Monday, September 25, 2017

UKJ, Cara Baru Tingkatkan Kualitas Jurnalis

(Suasana uji kompetensi jurnalis. foto: jacko agun)
Beberapa waktu lalu, saya telah menyelesaikan Uji Kompeteni Jurnalis (UKJ) level “UTAMA” yang diselenggarakan oleh AJI sesuai dengan standar yang ditetapkan Dewan Pers. Uji Kompeteni Jurnalis menurut saya sangat penting untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Uji kompetensi juga diperlukan untuk menjaga kehormatan pekerjaan jurnalis dan bukan untuk membatasi hak azasi warga negara menjadi jurnalis.

Saya sengaja memilih level “Utama”, lebih karena pengalaman di dunia jurnalistik telah belasan tahun lamanya. Dan AJI menetapkan level “Utama” hanya boleh diikuti oleh jurnalis yang telah menekuni jurnalistik sedikitnya 11 tahun.

Sesuai aturan Dewan Pers, seorang pemimpin redaksi, manager program hingga eksekutif produser, sebaiknya mengikuti uji kompetensi tingkat utama. Harapannya, para pemimpin itu memiliki kualifikasi dan pemahaman yang setara. Pun kemampuannya tidak dipertanyakan lagi.

Jujur saja, mengikuti UKJ menjadi pengalaman baru yang menyenangkan. Pasalnya, dengan UKJ, saya kembali disegarkan tentang banyak hal yang mungkin terlupa. Dengan UKJ kemampuan intelektual dan pengetahuan umum saya kembali diuji, terkait sudah sejauh apa saya memahami hal tersebut dengan baik.

Secara umum, kompetensi jurnalis meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, penyusunan dan penyuntingan berita, serta penggunaan bahasa yang baik dan benar. Khusus yang terakhir, hal itu menyangkut kemahiran dan kemampuan yang sifatnya teknis, sebagai jurnalis profesional. Dimana jurnalis profesional terlibat dalam mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah serta membuat dan menyiarkannya sebagai produk jurnalistik.

Lalu, untuk mencapai standar kompetensi yang baik, setiap jurnalis harus mengikuti uji kompetensi yang dilakukan oleh lembaga yang telah diverifikasi Dewan Pers, yaitu perusahaan pers, organisasi wartawan (baca: salah satunya AJI), perguruan tinggi atau lembaga pendidikan jurnalistik. 

Jurnalis yang belum mengikuti uji kompetensi dinilai belum memiliki kompetensi sesuai standar yang ditetapkan. Karena itu, saya menyarankan setiap jurnalis, khususnya jurnalis muda untuk mengikuti uji kompetensi.

Oh ya, mungkin banyak yang bertanya, apa manfaatnya Uji Kompentensi Jurnalis (UKJ)? Bagi media-media besar yang ada di Jakarta, kebanyakan tidak terlalu pusing dengan keharusan UKJ. Media-media tersebut tidak mengharuskan jurnalisnya ikut UKJ sebagai syarat jenjang karir dan kepangkatan. Alasannya, mereka (baca: perusahaan pers) sudah memiliki standar tersendiri yang mungkin setara atau bisa juga berbeda dengan perusahaan pers lain.

Sementara bagi media-media di daerah, keberadaan UKJ sangat diperlukan. UKJ dijadikan sebagai tolak ukur kredibitas seorang jurnalis. Jurnalis yang telah mengikuti UKJ, biasanya memiliki standar yang lebih baik, ketimbang yang belum ikut UKJ.

Meski belum banyak diaplikasikan oleh media-media besar di Jakarta, secara perlahan, kebutuhan akan standar kompetensi jurnalis kian nyata. Buktinya, bagi pewarta yang akan bertugas meliput di istana kepresidenan, kini diwajibkan memiliki sertifikasi UKJ. Minimal telah lulus UKJ tingkat MUDA. 

Ini artinya, pers Indonesia mulai beranjak maju. Pers Indonesia mulai menyadari bahwa kompetensi menjadi semacam acuan, indikator atau batasan tentang standar yang harus dipenuhi oleh jurnalis dan pelaku industri pers.

Standar adalah patokan baku yang menjadi pegangan ukuran dan dasar. Standar juga menjadi model bagi karakter unggulan. Standar menjadi batasan minimum yang harus dicapai. Sementara kompetensi adalah kemampuan tertentu yang menggambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan seorang jurnalis.

Kompetensi jurnalis seperti telah saya singgung diatas, penting untuk memahami, menguasai dan menegakkan profesi jurnalis serta kewenangan untuk menentukan dan memutuskan sesuatu di bidang jurnalistik.

Secara detil, tujuan kompetensi jurnalis meliputi; peningkatan kualitas dan profesionalisme jurnalis, acuan sistem evaluasi kinerja jurnalis oleh perusahaan pers, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik, menjaga harkat dan martabat jurnalis sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual, menghindari penyalahgunaan profesi jurnalis, hingga menempatkan jurnalis pada kedudukan strategis dalam industri pers.

Sementara itu, secara umum, rumusan kompetensi jurnalis yang saya ikuti dibagi atas 3 hal utama, yakni kesadaran (awereness), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skills).

Kesadaran (awareness) mencakup kesadaran tentang etika dan hukum, kepekaan jurnalistik serta pentingnya jejaring dan lobi.

Sementara pengetahuan (knowledge) mencakup teori dan prinsip jurnalistik, pengatahuan umum dan pengetahuan khusus.

Terakhir, keterampilan (skills) mencakup kegiatan 6M (mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi) serta melakukan riset/ investigasi, analisis/ prediksi serta menggunakan alat dan teknologi informasi.

Menjadi jurnalis merupakan hak azasi seluruh warga negara. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi jurnalis. Di sisi lain, pekerjaan jurnalis sangat berhubungan dengan kepentingan publik, karena jurnalis adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, hingga musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk.

Oleh karena itu, di dalam melaksanakan tugasnya, jurnalis harus memiliki standar. Standar itu adalah standar kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi kemudian menjadi alat ukur profesionalitas seorang jurnalis.

Di masa depan, setiap orang yang mengaku dirinya jurnalis harus memiliki sertifikat Uji Kompetensi Jurnalis (UKJ). Sertifikat yang dimiliki akan menjadi penanda bahwa ia layak menyandang gelar profesi jurnalis.

Mengapa setiap jurnalis harus lulus UKJ? Jawabnya, karena jurnalis merupakan profesi, sama halnya seperti: dokter, hakim, jaksa, pengacara, notaris, pilot, apoteker, dosen bahkan akuntan.

Setiap profesi mensyaratkan kualifikasi khusus yang harus dipenuhi dan pelakunya disebut profesional. Profesi dan profesional kini ibarat dua sisi mata uang yang saling terpaut. Profesi sendiri merupakan kata benda, sementara profesional merupakan kata sifat. Mereka yang berada di jalur sebuah profesi dan memenuhi kualifikasi tertentu itulah yang disebut profesional.

Kemudian, agar bisa disebut profesional, seorang jurnalis harus memenuhi standar kompetensi bidangnya selain berfokus disana. Sebagaimana profesi lain, seorang jurnalis harus memiliki kualifikasi tertentu. Seperti setidaknya, mengetahui hakekat profesi, aturan main yang baku (standar jurnalistik), rambu-rambu (kode etik & regulasi pers) hingga memiliki kecakapan dalam menyajikan berita.

Secara umum, ada sejumlah syarat agar sebuah pekerjaan menjadi profesi dan pelakonnya dikatakan profesional, yakni melewati pendidikan khusus, keterampilan khusus, memiliki standar kompetensi, memiliki organisasi, hingga memiliki kode etik sendiri.

Kini, ketika kebebasan pers telah diraih, ketika pers menunjukkan perannya sebagai pilar keempat demokrasi, pers kita ternyata masih belum begitu baik. Buktinya, masih banyak sengketa yang terjadi melibatkan perusahaan pers. Masih banyak lembaga pers yang digugat, karena isi beritanya tidak mencerminkan produk pers sebagaimana diatur di UU Pers.

Pada kondisi ini, saya menyebutnya, profesionalisme kita selaku jurnalis masih jauh. Pembekalan secara bertahap tetap diperlukan. Termasuk profesionalisme jurnalis tidak bisa ditawar-tawar lagi. Harus segera dilakukan. Pasalnya, jika tidak dibenahi, dampaknya terlalu besar. Media bisa digugat pailit oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Oleh sebab itu, Uji Kompeteni Jurnalis (UKJ) merupakan salah satu jawaban untuk mewujudkan jurnalis yang profesional. Jurnalis yang bertanggungjawab. Karena dengan UKJ, setidaknya mampu memberikan perlindungan ke dalam dan keluar.

Sedikit ber-analogi, jika mesin saja perlu di tune-up bahkan dikalibrasi secara berkala, maka jurnalis pun demikian. Jurnalis secara periodik perlu diasah kemampuannya agar tidak tumpul dan tidak ketinggalan zaman. 

Menyitir tulisan seorang senioren di buku UKJ-AJI; “uji kompetensi diperlukan agar jurnalis tidak seperti prosesor pentium 3 di era dual core; serba lelet, kagok dan gagap”. (jacko agun)

No comments:

Post a Comment