Tuesday, June 06, 2017

Lawan Persekusi!

(Ilustrasi. Sumber: http://media.salemwebnetwork.com)
"Kami khawatir bila aksi persekusi ini dibiarkan terus-menerus maka akan menjadi ancaman serius pada demokrasi," 
--Damar Juniarto, Regional Coordinator SAFEnet

Sabtu malam, 28 Mei 2017, menjadi peristiwa yang tak akan bisa dilupakan oleh Putra Mario Alfian, pelajar berusia 15 tahun. Momen itu sangat mengerikan, karena Mario mengalami persekusi, dilakukan oleh 100 orang yang mendatangi rumahnya di daerah Cipinang Muara, Jakarta Timur. Ia telah menjadi target setidaknya sejak 26 Mei 2017.

Persekusi yang dialami Mario jika merunut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. 

Kasus Mario sempat ditengahi oleh Ketua RW 03 tempat dimana ia tinggal. Mario kemudian mengalami 2 kali pemukulan di bagian kepala, intimidasi verbal dan upaya pemaksaan melakukan permintaan maaf. 

Persekusi Mario ditengarai akibat postingannya di akun media sosialnya terkait Pimpinan FPI, Rizieq Shihab yang hingga tulisan ini dibuat masih buron. Anggota FPI tidak terima dengan postingan-postingan yang bernada menghina ulama mereka. Mereka kemudian mendatangi satu-persatu individu/ kelompok sasaran untuk dipaksa meminta maaf (baca: diatas surat bermaterai).

Pasca persekusi, Mario dan keluarganya sangat terguncang. Mereka tidak tenang karena ancaman-ancaman yang datang silih berganti dan kian mengkhawatirkan. Bahkan umpatan pengusiran dari tempat tinggalnya terus menguat. 

Tak lama, video persekusi Mario menyebar luas di media sosial. Hingga akhirnya pada Kamis, 1 Juni 2017 sore, Mario dijemput dan ditemani anggota keluarganya melapor ke Polda Metro Jaya.  Beberapa hari kemudian, polisi berhasil menangkap 2 orang, yakni Abdul Majid dan Mat Husin alias Ucin yang diduga melakukan tindak kekerasan sesuai dengan video yang beredar. 

Sebelumnya, Fiera Lovita, seorang dokter umum yang bertugas di RSUD Kabupaten Solok, Sumbar juga mengalami perlakuan serupa. Fiera mengalami persekusi terkait postingan di akun Facebook-nya. Di akun itu, Fiera menulis kritik terhadap Rizieq Shihab yang tak kunjung hadir memenuhi pemeriksaan penyidik Polda Metro Jaya terkait kasus pornografi.

Kemudian, ada pihak yang dengan sengaja meng-capture tulisan Fiera lalu menyebarkannya, disertai ajakan untuk menghujat dokter itu. Tidak hanya itu, sejumlah orang mendatangi Fiera di tempat kerjanya. Mereka mengintimidasi ibu beranak 2 itu karena dianggap melecehkan dan menghina Rizieq Shihab. Fiera ditekan untuk menandatangani pernyataan permintaan maaf atas tulisannya di akun Facebook.

Apakah selesai sampai disitu? Tidak. Intimidasi tetap dirasakan Fiera lewat berbagai cara, hingga akhirnya ia harus dievakuasi ke Jakarta demi keamanan dan pemulihan mentalnya.

Persekusi juga menimpa Indrie Soraya (38), perempuan pengusaha di Tangerang, Banten pada 21 Mei 2017. Rumahnya didatangi puluhan orang yang mengaku keberatan atas statusnya seputar Rizieq Shihab. Atas desakan massa, Indrie dibawa ke polisi dan diminta membuat permohonan maaf.

Beberapa hari lalu, saya juga menyaksikan ada banyak video persekusi yang bertebaran di situs berbagi video, Youtube. Kebanyakan pelaku merupakan anggota atau simpatisan FPI yang tidak terima Rizieq dilecehkan. Bahkan saat ini, demi melegalkan persekusi, mereka menyebut Rizieq Shihab sebagai ulama umat Islam, tidak semata-mata ulamanya FPI, sebagaimana diketahui selama ini. Dengan demikian aksi mereka seakan-akan mendapat restu dari seluruh umat Islam.

The Ahok Effect
Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu kebebasan berekspresi dan internet menyebut rentetan aksi persekusi sebagai The Ahok Effect (Efek Ahok).

Buktinya, persekusi menguat pasca Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok divonis penjara dalam kasus penodaan agama. Sejak itulah perburuan atas akun-akun di media sosial muncul karena dianggap menghina ulama.

Damar Juniarto dari SAFEnet yang juga mewakili Koalisi Anti-Persekusi menyebut persekusi tidak semata-mata main hakim sendiri, namun juga tindakan memburu orang atau golongan tertentu yang dilakukan secara sewenang-wenang secara sistematis atau luas.

SAFEnet meneliti ada 4 tahapan yang dilakukan saat persekusi. Pertama, penentuan target dengan cara mengajak orang, mendata target yang diburu dan memviralkan target. Kedua, membuat ajakan berburu dengan memobilisasi dan mengumumkan siapa target yang diburu.

Ketiga, mobilisasi di lapangan, memaksa target meminta maaf lalu diviralkan. Keempat melakukan pemidanaan target untuk dibawa ke polisi dan minta dilakukan penahanan. Jika keinginan tidak terpenuhi, (baca: memohon maaf secara terbuka) maka target akan disangka dengan pasal 28 ayat 2 UU ITE (menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA) atau Pasal 156a KUHP (penodaan agama).

Korban Persekusi 59 Orang
SAFEnet mencatat data terakhir jumlah korban yang dipersekusi dan dilabel sebagai penista agama atau ulama, jumlahnya bertambah menjadi 59 orang dari semula 52 orang. Data itu dihimpun sejak 27 Januari 2017 hingga 31 Mei 2017. 

Selain pola mengejar target yang dianggap mengina ulama atau agama, lalu membuka identitasnya, hingga instruksi memburu, ternyata ditemukan pula pola data korban yang akunnya dipalsukan.

Itu sebabnya, persekusi terindikasi dilakukan secara sistematis. Belum lagi pola serupa (baca: persekusi) terjadi di waktu yang hampir bersamaan dalam rentang wilayah yang sangat luas.

Ketika persekusi terjadi, maka ancaman terhadap demokrasi semakin nyata. Secara tidak langsung, mereka telah mengambil alih peran negara untuk menetapkan seseorang bersalah, dan melakukan penghukuman tanpa proses hukum. Kondisi itu tentu mengerikan.

Pelanggaran HAM
Persekusi atau perburuan seseorang untuk dihakimi secara semena-mena masuk dalam kategori crime against humanity atau kejahatan kemanusiaan. Itu tidak saja melanggar Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, tapi juga melanggar Rome Statue tentang kejahatan kemanusiaan internasional.

Pasal 9(e) UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Azasi Manusia menyebutkan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (azas-azas) ketentuan pokok hukum internasional, pidana sanksinya adalah penjara 5-15 tahun.

Pasal 9(h) di undang-undang tersebut juga dikatakan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional, pidana sanksinya adalah penjara 10-20 tahun.

Pelaku yang melakukan persekusi juga melanggar statuta Roma. Di article 7 (1) (h) disebutkan, persekusi terhadap sekelompok orang berdasarkan identitas politik, ras, kewarganegaraan, suku, agama, jender seperti yang didefinisikan di pasal 3 atau alasan lainnya yang diakui secara luas tidak dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional, sebagai kejahatan kemanusiaan.

Selanjutnya, bagi mereka yang melakukan kejahatan kemanusiaan atau International Criminal Court di Pengadilan HAM di Denhaag, Belanda akan mendapatkan sanksi berat yakni penjara seumur hidup.

Adapun memaksa masuk ke rumah atau kantor yang merupakan wilayah privasi, turut melanggar KUHP Pasal 167 ayat 1 tentang masuk pekarangan orang lain dimana dapat dikenakan sanksi pidana penjara 9 bulan.

Lalu, memaksa seseorang untuk menandatangani pernyataan maaf, juga melanggar KUHP Pasal 335 ayat 1, butir 1, tentang perbuatan tidak menyenangkan, dikenakan sanksi pidana penjara 1 tahun.

Sedangkan, membawa paksa target ke suatu tempat diluar kehendak yang bersangkutan, melanggar KUHP Pasal 333 ayat 1 tentang penculikan, sanksinya pidana penjara 8 tahun.

Langkah Tegas Aparat
Persekusi yang terjadi akhir-akhir ini menjadi keprihatinan Polri. Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyarankan pengguna media sosial yang merasa terancam segera melapor. Kapolri juga memerintahkan jajarannya tidak gentar mengusut setiap kasus persekusi.

"Mengenai persekusi, saya perintahkan kepada seluruh jajaran kepolisian, kalau ada yang melakukan upaya itu, jangan takut. Saya akan tindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku," ujar Tito, dikutip dari Detiknews.

Sementara itu, Kabag Mitra Biro Penerangan Masyarakat (Penmas) Divisi Humas Polri Kombes Awi Setiyono mengatakan tindakan persekusi bisa diancam pidana. Setidaknya ada 3 pasal dalam KUHP yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku persekusi.

"Pelaku atau kelompok yang melakukan persekusi dapat dikenai pasal-pasal dalam KUHP, seperti pengancaman pasal 368, penganiayaan 351, pengeroyokan 170, dan lain-lain," ujar Awi dalam keterangannya, Kamis (1/6).

Pasal 368 KUHP mengatur tentang pemerasan dan pengancaman. Pasal 368 KUHP Ayat 1 berbunyi 'Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama 9 bulan'.

Sedangkan Pasal 351 KUHP Ayat 1 berbunyi 'Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak 4 ribu 5 ratus rupiah'.

Adapaun Pasal 170 Ayat 1 menjelaskan 'Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan'.

Ancaman UU ITE
Jika ada pihak yang  melakukan persekusi, maka dapat juga dijerat menggunakan Undang-Undang Nomor 19/2016 tentang Perubahan atas UU ITE Nomor 11/2008. Pasal 27 ayat 4, berbunyi "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman". 

Sementara pasal 45 tertulis hukuman maksimal adalah 6 tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.

Oleh karena itu, masyarakat sebaiknya tidak terpengaruh menebarkan pesan-pesan yang sifatnya ancaman untuk diviralkan. Akan lebih baik, jika masyarakat bijak menggunakan media sosial dengan tidak membagikan informasi yang tidak jelas sumbernya.

Lalu, jika menemukan postingan yang dianggap meresahkan, sebaiknya tidak main hakim sendiri, namun melaporkannya ke pihak berwenang (baca: polisi). Karena Indonesia adalah negara hukum.

Kini saatnya persekusi dan upaya-upaya provokasi harus dihentikan, karena tidak akan menghasilkan kebaikan apapun. Pun, di bulan yang baik ini, kita tentu sangat membutuhkan ketenangan dan kedamaian. (jacko_agun)

No comments:

Post a Comment