Tuesday, July 21, 2020

Rohaniwan Tolak Omnibus Law Karena Abaikan Lingkungan Hidup dan Keadilan Sosial


Sebanyak 104 rohaniwan/ rohaniawati dari berbagai gereja menolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Para rohaniwan/ rohaniawati menilai jika RUU Cipta Kerja disahkan maka akan mengancam keselamatan lingkungan, mengancam ruang hidup warga.

"Juga  mengabaikan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", tulis mereka dalam siaran persnya pada 14 Juli 2020.

Suara para para rohaniwan/rohaniawati gereja merupakan bagian dari tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan (KPKC).

"Kami mendesak Pemerintah dan DPR RI membatalkan agenda pengesahan Omnibus Law RUU Cipta kerja dan mendesak Presiden Joko Widodo menarik RUU Cipta Kerja," ujar mereka.

Pernyataan itu sekaligus meneguhkan kepedulian gereja dan sebagai warga negara kepada sesama manusia dan lingkungan hidup (ciptaan Tuhan).

Penuh Masalah
Selama ini para rohaniwan/ rohaniawati  menilai RUU Cipta Kerja  sangat pelik, baik proses pembahasan terutama substansinya, diantaranya:
1. Pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tidak demokratis karena tidak melibatkan partisipasi publik. UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undang mewajibkan pemerintah melibatkan partisipasi publik yang luas. Publik berhak memberi masukannya terhadap RUU yang sedang dibahas.

2. Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam keselamatan dan keberlanjutan lingkungan hidup, dengan alasan:
-Pertama, “izin lingkungan” diganti dengan “izin usaha”. Padahal, berdasarkan UU No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), izin lingkungan merupakan syarat untuk memperoleh izin usaha. Analisis dampak dan lingkungan (AMDAL) statusnya bukan prasyarat tetapi faktor yang harus dipertimbangkan. Dan menurut UU PPLH, setiap usaha yang berpotensi berdampak terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL, karena berkaitan dengan hak warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

-Kedua, perusahaan pemegang izin konsesi di areal hutan tidak memiliki keharusan bertangggungjawab jika terjadi kebakaran hutan di areal kerjanya. Perusahaan hanya diwajibkan melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya (Pasal 37 angka 16 Omnibus Law RUU Cipta Kerja)

-Ketiga, pengusaha lewat izin dari pemerintah pusat dapat memanfaatkan pantai atau lautan untuk kepentingan bisnisnya walaupun tanpa pertimbangan lingkungan. Cukup dengan pertimbangan bisnis dan keuntungan pengusaha (Pasal 19 angka 3 Omnibus Law RUU Cipta Kerja). Hal ini berakibat pada kehancuran ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Bahkan, menggusur masyarakat yang tinggal di wilayah itu.

3. Omnibus Law RUU Cipta Kerja akan memperparah ketimpangan terkait penguasaan lahan dan memperuncing konflik-konflik agraria yang belum dituntaskan. Hal ini karena kemudahan dan prioritas pemberian hak atas lahan untuk kepentingan investasi. Selain itu, RUU Cipta Kerja berupaya menghilangkan pembatasan luas maksimum penguasaan lahan oleh perusahaan perkebunan, industri kehutanan dan pertambangan sehingga berpotensi meningkatkan monopoli atas penguasaan lahan.

4. Petani, masyarakat adat, dan nelayan akan tergusur dari ekosistem mereka, karena pemerintah memberikan ruang istimewa dan prioritas kepada pemilik bisnis dan investasi untuk memiliki lahan.

5. RUU Cipta Kerja (Pasal 127 ayat 2 dan 3) memperpanjang jangka waktu hak pengelolaan tanah atau disebut dengan Hak Guna Usaha (HGU) menjadi 90 tahun, bahkan lebih panjang dari masa HGU yang pernah dikeluarkan oleh kolonial Hindia Belanda, yakni 75 tahun. Perpanjangan jangka waktu itu sebagai bentuk penghapusan kedaulatan negara atas tanah. Hal ini melukai rasa keadilan.

6. RUU Cipta Kerja menghilangkan kewenangan pemerintah daerah karena seluruh perizinan dan pengelolaan tambang (Minerba) menjadi kewenangan pemerintah pusat. Padahal peran pemerintah daerah sangat penting dalam pengawasan dan pengelolaan sumber daya alam. Ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah, yakni penguatan dan kemandirian daerah. Jelas ini menghianati agenda reformasi. Ini mengubah konsep desentralisasi dan demokrasi di era otonomi menuju negara yang sentralistik.

7. Petani, buruh, kaum miskin kota, masyarakat adat, dan nelayan dengan mudah diproses hukum (kriminalisasi) jika tidak menyetujui (menolak) dan melawan proyek pengusaha dan investor yang mendapat izin dari pemerintah.

Karena itu, 104 rohaniwan/rohaniawati dari berbagai gereja menolak pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini yang semula dijadwalkan pada tanggal 16 Juli 2020. (jacko agun).

No comments:

Post a Comment