hingga hari berganti hari. Minggu berganti minggu dan bulan silih berganti, niat menulis tak kunjung tiba. Jumlah tulisan pun tidak bertambah, selain, ya 2 itu, tadi. Hehehe...
Sampai disini, saya jadi malu? Ya gak juga. Saya berpikir, alasan pembenar karena waktu menulis yang terbatas, meskipun bagi sebagian orang mengganggapnya sebagai apologi. Toh, faktanya banyak teman-teman yang bisa produktif menulis, meski jadwal kerja padat. Tidak seperti saya. Hiks...
Jika demikian, kesimpulan sementara; kemampuan menulis tiap-tiap orang tentu tak sama. Ada yang mampu menulis banyak tanpa pernah terkesan dengan tulisan yang dibuat, alias tanpa impresi. Lalu ada yang menulis sedikit, namun prosesnya menggunakan ‘hati’ ditandai dengan pemilihan diksi yang efisien dan bermakna.
Ehm, sepertinya, saya masuk kategori yang kedua, deh! Maklum, saya menulis jika memang ingin menulis. Bukan menulis yang suka-suka, kapan saja dan dimana saja. Bagi saya menulis tidak semata-mata karena sebuah keharusan. Yup, saya hanya menulis ketika energi potensial yang muncul itu pecah dan harus diaktualisasikan. Kalo belum muncul juga? Ya..., gak akan menulis. Jadi pembaca yang budiman aja.
Saya juga sempat bertanya ke beberapa teman, mengapa mereka bisa menghasilkan banyak tulisan dalam waktu singkat. Lalu, apakah mereka melakukannya secara benar, sesuai kode etik jurnalistik?
“Tinggal browsing aja, trus copy lalu diedit sesuai keinginan”, ujar seorang teman.
“Kadang saya ambil dari materi teman-teman reporter juga. Materi itu yang saya olah menjadi tulisan”, ungkap teman yang lain.
Secara umum, teman-teman itu menggunakan beragam sumber untuk menghasilkan tulisan yang diinginkan. Semuanya ingin mengejar kecepatan, sementara akurasi, nanti dulu. Mungkin bisa dilakukan di berita selanjutnya yang sengaja diformat “running”.
Pernah juga seorang teman menanyakan informasi yang beredar terbatas dan kebetulan saya tahu. Teman tersebut rupanya ingin menulis soal itu karena menurutnya menarik. Ia lalu bertanya kepada saya.
“Ya, infonya begitu. Tapi belum terkonfirmasi, loh. Kalo mau, tanya ke pihak-pihak terkait”, jawabku.
Lalu, apakah teman itu jadi menuliskannya? Ntah... Saya tidak mengikutinya. Yang pasti saya sudah beritahu batas-batasnya, soal info yang belum terkonfirmasi.
Menilik tawaran menulis itu, saya pun introspeksi diri. Pertanyaannya, mengapa saya tidak jua menghasilkan tulisan seperti yang diminta. Kira-kira penyebabnya apa? Benarkah waktu yang terbatas jadi alasan utama?
Secara umum, jawabnya ada dua. Pertama, waktu menulis yang memang tidak memadai. Bayangin aja, sempat terpikir untuk menulis begitu tiba di rumah. Dilalanya harapan itu gagal total, karena kelelahan. Akibatnya, bukannya menulis, saya malah memilih tidur. Maklum, keesokan harinya harus bangun pagi untuk antar bocah-bocah ke sekolah. Jadi istirahat kudu cukup.
Waktu menulis yang terbatas, rasa-rasanya tidak diragukan lagi. Tepat 100 persen. Solusinya, ada teman yang mengusulkan agar melakukannya di kantor. Hal itu tidak saya lakukan, karena tidak etis, meskipun ada teman yang melakukannya.
Menurut saya, kegiatan di kantor haruslah yang berhubungan dengan pekerjaan, bukan untuk hal-hal lain yang tidak berkorelasi langsung dengan pekerjaan. Itu sebabanya saya memilih fokus di pekerjaan utama, karena dari situlah penghasilan utama berasal.
Saya tidak tega melakukan kegiatan lain yang menciderai kegiatan utama dalam bekerja. Pun, kedua kegiatan itu sifatnya mirip, yakni sama-sama menghasilkan karya jurnalistik. Menurut saya, kurang elok jika melakukan 2 hal yang sama di kantor.
Tidak! Saya tidak akan melacurkan diri pada hal-hal yang kita sudah tahu konsekwensinya. Beda, jika hal itu dilakukan di rumah atau di tempat lain, sebagai kegiatan sampingan. Sampingan artinya, bukan kegiatan prioritas, sementara yang ini tuntutannya tidak demikian.
Maklum, sepengamatan saya, ada beberapa teman yang terlihat khusyuk menghasilkan beberapa tulisan per-harinya. Alasannya ingin mendapatkan penghasilan tambahan. Namun, apakah kegiatan itu sampai menomorduakan kegiatan utama mereka, saya tidak tahu. Semoga saja tidak!
Yang pasti, saya kesulitan membagi waktu untuk melakukan kegiatan yang sama-sama menuntut keseriusan dan konsentrasi penuh. Mungkin inilah titik lemah saya. Ketika sudah fokus pada satu hal, maka sulit tuk berpaling. Saya ingin pekerjaan utama itu terlihat sempurna. Jika pun tidak, minimal jauh dari kesalahan-kesalahan minor.
