Friday, August 14, 2020

Pemerintah Jangan Bermitra dengan Organisasi Afiliasi Industri Rokok!

Organisasi pendukung upaya pengendalian tembakau di Indonesia mendorong pemerintah agar mempertimbangkan kemitraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan Putera Sampoerna Foundation melalui Program Organisasi Penggerak.
Sejumlah organisasi pendukung upaya pengendalian tembakau di Indonesia menyampaikan pernyataan bersama untuk mendorong pemerintah agar mempertimbangkan kembali kemitraan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan Putera Sampoerna Foundation melalui Program Organisasi Penggerak.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah “pucuk senjata” pemerintah yang memiliki peran utama dalam menangani pendidikan di negeri ini. Marwahnya adalah menjalankan urusan pemerintahan di bidang  pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini sampai pendidikan tinggi,  dari pendidikan masyarakat sampai pengelolaan kebudayaan (Perpres 72/2019). 

Sebagai penyelenggara pendidikan, Kemendikbud menjadi kementeriann yang paling berperan dalam mewujudkan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), yang dalam beberapa waktu terakhir telah dijalankan dengan baik di bawah Menteri Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A., sesuai visi utama Presiden RI pada Periode 2019 – 2024, yaitu mewujudkan SDM Unggul.

Terjaminnya perlindungan dari sisi kesehatan terhadap pelajar dan pelaku pendidikan di Indonesia adalah salah satu hal yang mutlak dalam mewujudkan SDM Unggul. Kesehatan adalah modal utama dalam pembangunan manusia berkualitas, baik mental maupun fisik, dan tidak ada satu pun yang dapat menggugatnya, yang telah terbukti selama masa pandemi COVID-19 di seluruh dunia.

Namun, sejumlah organisasi pendukung upaya pengendalian tembakau sangat menyayangkan munculnya Yayasan Putera Sampoerna sebagai salah satu mitra dalam Program Organisasi Penggerak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa Yayasan Putera Sampoerna adalah lembaga yang terafiliasi industri rokok.  Dari sudut pandang corporate social responsibility (CSR) yang benar, yaitu tanggung jawab atas dampak proses produksi dan produk yang dihasilkan perusahaan, industri rokok masuk ke dalam kategori industri yang berbahaya (harmful), kontroversial (controversial), dan penuh dosa (sinful).

Bersama-sama dengan industri pornografi, judi, minuman keras, dan beberapa yang lain, industri rokok dinyatakan mustahil menjadi industri yang bertanggung jawab sosial lantaran perusahaan tidak akan sanggup bertanggung jawab atas dampak konsumsi produknya yang bukan saja merusak kesehatan, melainkan juga membunuh konsumennya, dan pada akhirnya menurunkan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan.  

Dampak produksi dan konsumsi rokok yang lain, bila diperhitungkan dengan benar, semakin membuat industri rokok mustahil dinyatakan bertanggung jawab sosial. Oleh karena itu, berbagai kegiatan sosial yang dilakukan oleh industri rokok, baik yang dilakukan oleh perusahaan secara langsung maupun organisasi yang terafiliasi dengan perusahaan, dinyatakan oleh para pakar sebagai CSR-washing.  

Dengan CSR-washing, perusahaan rokok berusaha untuk tampil sebagai perusahaan yang baik, tanpa bertanggung jawab terhadap dampak yang ditimbulkannya.

Produk tembakau rokok adalah produk yang berbahaya bagi kesehatan karena zat utama nikotin yang dikandungnya merupakan zat adiktif sebagaimana disebutkan dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan kandungan lain di dalamnya merupakan bahan kimia berbahaya; yang juga tertuang dalam artikel 2, UU no. 39 tahun 2007 tentang Cukai dan diperkuat dalam Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. 

Selain itu, konsumsi rokok yang diketahui memperburuk infeksi COVID-19 juga merupakan pemicu stunting (PKJS-UI, 2019) serta pintu masuk konsumsi narkoba (BNN), sehingga berpotensi mengancam masa depan generasi muda dan akhirnya menghambat cita-cita pemerintah untuk mewujudkan SDM Unggul.

Walaupun dampak negatif konsumsi rokok sedemikian berbahayanya, jumlah perokok anak di Indonesia saat ini semakin tinggi; 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018, jauh di atas target penurunan prevalensi perokok anak sebesar 5,4% seperti yang dicanangkan di RPJMN sebelumnya.  

Tingginya prevalensi perokok di Indonesia, terutama perokok anak, tidak lepas dari berbagai intervensi industri rokok di berbagai aspek termasuk di dunia pendidikan. Keterlibatan yayasan industri rokok dalam dunia pendidikan adalah upaya menciptakan citra positif di mata pembuat kebijakan dan masyarakat sehingga dampak negatif yang ditimbulkan produknya tersembunyikan.

Berbagai studi telah membuktikan bahwa industri rokok menargetkan anak-anak dalam pemasarannya, sehingga kami berharap Pemerintah waspada terhadap adanya beragam organisasi yang terafiliasi industri rokok yang menyasar institusi-institusi pendidikan demi membentuk citra baik industri ini, menyembunyikan produknya yang berdampak buruk, untuk melanggengkan kepentingan bisnisnya. 

Sehubungan dengan hal di atas, Masyarakat Indonesia Peduli Pengendalian Tembakau dan Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia meminta pemerintah menutup setiap peluang yang memberi kesempatan kepada industri rokok untuk melakukan intervensi terhadap kebijakan, termasuk dengan tidak menempatkan industri rokok sebagai pemangku kepentingan dalam pengambilan kebijakan, dan menghentikan endorsing (dukungan) terbuka kepada kegiatan-kegiatan CSR-washing industri rokok.

Mereka juga meminta pemerintah menitikberatkan perhatian pembangunan manusia kepada perlindungan dan pengembangan sumber daya manusia di sektor pendidikan sehingga terwujud SDM Indonesia yang unggul dengan tidak melibatkan industri berbahaya seperti industri rokok dalam program kegiatan yang dilakukan oleh Kemendikbud saat ini dan di masa yang akan datang.

Selain itu, pemerintah diminta untuk memperkuat dan meningkatkan implementasi Permendikbud No. 64 tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan sekolah sebagai upaya untuk melindungi anak dari bahaya rokok, baik dari perilaku merokok maupun dari iklan, promosi, dan sponsor rokok.

Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud RI, diharapkan bersungguh-sungguh dalam melindungi anak-anak dari target industri rokok. Penurunan prevalensi perokok anak sudah menjadi target kebijakan nasional yang tertuang di dalam RPJMN 2020-2024, maka seharusnya Kemendikbud RI menjalankan program-programnya sesuai RPJMN yang sudah ditetapkan. 

Kemendikbud diharapkan ingat bahwa marwah pendidikan harus dijaga sebaik-baiknya untuk terbebas dari upaya intervensi kepentingan industri berbahaya, kontroversial dan penuh dosa, baik secara langsung maupun lewat organsasi afiliasinya. Dengan demikian, upaya mendidik anak bangsa sedapat mungkin terbebas dari pencampuradukkan antara yang baik dan buruk (yang haq dan bathil) demi SDM Unggul, Indonesia Maju. (jacko agun)



Masyarakat Indonesia peduli pengendalian tembakau dan peningkatan kualitas manusia Indonesia: Komnas Pengendalian Tembakau, Yayasan Lentera Anak, Yayasan Pusaka Indonesia, Forum Warga Kota Jakarta, Yayasan Kepedulian untuk Anak (KAKAK), Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Smoke Free Agents, No-Tobacco Center, Alianis PTM Indonesia, Aliansi Masyarakat Korban Rokok Indonesia, CHED ITB Ahmad Dahlan, Muhammadiyah Tobacco Control Center Magelang, Ikatan Pemuda Muhammadiyah, Muhammadiyah Steps UMY, Indonesia Institute for Social Development, 9cm,  dan Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau


No comments:

Post a Comment