Akhirnya sampai juga! Kini, sebuah resort, lengkap dengan beberapa villa segera akrab menyapa. Inilah tempat persinggahan kami kali ini. Mungkin, karena mengantuk tadi, aku gak memperhatikan arah perjalanan. Tahu-tahunya sudah sampe di Villa Air, Lembang, Bandung. Lokasinya yang berada di dataran tinggi, menghadirkan sebuah panorama alam yang begitu indah. Hembusan udara sejuk, ciri khas pegunungan, tak ketinggalan membalut tubuh-tubuh penuh semangat ini.
Yup, di tempat ini kami akan melakukan pengambilan gambar (baca: taping) presenter sebuah acara stasiun televisi swasta. Seperti biasa, semua alat segera diturunkan. Masing-masing orang terlihat sibuk membawa setiap jenis barang. Peralatan seperti; kamera, lighting, audio, kabel dan monitor segera di pasang di tempat yang telah ditentukan, tepatnya di lantai tiga bangunan utama resort ini.
Tak lama berselang, semua telah stand by. Kini, tinggal menunggu sang presenter. Sedetik kemudian, produser mencoba membuka komunikasi lewat hp. Menghubungi presenter, yang tak tahu rimbanya, tapi hasilnya tetap saja nihil. Lama menunggu, ternyata kehadirannya belum menunjukkan tanda-tanda. Sampai tak terasa sudah dua jam lebih kami beradu dalam kebekuan. Sementara udara dingin membuat perut mulai bergemericing, minta segera diisi.
Usut punya usut, ternyata sang presenter gak bisa hadir, karena masih berada di Sentul. Disana dia terlibat kontrak dengan pihak lain, yang kami gak tahu sebelumnya. Untuk tanggal 5-7 September ini, harusnya dia sudah tahu, kalau hari itu kita ada taping. Pasalnya, semalam dia sudah dihubungi untuk konfirmasi kebersediaannya. Dan, dia pun menyanggupi. Tapi ntah mengapa dia mengingkari kesepakatan itu, dengan alasan masih ada sisa waktu esok. Nah, dengan pertimbangan itu, akhirnya dia menerima tawaran lain. Sementara untuk jadwal taping, dibutuhkan perencanaan yang sangat matang. Sebab penentuan hari, kru dan peminjaman alat, ternyata memang gak gampang. Sepatutnya dia bisa menolak jadwal syuting di tempat lain, ketika berbenturan dengan skedul taping.
Melihat itu, mau gak mau kita harus mutar otak, gimana caranya agar taping tetap berjalan. Sebab kalo sampai batal, hancur deh semuanya. Mulai dari jadwal, tempat, sampai uang spj (baca: uang tugas luar kota) pasti gak mungkin sampai di genggaman. Akhirnya, mencari presenter dadakan untuk di casting, menjadi sebuah solusi. Mulailah tiap-tiap orang mengundang kenalan mereka, dengan harapan semoga layak jadi presenter untuk membawakan program tersebut.
Dari beberapa orang yang ikut, kayaknya sang produser –yang sedari tadi terlihat khusyuk mengamati gestur dan vokal para kontestan (baca: yang ikutan casting)- masih merasa belum ada yang cocok. Padahal sudah 4 jam lebih waktu yang terbuang untuk kegiatan ini.
Kini, tinggal sedikit waktu dan kesempatan yang tersisa. Satu-satunya harapan yang ada hanya mengandalkan kenalan teman koresponden Bandung. Kabarnya, dia punya teman yang dianggap cocok untuk membawakan acara tersebut. Dan, waktu bertemu tinggal malam ini.
@!@!@!@!
Keesokan harinya, saat semburat sang fajar menyala merah di ufuk timur, kami sudah berbenah lagi. Rasanya, istirahat malam tadi masih saja kurang. Pasalnya tidur yang kemalaman plus udara dingin begitu menusuk tulang. Sejurus kemudian, semua peralatan kembali ditata, siap untuk digunakan. Rencananya, untuk episode I-III, kami akan mengambil gambar di kawasan ini. Selain karena viewnya memang indah, intensitas cahaya matahari cukup mendukung, jadi gak perlu lighting tambahan.
Setahap demi setahap, pengambilan gambar berjalan mulus. Dari sisi teknis presenting, gak banyak masalah. Ternyata presenter dadakan –baca: namanya yeri- ini, cukup lihai membawakan satu demi satu lead –pendahuluan- yang dibuat. Penjiwaan dan vokalnya yang bulat turut memperkuat karakter presenter yang dibutuhkan program ini. Hanya sedikit masalah teknis yang kerap mendera, seperti: suara orang lalu lalang, suara riuh buruh bangunan, dan deru kendaraan.
Tak terasa, pukul 13.45 wib menjadi akhir cerita di resort ini. Di sebuah pojokan bungalow, tepatnya disamping kolam, pengambilan gambar untuk episode III berakhir sudah. Lega rasanya, melihat beban sedikit terkurangi. Kini, tinggal 3 episode lagi, menanti di sebuah tempat yang berbeda.
@!@!@!@!
Sejenak, perut yang sedari tadi keroncongan minta segera diisi. Sebuah rumah makan, -yang aku gak tahu namanya- menjadi persinggahan selanjutnya. 20 menit waktu yang kami habiskan ditempat itu, menikmati aneka hidangan yang tersaji. Ah, akhirnya stamina yang mulai redup kini fit lagi, siap untuk tantangan berikutnya.
Selanjutnya, iring-iringan kami melaju membelah jalan-jalan kota Bandung yang berdebu, berlomba dengan derap langkah di trotoar, dan arah matahari yang mulai condong ke barat. Tujuan berikutnya, adalah “Beverly Hill’s”, sebuah kompleks hunian mewah di utara Bandung, tepatnya di Ci-situ, dekat kawasan terkenal, “Dago”.
Setelah permisi dengan pengelola gedung, kembali kami harus bergelut dengan aneka kabel dan seabrek peralatan yang telah terpacking rapi. Sedetik kemudian, di sebuah rumah yang ditawarkan, semua peralatan mulai digelar lagi, siap tuk digunakan. Kini, tinggal menunggu aksi presenter dadakan.
Sama seperti di Villa Air tadi, sang presenter masih terlihat luwes membawakan beberapa buah lead. Tak tampak kecanggungan di wajahnya, seperti pagi tadi. “Mungkin karena sudah terbiasa dan merasa akrab dengan para kru, kali”, gumankku lirih.
Kalo tadi, yang jadi kendala adalah soal teknis. Kini, masalah yang sama pun muncul kembali. Intensitas matahari yang berubah drastis, salah satunya. Untuk masalah ini, mau gak mau, kita harus mutar otak. Pemilihan lokasi indoor disepakati menjadi solusinya. Hanya saja, ruang yang terlalu sempit dengan background yang flat (baca: datar), menjadi permasalahan selanjutnya. Untungnya, sekali lagi, dengan sigap kita (baca: kru) bisa memecahkan halangan itu.
Lepas dari satu lokasi, kita pindah ke lokasi berikutnya. Kali ini, kolam renang menjadi pilihan. Tata lampu yang ditawarkan tempat ini, menjadi daya tarik tersendiri yang sayang untuk dilewatkan. Seperti sudah dibayangkan, tak banyak rintangan yang menghalang, selain audio di luar yang cukup kencang. Lagi-lagi, untuk masalah ini, kita harus pintar-pintar cari penyelesaian. And, akhirnya semua berjalan mulus.
Kini, tinggal satu episode lagi. Rencananya, ruang kafe yang ada di pojokan tempat ini menjadi option terakhir. Mungkin, karena sudah terlalu lelah, banyak teman-teman yang mulai terlihat lesu. Maklum, sepertinya kita sudah bekerja sejak pagi tadi tanpa istirahat, kecuali makan. Kembali dengan semangat penghabisan, kami harus menuntaskan misi hari itu.
Ya, sedikit demi sedikit, sebuah kerja keras mulai membuahkan hasil. Satu persatu segmen -yang terlihat membosankan- berhasil dilewati, berganti dengan segmen selanjutnya. Karena masih berada dalam satu ruangan, tak terlalu banyak halangan berarti. Kini, tinggal segmen terakhir yang agak membingungkan. Pasalnya, lokasi sedikit berubah yang berujung pada perpindahan alat.
Begitu tahu, ini adalah segmen terakhir. Sontak kawan-kawan bergairah kembali. Spirit baru langsung terpompa. Dengan semangat penghabisan, kami harus menuntaskan segmen terakhir malam itu. Akhirnya, semua kerja keras itu usai sudah, berganti dengan derai tawa.
@!@!@!@!
Keesokan harinya, aku masih belum sanggup bangkit dari pembaringan. Mungkin terlalu lelah dengan semua aktivitas itu. Sayup-sayup antara sadar dan tidak, sebuah tangan mulai mencengkram. Membangunkan tidur panjangku. “Bang, ayo berenang mumpung masih pagi. Ntar gak sempat lagi, kalo keburu pulang”, ujar seorang teman yang coba menyadarkanku. Rasanya, aku gak menggubris ajakan tadi. Tidur pulas masih lebih baik dibanding tawaran tadi. Sedetik kemudian, terdengar: Zzzzttss…..Zzzttss….Zzzttss….
Yup, di tempat ini kami akan melakukan pengambilan gambar (baca: taping) presenter sebuah acara stasiun televisi swasta. Seperti biasa, semua alat segera diturunkan. Masing-masing orang terlihat sibuk membawa setiap jenis barang. Peralatan seperti; kamera, lighting, audio, kabel dan monitor segera di pasang di tempat yang telah ditentukan, tepatnya di lantai tiga bangunan utama resort ini.
Tak lama berselang, semua telah stand by. Kini, tinggal menunggu sang presenter. Sedetik kemudian, produser mencoba membuka komunikasi lewat hp. Menghubungi presenter, yang tak tahu rimbanya, tapi hasilnya tetap saja nihil. Lama menunggu, ternyata kehadirannya belum menunjukkan tanda-tanda. Sampai tak terasa sudah dua jam lebih kami beradu dalam kebekuan. Sementara udara dingin membuat perut mulai bergemericing, minta segera diisi.
Usut punya usut, ternyata sang presenter gak bisa hadir, karena masih berada di Sentul. Disana dia terlibat kontrak dengan pihak lain, yang kami gak tahu sebelumnya. Untuk tanggal 5-7 September ini, harusnya dia sudah tahu, kalau hari itu kita ada taping. Pasalnya, semalam dia sudah dihubungi untuk konfirmasi kebersediaannya. Dan, dia pun menyanggupi. Tapi ntah mengapa dia mengingkari kesepakatan itu, dengan alasan masih ada sisa waktu esok. Nah, dengan pertimbangan itu, akhirnya dia menerima tawaran lain. Sementara untuk jadwal taping, dibutuhkan perencanaan yang sangat matang. Sebab penentuan hari, kru dan peminjaman alat, ternyata memang gak gampang. Sepatutnya dia bisa menolak jadwal syuting di tempat lain, ketika berbenturan dengan skedul taping.
Melihat itu, mau gak mau kita harus mutar otak, gimana caranya agar taping tetap berjalan. Sebab kalo sampai batal, hancur deh semuanya. Mulai dari jadwal, tempat, sampai uang spj (baca: uang tugas luar kota) pasti gak mungkin sampai di genggaman. Akhirnya, mencari presenter dadakan untuk di casting, menjadi sebuah solusi. Mulailah tiap-tiap orang mengundang kenalan mereka, dengan harapan semoga layak jadi presenter untuk membawakan program tersebut.
Dari beberapa orang yang ikut, kayaknya sang produser –yang sedari tadi terlihat khusyuk mengamati gestur dan vokal para kontestan (baca: yang ikutan casting)- masih merasa belum ada yang cocok. Padahal sudah 4 jam lebih waktu yang terbuang untuk kegiatan ini.
Kini, tinggal sedikit waktu dan kesempatan yang tersisa. Satu-satunya harapan yang ada hanya mengandalkan kenalan teman koresponden Bandung. Kabarnya, dia punya teman yang dianggap cocok untuk membawakan acara tersebut. Dan, waktu bertemu tinggal malam ini.
@!@!@!@!
Keesokan harinya, saat semburat sang fajar menyala merah di ufuk timur, kami sudah berbenah lagi. Rasanya, istirahat malam tadi masih saja kurang. Pasalnya tidur yang kemalaman plus udara dingin begitu menusuk tulang. Sejurus kemudian, semua peralatan kembali ditata, siap untuk digunakan. Rencananya, untuk episode I-III, kami akan mengambil gambar di kawasan ini. Selain karena viewnya memang indah, intensitas cahaya matahari cukup mendukung, jadi gak perlu lighting tambahan.
Setahap demi setahap, pengambilan gambar berjalan mulus. Dari sisi teknis presenting, gak banyak masalah. Ternyata presenter dadakan –baca: namanya yeri- ini, cukup lihai membawakan satu demi satu lead –pendahuluan- yang dibuat. Penjiwaan dan vokalnya yang bulat turut memperkuat karakter presenter yang dibutuhkan program ini. Hanya sedikit masalah teknis yang kerap mendera, seperti: suara orang lalu lalang, suara riuh buruh bangunan, dan deru kendaraan.
Tak terasa, pukul 13.45 wib menjadi akhir cerita di resort ini. Di sebuah pojokan bungalow, tepatnya disamping kolam, pengambilan gambar untuk episode III berakhir sudah. Lega rasanya, melihat beban sedikit terkurangi. Kini, tinggal 3 episode lagi, menanti di sebuah tempat yang berbeda.
@!@!@!@!
Sejenak, perut yang sedari tadi keroncongan minta segera diisi. Sebuah rumah makan, -yang aku gak tahu namanya- menjadi persinggahan selanjutnya. 20 menit waktu yang kami habiskan ditempat itu, menikmati aneka hidangan yang tersaji. Ah, akhirnya stamina yang mulai redup kini fit lagi, siap untuk tantangan berikutnya.
Selanjutnya, iring-iringan kami melaju membelah jalan-jalan kota Bandung yang berdebu, berlomba dengan derap langkah di trotoar, dan arah matahari yang mulai condong ke barat. Tujuan berikutnya, adalah “Beverly Hill’s”, sebuah kompleks hunian mewah di utara Bandung, tepatnya di Ci-situ, dekat kawasan terkenal, “Dago”.
Setelah permisi dengan pengelola gedung, kembali kami harus bergelut dengan aneka kabel dan seabrek peralatan yang telah terpacking rapi. Sedetik kemudian, di sebuah rumah yang ditawarkan, semua peralatan mulai digelar lagi, siap tuk digunakan. Kini, tinggal menunggu aksi presenter dadakan.
Sama seperti di Villa Air tadi, sang presenter masih terlihat luwes membawakan beberapa buah lead. Tak tampak kecanggungan di wajahnya, seperti pagi tadi. “Mungkin karena sudah terbiasa dan merasa akrab dengan para kru, kali”, gumankku lirih.
Kalo tadi, yang jadi kendala adalah soal teknis. Kini, masalah yang sama pun muncul kembali. Intensitas matahari yang berubah drastis, salah satunya. Untuk masalah ini, mau gak mau, kita harus mutar otak. Pemilihan lokasi indoor disepakati menjadi solusinya. Hanya saja, ruang yang terlalu sempit dengan background yang flat (baca: datar), menjadi permasalahan selanjutnya. Untungnya, sekali lagi, dengan sigap kita (baca: kru) bisa memecahkan halangan itu.
Lepas dari satu lokasi, kita pindah ke lokasi berikutnya. Kali ini, kolam renang menjadi pilihan. Tata lampu yang ditawarkan tempat ini, menjadi daya tarik tersendiri yang sayang untuk dilewatkan. Seperti sudah dibayangkan, tak banyak rintangan yang menghalang, selain audio di luar yang cukup kencang. Lagi-lagi, untuk masalah ini, kita harus pintar-pintar cari penyelesaian. And, akhirnya semua berjalan mulus.
Kini, tinggal satu episode lagi. Rencananya, ruang kafe yang ada di pojokan tempat ini menjadi option terakhir. Mungkin, karena sudah terlalu lelah, banyak teman-teman yang mulai terlihat lesu. Maklum, sepertinya kita sudah bekerja sejak pagi tadi tanpa istirahat, kecuali makan. Kembali dengan semangat penghabisan, kami harus menuntaskan misi hari itu.
Ya, sedikit demi sedikit, sebuah kerja keras mulai membuahkan hasil. Satu persatu segmen -yang terlihat membosankan- berhasil dilewati, berganti dengan segmen selanjutnya. Karena masih berada dalam satu ruangan, tak terlalu banyak halangan berarti. Kini, tinggal segmen terakhir yang agak membingungkan. Pasalnya, lokasi sedikit berubah yang berujung pada perpindahan alat.
Begitu tahu, ini adalah segmen terakhir. Sontak kawan-kawan bergairah kembali. Spirit baru langsung terpompa. Dengan semangat penghabisan, kami harus menuntaskan segmen terakhir malam itu. Akhirnya, semua kerja keras itu usai sudah, berganti dengan derai tawa.
@!@!@!@!
Keesokan harinya, aku masih belum sanggup bangkit dari pembaringan. Mungkin terlalu lelah dengan semua aktivitas itu. Sayup-sayup antara sadar dan tidak, sebuah tangan mulai mencengkram. Membangunkan tidur panjangku. “Bang, ayo berenang mumpung masih pagi. Ntar gak sempat lagi, kalo keburu pulang”, ujar seorang teman yang coba menyadarkanku. Rasanya, aku gak menggubris ajakan tadi. Tidur pulas masih lebih baik dibanding tawaran tadi. Sedetik kemudian, terdengar: Zzzzttss…..Zzzttss….Zzzttss….
No comments:
Post a Comment