Oh ya, pekerjaan sehari-hari saya memang membutuhkan konsentrasi, kecepatan, riset dan akurasi yang tepat. Itu sebabnya, saya tidak punya waktu untuk berpikir atau sekedar melirik kegiatan lain (baca: menulis untuk web tadi).
Disamping itu, tugas negara sebagai pengawal program dialog juga membutuhkan riset yang matang. Terkadang kegiatan riset membawa saya larut terlalu jauh. Hingga tak terasa, begitu banyak waktu yang terbuang untuk menggali informasi seperti yang diinginkan.
Kurang lebih, inilah kondisi riil mengapa saya tidak mampu menghasilkan tulisan seperti ajakan teman itu. Namun dari semua itu, sejatinya ada alasan lain yang menurut saya sangat prinsipil. Yang mungkin saja, tidak demikian bagi yang lain.
Prinsip itu adalah keharusan melakukan “reportase”. Sekilas mungkin banyak yang mengecilkan arti “reportase” dalam menulis. Bagi saya reportase yang menjadikan tulisan berbeda dari yang lain. Reportase juga yang bakal jadi penyelamat, jika suatu hari nanti tulisan kita digugat. Ups, semoga tidak terjadi, ya...
Karena sejak awal, saya diajarkan untuk menulis sesuatu berdasarkan reportase bukan opini, maka menulis karya jurnalistik dipastikan terikat pada kode etik. Keharusan itu harus dipatuhi.
Saya jadi teringat saat kuliah dulu, ketika melakukan reportase ke lapangan untuk pertama kalinya. Saat itu, reportase yang saya lakukan sangat sederhana, didasarkan rasa ingin tahu. Sementara di sisi lain, pengetahuan tentang praktik tulis-menulis tidak saya dapatkan secara formal. Maklum saya bukan mahasiswa jurusan jurnalistik. Kebayang kan, betapa sulitnya saya kala itu.
Namun siapa sangka jika tulisan tentang ‘orangutan’ yang saya buat saat itu akhirnya dimuat di salah satu surat kabar lokal. Tak hanya itu, tulisan itu juga yang membuat saya diganjar juara pertama dalam lomba penulisan tingkat mahasiswa.
Menurut saya, pengalaman itu sangat berharga. Karena dari situ saya belajar banyak, tentang apa yang harus digali dari lapangan, atau tentang apa yang harus dilengkapi lewat riset literatur. Pun, semua itu saya lakukan secara otodidak dengan kesadaran penuh.
Karena itulah, ketika harus menulis untuk menghasilkan karya jurnalistik (baca: bukan opini), reportase menjadi barang wajib. Setidaknya saya harus ada disitu, ketika melaporkannya lewat tulisan. Karena jika tidak hadir, maka apa yang ditulis tidak bisa dipertanggungjawabkan. Bahkan, tulisan kita layak disebut sebagai pembohongan publik loh!
Melalui reportase, semua hal bisa digali dari lapangan. 5W+1H menjadi item penting yang akan terjawab hanya ketika kita berada di lapangan. Kita tidak mungkin melaporkan sesuatu yang tidak disaksikan secara langsung. Hal itu hanya berlaku untuk tulisan seperti cerpen, novel atau roman, dimana kemampuan rekayasa akal sah-sah saja dilakukan.
Akhirnya kesimpulan kedua, soal pentingnya reportase yang membuat saya enggan untuk menulis. Bagi saya, menulis karya jurnalistik tidak semata-mata terletak pada kemampuan menulis yang mumpuni, namun pada kejujuran. Kejujuran untuk tidak membohongi kata hati.
Apakah kita menulis sesuai dengan kebenaran yang digali dari lapangan? Apakah kita menulis sesuai pesanan? Atau, apakah kita menulis agar terlihat sempurna? Semua itu menjadi pertanyaan besar yang harus dijawab secara jujur.
Sementara bagi saja, jawabnya sederhana. Saya tidak bisa menulis hal-hal yang bertentangan dengan kata hati. Saya juga tidak akan maksimal menulis untuk kepentingan yang bertentangan dengan nurani. Hasilnya pasti akan terlihat dari kualitas tulisan nantinya.
Karena itulah menulis dengan jujur menjadi pedoman saya. Menulis dengan data-data yang akurat. Menulis dengan fakta-fakta yang digali dari lapangan, bukan rekayasa. Karena tugas seorang jurnalis adalah menggali informasi lewat beragam cara lalu menyajikannya dengan cara yang sederhana plus dapat diterima akal. Itu sebabnya, ketika ada penulis yang menggunakan bahasa-bahasa yang sulit diterima akal, maka pesan yang disampaikan tidak tercapai.
Lalu manfaat tulisannya apa? Rasa-rasanya tidak ada penulis yang ingin tulisannya tidak dimengerti pembaca. Semua ingin, tulisannya dibaca dan pesan yang disampaikan bisa diterima secara logis, bukan?
Sementara itu, tawaran menulis berita menurut saya tidak mudah, apalagi jika harus berbarengan dengan kegiatan utama yang sifatnya sama, yakni menghasilkan karya jurnalistik. Pada titik ini, saya memilih mundur. Saya belum mampu membagi waktu dan mengingkari kata hati. Oh ya, alasan yang terakhir itu, menurut saya menjadi alasan yang paling pas untuk selalu berkata jujur. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment