Sudah satu jam lebih, kami beputar-putar di sebuah kawasan, yang terkenal dengan nama “Taman Puring”. Letaknya sangat strategis dan mudah dijangkau, berada di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Tempat ini begitu familiar bagi mereka-mereka yang hobi berburu barang bekas (baca: barang-barang langka nan unik) dengan harga murah. Untuk sebuah barang, selain harus teliti, proses tawar-menawarnya jadi keunikan tersendiri. Pasalnya, harga yang ditawarkan biasanya sangat tinggi. Untuk itu kita harus bisa menaksir setengah harga, kalau gak mau tertipu.
Jujur, di tempat ini, aku gak berencana untuk belanja. Abis, uang di saku lagi cekak. Rencananya, teman-teman pergi kesini untuk survey tempat liputan. Sementara aku, yang sedari tadi bosan di kantor, merasa tertantang saat tawaran itu datang. Hitung-hitung bisa memecahkan kejenuhan .
Sejurus kemudian kami terbagi dua kelompok. Yang perempuan sibuk dengan pencariannya sendiri, sementara kami masih belum punya arah pasti. Sepertinya, hanya oji –salah seorang teman-, yang punya hajat ditempat ini. Abis, dia berencana mengganti sepatu bututnya dengan yang baru.
Jujur, di tempat ini, aku gak berencana untuk belanja. Abis, uang di saku lagi cekak. Rencananya, teman-teman pergi kesini untuk survey tempat liputan. Sementara aku, yang sedari tadi bosan di kantor, merasa tertantang saat tawaran itu datang. Hitung-hitung bisa memecahkan kejenuhan .
Sejurus kemudian kami terbagi dua kelompok. Yang perempuan sibuk dengan pencariannya sendiri, sementara kami masih belum punya arah pasti. Sepertinya, hanya oji –salah seorang teman-, yang punya hajat ditempat ini. Abis, dia berencana mengganti sepatu bututnya dengan yang baru.
Letaknya yang melebar dengan posisi kios yang berhadap-hadapan, cukup menyulitkan kami untuk melakukan penyisiran berburu barang yang diingini. Kita sedikit kewalahan, tak tahu harus memulai dari sebelah mana. Untungnya oji cukup kenal kawasan ini. “…..dari sebelah sini aja bang, ntar baru ke sana”, tuturnya merujuk pada sebuah pojokan.
Setelah lelah berkeliling, akhirnya oji mendapatkan barang yang dicari. Sebuah sepatu treking bermerek “HEAD”. Ntah kenapa dia tergila-gila dengan merek ini, padahal kualitasnya masih kurang baik. Pasalnya, aku juga punya sepatu sejenis. Hanya kurun waktu tak terlalu lama (baca; tak sampai setahun), sepatuku sudah mengalami kerusakan di beberapa sisinya. Jadi, kupikir-pikir sepatu itu gak kuat bagi seorang pejalan kaki sepertiku.
Tapi cerita seru perburuan sepatu tadi tak selesai sampai disitu. Setelah membeli sepatu HEAD seri 100 berwarna coklat, ia masih belum puas. Pasalnya, ukuran yang dibeli tadi ternyata tak sesuai kesepakatan. Harusnya dia mendapatkan ukuran 41, bukan nomor 39. Mungkin karena terlalu serius dalam menawar, oji gak memperhatikan ukuran sepatu yang dibungkus. Untungnya kesedihan itu tak berlangsung lama. Disebuah lorong sempit yang agak menjorok ke selatan, terdapat sebuah kios kecil yang menjajakan aneka jenis sepatu. Ditempat inilah kami menawarkan sepatu yang baru di beli tadi untuk di tukar tambah. Dengan alasan, bahwa sepatu ini masih baru plus nomor dan modelnya yang gak pas di hati. Oji pun mulai meyakinkan si penjual. Karena sepatu tersebut memang masih baru, si pedagang pun sepakat untuk menukarnya, dengan syarat harus menambah Rp. 20.000 saja. Bedanya, HEAD yang satu ini serinya 500 berwarna hitam dengan ukuran 41 yang cocok untuk ukuran kakinya. “Nah, ini dia nih bang, yang aku cari, warna dan modelnya keren bangat!”, ucapnya dengan raut muka sumringah.
Sejurus kemudian, kami mulai berkeliling lagi. Rasanya ini jadi akhir perburuan. Kini, tinggal mencari teman-teman yang sempat terpencar tadi. Kembali menyusuri satu persatu lorong-lorong sempit dengan riuhnya pembeli dan penjual yang berkumpul jadi satu. Tapi, tak satupun dari mereka yang berhasil kami temui. Bahkan, Fery dan driver yang sedari tadi selalu bersama, kini tak kelihatan batang hidungnya. Ntah dimana mereka kini?
Tak terasa, setiap sudut sudah kami telusuri. Kini, tinggal lantai dua yang belum terjamah. Awalnya kami tak terlalu tertarik naik ke atas, karena kebanyakan adalah penjual kaset dan piringan hitam bekas. Tiba-tiba, sebuah tempelan kertas yang tertera di pojok tangga begitu mengusik keingintahuanku.
“Ada jual buku bekas”, begitu tulisan yang tertera di kertas kumal itu. Berhubung aku sangat tergila-gila dengan benda yang namanya buku, tanpa memandang jenis dan judul. Aku begitu bersemangat. Seperti ada energi baru yang merasuk tubuh ini. Memaksa untuk melihat koleksi buku bekas, yang dijual oleh satu-satunya pedagang buku di tempat itu. Untungnya, oji masih berbaik hati menemani.
@@@@@
Setiba di tempat itu. Lagi-lagi aku gak berencana untuk membeli buku. Pasalnya, uang yang kumiliki sangat terbatas. Belum lagi masih ada 2 mulut yang harus diberi makan. Ya, merekalah istri dan bubu anakku. Rasanya uang 200 ribu yang kumiliki sekarang, takkan cukup sampai akhir bulan. Mungkin banyak yang gak menyangka, bagaimana aku bisa bertahan hidup sampai hari ini. Sungguh, itu semua karena kasih anugrah-Nya. Even selalu kekurangan, selalu saja Dia yang diatas sana, mencukupi kebutuhan kami. Mujizat selalu menjadi pemecahan masalah, membuat kami begitu terheran-heran. Dan, jika itu terjadi, hanya ucapan syukur yang sepadan membalas keajaiban tadi. Ternyata rancangan-Nya sangat luar biasa. Itu yang membuatku tak pernah khawatir dengan hidup ini. Sebab Dia menjaga dan memelihara kami dengan kekayaan-Nya. (Maaf, agak melankolis!)
Puas melihat-lihat koleksi buku yang ditawarkan. Tiba-tiba terbersit hasrat tuk membeli beberapa buah buku. Tapi, kupikir-pikir uangku pasti akan berkurang lagi. Gimana neh?
“Asmat”, itulah buku yang menarik perhatianku dari awal. Pasalnya buku jenis ini sangat langka, dan kalaupun ada, harganya pasti selangit. Saat kutanya berapa harganya, si pedagang langsung mematok harga 15 ribu rupiah. Sebenarnya lumayan murah sih! Tapi, bagi orang yang gak punya uang, seberapapun murahnya. Hal itu tetap saja jadi harga yang termahal.
Sejurus kemudian aku mulai melirik sekumpulan novel bekas yang ditawarkan. Ada banyak novel bagus disana. Mulai dari versi Inggeris, terjemahan Indonesia, sampai beberapa novel karya penulis Indonesia. “Dua Ibu”, karya Arswendo Atmowiloto, menjadi salah satu buku yang menarik minatku. Selain bukunya ringkas dan enak di pegang, ceritanya juga menarik, walau temanya cukup umum. Sepertinya, aku ingin membeli buku ini. Tapi, ntar aja deh!
Periksa punya periksa, sebuah novel terjemahan kembali menarik hasrat berburuku. “Mission Impossible”, demikian judul depannya. Kondisi buku yang masih baru plus cerita yang unik, karena ada banyak ketegangan disana. Kembali meretas rasa dahagaku. Tapi, lagi-lagi aku semakin pusing. Pingin membeli, sementara uangnya terbatas.
Setelah lelah berkeliling, akhirnya oji mendapatkan barang yang dicari. Sebuah sepatu treking bermerek “HEAD”. Ntah kenapa dia tergila-gila dengan merek ini, padahal kualitasnya masih kurang baik. Pasalnya, aku juga punya sepatu sejenis. Hanya kurun waktu tak terlalu lama (baca; tak sampai setahun), sepatuku sudah mengalami kerusakan di beberapa sisinya. Jadi, kupikir-pikir sepatu itu gak kuat bagi seorang pejalan kaki sepertiku.
Tapi cerita seru perburuan sepatu tadi tak selesai sampai disitu. Setelah membeli sepatu HEAD seri 100 berwarna coklat, ia masih belum puas. Pasalnya, ukuran yang dibeli tadi ternyata tak sesuai kesepakatan. Harusnya dia mendapatkan ukuran 41, bukan nomor 39. Mungkin karena terlalu serius dalam menawar, oji gak memperhatikan ukuran sepatu yang dibungkus. Untungnya kesedihan itu tak berlangsung lama. Disebuah lorong sempit yang agak menjorok ke selatan, terdapat sebuah kios kecil yang menjajakan aneka jenis sepatu. Ditempat inilah kami menawarkan sepatu yang baru di beli tadi untuk di tukar tambah. Dengan alasan, bahwa sepatu ini masih baru plus nomor dan modelnya yang gak pas di hati. Oji pun mulai meyakinkan si penjual. Karena sepatu tersebut memang masih baru, si pedagang pun sepakat untuk menukarnya, dengan syarat harus menambah Rp. 20.000 saja. Bedanya, HEAD yang satu ini serinya 500 berwarna hitam dengan ukuran 41 yang cocok untuk ukuran kakinya. “Nah, ini dia nih bang, yang aku cari, warna dan modelnya keren bangat!”, ucapnya dengan raut muka sumringah.
Sejurus kemudian, kami mulai berkeliling lagi. Rasanya ini jadi akhir perburuan. Kini, tinggal mencari teman-teman yang sempat terpencar tadi. Kembali menyusuri satu persatu lorong-lorong sempit dengan riuhnya pembeli dan penjual yang berkumpul jadi satu. Tapi, tak satupun dari mereka yang berhasil kami temui. Bahkan, Fery dan driver yang sedari tadi selalu bersama, kini tak kelihatan batang hidungnya. Ntah dimana mereka kini?
Tak terasa, setiap sudut sudah kami telusuri. Kini, tinggal lantai dua yang belum terjamah. Awalnya kami tak terlalu tertarik naik ke atas, karena kebanyakan adalah penjual kaset dan piringan hitam bekas. Tiba-tiba, sebuah tempelan kertas yang tertera di pojok tangga begitu mengusik keingintahuanku.
“Ada jual buku bekas”, begitu tulisan yang tertera di kertas kumal itu. Berhubung aku sangat tergila-gila dengan benda yang namanya buku, tanpa memandang jenis dan judul. Aku begitu bersemangat. Seperti ada energi baru yang merasuk tubuh ini. Memaksa untuk melihat koleksi buku bekas, yang dijual oleh satu-satunya pedagang buku di tempat itu. Untungnya, oji masih berbaik hati menemani.
@@@@@
Setiba di tempat itu. Lagi-lagi aku gak berencana untuk membeli buku. Pasalnya, uang yang kumiliki sangat terbatas. Belum lagi masih ada 2 mulut yang harus diberi makan. Ya, merekalah istri dan bubu anakku. Rasanya uang 200 ribu yang kumiliki sekarang, takkan cukup sampai akhir bulan. Mungkin banyak yang gak menyangka, bagaimana aku bisa bertahan hidup sampai hari ini. Sungguh, itu semua karena kasih anugrah-Nya. Even selalu kekurangan, selalu saja Dia yang diatas sana, mencukupi kebutuhan kami. Mujizat selalu menjadi pemecahan masalah, membuat kami begitu terheran-heran. Dan, jika itu terjadi, hanya ucapan syukur yang sepadan membalas keajaiban tadi. Ternyata rancangan-Nya sangat luar biasa. Itu yang membuatku tak pernah khawatir dengan hidup ini. Sebab Dia menjaga dan memelihara kami dengan kekayaan-Nya. (Maaf, agak melankolis!)
Puas melihat-lihat koleksi buku yang ditawarkan. Tiba-tiba terbersit hasrat tuk membeli beberapa buah buku. Tapi, kupikir-pikir uangku pasti akan berkurang lagi. Gimana neh?
“Asmat”, itulah buku yang menarik perhatianku dari awal. Pasalnya buku jenis ini sangat langka, dan kalaupun ada, harganya pasti selangit. Saat kutanya berapa harganya, si pedagang langsung mematok harga 15 ribu rupiah. Sebenarnya lumayan murah sih! Tapi, bagi orang yang gak punya uang, seberapapun murahnya. Hal itu tetap saja jadi harga yang termahal.
Sejurus kemudian aku mulai melirik sekumpulan novel bekas yang ditawarkan. Ada banyak novel bagus disana. Mulai dari versi Inggeris, terjemahan Indonesia, sampai beberapa novel karya penulis Indonesia. “Dua Ibu”, karya Arswendo Atmowiloto, menjadi salah satu buku yang menarik minatku. Selain bukunya ringkas dan enak di pegang, ceritanya juga menarik, walau temanya cukup umum. Sepertinya, aku ingin membeli buku ini. Tapi, ntar aja deh!
Periksa punya periksa, sebuah novel terjemahan kembali menarik hasrat berburuku. “Mission Impossible”, demikian judul depannya. Kondisi buku yang masih baru plus cerita yang unik, karena ada banyak ketegangan disana. Kembali meretas rasa dahagaku. Tapi, lagi-lagi aku semakin pusing. Pingin membeli, sementara uangnya terbatas.
Cerita ini pun belum berhenti sampai disini. Sebuah buku berbentuk majalah, tergantung bersama majalah lain. Buku itu berisi essay foto beberapa fotografer tentang banjir yang melanda Jakarta beberapa tahun lalu. “Gile, fotonya dahsyat banget”, gumanku membathin. Lagi-lagi mengusik akal sehatku. Merayu tuk segera memilikinya.
Minat yang sangat besar terhadap dunia fotografi, membuatku selalu tertarik mengoleksi buku-buku fotografi. Abis, dulunya aku pernah berkecimpung di dunia itu. Walau bukan fotografer handal, aku masih bisa memotret dan mencetak foto secara manual dengan baik.
Itu semua buku yang mengusik akal sehatku, memanggil tuk segera memiliki. “Harganya 30 ribu aja, mas!”, ucap pedagang itu. Untuk buku bekas, aku pikir harganya masih terlalu mahal. Lagian, belum tentu akan kubeli.
Karena kalah malu jika tak membeli. Arah pembicaraan pun mulai beralih. Secara tak sengaja, dia (baca: pedagang) mengatakan berasal dari Medan, sama denganku. Sebuah celah, pikirku! Usut punya usut, ternyata rumahnya tak terlalu jauh dari ex rumahku dulu. Tepatnya di Pasar II, Medan Timur, sedangkan rumahku ada di Pasar I.
Mungkin karena unsur kedaerahan ini, lama-kelamaan sikapnya jadi lunak. Sukunya, yang sama-sama Batak seperti diriku, turut membuat jarak semakin dekat. Akhirnya harga 20 ribu disepakati untuk 3 buah buku yang telah kupilih tadi. Hanya buku essay foto yang gak jadi kuambil. Dan, eng ing eng…, akhirnya uangku semakin berkurang. Kini, si penyambung nyawa telah tergadai demi beberapa buah buku. Dasar penggila buku! Abis, udah lama nawar plus ngobrol, kalau kagak beli, gak asyik, kali! Yuuukkk…!!! Lagian, ntar rejeki pasti datang juga. Semoga!
Ternyata, unsur lokalitas membuat seseorang merasa akrab dengan yang lain, jika berada di tempat yang jauh, seperti Jakarta. Persis seperti yang kualami kini. Hanya karena satu suku dan berasal dari satu daerah, kami pun terlihat semakin akrab, berujung pada harga yang lebih murah. Hal yang aneh, tapi masuk akal, kan!
No comments:
Post a Comment