(source: https://boemimahardika.files.wordpress.com) |
"Hari ini kami upacara, berdoa, dan
bercerita. Saya bilang ke teman-teman, masih semangat atau sudah kendor?
Katanya nggak. Sudah pengen dibongkar atau nggak? Katanya kalau belum
ketemu Pak Jokowi, belum mau dibongkar,"
--Gunarti, warga asal Kabupaten Pati,
Jawa Tengah
Sepekan
sudah para petani asal Kendeng, melakukan aksi menyemen kaki mereka di depan
Istana Kepresidenan. Petani yang melakukan penolakan pabrik semen di Rembang,
Jawa Tengah itu tidak akan pulang sebelum bertemu Presiden Joko Widodo
Ketika
aksi “Dipasung Semen Jilid II” itu dimulai pertama kali pada Senin, 13 Maret
2017, hanya diikuti oleh 10 petani yang kebanyakan perempuan. Aksi tersebut
dilakukan hingga Jumat lalu, 17 Maret 2017. Warga yang berdatangan pun telah
mencapai 50-an orang, baik perempuan dan laki-laki yang kakinya dipasung semen.
Aksi
yang memunculkan tagar #dipasungsemen2 didukung sejumlah LSM, seperti: Komnas
HAM, Komnas Anti Kekerasan terhadap Perempuan, dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH).
Selama aksi, mereka menginap di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang juga
kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Jakarta Pusat.
Di
tempat itu, para petani perempuan yang dipasung semen menempati dua ruangan,
yakni ruang Mochtar Lubis dan PK Ojong. Sedangkan para pria berselonjor atau
duduk dengan kursi di ruang tengah.
Mereka tetap bisa makan, tidur, dan ke kamar mandi. Mereka dibantu para warga Kendeng lainnya. Tak ketinggalan anggota komunitas lain turut peduli. Mereka akan tetap melakukan aksi pasung semen hingga Presiden Jokowi menemui mereka. Sayangnya hingga tulisan ini dibuat permintaan tersebut belum terwujud.
Semen Indonesia Hentikan
Penambangan Sementara
Pada
Senin, 20 Maret 2017, pihak istana akhirnya memanggil perwakilan PT Semen
Indonesia terkait penolakan masyarakat Kendeng dengan didirikannya pabrik
semen. Dalam pertemuan itu pemerintah dan pihak PT Semen Indonesia menyepakati
beberapa hal.
Pertama,
PT Semen Indonesia menghentikan sementara proses penambangannya. Kedua, pihak
PT Semen Indonesia akan melakukan perbaikan terhadap jalan-jalan yang rusak
akibat alat-alat berat mereka di sana. Ketiga, rencana peresmian pabrik akan
ditunda dulu.
Saat
ini, pemerintah di bawah Kementerian LHK dan tim independen juga tengah
menyelesaikan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan akan selesai pada
akhir bulan ini. Hasil KLHS nantinya akan dibicarakan dengan Kementerian
BUMN, PTSI, KLHK, dan Pemda setempat sebagai data awal.
Pemerintah
diwakili kepala staf kepresidenan RI, Teten Masduki, kepada wartawan di Istana
Negara menginginkan hasil pertemuan itu disampaikan ke masyarakat Kendeng,
dengan harapan aksi pasung semen yang telah dilakukan seminggu itu berhenti
sejenak, hingga hasil KLHS keluar.
Pemerintah
juga harus meninjau aspek lain apabila terjadi persoalan baru. Meski pabrik
telah dibangun, kesepakatan dengan Presiden Joko Widodo terkait wilayah yang
akan di KLHS adalah kawasan tambang, bukan pabrik semennya.
Sebelumnya, Menteri BUMN Rini Soemarno
telah meninjau pabrik Semen Indonesia di Rembang, didampingi Direktur Utama PT
Semen Indonesia Rizkan Chandra, Direktur Utama Bank Mandiri, Kartika
Wirjoatmodjo dan Direktur Utama BNI Achmad Baiquni.
"Persis tanggalnya belum ditentukan,
tetapi kami optimis pada April 2017. Saya akan laporkan kunjungan saya ini ke
Bapak Presiden dan mengusulkan bagaimana kita dapat mengoperasikan ini,"
ujar Rini seperti dikutip dari Tempo, 17 Maret 2017.
Selama ini, pembangunan tambang semen terus berlangsung. Ketika perusahaan kalah, tetiba investasi Rp 5 triliun selalu
disebut-sebut sebagai alasan agar pabrik dan tambang beroperasi. Padahal, soal
investasi Rp 5 triliun, merupakan risiko perusahaan ketika berhadapan dengan
hukum. Angka Rp 5 triliun tak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan.
Seolah kepentingan pengusaha lebih tinggi
dibanding kepatuhan terhadap hukum dan keselamatan warga pegunungan
Kendeng. Kesungguhan warga Kendeng mempertahankan ruang hidupnya dan mata
pencahariannya sebagai petani seharusnya yang patut didukung.
Jalan Panjang
Sejauh ini hukum masih berpihak kepada
para petani di pegunungan Kendeng Jawa Tengah. Pasalnya, Mahkamah Agung (MA)
mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) para petani dan Walhi (Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia) 5 Oktober 2016 lalu.
Dalam
amar putusannya, MA membatalkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah yang
dikeluarkan pada 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT
Semen Gresik Tbk, di Kabupaten Rembang.
Kemenangan
petani Kendeng itu tidak diperoleh dengan mudah. Warga pegunungan Kendeng yang tidak
terima dengan pembangunan pabrik semen di wilayah mereka melakukan penolakan
dengan tidak mengenal lelah. Alasannya, pembangunan pabrik semen akan menggerus
sumber air mereka.
Usai
melakukan berbagai unjuk rasa, para petani Kendeng menempuh jalur hukum. Bersama
Walhi, mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Semarang untuk membatalkan SK Gubernur Jateng terkait izin lingkungan
penambangan pabrik semen. PTUN Semarang menolak gugatan itu.
Para
petani dan Walhi lalu mengajukan banding ke PT TUN Surabaya. Upaya banding ini
juga ditolak. Tak gentar, mereka mengajukan kasasi ke MA. Sayangnya, kasasi itu
ditolak MA.
Pada
2 Agustus 2016, petani Kendeng dan Walhi mengambil langkah PK setelah menemukan
bukti baru. PK inilah yang dikabulkan MA pada awal Oktober 2016. Putusan
bernomor 99 PK/TUN/2016 itu, membatalkan SK Gubernur Jawa Tengah No.
660.1/17/2012 bertanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan
Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk.
Sekilas,
putusan MA tersebut akan membuat investor khawatir karena akan memberikan ketidakpastian
iklim investasi. Akibatnya muncul banyak dukungan agar pabrik semen diteruskan,
meskipun akan merusak lingkungan.
Kekhawatiran
munculnya persepsi tentang ketidakpastian iklim investasi makin berkembang
ketika dalih pembangunan pabrik semen sudah mencapai 95 persen terus dikumandangkan.
Bahkan presiden akan meresmikannya pada April tahun ini.
Petani
Kendeng yang membaca gelagat adanya upaya pengabaian putusan PK MA itu,
kemudian mengorganisasi diri dengan melakukan aksi long march. Ratusan petani
dari pegunungan Kendeng itu berjalan kali sejauh 150 kilometer dari Rembang
menuju Semarang untuk bertemu Gubernur Jawa Tengah, Gandjar Pranowo.
Dalam
aksinya, para petani ingin mendorong Gubernur Jateng untuk tidak ragu melaksanakan
putusan MA. Namun, sesampai di kantor gubernur, para petani tidak bisa bertemu gubernur,
karena Gandjar sedang di Riau.
Di tempat itu, para petani mendapatkan informasi yang mengejutkan.
Siswolaksono, Asisten I Sekda yang menemui para petani, menyebutkan izin
lingkungan baru untuk luasan area yang lebih kecil telah dikeluarkan pada 9
November 2016. Pernyataan itu membuat petani kecewa.
Uniknya, Gandjar membantah mengeluarkan izin lingkungan baru. Ia berkilah, SK baru
tersebut hanyalah laporan Rencana Pengelolaan Lingkungan/Rencana Pemantauan
Lingkungan yang rutin. Meski judul SK bernomor 660.1/30 Tahun 2016 itu
jelas-jelas menyebut kata "izin"di dalamnya.
Berdasarkan
penelusuran beberapa media ditemukan SK tersebut memuat sejumlah
perubahan, yakni, berubahnya nama PT Semen Gersik Tbk menjadi PT Semen
Indonesia Tbk, area penambangan, perubahan jalan, dan lainnya. Selain itu,
terdapat izin “operasional” pabrik semen berkapasitas 3 juta ton per tahun di
Desa Kajar dan Desa Pasucen, Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang.
Sedangkan
di SK lama, hanya memberikan izin
lingkungan kepada PT Semen Gresik (Persero) Tbk melakukan kegiatan penambangan
batu kapur, penambangan tanah liat, membangun pabrik, membangun
jalan produksi, dan membangun jalan tambang. Tidak ada penyebutan izin "operasi".
Kepala
BLH Provinsi Jawa Tengah, Agus Sriyanto, dikutip dari beritagar memastikan jika
SK baru itu menjadi sinyal bagi pabrik semen melanjutkan kegiatan
operasional. Bahkan, SK baru itu, tidak membutuhkan dokumen amdal (Analisa
Mengenai Dampak Lingkungan) terbaru.
Putusan
PK MA yang terbit pada 5 Oktober 2016, menjadi alasan ketika Gandjar mengaku
baru menerima putusannya pada 17 November 2016. Itu sebabnya ia sempat mengeluarkan
izin baru pada 9 November 2017. Gandjar
bahkan memastikan pembangunan pabrik semen akan tetap berjalan, karena Keputusan
MA tidak mencakup penutupan pabrik.
Bagi
orang awam, seperti saya, kehadiran SK baru itu sulit untuk diabaikan dengan
menyebut bahwa pembangunan pabrik atau tambang semen tidak akan berlanjut. SK
itu jelas-jelas menjadi celah bagi pabrik semen untuk melanjutkan aktivitasnya,
meski ada masyarakat yang akan kehilangan sumber airnya. Kehilangan lingkungan asli
mereka.
Jika
kondisinya demikian, maka akan muncul ketidakpastian hukum bagi masyarakat
pegunungan Kendeng. Dan jika persoalan utamanya adalah soal investasi, maka
seringkali iklim investasi membutuhkan kepastian hukum, bukan?
Pada
kondisi ini, masyarakat Kendeng yang kembali jadi korban demi dalih investasi.
Demi dalih pembangunan tanpa pernah memperhitungkan dampak lingkungan. Lalu
adakah yang bisa memastikan, jika Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang
sedang dikerjakan pemerintah saat ini akan berpihak pada masyarakat Kendeng?
Ntahlah...
Hanya pemerintah dan Tuhan yang tahu. (jacko agun)
No comments:
Post a Comment