Tampilkan postingan dengan label orangutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label orangutan. Tampilkan semua postingan

Kamis, Juli 22, 2010

Populasi Orangutan di SM Siranggas dan HL Batu Ardan: 267 Individu


Tim survey orangutan yang difasilitasi oleh Orangutan Conservation Services Program (OCSP) memperkirakan total populasi orangutan Sumatera di Suaka Margasatwa (SM) Siranggas dan Hutan Lindung (HL) Batu Ardan tinggal 267 individu, masing-masing 156 individu di HL Batu Ardan dan 111 di SM Siranggas. Keduanya berada di wilayah Kabupaten Dairi dan Pakpak Barat, Propinsi Sumatera Utara.

“Informasi dari hasil survey ini berguna bagi rencana tata ruang daerah yang digagas oleh OCSP bersama pemerintah daerah sebagai bagian dari revisi TRWK. Terutama keterkaitan HL Batu Ardan (Dairi – Pakpak Barat) dan SM Siranggas merupakan daerah yang berhubungan atau berpotensi menjadi koridor peghubung dengan area MCV yang dibangun oleh OCSP – Konsorsium Pusaka”, uajr Deputy Chief of Party OCSP Jamartin Sihite.

Survey populasi dan distribusi orangutan Sumatera (Pongo abelii) di HL Batu Ardan (Register 66) dan SM Siranggas (Register 70) dilaksanakan pada tangal 24 Januari – 22 Februari 2009 meliputi 7 lokasi pengamatan di desa, yaitu: Bongkaras dan Sempung Poling Kabupaten Dairi dan Simbruna, Perolihen, Malum, SM Siranggas Kabupaten Pakpak Barat.

Berdasarkan hasil survey ini, diusulkan adanya perluasan kawasan konservasi SM Siranggas menjadi 7.421 ha, melingkupi sebagian HL Batu Ardan dan HPT Deleng Sibudun. “Oleh karenanya, perlu dilakukan survey lanjutan distribusi dan populasi orangutan di kawasan yang masih berhubungan dengan HL Batu Ardan dan SM Siranggas yang belum pernah di survey sebelumnya, terutama daerah selatan SM Siranggas”, ungkap Sihite menambahkan, di sela-sela acara Workshop Membangun Relasi Konstruktif Jurnalis – NGO untuk konservasi Orangutan dan habitatnya , di Bogor, beberapa waktu lalu.

Metodelogi yang digunakan dalam survey hasil kerjasama OCSP, SOCP, BB KSDA Sumut dan Konsorsium Pusaka adalah metode jalur (transek) dengan mengukur dan menghitung kepadatan sarang serta parameter yang mendukung keberadaannya.

Tim survey yang di koordinir ahli orangutan S. Suci Utami Atmoko itu juga mencatat hutan tersebut ternyata memiliki 29 jenis mamalia, 16 diantaranya dilindungi, termasuk orangutan kritis, 115 jenis burung, 34 diantaranya dilindungi dan 19 jenis amphibi-reptilia. Kekayaan jenis ini memiliki potensi besar dalam mendukung kelestarian orangutan dan habitatnya di wilayah ini.

“Konversi lahan seperti perambahan, perkebunan sawit, tambang, jalan dan perburuan skala kecil adalah faktor yang paling menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup orangutan. Oleh karena itu perlu dilakukan peninjauan ulang mengenai tapal batas kawasan konservasi dan wilayah adat masyarakat setempat, tindak lanjut kegiatan yang komprehensif untuk melindungi orangutan di HL Batu Ardan dan SM Siranggas melalui pengelolaan bersama dengan masyarakat, pendidikan konservasi mengenai pentingnya pelestarian habitat dan satwa liar secara rutin kepada masyarakat, pengalihan kebiasaan masyarakat sebagai perambah melalui intensifikasi lahan yang berbasis pola pertanian lokal, ataupun pemandu ekowisata sebagai alternatif kegiatan”, pungkas Sihite (Jacko_Agun)

Sabtu, Juli 10, 2010

2015, Pelepasliaran Orangutan Terancam Gagal


Rencana pelepasliaran orangutan ke habitat aslinya pada tahun 2015, seperti yang tercantum dalam strategi dan rencana aksi konservasi nasional orangutan, kemungkinan besar terancam gagal. Jumlah populasi yang terus menyusut disertai carut marutnya pengelolaan tata ruang bagi orangutan masih menjadi kendala. Pasalnya, sekitar 70% habitat orangutan kebanyakan tidak berada di kawasan konservasi yang peruntukan kawasannya masih tumpang tindih.

Orangutan merupakan satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, sementara tiga kerabatnya, yaitu: golira, simpanse dan bonobo hidup di Afrika. Kurang dari 20.000 tahun lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di ujung selatan hingga ujung utara pegunungan Himalaya dan Cina bagian selatan.

Penyebab utama mengapa terjadi penyempitan daerah sebaran adalah ulah manusia dan orangutan menyukai tempat hidup yang sama, terutama dataran alluvial di sekitar aliran sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk aktivitas social, ekonomi dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi orangutan.

Para ahli primata sepakat untuk menggolongkan orangutan yang hidup di Sumatera sebagai Pongo abelli yang berbeda dengan Pongo pygmaeus yang menempati hutan-hutan rendah di Borneo. Dibandingkan dengan kerabatnya di Borneo, orangutan Sumatera menempati daerah sebaran yang lebih sempit.

“Orangutan di Sumatera hanya menempati bagian utara pulau itu. Mulai dari Timang Gajah, Aceh Tengah sampai Sitinjak di Tapanuli Selatan” ujar Sri Suci Utami Atmoko, salah seorang peneliti orangutan di sela-sela media briefing menghadapi International Workshop on Orangutan Conservation (IWOC) 2010.

Sementara itu, di Borneo orangutan dapat ditemukan di Sabah, Serawak dan hampir di seluruh hutan dataran rendah Kalimantan, keculai Kalimantan Selatan dan Brunai Darussalam. Orangutan di Borneo dikelompokkan ke dalam tiga anak jenis, yaitu: Pongo pygmaeus pygmaeus yang berada di di bagian utara Sungai Kapuas sampai ke timut laut Serawak, Pongo pymaeus wurmbill yang ditemukan mulai dari selatan Sungai Kapuas hingga bagian barat Sungai Barito, dan Pongo pygmaeus morio yang tersebar mulai dari Sabah hingga ke selatan mencapai Sungai Mahakam di Kalimantan Timur.

Orangutan dapat dijadikan “umbrella species” (spesies payung) untuk meningkatkan kesadaran konservasi masyarakat. “Kelestarian orangutan menjamin kelestarian hutan yang menjadi habitatnya, sehingga diharapkan kelestarian mahluk hidup lain ikut terjaga” tambah Suci.

Sebagai pemakan buah, orangutan merupakan agen penyebar biji yang efektif untuk menjamin regenerasi hutan. Orangutan juga sangat menarik dari sisi ilmu pengetahuan karena kemiripan karakter biologi satwa tersebut dengan manusia. Sebagai satu-satunya kera besar yang hidup di Asia, orangutan memiliki potensi menjadi ikon pariwisata untuk Indonesia.

Orangutan menyukai hutan hujan tropis dataran rendah sebagai tempat hidupnya, sehingga perlindungan ekosistem menjadi sangat penting untuk menjamin kelangsungan hidup satwa tersebut. Meskipun pemerintah telah membangun sistem kawasan konservasi seluas 6,5 juta hektar di Sumatera bagian utara dan Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, upaya pengelolaan kawasan hutan yang menjadi habitat orangutan di luar taman nasional dan cagar alam alam tidak kalah pentingnya.

“salah satu penyebab hilangya habitat orangutan adalah perencanaan tataruang yang kurang baik. Orangutan membutuhkan kawasan hutan yang ada sekarang ini tidak di konversi untuk penggunaan lain”, ungkap Jumartin Sihite, peneliti dari OCSP.

Pemanfaatan kawasan hutan, baik untuk industry kayu maupun pertanian, yang tidak memperhatikan prinsip kelestarian lingkungan terbukti berdampak sangat buruk bagi keberadaan orangutan. Konflik yang terjadi antara orangutan dan manusia diluar kawasan konservasi bahkan tidak jarang merugikan pihak pengusaha dan masyarakat.

Penyusutan dan kerusakan kawasan hutan dataran rendah yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan selama sepuluh tahun terakhir telah mencapai titik kritis yang dapat membawa bencana ekologis skala besar bagi masyarakat.

“Bagi orangutan, kerusakan kawasan hutan telah menurunkan jumlah habitat orangutan sebesar 1-1,5% per tahunnya di Sumatera. Sedangkan jumlah kehilangan habitat di Kalimantan mencapai 1, - 2% per tahunnya. Lebih tinggi jika dibandingkan dengan Sumatera” ujar Jumartin menambahkan.

Kerusakan hutan dan habitat orangutan di Kalimantan meyebabkan distribusinya menjadi terfragmentasi di kantong-kantong habitat (Revisi PHVA 2004) yang terisolir. Nasib orangutan juga diperburuk dengan ancaman perburuan dan dijadikan satwa peliharaan, bahkan sebagai sumber makanan bagi sebagian masyarakat. Kondisi yang sangat mengkhawatirkan tersebut telah menempatkan orangutan Kalimantan ke dalam kategori kritis/terancam punah (critically endangered) di dalam daftar merah UICN (2007), sebuah badan dunia yang memantau tingkat keterancaman jenis fauna secara global.

Meskipun terancam punah, tidak berarti masa depan primata itu lebih cerah dibandingkan kerabatnya di Sumatera. Hanya tindakan segera dan nyata dari semua pemangku kebijakan untuk melindungi orangutan di kedua pulau tersebut yang dapat menyelamatkan satu-satunya kera besar Asia dari ancaman kepunahan.

“penelitian menunjukkan bahwa 70% orangutan dijumpai diluar kawasan konservasi, kebanyakan di kawasan hutan produksi yang dikelola HPH/HTI ataupun hutan lindung. Selain itu orangutan juga banyak ditemukan di kawasan budidaya non kehutanan yang relatif lebih mudah di konversi ke penggunaan lain seperti; sawit dan pemukiman. Karena itulah kondisi orangutan utan seringkali terisolir” tandas Jumartin.

Kondisi orangutan yang sangat memprihatinkan mendorong para peneliti, pelaku konservasi, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencari solusi terbaik yang dapat menjamin keberadaan primata itu di tengah upaya negara menyejahterahkan masyarakatnya. Serangkaian pertemuan untuk menyusun strategi konservasi berdasarkan kondisi terkini orangutan pun terus diadakan, salah satunya dengan melakukan International Workshop on Orangutan Consevation 2010 di Bali 15-16 Juli mendatang. (Jacko Agun)

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN