“Mao, aku harus ke Rumah Sakit sekarang!”, teriakku, coba meredam sakit yang semakin tak tertahankan. Melihat itu, ma-mao (baca: panggilan istriku) segera lari menghambur keluar rumah. Mencoba memanggil Asri-sobat karibku, yang baru saja tiba di kost-an. Untungnya, sobatku itu langsung tanggap dengan kondisiku yang lemah lunglai. Tak punya tenaga lagi!
Begitu mendengar penjelasanku, Asri langsung membopong. Mencoba menuntunku menyusuri Gang Damai yang berdebu, pertanda musim kemarau segera tiba. Membayangkan bisa tiba di Rumah Sakit, rasanya mustahil. Apalagi untuk menuju kesana, aku harus berjalan kaki ke depan gang untuk menunggu taxi. Sebuah penderitaan yang sangat menyiksa. Belum lagi, kondisi di dalam taxi mungkin semakin bertambah buruk, jika aku muntah dan buang air lagi. Sungguh memalukan! Pasalnya, sudah tak terhitung berapa kali aku muntah dan BAB (Buang Air Besar: red) sejak pagi tadi.
Untungnya semua yang kukhawatirkan tak terjadi. Hanya muntah, -berisi air yang kuminum sebelum berangkat tadi-, yang sempat keluar saat taxi mulai melaju. Ketika supir menanyakan arah, kita bertiga (aku, ma-mao, asri: red) masih belum punya tujuan pasti. Usulan pertama, kita coba mengarah ke RS. MEDISTRA. Tapi, karena arah ke kuningan macat banget, si supir menawarkan alternatif kedua, “RS. TEBET”. Pasalnya, arah ke RS ini lancar tak ada halangan. Sedangkan jika ingin mencapai RS. Tria Dipa (baca: option terakhir), pasti sulit, karena akan terhalang kemacetan di Pancoran dan putaran Kalibata. Jadilah sore itu, kami berlabuh di RS. TEBET.
Setibanya disana! Uh…, dengan kekuatan penuh, kupaksa tuk melangkah meniti rangkaian ubin menuju ruangan IGD (Instalasi Gawat Darurat; red) di sebelah kanan pintu masuk. Karena jarang dirawat di RS, aku gak tahu harus memulai dari mana? Apakah menanti di ruang tunggu, atau harus mendaftar dulu. Sungguh, aku gak paham. Yang aku ingat dulu, kalo sedang sakit, hanya “mak Lambok” (baca: bidan desa) yang jadi tempat pelarian. Ntah kenapa, setiap orang yang ditanganinya selalu sembuh. Apa karena sugesti, atau obatnya emang manjur. Gak ada yang tahu? Jadi, dengan perawatan yang namanya RS, aku kurang familiar. Sebab, bagiku RS adalah ajang tuk menjenguk orang-orang yang sakit, apakah itu saudara atau teman. Tapi, kini kondisinya berubah 180 derajat. Akulah yang butuh dijenguk!
Lagi-lagi, untungnya ma-mao dengan cekatan membenahi semua persyaratan yang diminta pihak RS. Sementara Asri, dengan sigap menuntunku ke salah satu bangsal di pojokan ruang IGD tersebut. Sekarang, tinggal menunggu penanganan medis.
Ntah mengapa, yang namanya RS selalu saja lambat dalam memberi pertolongan pertama. Itu yang kualami disana. Kalo saja Asri dan Benu –yang datang belakangan- gak cerewet kepada para suster yang belagak pilun, mungkin aku masih tergelak layu, untuk beberapa waktu berselang. Padahal saat itu kondisiku sangat mengkhawatirkan. Bayangkan saja, selain dehidrasi karena kehilangan cairan tubuh, tiba-tiba aku merasa ingin muntah, sementara wadahnya gak ada. Belum lagi, rendahnya suhu udara pendingin ruangan, membuatku hypothermia (baca: kehilangan panas tubuh). Sampai-sampai bibir, tangan dan kakiku terasa beku. Sungguh, aku berada di titik nol. Ingin bertahan tapi tak punya tenaga.
Menanggapi ocehan temanku itu, para suster segera bergerak cepat. Mulailah mereka memeriksa kondisiku. Ada yang nanyain gejala awal, ada yang meriksa denyut nadi, dan ada yang memasang alat-alat pendeteksi, yang aku gak tahu apa nama dan fungsinya. Tahunya, itu adalah presedur standar sebelum pasien dibawa ke dalam ruangan perawatan.
Sejurus kemudian, aku sudah berada di atas kereta dorong, lengkap dengan sebotol infus larutan elektrolit, -pengganti cairan tubuh-. “Ruangan Bapak ada di nomor 403, tepatnya di lantai 4”, ucap seorang perawat yang ikut mendampingi. Ternyata, dari klaim asuransi yang diajukan, aku berhak atas perawatan kelas I dengan jatah ruangan Rp. 250 ribu/ hari. Untung, aku bisa mendapat kelas itu, sebab jika tidak, fasilitas yang memadai pasti jauh dari harapan.
Masih dengan kondisi lemas yang menggigil kaku. Benu menuntun kereta dorongku memasuki koridor RS ini. Tak tampak keramaian di lorong-lorongnya. Semua terasa lengang, berbeda dengan RS kebanyakan, yang selalu riuh dengan lalu lalang orang. Setelah melewati meja pendaftaran di lantai 4, kami berbelok ke arah kiri. Tepatnya, 2 kamar dari ujung di sebelah kiri, menjadi tempat peristirahatanku untuk beberapa hari kedepan.
@!@!@!@!
Pagi itu, ada sedikit keganjilan. Tak seperti biasanya, keinginan buang air begitu memuncak. Perasaan sembelit pun ikut-ikutan meraja sejak tengah malam tadi. Itu yang membuat aku gelisah, gak bisa tidur hingga pukul ½ 4 pagi. Begitu tertidur, keinginan BAB tadi segera memanggil, minta diekspresikan.
Tak lama berselang (baca: 30 menit), keinginan keparat itu muncul lagi. Hanya, BAB kali ini sudah tak ada ampasnya, yang keluar hanya cairan kental berwarna keputihan. Melihat itu aku jadi takut. Sebab, kejadian serupa yang dialami bubu -anakku- sebulan lalu. Itu juga yang membuatnya harus di rawat inap selama 4 hari di RS, akibat kekurangan cairan tubuh.
Mencermati kondisi itu, kucoba bertahan dengan meminum larutan oralit sebanyak-banyaknya. Tapi, hasilnya tetap saja gak berubah. Malah, keinginan muntah mulai ikut menyerang. Jika keinginan BAB muncul, pasti aku akan muntah sebanyak-banyaknya. Gak ada tenaga yang bisa menahan keinginan itu. Dan, jika itu terjadi, aku akan semakin lemas. Hanya dalam kurun waktu sejam, sudah 6 kali aku harus mondar-mandir ke kamar kecil.
Awalnya, orang rumah (baca: sebutan untuk semua penghuni rumah) gak terlalu khawatir dengan kondisiku. Mereka pikir keadaanku masih dalam taraf wajar dan bisa bertahan sampai sore nanti. Itu yang membuat mereka menyempatkan pergi ke rumah saudara di Kebun Jeruk untuk sebuah keperluan penting. Mereka gak tahu, kalau itu adalah waktu-waktu terberat dalam penantian panjangku. Sebisa mungkin kucoba bertahan, sampai mereka datang. Sehingga setiap saat, kerjaku hanya menghitung putaran sang waktu. Tapi, lagi-lagi kondisiku semakin drop. Bahkan semakin buruk. Disaat itulah aku berpikir untuk ke RS seorang diri. Tapi, untuk beranjak dan berdiri saja, sakitnya bukan main. Selain lemas, karena banyak kehilangan cairan, rasa mulas yang melilit perut ini semakin menjadi-jadi. “God, pliz give me a power!”
Menit berganti menit, jam berganti jam. Kini kondisiku semakin parah. Tiap 10 menit, kerjaku hanya buang air sambil muntah. Karena gak ada yang tersisa di lambung, setiap muntah, hanya cairan -sisa air yang kuminum tadi- yang keluar. Biasanya setelah itu, perasaan sedikit tenang. Tapi itu tak berlangsung lama. Satu-satunya solusi penyelesaian, hanya tidur. Itupun dengan posisi miring. Jika coba terlentang, rasa mulasnya semakin parah. Sepertinya, sudah 20 kali aku buang air disertai muntah-muntah sejak pagi tadi.
Dalam kondisi yang semakin tak menentu. Tepat pukul 16.45, ma-mao pun muncul di depan pintu. Saat itulah, keputusan rawat inap di RS menjadi pilihan terakhir, yang harus dilakukan. Bagaimanapun caranya, aku harus mendapat perawatan dokter sesegera mungkin.
@!@!@!@!
Empat hari di RS, kupikir cukup tuk istirahat panjangku. Apalagi, kini kondisiku semakin baik sejak malam tadi. Keesokan paginya, perawat yang telaten mengurusku beberapa hari ini, mulai melepaskan 2 buah infus yang selalu setia mendampingi. Nafsu makanku pun semakin menggila. Rasanya, aku gak puas dengan menu bubur yang mereka tawarkan. Aku butuh nasi putih dengan porsi yang sedikit jumbo, tuk mengimbangi rasa laparku.
Akhirnya, saat yang ditunggu pun tiba! Sudah menjadi aturan wajib, sebelum meninggalkan RS, aku harus membenahi semua administrasi yang tersisa, selain menunggu visit dokter yang akan memeriksa keadaan terakhirku. Tapi, saat hari semakin tinggi, kehadiran sang dokter belum menunjukkan tanda-tanda. Akhirnya dengan berat hati, pihak RS pun memberiku pulang, walau tanpa sang dokter. Ternyata, pihak RS gak bisa menahan keinginan pasien tuk pulang, jika kondisi pisiknya telah pulih.
Saat menandatangani klaim asuransi tadi, iseng-iseng aku bertanya perihal biaya perobatan selama empat hari ini. Samar-samar mereka menyebut angka 3,5 juta rupiah. Saat kuperjelas angkanya, mereka gak bisa merinci pasti. “ya, sekitaran itulah!”, jawab mereka ketus. Mendengar itu aku jadi senyum sendiri. Mungkinkah mereka tak jujur, atau…??? “Whatever lah! Peduli amat, yang penting aku sembuh. Lagian yang bayar, kan kantor”, gumanku lirih, sambil beranjak pergi menyandang LOWE alpine (baca: ranselku), tempat semua pakaian kotor berada.
Begitu mendengar penjelasanku, Asri langsung membopong. Mencoba menuntunku menyusuri Gang Damai yang berdebu, pertanda musim kemarau segera tiba. Membayangkan bisa tiba di Rumah Sakit, rasanya mustahil. Apalagi untuk menuju kesana, aku harus berjalan kaki ke depan gang untuk menunggu taxi. Sebuah penderitaan yang sangat menyiksa. Belum lagi, kondisi di dalam taxi mungkin semakin bertambah buruk, jika aku muntah dan buang air lagi. Sungguh memalukan! Pasalnya, sudah tak terhitung berapa kali aku muntah dan BAB (Buang Air Besar: red) sejak pagi tadi.
Untungnya semua yang kukhawatirkan tak terjadi. Hanya muntah, -berisi air yang kuminum sebelum berangkat tadi-, yang sempat keluar saat taxi mulai melaju. Ketika supir menanyakan arah, kita bertiga (aku, ma-mao, asri: red) masih belum punya tujuan pasti. Usulan pertama, kita coba mengarah ke RS. MEDISTRA. Tapi, karena arah ke kuningan macat banget, si supir menawarkan alternatif kedua, “RS. TEBET”. Pasalnya, arah ke RS ini lancar tak ada halangan. Sedangkan jika ingin mencapai RS. Tria Dipa (baca: option terakhir), pasti sulit, karena akan terhalang kemacetan di Pancoran dan putaran Kalibata. Jadilah sore itu, kami berlabuh di RS. TEBET.
Setibanya disana! Uh…, dengan kekuatan penuh, kupaksa tuk melangkah meniti rangkaian ubin menuju ruangan IGD (Instalasi Gawat Darurat; red) di sebelah kanan pintu masuk. Karena jarang dirawat di RS, aku gak tahu harus memulai dari mana? Apakah menanti di ruang tunggu, atau harus mendaftar dulu. Sungguh, aku gak paham. Yang aku ingat dulu, kalo sedang sakit, hanya “mak Lambok” (baca: bidan desa) yang jadi tempat pelarian. Ntah kenapa, setiap orang yang ditanganinya selalu sembuh. Apa karena sugesti, atau obatnya emang manjur. Gak ada yang tahu? Jadi, dengan perawatan yang namanya RS, aku kurang familiar. Sebab, bagiku RS adalah ajang tuk menjenguk orang-orang yang sakit, apakah itu saudara atau teman. Tapi, kini kondisinya berubah 180 derajat. Akulah yang butuh dijenguk!
Lagi-lagi, untungnya ma-mao dengan cekatan membenahi semua persyaratan yang diminta pihak RS. Sementara Asri, dengan sigap menuntunku ke salah satu bangsal di pojokan ruang IGD tersebut. Sekarang, tinggal menunggu penanganan medis.
Ntah mengapa, yang namanya RS selalu saja lambat dalam memberi pertolongan pertama. Itu yang kualami disana. Kalo saja Asri dan Benu –yang datang belakangan- gak cerewet kepada para suster yang belagak pilun, mungkin aku masih tergelak layu, untuk beberapa waktu berselang. Padahal saat itu kondisiku sangat mengkhawatirkan. Bayangkan saja, selain dehidrasi karena kehilangan cairan tubuh, tiba-tiba aku merasa ingin muntah, sementara wadahnya gak ada. Belum lagi, rendahnya suhu udara pendingin ruangan, membuatku hypothermia (baca: kehilangan panas tubuh). Sampai-sampai bibir, tangan dan kakiku terasa beku. Sungguh, aku berada di titik nol. Ingin bertahan tapi tak punya tenaga.
Menanggapi ocehan temanku itu, para suster segera bergerak cepat. Mulailah mereka memeriksa kondisiku. Ada yang nanyain gejala awal, ada yang meriksa denyut nadi, dan ada yang memasang alat-alat pendeteksi, yang aku gak tahu apa nama dan fungsinya. Tahunya, itu adalah presedur standar sebelum pasien dibawa ke dalam ruangan perawatan.
Sejurus kemudian, aku sudah berada di atas kereta dorong, lengkap dengan sebotol infus larutan elektrolit, -pengganti cairan tubuh-. “Ruangan Bapak ada di nomor 403, tepatnya di lantai 4”, ucap seorang perawat yang ikut mendampingi. Ternyata, dari klaim asuransi yang diajukan, aku berhak atas perawatan kelas I dengan jatah ruangan Rp. 250 ribu/ hari. Untung, aku bisa mendapat kelas itu, sebab jika tidak, fasilitas yang memadai pasti jauh dari harapan.
Masih dengan kondisi lemas yang menggigil kaku. Benu menuntun kereta dorongku memasuki koridor RS ini. Tak tampak keramaian di lorong-lorongnya. Semua terasa lengang, berbeda dengan RS kebanyakan, yang selalu riuh dengan lalu lalang orang. Setelah melewati meja pendaftaran di lantai 4, kami berbelok ke arah kiri. Tepatnya, 2 kamar dari ujung di sebelah kiri, menjadi tempat peristirahatanku untuk beberapa hari kedepan.
@!@!@!@!
Pagi itu, ada sedikit keganjilan. Tak seperti biasanya, keinginan buang air begitu memuncak. Perasaan sembelit pun ikut-ikutan meraja sejak tengah malam tadi. Itu yang membuat aku gelisah, gak bisa tidur hingga pukul ½ 4 pagi. Begitu tertidur, keinginan BAB tadi segera memanggil, minta diekspresikan.
Tak lama berselang (baca: 30 menit), keinginan keparat itu muncul lagi. Hanya, BAB kali ini sudah tak ada ampasnya, yang keluar hanya cairan kental berwarna keputihan. Melihat itu aku jadi takut. Sebab, kejadian serupa yang dialami bubu -anakku- sebulan lalu. Itu juga yang membuatnya harus di rawat inap selama 4 hari di RS, akibat kekurangan cairan tubuh.
Mencermati kondisi itu, kucoba bertahan dengan meminum larutan oralit sebanyak-banyaknya. Tapi, hasilnya tetap saja gak berubah. Malah, keinginan muntah mulai ikut menyerang. Jika keinginan BAB muncul, pasti aku akan muntah sebanyak-banyaknya. Gak ada tenaga yang bisa menahan keinginan itu. Dan, jika itu terjadi, aku akan semakin lemas. Hanya dalam kurun waktu sejam, sudah 6 kali aku harus mondar-mandir ke kamar kecil.
Awalnya, orang rumah (baca: sebutan untuk semua penghuni rumah) gak terlalu khawatir dengan kondisiku. Mereka pikir keadaanku masih dalam taraf wajar dan bisa bertahan sampai sore nanti. Itu yang membuat mereka menyempatkan pergi ke rumah saudara di Kebun Jeruk untuk sebuah keperluan penting. Mereka gak tahu, kalau itu adalah waktu-waktu terberat dalam penantian panjangku. Sebisa mungkin kucoba bertahan, sampai mereka datang. Sehingga setiap saat, kerjaku hanya menghitung putaran sang waktu. Tapi, lagi-lagi kondisiku semakin drop. Bahkan semakin buruk. Disaat itulah aku berpikir untuk ke RS seorang diri. Tapi, untuk beranjak dan berdiri saja, sakitnya bukan main. Selain lemas, karena banyak kehilangan cairan, rasa mulas yang melilit perut ini semakin menjadi-jadi. “God, pliz give me a power!”
Menit berganti menit, jam berganti jam. Kini kondisiku semakin parah. Tiap 10 menit, kerjaku hanya buang air sambil muntah. Karena gak ada yang tersisa di lambung, setiap muntah, hanya cairan -sisa air yang kuminum tadi- yang keluar. Biasanya setelah itu, perasaan sedikit tenang. Tapi itu tak berlangsung lama. Satu-satunya solusi penyelesaian, hanya tidur. Itupun dengan posisi miring. Jika coba terlentang, rasa mulasnya semakin parah. Sepertinya, sudah 20 kali aku buang air disertai muntah-muntah sejak pagi tadi.
Dalam kondisi yang semakin tak menentu. Tepat pukul 16.45, ma-mao pun muncul di depan pintu. Saat itulah, keputusan rawat inap di RS menjadi pilihan terakhir, yang harus dilakukan. Bagaimanapun caranya, aku harus mendapat perawatan dokter sesegera mungkin.
@!@!@!@!
Empat hari di RS, kupikir cukup tuk istirahat panjangku. Apalagi, kini kondisiku semakin baik sejak malam tadi. Keesokan paginya, perawat yang telaten mengurusku beberapa hari ini, mulai melepaskan 2 buah infus yang selalu setia mendampingi. Nafsu makanku pun semakin menggila. Rasanya, aku gak puas dengan menu bubur yang mereka tawarkan. Aku butuh nasi putih dengan porsi yang sedikit jumbo, tuk mengimbangi rasa laparku.
Akhirnya, saat yang ditunggu pun tiba! Sudah menjadi aturan wajib, sebelum meninggalkan RS, aku harus membenahi semua administrasi yang tersisa, selain menunggu visit dokter yang akan memeriksa keadaan terakhirku. Tapi, saat hari semakin tinggi, kehadiran sang dokter belum menunjukkan tanda-tanda. Akhirnya dengan berat hati, pihak RS pun memberiku pulang, walau tanpa sang dokter. Ternyata, pihak RS gak bisa menahan keinginan pasien tuk pulang, jika kondisi pisiknya telah pulih.
Saat menandatangani klaim asuransi tadi, iseng-iseng aku bertanya perihal biaya perobatan selama empat hari ini. Samar-samar mereka menyebut angka 3,5 juta rupiah. Saat kuperjelas angkanya, mereka gak bisa merinci pasti. “ya, sekitaran itulah!”, jawab mereka ketus. Mendengar itu aku jadi senyum sendiri. Mungkinkah mereka tak jujur, atau…??? “Whatever lah! Peduli amat, yang penting aku sembuh. Lagian yang bayar, kan kantor”, gumanku lirih, sambil beranjak pergi menyandang LOWE alpine (baca: ranselku), tempat semua pakaian kotor berada.