Friday, March 23, 2012

Refleksi Kondisi Air Jakarta


Memaknai Hari Air yang diperingati setiap 22 Maret, dimana tema tahun ini adalah Water and Food Security, ijinkan saya menyampaikan salam sejuk dan bening air untuk kita semua.

Kiranya dipundak kita ikut terletakan amanah dan sekaligus harapan dari masyarakat ibukota NKRI ini untuk masa depan pengelolaan yang lebih baik dari sumber daya air yang ada di DKI Jakarta ini. Tantangan yang terbentang dihadapan kita sungguh sangat berat. Mulai dari tingkat ketahanan air yang hanya 2,2 persen, kelangkaan air baku (97,8 persen tergantung suplai dari luar wilayah DKI), rendahnya cakupan layanan air perpipaan (baru sekitar 36 persen), sangat tingginya ekstraksi air tanah dalam (sekitar 0,89 juta m3/hari) sementara kemampuan mengimbuhkannya sangat jauh dari yang diambil yang pada akhirnya telah ikut menyebabkan laju turun muka tanah kita sangat ekstrim sekali (sekitar rata-rata 11 cm/tahun dan sepertinya tertinggi di dunia saat ini setelah Mexico City dan Bangkok pada abad lalu.

Dalam pengelolaan air limbah (baca: air bekas) DKI juga tertinggal jauh dari kota-2 lain di kawasan ASEAN. Kita baru mempunyai sistem sewerage yang baru mampu melayani sekitar 2,8 persen, sehingga tidak mengherankan kalau hampir 78 persen air tanah dangkal kita terkontaminasi bakteri E-Coli dan 13 sungai/kali di ibukota tercemar berat.

Dalam upaya mengendalian banjir, genangan, dan rob kita seakan berpacu dengan waktu. Upaya mengentasan titik genangan dan pembenahan sistem jaringan drainase mikro, makro, dan penghubung memerlukan investasi yang tidak sedikit dan harus berkelanjutan, karena potensi genangan baru dan dampak dari perubahan iklim serta kondisi cuaca ekstrim seakan mengejar kita. Kecenderungan naiknya muka air laut dan dampak dari land subsidence membuat sistem infrastruktur tanggul kita di pantura Jakarta terancam rob permanen pada beberapa titik/kawasan. Kondisi daerah hulu DAS dari 13 sungai yang melewati Jakarta cenderung memburuk sehingga menyisakan debit ekstrim (kecil pada musim kemarau dan sangat besar pada musim hujan) pada hampir semua sungai/kali kita.

Dalam sektor penyediaan air minum (baca: air bersih) tingkat kehilangan atau kebocoran air sangat tinggi (masih rata-rata 46 persen) dengan tarif air rata-rata nomor 3 tertinggi di Asia setelah kota-2 di Jepang dan Singapura. Saudara kita yang tinggal di RW 10 dan 17 di Penjaringan dan Kamal Muara terpaksa membeli air bersih dengan harga termahal di dunia (mencapai hampir Rp. 136.700/m3 atau setara USD 15/m3).

Izinkan saya menyampaikan fakta ini untuk mengingatkan diri kita semua sebagai pemangku kepentingan SDA di ibukota ini bahwa tantangan berat tersebut bukan untuk mematahkan semangat kita untuk berbuat maksimum dan terbaik bagi masyarakat yang harus kita layani, tetapi justru sebaliknya. Jika sejarah tidak akan mencatat kesungguhan kita dalam membenahi masalah SDA di ibukota ini, Sang Maha Pencipta pasti tidak akan luput mencatat dan membalas setiap kebajikan yang kita niat dan lakukan. InsyaAllah.

Siapa yang tidak memimpikan suatu saat kita bisa meniru sukses restorasi Singapore River. Jika pemerintah Kota Seoul dalam waktu kurang dari 6 tahun mampu merevitalisai total Cheonggyecheon River, itu bukan karena mereka punya fiscal capacity yg hebat, tetapi lebih pada komitmen dan spirit untuk mewujudkan masa depan lingkungan kota yang terbaik untuk generasi yang akan datang mereka.

Banyak kisah sukses yang berawal dari komitment yang kuat pemimpin dan warganya. Charles River di Boston, Chicago River di Chicago adalah diantara contoh nyata yang saya pribadi menyaksikan sendiri prosesnya.

Akhir kata, saya pribadi sebagai warga DKI juga memimpikan masa depan lingkungan kota yang lebih baik untuk anak-anak dan cucu-cucu kita. Karena legacy terbaik kita sebagai orang tua disamping memberikan mereka pendidikan terbaik dan ahklak mulia, adalah meninggalkan lingkungan tempat tumbuh, berkembang dan berkarya yang terbaik seperti kakek-nenek dan kedua orang tua kita yang telah berhasil mengantarkan ke-kehidupan yang lebih baik dari yang pernah mereka jalani.

Salam air, salam kehidupan, dan selamat menyambut dan memaknai Hari Air tahun ini. (Firdaus Ali,Indonesia Water Institute)

Sunday, March 11, 2012

Mengenang Setahun Tsunami Jepang



Kemarin (11/3) tepat setahun peringatan tsunami Jepang. Hampir semua media besar di dunia mengenang kembali kejadian bersejarah itu. Peristiwa tersebut terjadi saat gempabumi besar berkekuatan 9 SR menyapu pantai timur Sendai, Jepang pada 11 Maret 2011 pukul 12.46 WIB atau 14.46 waktu setempat. Pusat gempa diperkirakan berada pada kedalaman 24,4 km. Gempa tersebut menimbulkan tsunami yang tingginya mencapai lebih dari 20 meter, tinggi gelombang run up tsunami 40,5 m. Gempa tersebut merupakan gempa terburuk dalam sejarah Jepang sejak tahun 1900.

Kevin McCue, seismolog CQUniversity, Queensland, Australia, mengatakan bahwa meski jumlah korban cukup tinggi, namun patut disyukuri karena jarak gempa dari Tokyo, kota terpadat di dunia ini cukup jauh.

“Pada tahun 1932 saat gempa dahsyat Kanto (7,9 SR), mengakibatkan 147.000 orang meninggal. Dugaan kami akan terdapat lebih banyak orang meninggal dengan kerusakan yang lebih parah,” ujar Kevin McCue seperti dilansir Telegraph.

Dampak yang ditimbulkan gema tersebut cukup besar. 15.769 orang meninggal dunia, 4.227 orang dinyatakan hilang, dan 470.000 orang mengungsi. Total kerugian ekonomi US$ 220 miliar setara 3,4% dari GDP (Gross Domestic Bruto) Jepang. Atau setara hampir seperlima GDP Indonesia saat ini. Suatu kerugian yang luar biasa besar.

Gempabumi ini sendiri dipicu akibat lempeng tektonik membentuk lipatan, memecah permukaan bumi saat bergeser satu sama lain. Tokyo yang terletak di kepulauan Honshu, berada tepat dipersimpangan tiga lempeng benua Eropa, Pasifik dan lempeng laut Philipina, yang secara perlahan-lahan bergeser satu sama lain, membentuk tekanan seismik dahsyat dengan kekuatan sangat ganas.

Ketika pusat gempa berada di dasar laut, akan mengakibatkan tsunami yang seringkali lebih menghancurkan dibandingkan dengan gempa itu sendiri. Tsunami dari kata bahasa Jepang yang berarti gelombang dan pelabuhan adalah bergeraknya air laut dalam jumlah besar akibat pergeseran kerak bumi.
Air ini berubah menjadi gelombang yang dapat menempuh jarak sangat jauh, dengan kecepatan tinggi, menyapu daratan dan menghancurkan segalanya.

Jepang Paling Siap

Jepang dianggap sebagai negara yang paling siap menghadapi gempa bumi dan tsunami. Berbagai upaya stuktural dan non struktural telah dilakukan dalam mitigasi bencana. Peradaban Jepang telah melakukan antisipasi tsunami sejak abad 9 M.

Pantai Sendai yang merupakan daerah terparah akibat gempa 2011 telah menyiapkan diri jauh-jauh hari. Pemerintah Jepang telah membangun berbagai bentuk perlindungan tsunami mulai dari breakwater lepas pantai, tanggul, hutan pantai sampai sistem peringatan dini. Mereka belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Semantara di Kota Kamaishi yang letaknya tidak begitu jauh dari pantai telah dibangun alat pemecah gelombang hingga kedalaman 19 meter yang umurnya telah mencapai 31 tahun. Diharapkan tsunami bisa dikurangi hingga 0%. Namun, Fakta berkehendak lain. Tsunami tetap terjadi.

Pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan menjadi program nasional dan dilakukan secara besar-besaran di Jepang. Retrofiting bangunan tahan gempa untuk perumahan mencapai telah 79%. Sedangkan bagi sekolah sebanyak 73%, dan rumah sakit 56% dari jumlah nasional. Artinya, secara keseluruhan dari sisi prasarana mereka telah siap.

Bagaimana Dengan Indonesia

Secara umum, kondisi Indonesia tidak kalah baik dari Jepang. Pasalnya, Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi. Secara umum ilmuan menyebut Indonesia berada pada posisi yang dikenal sebagai “Ring of Fire”.

Jalur “Ring of Fire” adalah rangkaian lempeng atau patahan besar yang menjadi ancaman potensial gempa. Ring of Fire benar-benar mengepung Indonesia. Sewaktu-waktu akibat pergesaran lempeng akan menimbulkan bencana yang cukup besar, yakni terjadinya gempa bumi.

Peta Rawan Gempa juga menunjukkan 2/3 wilayah Indonesia merupakan area sumber gempa dan atau rawan dampak gempa. Hanya menyisakan area aman meliputi pantai timur Sumatera (Riau, sebagian Jambi, Sumatera Selatan), Laut China Selatan, Kalimantan dan Bagian utara Laut Jawa serta perairan Laut Arafuru sebelah Selatan Papua.

Jika dibandingkan dengan Indonesia yang sekitar 70% wilayahnya berada di daerah rawan gempa dan belum kuat strukturnya, pelatihan gladi gempa dan tsunami menjadi penting. Pelatihan ini sendiri mulai dipopulerkan dalam 5-7 tahun terakir. Belakangan kegiatan ini semakin rutin dilakukan di setiap kabupaten/kota yang berpotensi terhadap bencana. Pemerintah setempat juga telah mengalokasikan sejumlah dana untuk pelaksanaan kegiatan tersebut.

Banyaknya kendala yang masih harus dibenahi, mengingat Indonesia sangat beresiko terhadap jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar. Sebagian bangunan yang ada belum lah merupakan bangunan tahan gempa. Jalur evakuasi juga belum disipakan dengan matang.

Saat ini tak ada cara lain, selain melakukan penyadaran kepada masyarakat bahwa Indonesia berada di kawasan rawan gempa dan rawan bencana. Serta tidak ketinggalan membenahi semua sarana dan prasarana yang mampu meminimalisir terjadinya bencana.

Pelajaran Berharga

Sejumlah gunung berapi dan parit samudera disekitar Cekungan Pasifik telah menggenggam Jepang menjadi wilayah Ring of Fire. Jepang merupakan wilayah rentan gempa sekitar 20 persen dari keseluruhan yang terjadi di dunia. Rata-rata terjadi enam kali gempa dalam setiap lima menit.

Setiap 1 Oktober menjadi hari penting dalam kalender Jepang. Pasalnya pada hari itu akan dilakukan gladi nasional. Seluruh komponen masyarakat terlibat. Anak-anak sekolah dan pekerja pabrik diliburkan saat gladi berlangsung.

Gladi dinilai sangat efektif. Misal di Distrik Taro, saat gempa dan tsunami tahun 1896 jumlah korban tewas sebesar 83%. Namun saat tsunami 1993 jumlah korban berkurang menjadi 20% dan tsunami 2011 hanya 6% dari total jumlah penduduk yang jadi korban.

Selain itu, bangunan umum dan kawasan bisnis yang berada di daerah beresiko tsunami di desain tahan gempa dan dapat digunakan sebagai evakuasi vertikal. Masyarakat juga dilatih untuk segera dievakuasi ke tempat-tempat tinggi di gedung tersebut. Hidup berdampingan dengan risiko telah menjadi pilihan yang seakan tak bisa dipisahkan bagi penduduk Jepang.

Pemulihan infrastruktur juga cepat dilakukan. Pasca bencana Jalan tol di Tohoku Expressway selesai dibersihkan hanya dalam waktu 11 hari. Infrastruktur ini tidak hanya berkontribusi pada transportasi dalam pengiriman barang dan logistik saat darurat, tetapi juga memulihkan ekonomi Jepang.

Saat bencana, media massa juga tidak menyiarkan hal-hal yang menyedihkan. Mayat yang membuat masyarakat panik, misal terkait PLTN mass media tidak disiarkan secara detil dan bombastis. Justru berita-berita tentang semangat, kebersamaan, disiplin dan ketangguhan masyarakat yang ditonjolkan mass media. Ini adalah kode etik jurnalistik yang selalu dipegang oleh media Jepang.

Pasca 1 tahun tragedi Jepang, kita selaku masyarakat Indonesia layak belajar banyak dari Jepang. Terlebih lagi Indonesia adalah negara nomor satu di dunia yang memiliki ranking penduduk berisiko tinggi dari tsunami. Menurut data BNPB sedikitnya lebih dari 5 juta jiwa hidup dalam ancaman tsunami. (Jekson Simanjuntak)

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN