Kuhentikan hujan
Kini matahari merindukanku,
mengangkat kabut pagi perlahan
Ada yang berdenyut dalam diriku
Menembus tanah basah
Dendam yang dihamilkan hujan
Dan cahaya matahari,
tak bisa kutolak
Matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga
---Sapardi Djoko Damono
***
Ya, akulah dia yang pasti hentikan hujan, tepat jika kamu ada di dalamnya. Kamu yang begitu lelah, lupa energi tersisa telah sirna. Tak sadar lalu rebahkan, tergolek tak berdaya.
Girl, tak rela kulit halusmu mengkerut, akibat sapuan radang beku yang memeluk tanpa ragu. Atau, tak kuasa jika meringkuk, kau, di pojok beranda dalam posisi basah. Yang jika tak segera, panas tubuh hengkang begitu saja.
Tidak.
Itu tak boleh terjadi.
Tak boleh kau menggigil dalam jeda yang begitu lama.
Jangan sampai bibirmu membiru.
Atau pupilmu mengecil lalu memutih.
Tidak, girl!
Aku tidak menginginkannya.
Malam kali ini, adakah kau merasakan yang sama?
Ketika hujan tak kunjung reda dendangkan puisi rindu tentang kita. Tentang mahkluk yang buta, meski mata terbuka. Tentang jiwa-jiwa lelah yang tak kuasa menolak takdir. Juga cerita manusia kuat yang sejatinya lemah ketika asa menggoda.
Lalu, sunyi berderap maju sembari melafalkan kisah kita.
Cerita 2 jiwa yang tak lelah bertanya, mengapa bisa?
Apa maksudnya?
yang perlahan berujung pada kesadaran penuh;
Pasrah!
Bahwa ini harus dijalani, mesti dilalui tanpa menggerutu.
Tidak dengan bersungut sungut.
Karena hidup adalah kita yang merindu, diiringi perjuangan untuk maju.
Namun sayang, hujan tak pernah sirna. Hujan tak terima, lalu bisikkan segudang kata “cinta”. Frasa aneh yang tak kukenal sebelumnya. Kalaupun ada, pastinya telah sirna berabad-abad lamanya.
Kini hadir dalam bentuk nyata, hanya ketika mata beradu. Muka ketemu muka. Dan raut menua itu guratannya kian nyata. Tanpa rias. Tapi, aku suka. Aku menikmatinya, girl!
Sangat!
Inikah yang tersimpan di relung terdalam? Ataukah hanya sesat pikir? Haruskah diungkap, diaktualisasikan sebagaimana yang lain melakukannya?
Ntah...
Aku sadar ada yang kurang. Ada yang hilang dan perlahan menjadi bayang. Jeda yang kita tinggalkan wujudkan lubang menganga serupa jurang. Dalam sekali.
Jangan bilang ini yang diinginkan sejak semula?
Lalu kenapa ada duka?
Sisakan luka yang menggerus lebih lama,
juga airmata.
Ketika malam berganti malam, dan senja berganti rupa, tetap ada yang tersisa. Yaitu, rindu yang tak pernah menua. Rindu yang abadi, bahkan berganti jadi untaian lagu. Lagu yang berkisah tentang dirinya sendiri.
Sementara malam terus melagukan rindu, dan hujan tak kunjung menepi. Ini tanda kita tetap ada. Tetap merdeka yang direkatkan semangat yang sama. Pemberontakan dalam diam!
Mereka mungkin menganggapku gila, ketika berharap hujan lekaslah berganti. Agar pelangi uapkan pedih secepat-cepatnya.
Tidak!
Mereka salah, karena aku lah perindu malam. Malam yang dibalut rintik sayup-sayup.
Karena sama seperti dendam, rindu pun harus dibayar tuntas. Rindu yang diretas hujan, tak rela kubagi. Persis seperti tanah basah, demikian rasa ini padamu. Merembes makin lama makin deras di permukaan yang tak rata.
Senantiasa, girl!
Setia dalam hangatnya malam yang berharap mentari tak pernah ada.
Malam Sunyi Bicara Rindu
pada suatu purnama
No comments:
Post a Comment