Wednesday, August 23, 2017

Media Sosial , Tak Sekedar Pola Komunikasi Massa

(source: www.salonsuitesolutions.com)
Perkembangan teknologi komunikasi tentu saja memberikan konsekuensi terhadap proses komunikasi, dan konsekuensi itu berupa perubahan pola dan hubungan sosial di dalam masyarakat.

Adakah yang bisa menyangkal, jika kehidupan manusia modern, tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan media massa, dari mulai buku, koran, radio, televisi, internet. Bentuk-bentuk media massa tersebut selalu mewarnai sikap dan perilaku seseorang dalam kesehariannya. Bahkan pada kenyataan paling ekstrem, kehidupan seseorang seringkali dipengaruhi oleh kehadiran media massa. Contohnya, ketika seseorang merasa ada yang kurang jika tidak membaca koran atau menonton berita di televisi setiap hari.

Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya, pendidikan, dan politik telah disadari oleh para cendekiawan sejak Aristoteles yang hidup ratusan tahun sebelum masehi. Itu sebabnya, banyak pakar menyebutnya mencakup semua aspek kehidupan.

Sedangkan komunikasi massa sendiri tidak kalah penting dalam proses kehidupan. Harold D. Lasswell, pakar komunikai menyebut komunikasi massa memiliki 4 fungsi utama, yakni: pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the evironment), korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menghadapi lingkungan (correlation of the components of society in making a response to the environment), socialization atau upaya pewarisan nilai-nilai luhur dari satu generasi ke generasi selanjutnya (transmission of the social inheritance) dan entertainment, yakni untuk menghibur khalayak ramai.

Keempat fungsi di atas menunjukkan jika media dan komunikasi massa akan terus bertahan, meskipun terjadi perubahan teknologi. Media massa masih dibutuhkan karena secara tidak langsung dianggap sebagai pemersatu dimana pesan-pesan diproduksi secara massif, sehingga khalayak akan mengetahuinya secara massif pula. 

Lalu ketika disederhanakan, komunikasi massa dan media massa di negara-negara demokratis seperti Indonesia memiliki 5 peran penting, yakni sebagai informasi, edukasi, koreksi, reaksi dan mediasi.

Media masa memang dirancang khusus untuk menjangkau banyak orang. Penyampai pesan seringkali merupakan lembaga atau seorang profesional seperti presenter, entertainer, motivator, dll, yang dipekerjakan oleh sebuah lembaga. Akibatnya pola komunikasi secara tidak terhindarkan bersifat satu arah, tidak personal dan terdapat jarak sosial dan fisik antara pengirim dan penerima.

Sementara itu, konten simbol atau pesan dari komunikasi massa biasanya merupakan hasil yang ter-standarisasi (diproduksi untuk kepentingan massif) dan dipergunakan kembali menjadi bentuk yang identik, contohnya iklan. Ide iklan seringkali didasarkan pada realitas sosial yang dikonstruksi sedemikian rupa.

Di era perkembangan teknologi seperti sekarang ini, kehadiran berbagai inovasi produk teknologi informasi dan komunikasi memunculkan cara baru dalam berkomunikasi. Dalam lingkup komunikasi massa, kehadiran “media sosial” mulai mengaburkan batas-batas antara komunikasi massa dan personal. Hal ini dikarenakan oleh luasnya cakupan komunikasi personal dengan bantuan media massa. Hanya saja, yang membedakan proses komunikasinya masih kentara, seperti tidak adanya konteks kelembagaan seperti media massa pada umumnya. Hal ini yang menjadi pertanyaan, apakah ide yang disampaikan memiliki nilai pesan moral dan tanggung jawab oleh pembuatnya?

Kehadiran media sosial awalnya adalah sebagai tempat/ sarana yang menghubungkan manusia yang terpisah jarak/ waktu untuk berinteraksi. Hal itu diperkuat dengan kemunculan internet yang membawa perubahan besar terhadap cara mengonsumsi media. Dampaknya, kebutuhan akankoneksi internet terus berkembang.

Tak heran jika berbagai media sosial, semacam facebook, twitter, path hingga instagram terus menemukan bentuknya. Penggunanya terus meningkat. Ini menunjukkan jika media sosial telah menjadi media pilihan (alternatif) yang sangat digemari publik saat ini. Bahkan, banyak ponsel yang menyediakan fitur-fitur yang terhubung dengan internet, sehingga dapat mengakses sosial media dengan cepat, mudah dan di manapun berada. 

Selayaknya media massa, media sosial juga dapat menyebarkan informasi kepada publik secara luas tanpa verifikasi dan tidak diketahui pasti validasinya. Informasi-informasi itu terus mengalir begitu saja tanpa sensor.

Bagi Gun Gun Heryanto, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berkembangnya media sosial disebabkan konvergensi 3 hal; teknologi komunikasi, trend lifestyle, dan fantasi atau visi retoris. Dari situ kita bisa memahami, bahwa teknologi komunikasi hanyalah perangkat teknis yang ‘statis’ meskipun mempengaruhi pemanfaatannya karena kodifikasi program yang dibuat menjadikannya sebagai laman yang friendly user

Lalu pada aspek lifestyle, hal itu dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berasal dari luar lingkungan, dimana kebutuhan untuk eksistensi atau berafiliasi menjadi semacam ‘mode’ yang menuntut seseorang agar tidak ketinggalan jaman. Yang terakhir adalah pengaruh yang paling penting, tentu saja fantasi dan visi retoris. Dimana setiap orang memiliki mimpi tertentu yang ingin dicapai saat menggunakan media sosial. Contohnya, ingin terkenal atau dikenal secara luas.

Keterbukaan arus informasi, membuat pola penyebaran informasi berubah, dimana produsen informasi yang tidak terlembaga bebas menyebarkan berbagai informasi tanpa melalui sistem yang berlaku normal, layaknya di media massa mainstream. Akhirnya ada banyak informasi yang diterima masyarakat, meskipun belum terkonfirmasi.

Konten itu kemungkinan memiliki hubungan dengan visi retoris, yang mencirikan bahwa seseorang cenderung membebaskan dirinya berkomentar, atau menyebarkan informasi tanpa pernah memikirkan dampaknya secara luas.

Tak heran jika banyak pengamat yang menyebut media sosial telah memegang peran penting bagi publik, karena kekuatannya yang mampu mempengaruhi publik, yang sebelumnya tidak bisa dilakukan oleh organisasi manapun.

Sementara itu, jika media massa dan media sosial dikawinkan, maka dampaknya akan sangat luar biasa. Perkawinan 2 media itu akan memberi tekanan yang luar biasa dalam mempengaruhi publik. Tak heran jika media sosial dilengkapi dengan pemberitaan media massa yang digunakan dalam kampanye “Trump” mampu memenangkannya. Demikian pula yang terjadi pada kampanye pasangan Jokowi-JK yang  membuatnya memenangkan Pilpres 2014.

Opini publik yang lahir dari konvergensi media massa dan media sosial telah membentuk suatu cara pandang baru yang berbeda. Seorang boleh saja bebas memilih informasi yang diinginkan, namun di sisi lain, seringkali secara tidak sadar ia telah mengkonsumsi pesan-pesan tak berkualitas yang bersiliweran di sekitarnya. Hal ini sekaligus menjadi cerminan bahwa sejatinya dorongan untuk memilih dan menyampaikan ide kerap kali dipengaruhi oleh motivasi dan cara berfikir seseorang.

Kehadiran media sosial juga telah memunculkan beberapa perubahan, seperti; perubahan hubungan sosial, jarak kaya dan miskin informasi makin lebar, terganggunya privasi, terisoloasi dari lingkungan sosial, hingga kehadiran informasi “sampah” yang disusupkan.

Kelima poin itu menujukkan konsekuensi negatif dari perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media sosial. Model interaksi yang ditawarkan dalam komunikasi di dunia maya membuat setiap orang bebas tampil dengan identitas masing-masing tanpa pernah peduli dengan yang lain. Hal itu menjadikan muatan integrasi media massa berubah bentuk, dari hubungan sosial atas dasar kesamaan konsumsi informasi menjadi suatu dominasi kelompok sosial atas identitas tertentu yang nantinya bebas membagikan berbagai informasi --tidak berkualitas-- yang dimilikinya.

Masifnya kuantitas konsumsi informasi “sampah” menjadikan pola atau tema pembicaraan berubah dari pengamatan berita-berita oleh media massa untuk memantau kinerja pemerintah, menjadi pokok pembicaraan yang konotasinya sangat buruk, disertai kualitas informasi yang juga rendah.

Sementara itu, konsekuensi logis dari perkembangan media sosial, banyak media massa yang memanfaatkannya, agar tidak kehilangan pembaca. Lewat media sosial, media massa membangun komunikasi 2 arah. Hal itu memungkinkan pembaca mampu berkomentar terhadap sebuah berita secara langsung. Bahkan tak jarang hal itu memunculkan perdebatan diantara pembaca. Pada tataran ini, komunikasi telah menemukan wujud yang sebenarnya, ketika sebuah pesan dibahas secara dialektis.

Pola interaksi seperti itu memungkinkan terjadinya pertukaran opini publik terkait suatu berita, sehingga media massa dapat menaksir ketepatan pesan dari berita yang mereka muat. Apakah pesannya telah sampai, ataukah telah membuat kegaduhan di masyarakat? Semua itu berpulang kepada media massa itu sendiri. 

Yang pasti harus dipahami, pola komunikasi yang berlangsung secara instan, acapkali menjadikan sesorang kurang berhati-hati dalam berkomunikasi, termasuk menyampaikan kembali pesan yang diterimanya dari media massa secara brutal dan membabi buta. Dalam situasi itu, media massa dituntut kejelasannya untuk menyampaikan pesan secara lugas, tegas dan tidak menimbulkan mispersepsi. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment