Friday, May 08, 2009

Habibie si Pembuka Kran Demokrasi


Mendatangi mantan orang nomor satu, tentunya bukan perkara gampang. Perlu persiapan matang disamping mentaati aturan protokoler yang ketat. Kendati demikian, waktu wawancara yang rencananya hanya 30 menit harus molor, hanya karena keinginan berbicara B.J. Habibie yang tak bisa terbendung. Mendengarnya berbicara pun ibarat mengurai sejarah.

“Biar kalian tahu, dik, demokrasi itu umurnya sekitar 2500 tahun, sejak jaman Yunani Kuno. Telah dibuktikan pula, manusia itu akan unggul, jika produktivitasnya tinggi yang di dukung oleh tingkat ketrampilan yang tinggi”, ungkap pria yang pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini.

Benar, BJ Habibie orang-orang mengenalnya. Pria tua yang usianya genap 73 tahun pada 25 Juni mendatang, masih tampak mempesona. Pembawaannya yang bersahaja dan terbuka terhadap siapa saja, menjadi daya tarik tersendiri bagi siapapun yang datang bertamu.

Bayangin saja, belum selesai satu pertanyaan yang kami ajukan, beliau sudah bertutur panjang lebar tentang demokrasi. Baginya, pemahaman ini penting dibagikan, agar manusia Indonesia, khususnya pers, punya pemahaman dasar yang sama, tentang betapa diperlukannya konsep Freedom (kebebasan) dan Independensi (netralitas).

Lebih jauh, putra pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo yang lahir di Pare-Pare, Sulawesi Selatan ini menjelaskan, tentang konsep waktu yang di pahami berbeda oleh setiap orang. Contohnya, waktu 24 jam bagi seseorang mungkin sudah cukup, sementara bagi orang lain, waktu segitu belumlah lengkap.

Lalu, manusia sangat membutuhkan iman agar mampu mengelola waktu secara arif. Dengan iman, diharapkan apa yang mereka lakukan bisa berhasil baik. Karena dengan iman, motivasi bisa terbangun. Pendeknya, jika kita punya iman, semua yang kita rencanakan, setidaknya di ridhoi oleh Tuhan. Tentu hanya untuk hal-hal yang baik sifatnya.

Namun, iman saja belum cukup, masih diperlukan hal lain, yakni ‘taqwa’. Dengan bertaqwa manusia bisa menjalankan semua yang diperintahkan Tuhan melalui kitab suci sebagai “way of life”. Bertaqwa seakan menjadi guidence pada arah yang benar.

Jamaknya, jika manusia itu sudah beriman dan bertaqwa, teknologi yang mereka hasilkan dapat dikendalikan dengan baik. Dampak negatifnya diusahakan seminimal mungkin. Jika ini telah tercapai, berarti manusia itu telah berbudaya dan merdeka. “Itu artinya, mereka sudah menjadi manusia unggul dan itu yang kita –-Indonesia-- perlukan saat ini”, papar mantan pejabat orde baru yang paling lama menemani Soeharto.

Awas Balkanisasi

Ketika belum satu pertanyaan pun kami lontarkan, ayah dari Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie ini, masih berlanjut dengan mimbar kuliah umumnya. Kami pun mendengarkan dengan seksama. “ya, kita dengarin aja, gak etis memotong pembicaraan orangtua” ujar Ahmad Zaki yang bertugas mewawancarai siang itu.

Jika di perhatikan, lanjut Habibie, tiap negara punya bentuk pemerintahan yang berbeda-beda. Ada yang bersifat presidensial, parlementer, kerajaan dan sebagainya. Namun yang pasti, semua bermuara pada demokrasi yang mungkin di pahami secara berbeda-beda.

Sasarannya jelas, ingin menciptakan masyarakat yang bebas, merdeka secara finansial dan merdeka secara psikologis dalam mengutarakan pendapatnya. Serta, tentu saja, menghasilkan masyarakat yang berbudaya, tanpa meninggalkan jejak-jejak kearifan lokalnya.

Coba, kita lihat Jerman, ajaknya bersemangat. Negara di belahan eropa tersebut, mengalami banyak hal, hanya demi menemukan makna demokrasi yang sesungguhnya. Sebut saja, perang dunia pertama dan kedua. Berapa banyak nyawa dan kerugian, baik fisik maupun finansial yang mereka alami.

“Itu saja, masih belum cukup, dik”, tambahnya. Jerman harus mengalami pertumpahan darah diantara bangsanya sendiri. Mereka sempat dipisahkan oleh tembok Berlin hingga tahun 1991, ketika Jerman Barat sebagai penganut demokrasi terpimpin harus bertarung dengan saudara sendiri (baca: Jerman Timur) yang notabene Komunis.

“saya gak ingin, itu terjadi disini, dik. Sedangkan Jerman yang secara teknologi sudah maju, tahapan demokrasinya masih belum sempurna”, tuturnya kemudian.

Lalu, coba kita terawang lebih jauh, pada negara-negara pecahan Unisoviet. Yugoslavia, contohnya. Negara itu, mencoba memberikan kebebasan pada masyarakatnya. Namun apa yang terjadi. “kontra priduktif, bung” ungkap Habibie.

Yang terjadi berikutnya, negara kecil itu, terpecah dalam 7 negara-negara bagian, yang masing-masing diantaranya masih melakukan perang saudara hingga sekarang.

Lalu, dengan nada tinggi, Habibie, melontarkan kembali ucapannya; saya gak mau itu terjadi di Indonesia, bung!

Atau lebih luas, kita petakan Rusia. Negara yang sempat mendapat julukan superpower itu kini lenyap, berganti dalam pecaham 15 negara bagian yang satu dengan lainnya masih tak akur. Bandingkan dengan Indonesia? Berapa banyak negara bagian yang ingin memisahkan diri, jika pemerintah salah dalam menentukan kebijakan.

“Rusia yang hanya memiliki 5 suku bangsa saja bisa terpecah, bagaimana Indonesia yang punya sedikitnya 400 suku bangsa? Kondisi ini tentu berbahaya, dik” tandasnya.

Karena itu lah, sesuai dengan Judul bukunya yang saat ini sudah mengalami cetakan ketiga “Detik-Detik yang Menentukan” menjadi refleksi betapa pemerintah harus sanggup menyatukan Indonesia dengan tetap berpedoman pada nilai-nilai yang tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.

“ini yang saya sebut, sebagai Detik-Detik yang Menentukan” ujar Habibie sembari memberi penekanan dengan jari telunjuk mengarah ke kami.

Karena asal tahu saja, pada tahun 1998, sejumlah dana telah di parkir di Singapura oleh pihak asing. Singkatnya, dana tersebut akan digunakan untuk agenda seting terhadap demokrasi Indonesia yang saat itu mulai menemukan bentuknya. Dan ini pertanda bahaya, jika pemerintah tidak segera menyelesaikannya.

“karena itu, dik, demokrasi gak boleh berhenti!” tutupnya, sembari mempersilahkan kami bertanya untuk pertama kalinya.

Merasa sendiri

Begitu mengetahui dirinya diangkat secara konstitusi sebagai Presiden ketiga negeri ini, Habibie merasa bebannya sangat berat dan ia mesti menanggungnya sendiri. “saat diangkat, saya lah orang yang paling sendiri di muka Bumi ini, dik” ungkapnya dengan tatapan nanar.

Wajar saja, karena ia diharuskan untuk membentuk kabinet dalam waktu singkat. Belum lagi, stabilitas di dalam negeri membutuhkan penanganan yang sistematis, agar kerusuhan-kerusuhan itu tidak semakin luas. Sedangkan, meminta pendapat dari Soeharto, seakan berjalan di titik nol, karena ia tidak bersedia menerima Habibie tanpa alasan yang jelas. “seingat saya, hanya sekali saya bisa komunikasi dengan Soeharto, yaitu di hari ulangtahunnya, selebihnya tak pernah sama sekali” ungkap kakek 4 orang cucu ini.

Jika di jaman Soeharto, kekuasaan eksekutif dan koordinasi dengan legislatif berada di tangan yang berbeda, tidak demikian pada masa pemerintahan Habibie. Ia pun mesti memegang beberapa jabatan strategis sekaligus.

Buktinya, selain sebagai mandataris MPR, Habibie masih di repotkan dengan jabatan lainnya, yakni sebagai koordinator harian Golkar, yang membawahi ABRI dan birokrat untuk parlemen, tanpa koordinator pengganti.

Pada masa kabinet pembangungan I – III, koordinator harian Golkar dipegang langsung oleh Soeharto. Baru pada kabinet IV, koorinator harian Golkar diberikan pada Jenderal Panggabean. Lalu, Soedharmono pada kabinet V dan Habibie pada kabinet pemerintahan VI dan VII.

Posisi Koordinator Harian Golkar menjadi penting, karena Golkar sebagai satu kekuatan politik yang begitu dominan saat itu. Selain itu, Golkar dibutuhkan untuk menepis semua kekuatan politik lawan yang dianggap mengganggu jalannya pemerintahan. Meski gerakannya nyata-nyata merupakan partai, tetap saja Golkar belum berani menyatakan diri sebagai partai politik. Baru di masa pemerintahan Habibie, Golkar berani memproklamirkan diri sebagai partai yang ikut berlaga di Pemilu 1999.

Sebelumnya, tak pernah terbersit di benak Habibie untuk menjadi presiden. “saya hanya ingin menjadi ahli konstruksi pesawat terbang”, ungkapnya. Jika kesempatan itu tiba, ia pun memanfaatkannya dengan sebaik mungkin.

Lepasnya TimTim

Dan kontroversi paling hangat adalah ketika Habibie menawarkan opsi otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri kepada rakyat Timor Timur, --propinsi termuda Indonesia-- yang direbut susah payah oleh rezim Soeharto di tahun 1976. Siapapun tentu ingin bebas merdeka, termasuk rakyat Timor Timur, sehingga ketika jajak pendapat dilakukan, pilihan terhadap bebas menentukan nasib sendiri (merdeka) unggul mutlak.

Masalah Tim-Tim, salah-satu yang dianggap menjadi penyebab penolakan pidato pertanggungjawaban Habibie dalam Sidang Umum MPR RI hasil Pemilu 1999. Pemilu terbaik paling demokratis setelah Pemilu tahun 1955. penolakan ini membuat BJ, Habibie tidak bersedia maju sebagai kandidat calon presiden (Capres) di pemilihan berikutnya.

Memperhatikan masukan dari Sekjen PBB – Kfi Annan, Perdana Mentri Inggeris Tony Blair, Perdana Menteri Australia John Howard dan Presiden Nelson Mandela dari Afrika Selatan, Habibie akhirnya mengambil kebijakan yang mengatakan Timor-Timur bukan koloni Indonesia dan alasan MPR pada tahun 1978 untuk menerima Timor-Timur sebagai propinsi termuda NKRI adalah karena kebersamaan nasib.

Selain itu, besarnya tuntutan reformasi menjadikan penyelesaian Timor-Timur semakin berlarut-larut. Karena itulah Habibie berpendapat masalah tersebut harus selesai sebelum presiden IV terbentuk, sehingga presiden terpilih nanti bisa menyelesaikan masalah nasional.

Karena itulah, ia memberi disposisi kepada menko polkam, menlu, mendagri, menhan dan mensesneg untuk segera mempersiapkan pelaksanaan jajak pendapat rakyat Timor-Timur. Jajak pendapat tersebut dipersiapkan untuk mengetahui apakah rakyat Timor-Timur menerima Otonomi Khusus yang luas dan tetap bersatu dengan NKRI atau berpisah menjadi rakyat negara tetangga yang bersahabat.

Anehnya lagi, di berbagai forum internasional posisi Indonesia selalu di pojokkan dengan masalah Timor-Timur. Tak kurang delapan resolusi Majelis Umum PBB dan tujuh resolusi Dewan Keamanan PBB tentang Timtim telah dikeluarkan, yang menggambarkan bahwa masyarakat internasional tidak mengakui sepenuhnya Timor-Timur sebagai bagian dari NKRI.

Argumen Indonesia bahwa integrasi Timor Timur ke wilayah Indonesia, sebenarnya wujud kemerdekaan wilayah tersebut dari jajahan Portugal, tidak mendapatkan pengakuan internasional, malah Indonesia di tuduh telah melaksanakan sebaliknya.

Ketika Habibie menjabat presiden hampir tidak ada hari tanpa demontrasi. Demontrasi mendesak Habibie merespon tuntutan reformasi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan rekrutmen politik, kebebasan berserikat dan mendirikan partai politik, kebebasan berusaha, dan berbagai kebebasan lainnya. Namun kendati Habibie merespon tuntutan reformasi itu, tetap saja pemerintahannya dianggap merupakan kelanjutan Orde Baru. Pemerintahannya yang berusia 518 hari hanya dianggap sebagai pemerintahan transisi.

Pemilu 1999

Saat kami menanyakan, apakah pemilu 1999 merupakan insisiatifnya sendiri, bukannya desakan para tokoh yang datang menemuinya? Dengan lantang Habibie mengatakan, bahwa Pemilu 1999 merupakan inisiatifnya.

Jika Habibie mengiyakan apa yang dikatakan oleh tokoh tersebut (baca: Emil Salim, Rudini, Adnan Buyung Nasution, Nurcholish Madjid, Amin Rais dan John Sapi’ie), maka ia harus mengadakan Pemilu dalam waktu 3 bulan masa pemerintahannya. Namun, tuntutan tersebut tidak ia laksanakan, karena bertentangan dengan konstitusi.

Pasalnya, dalam ketetapan MPR sebelumnya, maupun dalam GBHN yang telah disusun, disebutkan bahwa pelaksanaan pemilihan umum akan dilaksanakan pada tahun 2003, bukan pada tahun 1999.

Pemilu hanya bisa dilaksanakan, jika sidang istimewa DPR/MPR berhasil dilaksanakan untuk meloloskan pemilu tersebut. Karena itulah Sidang Istimewa DPR/MPR menjadi perlu. Adapun agenda yang dibahas dalam sidang istemewa tersebut adalah; merubah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang di dalamnya tercantum perubahan jadwal pemilu.

Habibie berharap Sidang Istemewa yang baru itu, tidaklah untuk memilih wakil presiden, karena ada spekulasi yang berkembang, bahwa seolah-olah dia akan mengukuhkan diri dengan mengangkat seorang wakil presiden. Dan setelah wakil presiden terpilih, maka ada masa pertanggunggjawaban yang lebih lama, yakni hingga tahun 2003. “Begitu mungkin logika mereka”, ungkapnya.

Tetapi, sebenarnya banyak masalah yang mesti diperhatikan ketimbang berambisi mengokohkan kekuasaan. Itu sebabnya selama masa pemerintahannya “Kabinet Reformasi” telah dihasilkan 69 Rancangan Undang-Undang dalam kurun waktu singkat (16 bulan). Adapun bidang-bidang yang perlu di reformasi segera, yakni: penegakan hukum (low enforcement), peningkatan kualitas apratur dan budaya hukum masyarakat.

Jika sebelum era reformasi hanya terdapat dua partai, yakni PPP dan PDi serta Golongan Karya, maka setelah UU tentang parpol di tetapkan DPR, tercatat sebanyak 48 partai politik yang boleh ikut serta di pemilu 1999. Habibie berharap pemilu tersebut berjalan demokratis, mengingat pada pemilu-pemilu sebelumnya, pemerintah berperan vital dalam pengelolaan pemilu.

Karena itulah pelaksanaannya diserahkan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berganti nama dari LPU (Lembaga Pemilihan Umum). Perubahan nama ini menjadi perlu agar lembaga tersebut lebih independent, terlepas dari campur tangan pemerintah. Jika LPU merupakan bagian dari Depdagri, maka KPU menjadi lembaga independent yang pertanggunggjawabannya langsung pada presiden.

Pemilu dengan multi partai diharapkan mampu menampung semua aspirasi masyarakat dalam memperjuangkan haknya, tanpa ada intimidasi. Serta kemungkinan munculnya tokoh-tokoh baru sangat terbuka lebar dengan banyak partai.

Saat itu, KPU terdiri dari 48 anggota yang mewakili masing-masing partai peserta pemilu ditambah 4 orang wakil pemerintah. Mendagri yang dulunya sangat berperan aktif, kini tak lagi berperan. “Artinya secara kelembagaan institusi KPU cukup netral”, ungkapnya.

Jika sebelumnya PNS diwajibkan untuk mencoblos Golkar, maka melalui Keppres, secara tegas disebutkan PNS dilarang aktif dalam partai politik tertentu. Jika ingin aktif di parpol tertentu, mereka harus keluar dari status PNS. Mereka pun tidak lagi mencoblos di kantor, tetapi dapat melaksanakan pencoblosan di sekitar rumah mereka.

Lalu, tentang utusan daerah yang tadinya disusun secara top-down, Habibie minta dapat dipilih langsung oleh rakyat di masing-masing daerah. Mereka harus benar-benar tokoh daerah dan tidak boleh menjadi anggota parpol tertentu.

Sedangkan mengenai kekalahan suara Golkar terhadap PDI-P di pemilu 1999, menurutnya merupakan hal yang wajar. “Sudah 3 dasawarsa lebih Golkar memimpin dengan cara-cara yang dominan, mungkin rakyat butuh sesuatu yang baru. Jangan sampai ketika kita tidak senang dengan seseorang, lantas kita membakar rumah orang tersebut”, ungkap Habibie kemudian.

Dengan di tolaknya pidato pertanggungjawabannya di hadapan Sidang Istimewa MPR saat itu menjadikannya sadar diri. Ia pun tak berniat mencalonkan diri kembali pada pemilu 1999. Padahal, tidak ada aturan yang menghalanginya mencalonkan diri kembali. Namun, itulah uniknya Habibie. Ia merasa pertanggungjawaban di MPR tersebut menjadi tolak ukur terhadap kinerjanya. Ia pun tak berambisi terhadap kekuasaan. Tugasnya hanyalah menyiapkan semua yang diperlukan untuk pemerintahan selanjutnya, karena ia hanyalah seorang transisi.

Saat Pemilu 1999 berhasil digelar, rakyat bisa memilih dengan bebas tanpa intimidasi. Karena itulah Habibie berpendapat pemilu 1999 merupakan pemilu yang jurdil, menyamai pemilu pertama tahun 1955. Sedangkan dengan pemilu sekarang (baca: Pemilu 2009), Habibie menyayangkan KPU dibiarkan bekerja sendiri. “Harusnya, jaringan pemerintah melalui depdagri hingga kecamatan, boleh dilibatkan kembali, setidaknya dalam hal pendataan pemilih”, tandasnya.

Dengan pemilu 2009 ini, Habibie pun berharap agar rakyat benar-benar ikut aktif berpartisipatif menyukseskannya. Kualitasnya harus lebih baik dari sebelumnya dan jangan pilih orang-orang yang belum terbukti kualitasnya serta biaya pemilu harus makin rendah dari sebelumnya.

Puas dengan pertanyaan seputar pemilu 1999, kami pun undur diri, mengingat waktu yang disediakan telah habis, bahkan lebih. Dan di akhir pertemuan, Habibie pun menekankan, bahwa ia tak pernah bermimpi ataupun bercita-cita menjadi presiden. Sejak kecil ia malah bercita-cita sebagai arsitek pesawat terbang. “presiden itu apa, sih? Presiden itu bukan segala-galanya”, ungkapnya sembari melepas sesungging senyum khasnya.

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN