Friday, June 02, 2017

Membumikan Pancasila Tanpa Henti

(sumber: http://presidenri.go.id/wp-content)
1. Tuhan terlalu besar untuk 1 agama, surga terlalu besar untuk 1 umat, oleh karena itu jadilah ikut berpikir besar dengan memahami makna ke-Ilahian bahwa yang penting itu adalah esensinya. 
2. Menjadi adil artinya paham bahwa Bumi ini bukan untuk kau sendiri, bukan hanya untuk golonganmu, sukumu, bangsamu, agamamu. Hidup ini untuk berbagi. 
3. Satu hal yang mengikat kita adalah kita sama-sama tinggal di tanah air Indonesia. Oleh karena itu taatilah hukum di Indonesia. 
4. Pemerintah adalah pelayan dan abdi rakyat. Bukan bos dan semena-mena, menyalahgunakan wewenang, menunggangi dan memanipulasi rakyat, maling duit rakyat. 
5. Negara Indonesia ini sangat sangat cukup untuk menyejahterakan dan memakmurkan seluruh warganya, tapi tidak akan cukup untuk memenuhi keserakahan segelintir konspirasi penguasa dan pengusaha. 
--Bli Robi, Vokalis Navicula

Baru-baru ini, sebuah video menjadi viral lantaran seorang anak berusia 15 tahun mengalami Persekusi atau perlakuan buruk, penganiyaan secara sistematis oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lain, khususnya karena suku, agama, atau pandangan politik. Remaja yang bernama Putra Mario Alfian ditampar sejumlah orang yang mengaku Front Pembela Islam dan diminta tandatangan surat bermaterai permintaan maaf karena dianggap telah menghina ulamanya, Rizieq Shihab.

Seminggu sebelumnya, ledakan di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur akibat bom bunuh diri cukup mengagetkan masyarakat. Sebelumnya tidak ada yang menyangka bahaya laten terorisme begitu nyata. Akibat kejadian itu, 3 polisi meninggal dunia dan belasan lainnya luka-luka. Aksi itu juga menjadi bukti munculnya radikalisme agama.

Tiga hari setelah itu, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap pejabat Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT) serta auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait suap opini “Wajar Tanpa Pengecualian” (WTP).  Hasilnya ditemukan uang dalam jumlah besar.

Jika ditarik mundur beberapa waktu sebelumnya, Pilkada DKI Jakarta juga menorehkan catatan buruk. Buruk karena kontestasi yang terjadi dilakukan secara sadar menggunakan sentimen SARA. Akibatnya bisa ditebak, Basuki Tjahaja Purnama, gubernur petahana keok telak dihadapan Anies Baswedan.

Dari rentetan peristiwa itu, kesan dikotomi antara pendukung NKRI/ kebhinnekaan dan anti NKRI/ anti kebhinnekaan membentang menciptakan jarak yang makin luas. Masyarakat seakan terbelah ke dalam 2 poros yang saling berhadapan.

Menurut saya, persoalan-persoalan itu tidak bisa dinegasikan. Pemerintah harus tegas dengan tetap mengedepankan pelayanan terbaik bagi warganya. Pernyataan 'gebuk' yang digaungkan Presiden Joko Widodo (baca: berkali-kali di beberapa kesempatan) seakan menunjukkan keteguhan hati pemerintah. Pemerintah akan bertindak terhadap hal-hal yang bertentangan dengan ideologi negara, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Jika saja setiap kita mampu memahami secara baik nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila, maka persoalan seperti; korupsi, ancaman disintegrasi hingga radikalisme agama tidak akan terjadi. Karena yang terkandung di dalam Pancasila telah sempurna dan saling melengkapi.

Saat ini, tantangan terbesar yang dialami negara adalah konteks Pancasila yang kurang mem-bumi. Pancasila diakui sebagai dasar negara namun tidak pada tataran praksis di kehidupan sehari-hari. Bahkan ada yang menyebut, narasi tentang Pancasila tidak mampu menggaet generasi muda.

Padahal Bung Karno dalam pidato politiknya di sidang BPUPKI pada 1 Juni 1945, secara tegas menyebutkan Indonesia didirikan atas sebuah dasar kebangsaan, mulai dari ujung Aceh sampai Irian. Bung Karno juga menegaskan bahwa Indonesia bukanlah satu negara untuk satu orang atau satu golongan. Indonesia didirikan "semua buat semua" yang direpresentasikan melalui permusyawaratan dan berdiri atas dasar prinsip Ketuhanan. 

Dadang Solihin, Rektor Universitas Darma Persada menyebut gagasan Bung Karno seharusnya direnungkan sebagai jawaban atas beragam persoalan masa kini. Semangat kebangsaan itu merupakan solusi terhadap ancaman disintegrasi bangsa, termasuk memerangi korupsi dan menghadang munculnya radikalisme agama.

Saya lalu teringat suatu masa, tepatnya puluhan tahun silam, ketika mengikuti Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) sebagai syarat sebelum masuk kuliah. Seingat saya, pola pembelajarannya 75 jam, yang jika dibagi harus dijalani selama 6 hari.

Singkatnya, sejak pagi hingga sore hari, kami membahas tentang Pancasila. Tentang butir-butirnya. Tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, hingga aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari.

Saat itu, dalam benak saya, mengikuti P4 tak terlalu banyak manfaatnya. Tentu saja, karena sejak SD, Pancasila jadi mata pelajaran wajib yang saya ikuti. Bahkan hingga SMA, pelajaran Pancasila tak pernah absen. Lalu ketika kuliah harus mempelajarinya kembali, saya merasa P4 tak ubahnya pelajaran moral yang sangat absurb. Sebuah kondisi yang letaknya jauh di atas sana, di negeri dewa-dewa.

Lalu bagaimana membumikannya? 
Jika pertanyaan itu muncul saat masih kuliah, pasti saya gelagapan menjawabnya. Saya bingung menjelaskan dengan alasan yang diterima akal, karena pelajaran itu sangat tekstual dan bukannya aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Namun seiring bertambahnya usia, saya mulai sadar, bahwa Pancasila ternyata bisa dianalogikan. Bisa diwujudkan dalam keseharian, tepatnya bagaimana kita bersikap di masyarakat.

Lewat bacaan dan perenungan panjang, saya mengakui jika Pancasila yang didengungkan pertama kali oleh sang proklamator merupakan dasar negara yang sekaligus way of life bangsa Indonesia.

Bayangkan saja, Pancasila secara tegas menyebut Indonesia merupakan bangsa yang berketuhanan sebagaimana bunyi sila pertama. Jikalah benar kita ber-Tuhan, maka sikap kita pasti berbeda. Tentu, kita akan mengasihi sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan. Kita akan menghormati perbedaaan dan saling berbagi, sebagaimana bunyi sila kedua.

Lalu, ketika kita menghormati sesama dan menerima mereka apa adanya, maka persatuan akan terwujud. Bersatu untuk menjaga keutuhan NKRI. Bersatu menolak setiap paham-paham yang tidak sesuai dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.

Di dalam persatuan juga terkandung sikap kebebasan berekspresi, bebas berpendapat dan mencapai kata sepakat secara musyawarah. Menurut saya, hanya Indonesia yang mengedepankan proses musyawarah dalam pengambilan keputusan. Ini adalah ruh dari sila keempat.

Sementara terkait keadilan sosial, kesejahteraan hingga kemakmuran menjadi cita-cita yang telah ditetapkan sejak semula. Ketika keadilan dan kesejahteraan belum terwujub, bukan berarti kita gagal sebagai sebuah bangsa. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia adalah tujuan, mengapa bangsa ini didirikan. Itu menjadi tantangan kita bersama untuk mewujudkannya.

Karena itu, saya menyadari bahwa kehidupan sehari-hari dan bagaimana kita bersikap akan mencerminkan sejauh apa Pancasila itu bisa kita amalkan. Bukan slogan dan hipokrisi.

Ketika kita masih membeda-bedakan, ketika kita menganggap yang paling benar karena mayoritas, atau ketika belum bersikap adil terhadap sesama, itu artinya kita jauh dari nilai luhur Pancasila. Pada situasi itu, Pancasila tak ubahnya jargon.

Takkala membumikan Pancasila telah selesai dengan diri kita masing-masing, saatnya membagikan kepada yang lain. Ibarat pay it forwad, biarlah nilai luhur Pancasila diteruskan, karena kebaikan memang untuk ditularkan. Biarkan ia menjadi virus yang memenuhi setiap sisi bumi pertiwi ini.

Membumikan Pancasila juga tak ubahnya kerja-kerja untuk membangkitkan kesadaran nasional, tentang betapa berharganya Pancasila. Tentang betapa luhurnya nilai yang terkandung dalam Pancasila, sebagai perekat bagi 250 juta jiwa rakyat Indonesia. 

Ada yang menyebut, kesadaran hadir mendahului komitmen. Sehingga membangun kesadaran merupakan langkah awal. Saya jadi ingat bagaimana kesadaran itu tumbuh lalu mampu melakukan banyak hal yang bermakna. Sementara kaitannya dengan Pancasila, kesadaran yang akan menuntun pada komitmen untuk menjaga, termasuk mengamalkan Pancasila.

Pancasila memang tidak akan muncul dengan sendirnya. Dibutuhkan komitmen dari seluruh anak bangsa untuk menjadikannya pandangan hidup yang nyata. Komitmen oleh semua warga negara, termasuk penyelenggaranya.

Bagi warga negara, semangat ber-Pancasila memang tak boleh kendor. Jika kita sadar, pola-pola kearifan lokal seperti saling menolong, menghargai perbedaan, hidup bersama dalam keberagaman, telah menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Penanda itu hendaknya kita jaga karena merupakan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila.

Semetnara bagi penyeleggara negara, pengejawantahan Pancasila harus menjadi kompas. Setiap kebijakan yang diambil tidak boleh lepas dari semangat Pancasila. Sebisa mungkin tujuan akhirnya adalah demi menyejahterahkan rakyat.

Di sisi lain, membumikan Pancasila adalah dengan menjadi teladan. Sudah saatnya masyarakat membutuhkan figur panutan. Pemimpin yang tidak hanya gemar mengumbar kekuatan Pancasila, namun juga mengamalkannya.

Bagi saya, kehadiran pemimpin seperti Joko Widodo menjadi contoh nyata. Panutan bagi rakyat Indonesia tentang bagaimana Pancasila terpancar dari setiap kebijakan yang dibuat. Tinggal rakyat akan menjadikannya sebagai teladan.

Begitu pentingnya Pancasila bagi Presiden Joko Widodo, sehingga pemerintah menetapkan Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni sebagai hari libur nasional. Tahun ini (baca: 2017) merupakan tanggal merah pertama peringatan Hari Lahir Pancasila.

Saat bertindak sebagai inspektur upacara, Presiden Joko Widodo mengingatkan akan pengalaman buruk negara lain yang dihantui oleh radikalisme dan konflik sosial, termasuk dihantui oleh terorisme dan perang saudara.

“Dengan Pancasila dan UUD 1945 dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, kita bisa terhindar dari masalah-masalah tersebut. Kita bisa hidup rukun dan bergotong royong untuk memajukan negeri ini”, ujar Joko Widodo.

Menurut presiden, dengan Pancasila, Indonesia akan menjadi rujukan masyarakat internasional untuk membangun kehidupan yang damai, yang adil, yang makmur di tengah kemajemukan dunia.

“Oleh karena itu, saya mengajak peran aktif para ulama, ustad, pendeta, pastur, biksu, pedanda, pendidik, budayawan, pelaku seni, pelaku media, TNI dan Polri serta seluruh komponen masyarakat untuk bersama-sama menjaga Pancasila. Pemahaman dan pengamalan Pancasila harus terus ditingkatkan”, ajak presiden.

Atas kesadaran itu, pemerintah ingin melakukan penguatan Pancasila. Salah satunya dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. 

Bersama seluruh komponen bangsa, lembaga baru ini ditugaskan untuk memperkuat pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, yang terintegrasi dengan program-program pembangunan. Pengentasan kemiskinan, pemerataan kesejahteraan dan berbagai program lainnya menjadi bagian integral dari pengamalan nilai-nilai Pancasila.

Gerakan sadar ber-Pancasila memang dapat dilakukan dengan berbagai cara. Puan Sari Siregar, Fasilitator Pendidikan Warga Institut Leimena menyebut institusi pendidikan dapat memberi kesempatan bagi pelajar untuk berpikir kritis, ketimbang indoktrinasi. Termasuk memperkuat diskusi-diskusi tentang Pancasila hingga meningkatkan peran media sehingga mampu memotivasi masyarakat turut serta mengamalkan Pancasila.

Namun dari semua itu, ber-Pancasila secara praksis haruslah dimulai sejak dini. Sejak kita mengenal Pancasila, sehingga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat mengendap di dalam pribadi setiap manusia Indonesia. Selamat Hari Lahir Pancasila! (jacko agun)

No comments:

Post a Comment