Monday, November 06, 2017

Belajar Dari Jerman

(Ilustrasi Holocaust, source: https://www.japantimes.co.jp)
Beberapa waktu lalu, saya sempatkan menonton film Pengkhianatan G30S/PKI di TVRI. Saya sengaja menonton film itu, untuk sekedar bernostalgia tentang pengalaman masa kecil dulu. Saat masih SD, kami (saya dan teman-teman) kerap diminta oleh guru untuk menonton film berdurasi hampir 4 jam itu. Harapannya, kami semakin membenci PKI dan kian percaya jika Pancasila memang sakti.

Saya sengaja menonton di TVRI karena seorang teman kantor menyarankan hal itu. “Ntar kalau mau nonton di TVRI aja, udah HD, jadi gak kayak di tv-tv lain”, ujar teman itu bersemangat.

Namun, tak dinyana, saat menonton di TVRI, ternyata tayangannya tak begitu bagus. Bahkan banyak tulisan yang tak terbaca sama sekali, karena saking lamanya itu film gak pernah diputar. Artinya, mau nonton di TVRI atau di station lain, hasilnya sama. Rada-rada buram dan formatnya masih 4:3.

Sementara itu, 1 jam sebelumnya, tak jauh dari rumah kami, film G30S/ PKI telah diputar di salah satu sudut jalan. Akibatnya, lokasi yang sehari-hari merupakan jalan umum itu tak bisa dilalui. Di kedua sisinya telah di blok, sehingga tak ada pengendara roda 2 atau roda 4 yang melintas. 

Sempat sih, terpikir untuk nonton bareng disitu. Maklum, orang-orang mulai berkumpul. Tua, muda berbaur jadi satu. Pengeras suara juga ikutan berkumandang. Dipastikan seantero tempat itu bisa mendengar dialog film yang diputar dengan jelas.

Namun, karena filmnya kadung diputar duluan, sementara saya baru tiba di rumah, jadinya niat tersebut saya urungkan. Pilihan berikutnya, nonton di televisi saja. Lagian, biar bisa menonton dari awal sembari bernostalia.

Oh ya, jujur saja, sejak kecil saya telah menonton film “Pengkhianatan G30S/ PKI” namun tak pernah sekalipun tuntas. Maklum durasinya yang panjang membuat saya gak betah hingga akhirnya mengantuk. Kalau diingat-ingat, saya selalu menyerah di bagian tengah film itu.

Yup, saya selalu tertidur di ruang tamu saat adegan lubang buaya. Sehingga ketika ditanya guru, tentang akhir dari cerita film itu, saya lebih banyak diam. Sering saya harus berdiri di depan kelas, karena tidak bisa menjawab. Saya kemudian mulai mengetahui kelanjutannya dari omongan guru, orang tua atau membaca koran.

Meski tak tuntas, detil peristiwa versi film pembunuhan para jenderal itu masih terpatri hingga sekarang. Persis seperti ketika menonton kembali film itu, puluhan tahun kemudian. Beberapa dialognya, masih saya ingat betul. Beberapa diantaranya, seperti; “Jangan menyerah Tulang”, “Jawa adalah kunci”, “Darah itu merah jenderal”, “Bapak dipanggil presiden, tak usah ganti baju” dan “papaaaa...”, mengacu pada terikan anak DI. Panjaitan begitu mengetahui ayahnya dibunuh.

Ehm, kalo di pikir-pikir lucu juga ya.., mengapa penggalan dialog itu bisa menancap begitu dalam. Tapi sudahlah, namanya juga bernostalgia.

***
Seminggu sebelumnya, saya bertemu seorang sejarahwan yang kebetulan hadir sebagai narasumber dialog di kantor. Lewat beliau, kami terlibat pembicaraan serius tapi santai, dalam durasi singkat, karena beliau harus masuk studio untuk onair. Saat itu topik dialognya membahas tentang Pancasila, kalau tidak salah. Dan beliau merupakan narasumber yang tepat.

Dalam diskusi itu, saya menyinggung tentang tragedi 65. Tentang imbauan Jenderal Gatot (Panglima TNI) untuk menonton bareng film Pengkhianatan G30S PKI, yang sempat menjadi polemik di jagad media sosial.

Saat itu, saya kemudian melontarkan ide, mengapa pemerintah tak kunjung meminta maaf atas dosa masa lalu? Apa yang menjadi kekhawatiran pemerintah ketika harus meminta maaf kepada korban 65? Apakah begitu tabu membicarakannya di ruang publik, sehingga timbul phobia masa lalau? Atau sebegitu burukkah PKI?

Dengan tenang, narasumber itu kemudian membandingkannya dengan Jerman. “Kita memang perlu belajar dari Jerman”, pintanya.

“Mengapa begitu”, tanyaku penuh selidik.

Menurutnya, peristiwa peristiwa Holocaust, pembunuhan berencana yang dilakukan Nazi pada tahun 1939-1945 terhadap 6 juta Yahudi menjadi pembanding yang bisa dijadikan rujukan, khusunya terkait pembantaian PKI di tahun 1965. 

Keduanya memang tak sama persis, namun ada kesamaan yang bisa dipetik, khususnya dalam jumlah korban jiwa. Berbagai literatur menyebut korban G30S/PKI mencapai 500 ribu - 3 juta orang. Sebuah angka yang cukup besar bukan?

“Ya, kita memang perlu berdamai dengan masa lalu, termasuk mengakui kesalahan yang pernah ada”, ujarnya singkat.

Pasalnya, tanpa perdamaian, tak akan muncul rekonsiliasi. Tak akan hadir rasa saling menghargai. Pun, rasa saling curiga akan hilang dengan sendirinya.

“Karena itu, kita perlu menjadikan peristiwa 65 sebagai pembelajaran. Dan negara pernah melakukan kesalahan, hal itu harus diakui. Jangan ditutup-tutupi”.

Saya lalu teringat Kanselir Jerman Angela Merkel yang meminta maaf atas peristiwa Holocaust di hadapan Sidang Umum Majelis Umum PBB di tahun 2007. Uniknya, permintaan maaf itu kembali diulang Merkel saat berkunjung ke Knesset (Parlemen Israel) di tahun 2008. 

Adakah para penyintas (korban selamat) dan keluarganya melupakan tragedi kemanusiaan tersebut? Tentu tidak! Hanya saja, mereka kini menyadari bahwa dampak buruk akibat perang memang sangat merusak. Mereka yang bersalah harus tetap bertanggungjawab dan itu telah dibuktikan dengan persidangan penjahat perang.

Beberapa waktu lalu, tepatnya di Januari 2016, seorang Jerman (95 tahun) dihadapkan pada persidangan atas tindakannya sebagai asisten medis di Auschwitz, Polandia, terkait pembunuhan 3,681 Yahudi di tahun 1944. Bayangkan, betapa para pelaku Holocaust tetap dibawa ke meja hijau atas dosa-dosa masa lalunya.

Kini, ketika Jerman sebagai sebuah negara telah mengakui kesalahan, maka permintaan maaf berbuah kebaikan. Holocaust akhirnya menjadi catatan kelam bangsa Jerman yang dijadikan pelajaran berharga. Atas upaya itu, Merkel kemudian diganjar Penghargaan Perdamaian Seoul pada tahun 2014.

“Kalo di Jerman sekarang ini, warganya enggan berbicara tentang Nazi dan Holocaust, karena hal itu seakan menjadi aib mereka. Mereka malu untuk membicarakannya kecuali di ruang-ruang tertentu, seperti sekolah dan diskusi publik”, tuturnya.

“Namun mereka tidak melupakannya loh. Mereka hanya tidak nyaman dengan dosa masa lalu, Berbeda dengan Indonesia yang masih malu-malu bicara rekonsiliasi 65. Padahal hal itu perlu untuk pelurusan sejarah”, ujarnya menambahkan.

Seorang teman, lewat catatannya juga bercerita tentang Holocaust. Dia menulis, selain Jerman, Norwegia kini merupakan negara yang terang-terangan menyatakan permintaan maaf di tahun 1998.

“Norwegia membayar ganti rugi sebesar 60 juta dolar AS kepada para korban dan organisasi Yahudi sebagai ganti properti yang disita pada Perang Dunia II. Saat itu sekitar 2000 orang Yahudi di Norwegia didaftar untuk dideportasi dan berakhir dengan kematian di kamp konsentrasi”, tulisnya di salah satu forum internet.

Belakangan, Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg menyatakan permintaan maaf secara resmi di tahun 2012. Permintaan maaf itu untuk meringankan penderitaan korban selamat dan keluarganya.

Teman itu kemudian menulis, memorabilia telah menjadi kekayaan sejarah museum-museum Holocaust di seluruh dunia. Pendidikan tentang Holocaust diajarkan kepada generasi muda agar pembunuhan rasial (genosida) tidak terjadi lagi sekarang dan di masa depan. 

“Bahkan berbagai tur Yahudi (Jewish Tour) bisa ditemui di negara-negara dengan populasi Yahudi serta studi tur terkait Holocaust bisa dilakukan di kamp konsentrasi di berbagai negara”, paparnya. 

Diskusi-diskusi juga digelar di setiap kampus, museum dan berbagai tempat demi menggali semua sisi yang berkaitan tentang Holocaust. 

Bahkan, demi mencegah Holocaust terulang kembali, produksi film dokumenter tentang Holocaust setiap tahunnya selalu bermunculan. Demi mengenang korban, berbagai film dokumenter atau rekaman sesungguhnya dibuat dan dilestarikan. Tujuannya, satu, untuk melawan lupa dari Holocaust. 

“Jika Jerman saja mau mengakui dan akhirnya meminta maaf atas Holocaust, lalu mengapa pemerintah Indonesia sulit melakukannya atas peristiwa ’65?”, tanyaku sebelum si narasumber masuk ke ruang studio siaran.

“Ya, kalo pemerintah kita berpikiran maju dan melihat jauh kedepan, seharusnya kita memang perlu belajar dari Jerman”, pungkasnya.

“Lalu, adakah semua itu karena faktor tendensi politik demi stabilitas keamanan negara, maka pemerintah tak perlu meminta maaf?”, tanyaku kemudian.

Dia tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahu, pertanda setuju dengan pemikiranku. Bisa jadi karena dia merupakan bagian dari pemerintah, maka tak ingin berkomentar lebih jauh.

Saya lalu teringat Alm. Gus Dur yang sempat meminta maaf kepada korban G30S. Sayangnya hal itu tidak disampaikan di forum resmi, namun saat berkunjung ke rumah penulis alm. Pramoedya Ananta Toer di tahun 1999. Dan, Pram, --demikian ia disapa--, merupakan tahanan politik G30S yang dibuang ke P. Buru puluhan tahun lamanya.

Dari laman media online, saya merangkum pertemuan kedua tokoh tersebut, seperti yang dikisahkan Sastro Al Ngatawi, asisten pribadi Gus Dur dalam sesi diskusi di Jakarta, beberapa tahun silam.

Dalam pertemuan itu, Pram berujar, "kita ini sudah dekat, tapi kok orang di luar masih ribut."

"Ya sudah," kata Gus Dur, "Saya minta maaf dan kamu juga minta maaf."

Pram menjawab, "Kalau saya dengan Gus Dur enggak ada masalah. Tapi yang di luar itu perlu dijelaskan."

Lalu Pram melanjutkan, "Apa komentar tentang permintaan maaf itu sebagai Gus Dur secara pribadi atau PBNU atau bagaimana?"

Gus Dur menjawab, "Ya sudah, kalau enggak mau repot, anggap saja itu sebagai komentar dari PBNU."

Bagi saya, permintaan maaf kepada Pram, selaku korban 65, bisa dimaknai sebagai sikap pribadi Gus Dur yang terbuka, jika tak ingin mengandaikannya sebagai sikap negara. 

Pertanyaan selanjutnya; berapa waktu lagi yang dibutuhkan agar negara mengakui kesalahannya untuk berdamai dengan masa lalu?

Mungkin puluhan tahun, atau ratusan tahun? Bagi saya, semakin cepat pastinya jauh lebih baik. Karena masih banyak PR besar bangsa ini yang harus diselesaikan, selain peristiwa 65. Siapa pun presidennya, harus melihat permintaan maaf sebagai rekonsiliasi sebuah bangsa. Bukan sebagai komoditas politik yang akan digunakan untuk menyerang lawan politiknya. Karena kalau begitu, maka kita tidak akan maju. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment