Monday, April 30, 2007

Berkaca Pada CPE


Tak berbeda dengan Indonesia, negara semaju Prancis pun memiliki masalah dengan kaum pekerja melalui terbitnya CPE (baca: UU tentang Kontrak Kerja) yang sempat menuai protes besar-besaran. Munculnya UU ini merupakan imbas dari semakin gencarnya paham neo liberalisme merenggut dan menghimpit sisi-sisi kemanusiaan para pekerja disana.

Saat itu, menjelang May Day 2006, pada tanggal 10 April, Perdana Menteri Prancis, Dominique de Villepin, mengumumkan pencabutan UU Ketenagakerjaan tentang Kontrak Kerja Pertama yang terkenal dengan sebutan CPE (Contrat Première Embauche). Kejadian ini jadi tonggak kemenangan jangka pendek bagi seluruh kalangan pekerja, mahasiswa dan kaum imigran Perancis.

Pencabutan ini sendiri berlangsung, karena aksi besar-besaran dan terus menerus yang diusung oleh semua kalangan pekerja dan pihak-pihak yang bersimpati. Awalnya, aksi ini di bidani oleh pekerja imigran yang sering mendapat perlakuan deskriminatif dari pemerintah dan masyarakat. Pasalnya, jumlah imigran --baik ilegal maupun tidak-- di negara ini merupakan yang terbanyak di Eropa. Kejadian semakin memburuk, saat terjadinya aksi peledakan bom mobil, akhir 2005 lalu, yang didalangi kalangan buruh imigran.

Secara keseluruhan, CPE adalah undang-undang yang mempermudah pengusaha memecat pekerja di bawah usia 26 tahun. UU memperkenalkan sistem kontrak kerja baru bagi para pemuda selama 2 tahun percobaan (probation) dan mengizinkan perusahaan mengakhiri kontrak kapan saja, tanpa perlu memberi penjelasan ataupun pesangon.

Rencananya CPE akan mampu menurunkan angka pengangguran di Perancis (mencapai 9,6% dan terus meningkat), padahal rata-rata angka pengangguran negara-negara di Eropa Barat paling tinggi hanya 8,3 persen.

Dalam orasinya, kalangan revolusioner Prancis getol mengkampanyekan bahwa “CPE akan merugikan siapapun yang terpaksa bekerja untuk sekedar bertahan hidup”. Akhirnya aksi mereka meraih dukungan luas dari kalangan kaum muda imigran yang kebanyakan penganggur dan dianggap sampah masyarakat. Dalam demonstrasi di Avenue de Invalides akhir Maret 2006, serombongan ibu-ibu rumah tangga, dibantu para anak-anak muda yang tak bekerja, mengorganisir dapur umum untuk kepentingan aksi dan menyerukan penentangan mereka terhadap CPE. Mereka tidak menyuarakan “solidaritas bagi aksi pekerja”, karena mereka bukanlah kelas pekerja. Tetapi mereka menyerukan bahwa mereka anti CPE, yang dianggap tidak manusiawai dan nantinya secara langsung maupun tidak akan berdampak bagi keturunan ibu-ibu ini.

Para revolusioner Perancis sengaja merangkul para penganggur muda (baca; kebanyakan warga imigran) yang beberapa bulan sebelumnya menjadi aktor utama dalam aksi-aksi kerusuhan di Perancis. Terkenal dengan style pertempuran jalanan, para imigran ini terlibat di banyak kerusuhan, termasuk dalam aksi-aksi penolakan CPE yang kebanyakan berbuntut kekerasan. Setiap kerusuhan yang terjadi merupakan cerminan atas represifitas negara terhadap mereka. Para mahasiswa yang melibatkan diri dalam aksi anti CPE, mengorganisir kampus-kampus dengan mencanangkan pemogokan massal, melalui pendudukan dan memblokade kampus-kampus mereka, yang kemudian diikuti dengan konfrontasi terhadap polisi. Slogan “Bangkitkan kembali semangat 68!” menginspirasi mahasiswa untuk menduduki nyaris seluruh kampus di negara tersebut. Uniknya, atas kampanye yang meluas dan menargetkan pada kelas pekerja secara menyeluruh, para pelajar setingkat SMU juga turut mengambil bagian aktif dalam aksi-aksi anti CPE.

Aksi demo semakin memuncak seiring semakin tingginya sikap represif polisi dan semakin dekatnya tenggat waktu pengesahan CPE. Aksi penolakan yang timbul dalam menjawab kekerasan polisi didukung oleh mayoritas publik dan dianggap sebagai bagian dari aksi protes. (“Hanya dengan kekerasan seperti ini, mereka mau mendengarkan kami.” The Economist, April 2006).

Saat itu, konflik antar demonstran pun ikut mewarnai aksi-aksi mereka. Mengingat bahwa segregasi antar warga kulit putih Perancis dan warga imigran yang mayoritas berasal dari Timur Tengah dan Afrika masih cukup kental. Tetapi berkat pola pikir yang maju, di Perancis telah terjadi sebuah kesamaan pemahaman bahwa kebijakan pemerintah dengan CPE telah menyerang seluruh kelas pekerja.

Menghadapi tekanan yang begitu besar, Akhirnya De Villepin mencabut UU yang sempat diresmikan pada 2 April 1006 lalu. Selanjutnya ia akan berusaha mencari penggantinya yang lebih dapat diterima masyarakat. Seperti dikutip AFP, Mei 2006; “Aku ingin bertindak cepat, sebab situasi dramatis dan keputusan sejumlah anak muda mengharuskannya.”, ungkapnya. Sementara wakil serikat pekerja terbesar kedua Perancis, CGT berkata pada kantor berita Perancis, AFP: pencabutan CPE adalah berkat, keberhasilan aksi bersama; pekerja, mahasiswa dan seluruh warga kelas pekerja Perancis. Sedangkan Victor Vidilles dari Persatuan Mahasiswa Nasional mengatakan pada BBC, bahwa keputusan pemerintah tersebut menjadi kemenangan besar bagi aksi protes popular yang didukung oleh seluruh kelas pekerja Perancis yang sadar bahwa CPE menyerang kepentingan seluruh kelas pekerja.

Atas kesadaran tersebut, sebulan kemudian, di pertengahan Mei 2005 lalu, mantan Menteri Dalam Negeri Perancis, Nicolas Sarkozy (baca: sekarang kandidat presiden), mengajukan RUU Imigrasi yang akan menyulitkan kaum imigran tinggal di Perancis. Dari gelagatnya, rancangan tersebut akan berdampak bagi kaum pekerja imigran dan serikat-serikat pekerja, mahasiswa serta semua warga Perancis yang legal untuk turun kembali ke jalan-jalan melancarkan protes. Mereka (baca; kalangan pekerja) tidak membiarkan partner aksi mereka dalam gerakan anti CPE yang lalu. diserang sendirian. Sementara di Indonesia, kampanye anti revisi UU 13/2003 saja sama sekali tidak menarik minat siapapun di luar kelompok pekerja industrial kerah biru (baca; buruh pabrik) dan para aktivisnya.

Bedanya dengan Indonesia
Neoliberalisme sebagai perwujudan baru paham liberalisme dapat dikatakan telah menguasai sistem perekonomian dunia. Seperti diketahui, paham liberalisme dipelopori oleh ekonom asal Inggris, Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nations (1776), sempat menjadi dasar ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dari periode 1800-an hingga masa kejatuhannya pada periode krisis besar (Great Depression) di tahun 1930. Sistem ekonomi yang menekankan pada penghapusan intervensi pemerintah dengan memfokuskan pada metode pasar bebas, melalui penempatan pemilik modal dan kaum pekerja yang hanya bekerja didalam proses produksi.

Inti dari gagasannya menyebutkan tentang penggunaan “full employment” yang dijabarkan sebagai besarnya peranan buruh dalam pengembangan kapitalisme dan pentingnya peran serta pemerintah dan bank sentral dalam menciptakan lapangan kerja.

Dalam lingkup domestik, paham ini berlawanan dengan prinsip proteksi terhadap perekonomian sebuah negara. Tetapi di lain waktu, paham ini bisa digunakan sebagai alat tawar membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme juga sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan yang mendukung hak-hak buruh.

Persis seperti yang terjadi di Indonesia dengan UU 13/2003 beserta revisinya yang merupakan Elegi, dimana negara memberi kewenangan penuh pada pengusaha tanpa sedikitpun memberikan hak-hak hidup bagi para pekerjanya.

Jika gelombang penentangan CPE di Perancis diakibatkan oleh sistem kontrak kerja yang tak berpihak pada pekerja, berbeda dengan gerakan penolakan revisi UU 13/2003 di Indonesia. Perbedaan ini bukan hanya disebabkan kondisi geografis ataupun kondisi sosial politik yang berbeda, tetapi lebih karena perbedaan strategi, taktik dan wacana.

Adanya ekspansi di negara-negara dunia ketiga sebagai lahan investasi bagi kaum kapitalis, bukanlah memajukan tingkat kesejahteraan rakyat di negara tersebut (termasuk Indonesia), tetapi demi mendapatkan kaum pekerja dengan biaya murah (baca: dibayar murah dan murah bahan baku). Persaingan antar pemilik modal membuat para pemodal berlomba-lomba untuk menguasai negara-negara ketiga melalui lembaga multinasional.

Hal ini yang membuat kebanyakan kaum buruh di Indonesia merasa dirugikan dan berdiri sebagai oposan terhadap keputusan negara, walaupun secara logika akan mendukung negara ini. Karena secara tidak langsung negara telah menjadi “antek-antek” kaum pemilik modal. Serikat-serikat pekerja yang dibangun di kalangan kelas pekerja sebagai alat emansipasi khusus para pekerja itu sendiri, malah bekerja menetralkan mekanisme sistem yang ditentangnya. Program serikat pekerja memang membawa frase ‘revolusioner’, tapi yang terjadi dalam praktek adalah frase reformis.

Karena para oposan di dalam aksi penolakannya tidak memberi keleluasaan bagi publik secara luas untuk ikut terlibat bersama. Mereka (baca: kaum buruh) masih menegaskan posisi di antara pekerja dengan penganggur, pekerja domestik, ataupun calon pekerja (mahasiswa) secara terang-terangan. Mereka juga bahkan sangat miskin dalam analisa isu soal kerja itu sendiri. Para pemimpin organisasi buruh yang menentang keputusan pemerintah, sering berakhir dengan keluhan bahwa mereka telah terprovokasi oleh pekerjanya sendiri. Artinya, mereka (pekerja) tidak punya satu suara. Selain itu, mereka selalu menyerukan melalui berbagai cara agar membiarkan diri dipimpin oleh elit-elit kelompok/serikat pekerja tertentu, yang sebenarnya telah memperlihatkan pada semua orang bahwa ‘sama rasa’ para pemimpin tersebut tidak lebih dari bohong belaka.

Jika bias aksi berupa kekerasan yang diakomodir oleh kaum revolusioner di Prancis merupakan akumulasi dari represifnya polisi terhadap demo buruh, berbeda dengan ucapan pemimpin SPSI saat aksi para pekerja di Jakarta, dalam menentang revisi UU 13/2003 yang sempat berujung kekerasan. Dalam pernyataannya seperti yang dilansir Indosiar.com, Mei 2006, ia malah berbalik menyudutkan para pekerja atau beberapa elit serikat pekerja lain, dengan menyatakan bahwa kemungkinan aksi ditunggangi oleh mereka yang bukan pekerja, sehingga memprovokasi para pekerja dengan aksi kekerasan melawan polisi.

Dalam berbagai aksi demonstrasi yang marak digelar, Kampanye penentangan revisi UU 13/2003 tidak ditujukan pada publik di luar kalangan pekerja industri kerah biru. Kampanye dilakukan di pabrik-pabrik, serikat-serikat pekerja, ataupun di kalangan aktivis mahasiswa (baca; lantas akan melakukan hal yang sama: berbalik mengkampanyekan isu tersebut ke kalangan pekerja di pabrik-pabrik). Apa yang mereka lakukan justru semakin menjebak buruh dalam pemahaman sempit tentang kelas pekerja. Mereka menganggap buruh hanya pekerja industri kerah biru saja. Mereka tak sadar bahwa kelas pekerja adalah semua orang yang harus bekerja untuk bertahan hidup.

Selain itu, tidak adanya kesatuan dalam memandang penolakan revisi UU 13/2003 di Indonesia sebagai sebuah penindasan terhadap hak asasi manusia, membuat aksi ini kurang menyentuh banyak kalangan. Isu yang digelontorkan oleh sebagian besar organisasi buruh yang menolaknya, sama sekali tidak melebarkan pengertian bahwa aturan tersebut akan menyengsarakan semua orang, tetapi hanya terfokus bahwa isu yang akan menyerang para pekerja industrial kerah biru saja.

Friday, April 27, 2007

"KREATIFITAS, SEBUAH POTENSI TERSEMBUNYI"



Awalnya tak banyak orang menyangka bahwa kreatifitas bisa menjadi sebuah industri. Industri yang berpedoman dari ide-ide penemunya. Kreatifitas tidak saja dilihat sebagai pendorong dan penciptaan lapangan kerja, tetapi lebih jauh bisa berakibat pada pencapaian icome perkapita dalam jumlah besar di sebuah negara.

Imbas kreatifitas juga dirasakan dalam proyek regenerasi dan inklusi sosial, karena sebuah kreatifitas mulai diakui kehadirannya. Industri kreatif memang masih menjadi sesuatu yang baru bagi masyarakat kita. Walau belum semaju dunia usaha, potensi dunia kreatif yang ada di Indonesia sekarang ini cukup potensial. Ini bisa dirasakan, saat timbulnya nilai tambah sebuah produk setelah adanya sentuhan kreatif para pembuatnya.

Berdasarkan epistemologinya, industri kreatif adalah orang-orang yang mendasarkan kegiatannya pada kreatifitas, kecakapan dan bakat individual yang memiliki potensi untuk mendatangkan kemakmuran dan penciptaan lapangan kerja. Caranya melalui pemunculan dan eklporasi kekayaan intelektual.

Secara kasat mata, luasnya wilayah dan besarnya jumlah penduduk Indonesia, bermakna pada melimpahnya bahan baku, pekerja yang terampil, tradisi yang kaya dalam penciptaan karya seni, populasi kaum muda dalam jumlah besar, serta daya beli masyarakat menengah ke atas yang cukup besar.

Semangat berkarya bagi anak-anak muda di Indonesia juga patut dibanggakan. Tidak hanya di negeri sendiri, kiprah generasi muda kita cukup menonjol di kawasan Asia Tenggara. Di pasar ini, sebagian musisi, sutradara, pelukis, photografer dan penulis terkemuka banyak berasal dari Indonesia.

Survey “youthologi” yang dilakukan oleh “Ogilvy” pada tahun 2005 terhadap anak-anak muda menunjukkan munculnya jenis baru kreator-kreator muda yang mengubah hobi menjadi tambang uang.

Pengalaman Inggris

Mengapa Inggris? Mungkin menjadi pertanyaan pertama yang akan diajukan banyak orang. Negara ini menjadi penting sebagai acuan, karena perjuangannya di bidang kreatif patut diacungi jempol. Di bidang musik contohnya. Berhubung sempat anjlok di pertengahan tahun 80-an sampai pertengahan 90-an. Banyak pemusik Inggris yang hanya jago kandang, karena musiknya belum bisa diterima di Amerika ataupun di tempat lain.

Keadaan mulai membaik setelah pemerintah Inggris mendirikan UKMO (United Kingdom Music Office) yang membuka kantor cabang di banyak kota di dunia. Di New york, Amerika Serikat salah satunya. Lembaga ini banyak membantu musisi Inggris saat akan meluncurkan album baru. Ternyata hasilnya luar biasa. Penjualan album musisi Inggris meningkat. Bahkan demam BritPop sempat melanda Amerika.

UKMO memang langkah brilian pemerintah Inggris. Tetapi, kesadaran untuk mendirikan lembaga semacam ini tidaklah hadir dengan sendirinya. Ada jalan panjang mengikutinya. Pasalnya, sampai tahun 1997, sektor kreatif, termasuk industri musik masih dilihat sebelah mata bagi perkembangan perekonomian Inggris. Mereka menganggap industri kreatif tidak bakal langgeng.

Akhirnya, untuk menjawab keraguan tersebut, pemerintah Inggris melakukan pemetaan potensi industri kreatif di negara tersebut. Proyek pemetaannya pun di mulai pada tahun 1998 dan rampung pada tahun 2001.

Dokumen pemetaan tahun 2001 menunjukkan bahwa sektor kreatif setara dengan 7,9% PDB (Produk Domestik Brutto) Inggris pada tahun 2000. Penelitian juga menunjukkan pertumbuhan serupa dalam ekspor sektor ini mencapai 13%, sementara industri jasa 9% dan perekonomian secara keseluruhan hanya 5% saja.

Masih banyak contoh industri kreatif yang berkembang di salah satu negara Eropa ini. Sebagai sebuah negara maju, keuntungan yang berhasil dikumpulkan dari sektor informil berupa industri kreatif telah mencapai pertumbuhan sebesar 9% PDB sejak tahun 1997 sampai 2001, jauh lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi total yang hanya 2,8 %.

Setelah pemetaan nasional, beberapa daerah di Inggris juga melakukan pemetaan serupa untuk mendapat analisis mereka sendiri. Studi-studi perbandingan ini mencatat perubahan serupa yang tercermin dalam penelitian nasional.

Hal ini di perkuat dengan sebuah artikel majalah Financial Times, terbitan Inggris pada 2003 menyatakan industri kreatif lebih penting ketimbang jasa keuangan dalam perekonomian. Industri kreatif telah menjadi industri yang pertumbuhannya paling cepat. Dalam bahasa ekonominya, keberadaan sektor kreatif telah mengalahkan sektor tradisonal semacam pertanian dan pembuatan mobil.

Konsekuensinya, dukungan pemerintah bagi bisnis kreatif pun kian besar. Karena pendanaan bagi industri kreatif umumnya masih mengandalkan kocek sendiri, pemerintah Inggris akhirnya berinisiatif dengan The Princess Trust menyediakan dana bagi orang yang ingin memulai bisnis di sektor ini. Adapun bentuknya, berupa modal awal, dana pelatihan dan sebagainya.

Beberapa badan khusus yang merupakan kemitraan antara pemerintah dan pelaku bisnis pun di bentuk. Di Menchester dan Merseyside misalnya. Tugas utama badan ini adalah untuk membantu sektor ini terus tumbuh dan berkembang. Selain itu ada pula badan-badan di tingkat pusat yang membantu perdagangan produk kreatif ke luar negeri.

Sehingga, pajak yang tinggi bisa diterima dari kalangan usaha kreatif karena sebagian dari uang itu kembali ke mereka melalui bantuan pemerintah.

Potensi Indonesia

Bagaimana dengan Indonesia? Walau tak semaju negara Inggris, kemampuan berkarya anak-anak bangsa di sektor kreatif mulai menunjukkan perubahan. Semangat berkarya untuk melakukan yang terbaik dengan kemampuan sendiri, telah menjadi simbol gigihnya perjuangan anak-anak muda di negeri ini.

Sebagai contoh, ditemukannya kurang lebih 1500 gerai distribusi pakaian independen “distro” yang dikelola oleh anak-anak muda berusia 19 – 30 tahun di banyak tempat di Indonesia, seperti; Jakarta, Bandung, Jogyakarta, Medan, Makassar, Surabaya dan Bali. Distro-distro itu telah menjual bermacam-macam benda, mulai dari pakaian, buku, kerajinan, kaset dan lebel-lebel independen/terbatas dari seluruh Indonesia. Keuntungan yang bisa diraih mereka bisa mencapai US$ 75.000 hingga US$ 100.000 per bulan.

Anak-anak muda Indonesia juga terbukti handal dan jadi pesaing yang cukup disegani dalam industri animasi dan game video. Film Carlos Adventure produksi Castle (jakarta) dan Game Burning Armor Code E buatan Max Studio (Jakarta) jadi bukti tentang ketangguhan anak-anak muda kita dalam bidang ini. Hanya sayang jumlah anak muda kreatif seperti mereka tidak lah banyak.

Di dunia permebelan lain lagi. Tak ada yang menyangka merek Chamdani telah berhasil menembus pasar Eropa. Sebelumnya, Alam Calamus, perusahaan pembuat Chamdani hanya menerima pesanan dari merek terkenal luar negeri, seperti; Gervasoni (Itali) dan Pierse Martin (USA). Sekalipun barang yang mereka kirim setiap bulannya dalam puluhan kontainer, tetap saja yang mendapat nilai tambah adalah pemegang merek. Nasib Alam Calamus mulai berubah ketika mereka bertemu dengan designer-designer muda, seperti Joshua Simanjuntak dan Leonard Theosabrata yang meyakinkan perusahaan untuk membuat merek sendiri. Terbukti, merek Chamdani bisa diterima dan mampu bersaing di tingkat internasional. Para designer pun mendapat royalti yang tidak sedikit.

Yang juga tak kalah seru adalah munculnya banyak lembaga pendidikan yang menjadikan seni dan design sebagai mata kuliah pokok. Jumlah sekolah seperti ini sekarang bisa mencapai 100 buah dengan murid yang mendaftar mencapai 4000 orang per tahunnya. Industri kreatif ini semakin menjamur, sehubungan dengan makin banyaknya designer dan seniman muda yang memiliki jaringan internasional. Setelah tamat dari luar negeri, beberapa diantara mereka membuka sekolah yang ada hubungannya dengan seni dan design.

Aneka Kendala

Jika ingin di ulas lebih dalam, masih banyak lagi potensi kreatif bangsa Indonesia yang belum tersentuh. Dari sekian banyak potensi itu, bisa dikatakan kita belum mampu memaksimalkan apa yang dimiliki. Lihat saja, sentra-sentra produksi batik, lukisan, mebel maupun patung di Jawa dan Bali. Kebanyakan usaha ini tak mengalami kemajuan berarti. Sementara di sisi lain, bakat hebat para penggagasnya harus terhenti di tengah jalan.

Tak adanya bantuan pendanaan, menjadi alasan klasik untuk meneruskan usaha ini. Boleh dibilang, situasi Indonesia saat ini mirip dengan Inggris ketika industri kreatif masih terpinggrkan. Paradigma orang tentang industri kreatif belum banyak berubah. Bidang ini belum dianggap menjanjikan. Designer Ivan Gunawan, yang merancang kostum bagi banyak selebriti, bercerita bagaimana keluarganya tidak mendukung ketika ia mengambil jurusan design.

Masih adanya pemikiran lama yang menganggap kegiatan seni murni untuk seni dan tabu jika di komersialisasi, menjadi pandangan sempit yang keliru. Sehingga, ketika seni menghasilkan uang dianggap salah. Selain itu, ada juga pemisahan yang tegas antara sekolah seni dengan komunitas seni tradisional, seniman dengan pemerintah, lembaga pemerintah yang satu dengan yang lain, pelaku bisnis dengan pelaku bisnis lain, sehingga industri kreatif berjalan sendiri-sendiri.

Pemerintah disebut-sebut kurang memberi perhatian. Betulkah demikian? “Kata kreatif masih terdengar asing bagi pihak birokrasi.” Ujar Rheinald Kasali, ketua Program Magister Manajemen UI, dalam sebuah artikel. Kebijakan yang baik hanya bisa dilihat dari data awal yang akurat. Ini yang belum dimiliki Indonesia.

Akhirnya, industri kreatif seakan menjadi dektor ‘gelap’ di Indonesia. Berdasarkan angka yang berhasil di olah oleh The British Council, ditemukan angka baru di dunia periklanan pada tahun 2005 mencapai pertumbuhan belanja sebesar 30% per tahun, dan belanja iklan sebanyak US$ 2,3 miliar.

Rencana Ke Depan

Belum tanggapnya pemerintah diakui oleh Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Ardiansyah Parman dalam sebuah kesempatan. Menurutnya; mengubah pola pikir memang tidak mudah. Makanya ibu Mari Pangestu (Menteri Perdagangan) menyambut baik munculnya industri kreatif ini.

Walau terkesan terlambat, pemerintah Indonesia akhirnya bergerak ke arah yang tepat. Salah satunya dengan pencanangan “Indonesia Design Power” (IDP) 2006 -2010 yang dikomandoi oleh Departemen Perdagangan dan Kementrian Kopereasi dan UKM.

Unsur IDP yang terpenting adalah proyek pemetaan potensi kreatif di Indonesia. Rencananya pemetaan ini akan dilakukan selama enam bulan mulai awal tahun 2007. Pelaksananya adalah industri percetakan dan grafika dan The British Council. Hasil ini akan sangat penting bagi pengembangan strategi ekonomi kratif di Indonesia.

Sejalan dengan IDP, pada tahun 2005 pemerintah membentuk PDKM (Pusat Dagang Kecil dan Menengah), sebuah lembaga yang berada di bawah Departemen Perdagangan, meliputi; produk pangan, sandang, kerajinan, manufaktur sampai teknologi tinggi. Bagi para pelaku bisnis kreatif, lembaga ini punya peranan penting. Pasalnya, seperti halnya di Inggris, pelaku bisnis kreatif di Indonesia umumnya merupakan UKM (Unit kegiatan Menengah).

Tugas utama PDKM adalah memecahkan berbagai masalah di UKM, antara lain; SDM, akses pasar dan pendanaan. Dengan adanya lembaga ini, secara langsung pemerintah telah membantu tumbuhnya sektor kreatif. Hanya saja, sebagian pelaku sektor kreatif merasa bahwa visi pemerintah belumlah jelas. Akibatnya mereka jalan sendiri-sendiri.

Ini yang dialami oleh Yoris Sebastian Nisiho (34) saat mengikuti IYMEY (International Young Music Enterpreneur of the Year) yang diselenggarakan oleh The British Council akhir Juni 2006 lalu.

Dengan konsep “Proyek Goliath” ia berhasil memikat para juri dan menjadikannya sebagai juara di ajang itu. konsepnya sebenarnya sederhana; ia mengajak para musisi mapan papan atas Indonesia untuk berinvestasi dalam pembuatan album musisi-musisi baru. Sebuah inovasi yang sangat briliant tentunya.

Untunglah label ‘kreatif’ pada industri saat ini bukanlah pepesan kosong. Para pelakunya tergolong sigap dan memang kreatif. Orang-orang yang berkecimpung dalam dunia grafika, misalnya. Mereka membentuk Forum Grafika Digital, sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan memajukan dunia grafis di tanah air.

Ketika pemerintah telah membuka keran dalam mendukung lahirnya sebuah industri kreatif, saatnya bagi pelaku di sektor ini untuk lebih bersinergi dan membuka diri dalam mengembangkan jaringan lintas disiplin kreatif. Sehingga akan menghasilkan sebuah komunitas kreatif yang saling menginspirasi dan berjalan bersama-sama.

Monday, April 23, 2007

"DaN, KeJaDiAn iTu pUn TeRJaDi"


...

Tiba-tiba saja, pukulan telak menggunakan sebuah sepatu mendarat mulus di pipi kiri orang nomor satu di perusahaan itu. Ntah dari mana datangnya, seseorang yang hilang kesabaran, segera melepas sepatunya dan langsung menghambur menuju mimbar saat kesempatan langka itu tersaji di depan matanya. Kejadian memalukan itu pun terjadi.

Berhubung suasana di aula tempat pertemuan antara pihak manajemen dengan seluruh karyawan dalam keadaan temaram, akibat nuansa tungsten yang dihasilkan oleh pendaran lampu-lampu berwarna merah. Cap berbentuk tapak sepatu yang sempat melekat walau beberapa detik di wajah sang pimpinan tersebut tak begitu kelihatan. Bahkan jajaran direksi yang berada di sampingnya pun tak tahu, kalo sang bos mengalami musibah yang membuatnya malu besar, tapi gak bisa berbuat apa-apa. Dia juga gak tahu siapa dan dari mana arah pelakunya datang. Apakah dari jajaran direksi ataukah dari deretan karyawan yang berada tepat di depannya. Yang dia rasakan, hanyalah sebuah tamparan yang begitu keras terjadi dalam hitungan detik, sebelum semuanya menjadi terang.

Kejadian itu sendiri terjadi, saat dia memulai arahannya di hadapan kurang lebih dua ribu lima ratus karyawan. Pertemuan yang mungkin jadi kejadian langka bagi semua buruh di perusahaan tersebut. Maklum, pertemuan seperti ini jarang dilakukan dan belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali kali ini. Bisa jadi “the first and the last”. Kejadian luar biasa ini dimungkinkan, jika perusahaan sedang mengalami sesuatu, seperti keuntungan atau kerugian yang luar biasa dan bisa berakibat pada perusahaan gulung tikar.

Ketika pertemuan tersebut mulai berjalan, para karyawan masih bertanya-tanya perihal apa kiranya yang akan di sampaikan oleh sang pimpinan. Sampai-sampai sebuah pengumuman harus ditempel di banyak tempat, dengan himbauan agar seluruh karyawan wajib menghadirinya. Jika tidak datang akan di beri surat peringatan (SP). Dilihat dari gelagatnya, pertemuan ini pastilah super duper krusial.

Bagi perusahaan keripik pisang dengan ribuan karyawan, sebuah aturan yang begitu ketat menjadi menu harian yang harus dilakoni. Mulai dari seragam merah-merah, pemakaian Id card di dada sebelah kiri sampai pemakaian sepatu pantovell selama berada di lingkungan pabrik jadi pemandangan yang tak asing. Sehingga jika ada orang yang tak mengikuti aturan ini, bisa dipastikan dia adalah tamu atau anak magang yang sedang praktek. seandainya ada yang coba-coba berontak, di pintu depan, si satpam dengan kumis tebalnya -yang lebih cocok disebut anjing penjaga- akan bertindak garang. Biasanya, si karyawan akan di intimidasi dan namanya langsung di catat di buku dosa, selanjutnya akan dilaporkan ke pihak manajemen. Barulah kemudian pihak manajemen akan menjatuhkan hukuman, apakah akah dipekerjakan sebulan penuh tanpa gaji atau di suruh mengundurkan diri. Apapun itu, pilihannya benar-benar sulit.

Pertemuan pun dibuka oleh seorang pejabat teras sebagai pengantar. Baru kemudian momen penting yang jadi sesi bagi orang nomor satu di daulat kepadanya. Dengan perut buncit dan suara parau, menjadi ciri khas saat ia memulainya dengan sebuah pencerahan. Pertemuan yang rencananya akan menjadi dialog, ternyata lebih terkesan monolog. Bisa dipastikan, si bos besar tampak mendominasi. Diawali dengan paparan mengenai kondisi perusahaan yang kata(nya) mulai mengalami kemunduran. Bahkan jika dibandingkan dengan kondisi serupa tahun lalu, keuntungan yang dicapai saat ini jauh berbeda. Kabarnya, saat ini perusahaan seakan jalan di tempat.

Mendengar itu, karyawan yang hampir semuanya lulusan SMA tampak menyimak dan tertegun dalam tanya. Tak seorang pun terlihat gusar, apalagi khawatir dengan kondisi mereka (baca; buruh). Sudah jadi kebiasaan di tempat itu, saat terjadi pengarahan, semua karyawan harus duduk manis mendengarkan dan tak boleh berkomentar, kecuali diminta. Walau tak bisa berbuat banyak, dalam hati kecilnya para buruh ini ingin berontak. Namun apa daya, tak punya kuasa. Pertemuan ini sebenarnya jadi penentu nasib mereka. Pasalnya, berembus kabar akan adanya efisiensi di tubuh perusahaan. Orang-orang yang dianggap memiliki bad performa (kinerja buruk) akan disingkirkan, mengingat perusahaan tidak menunjukkan kemajuan dari segi penjualan produk.

Walau tak sedikit pun menyinggung tentang efisiensi yang bakal terjadi di perusahaan, sang pimpinan mencoba membangkitkan motivasi para buruhnya agar bekerja lebih giat. Sebuah tekad dan tindak nyata dalam berbuat yang terbaik, menurutnya jadi penentu, apakah perusahaannya akan keluar jadi pemenang di persaingan ini, atau kah jadi pecundang.

Masih dengan berapi-api orang nomor satu itu mengurai studi kasus yang bisa jadi acuan agar perusahaan bisa mengambil hikmah. Dia mencontohkan perusahaan keripik kentang yang letaknya tak jauh dari pabriknya. Karena tak banyak pilihan yang dihasilkan, pembeli mulai meninggalkan produk mereka. Ini menjadi point penting menurutnya, ketika perusahaan tidak bisa menghasilkan inovasi dan variasi produk, maka perusahaan akan tergilas oleh pesaing baru yang tentunya lebih jeli melihat peluang pasar. Harus di ingat pula, bahwa perilaku konsumen adalah sebuah konstanta variabel yang selalu berubah. Sampai disini, para karyawan tampak terkesima dengan kecerdasan sang pimpinan, baik dalam penyampaiannya yang sistematis maupun kemampuannya membaca peluang pasar.

Parin, -salah seorang karyawan- pun mengakui kharisma sang big boss. Walau bagi karyawan beranak dua ini, kegiatan seperti ini tak begitu banyak artinya. Menurutnya, pertemuan tesebut tak lebih dari ketakutan kaum kapitalis yang mulai risau saat perusahaannya mengalami stagnan bahkan kemunduran. Apalagi tahun ini si bos besar mematok target yang cukup tinggi, yakni sebesar 1,5 juta bungkus kripik harus laku. Lebih besar 500 bungkus dibanding tahun lalu.

Bagi pria 40 tahun ini, semua target yang dipatok perusahaan tak akan jadi kendala jika saja masalah klasik, berupa perbaikan kesejahteraan telah terselesaikan. Sudah jadi sebuah postulat, ketika karyawan dibayar pantas untuk keringatnya, maka ia akan loyal dengan perusahaannya. Seandainya tidak, berarti ada apa-apa. Mungkin buruh tersebut tidak sejahtera atau mengidap sakit jiwa.

******

Sebetulnya Parin tak beda dengan buruh-buruh lain. Bekerja giat sesuai profesi (baca: tukang bungkus kripik) dan tidak ingin neko-neko. Karena dia masih punya tiga orang tanggungan yang harus diberi makan setiap hari di rumah kontrakan berukuran 5 x 5 m. Dia beranggapan, bahwa bekerja dengan benar sudah cukup. “jika bernasib baik, atasannya akan mengangkatnya jadi asisten pengawas bagi para pembungkus kripik,” pikirnya. Tapi sampai 4 tahun bekerja di pabrik tersebut, dia belum menjadi apapun. Titelnya masih saja sama “ pembungkus kripik”. Sementara teman-teman lain, bahkan yang lebih muda darinya sudah banyak yang jadi asisten pengawas. Maklum, buruh di tempat ini cukup banyak.

Setiap harinya, Parin harus meninggalkan rumahnya di bilangan pinggir Ciputat jam 5 subuh dengan menggunakan sepeda “onthel” untuk bisa tiba di pabrik tepat pukul 8 pagi. Sebuah jarak yang cukup jauh tentunya. Lokasi pabrik yang berada di Depok, tak menyurutkan niatnya untuk bekerja. Di tengah hembusan angin subuh yang menusuk tulang, dengan bersemangat ia meniti sepedanya menyusuri jalan-jalan ibukota yang lalu lalang dan berdebu. Sesekali dia harus berhenti karena kelelahan atau menunggu kemacetan akibat banyaknya kendaraan.

Biasanya, sebelum jam 8 pagi dia sudah tiba, ketika suasana pabrik masih lengang dan belum banyak karyawan yang datang. Bagi karyawan yang bawa kendaraan sendiri, di halaman samping di sediakan areal parkir. Disini biasanya dia memarkir sepeda bututnya. Namun jangan heran! Demi sebuah tempat parkir, para buruh masih di bebani dengan biaya parkir sebesar Rp. 30.000 per tiga bulan. Kalau di banyak pabrik, biaya parkir “free” alias gratis, berbeda dengan tempat ini. Dari sekian banyak pabrik, baru di sini ditemukan adanya biaya parkir bagi karyawannya. Sungguh tak manusiawi! Manakala buruh di gaji dengan upah tak layak (baca; Rp. 650.000, lebih kecil dari UMP), biaya yang identik dengan pungli (baca; pungutan liar) masih menjerat mereka. Jika di luar sana, pungli dilakukan oleh oknum preman. Di tempat ini pungli di lakukan oleh pihak manajemen dengan cara-cara halus, namum menyakitkan.

Tak berhenti sampai disitu, pihak perusahaan pun masih membebani buruhnya dengan harga-harga mahal untuk sejumput makanan di kantin. Walaupun sistem kupon telah diberlakukan untuk meringankan biaya makan. Tetap saja, para buruh harus merogoh kocek lebih untuk membayar, karena harganya lebih mahal ketimbang nilai yang tertera di kupon tersebut.

Sebenarnya Parin tak ingin bekerja dengan orang/perusahaan lain. Dia masih ingat susahnya bekerja di tempat orang lain. Sudah tiga kali ia harus pindah kerja. Pertama bekerja, dia diterima di pabrik tahu. Saat itu dia masih muda dan belum menikah. Disana ia akhirnya hengkang, karena lingkungan yang tidak kondusif. Pada tempat kedua, dia diterima di pabrik Sepatu. Disini dia mulai belajar tentang tatacara packing yang benar, sampai akhirnya harus di PHK karena perusahaan mengalami kerugian terus menerus. Pengalaman selama 2 tahun di bagian penggepakan itu yang jadi modalnya di perusahaan kripik pisang, tempatnya berada sekarang. Berkat anjuran teman-temannya yang lebih dahulu masuk, dia pun memberanikan diri melamar di bagian pembungkusan. Akhirnya, ia pun diterima.

Di tempatnya sekarang, tak banyak yang bisa di buat. Semua kegiatan karyawan selalu di awasi oleh manajemen. Saat berkumpul antar karyawan, misalnya. Selalu saja ada mata-mata yang melapor dan orang-orang tersebut pasti di interogasi. Perusahaan sangat paranoid dengan kegiatan-kegiatan karyawan. Di tempat ini, buruh ibarat robot. Datang pagi, pulang sore. Ini yang membuat Parin mulai jengah. Selain tak bebas berekspresi, dia pun tak punya kekuatan untuk berontak. Apalagi seperti sekarang, ketika bonus tahunan yang harusnya jadi hak buruh tak kunjung dibagikan.

Jika tahun lalu bonus tahunan dibagikan setiap tanggal 20 pada bulan Februari. Tahun ini, rencananya bonus akan di bagikan dua bulan kemudian, yakni bulan April dengan tanggal yang tak seorangpun tahu, kecuali pihak manajemen dan Tuhan. Kabarnya, pembagian ini mundur dari jadwal sehubungan masalah teknis, yang tak lain karena pembagian sesuai proporsi bagi karyawan berbeda-beda. Kabarnya, ada yang dapat 20 kali dan ada yang dapat hanya sebulan gaji. Sungguh, pembagian yang rumit. Tetapi, benarkah harus serumit itu, atau tak adakah cara lain yang lebih manusiawi. Ya..., terserahlah! “yang penting aku kerja dengan benar,” guman Parin dalam hati.

******

Pada tiga tahun pertama, Parin masih giat bekerja dan belum banyak tahu tentang pentingnya pembentukan serikat pekerja atau apapun namanya. Baru setahun belakangan ini, setelah bergaul dengan sesama pekerja yang pernah menjadi aktivis serikat buruh di tempat lama, dia mulai menyadari perihal pentingnya berserikat.

Kesadaran itu semakin memuncak, takkala hak-hak buruh semakin terkangkangi. Misalnya, masalah bonus, uang lemburan yang tak jelas, tidak adanya jamsostek, reimburse yang sulit, intimidasi dan banyaknya pungutan oleh perusahaan.

Walaupun begitu, Parin bukanlah tipikal pemberontak yang berani melawan terang-terangan. Dia lebih suka mendiskusikan rencana pendirian serikat buruh dengan cara yang lebih elegan. Dia tak sepakat dengan aksi-aksi anarkhis yang telah melekat kuat dalam gerakan buruh. Dia juga beranggapan, seandainya tak ada suara yang mendukung langkahnya, berarti belum saatnya perusahaan tersebut memiliki serikat pekerja. Semua itu berpulang pada kebulatan suara rekan-rekan buruh.

Sampai ketika pertemuan kemarin malam di gelar, Parin dan rekan-rekannya belum memutuskan aksi apa yang akan mereka tempuh sehubungan rencana efisiensi dan pembagian bonus yang tak jelas. Saat suara lantang sang pimpinan terdengar, Parin lebih banyak mendengarkan dalam diam. Hanya sesekali dia berbicara dengan teman di sebelah kanannya, yang dia tak tahu siapa namanya.

Namun, di beberapa kesempatan dia terlibat pembicaraan serius dengan orang tersebut. “seandainya ada orang yang berani menampar pipi si bos besar, kira-kira apa tindakannya? Tunjukkan kuasa atau ... melongo?”, ucap Parin dengan ekspresi kesal. Mendengar itu, lelaki tersebut langsung memandang Parin dengan tatapan nanar.

Parin menganggap semua yang di omongin si bos besar hanya retorika yang tidak lebih dari proses cuci otak. Maklum, sebagian bahkan seluruh karyawannya memiliki tingkat pendidikan yang rendah.

Sementara bagi lelaki di sebelah kanannya, ucapan-ucapan parin begitu menohok. Bisa jadi karena dia juga merasakan hal yang sama. “Betul mas, semua itu romantisme semu dan bohong belaka,” ujarnya suatu ketika.

Tiba-tiba saja, saat sang pimpinan memberi arahannya, lampu di ruangan aula padam. Apakah, mati karena hubungan arus pendek atau sabotase yang dilakukan oleh oknum tak bertanggungjawab. Parin gak ingin berpikir terlalu jauh!

Hanya saja, di momen-momen genting itu, teman di sebelahnya langsung bergegas menuju podium. Apa yang dilakukannya, hanya dia yang tahu? “Mungkinkah dia melakukan seperti yang ku katakan tadi, atau… apa?” tanya Parin di dalam hati.

Sejurus kemudian, laki-laki tadi kembali ke posisinya semula. “Tenang mas, sudah saya kasih pelajaran dia. Sekarang dia rasakan akibatnya!” ujarnya dengan nada bersemangat. “Betul kamu melakukannya?” tanya Parin! “Betul mas! Kalo gak percaya lihat saja bekas tapak sepatuku yang menempel di pipi kirinya” balasnya

“Berani juga orang ini. Padahal aku cuma bercanda. Mungkinkah dia terpancing oleh omonganku?” pikir parin. Apapun itu, keberaniannya boleh diacungi jempol.

Beberapa detik kemudian, lampu yang tadinya padam kini mulai menyala akibat gerak cepat awak ME (mechanical electrical) gedung ini. Suara riuh masih menyisakan riaknya, sesaat ketika bos besar kembali dengan arahannya. Kali ini, suaranya tak selantang tadi. “Apakah karena barusan ada yang menamparnya?”

Tak ada yang menyangka, momen matinya lampu menjadi ajang balas dendam bawahan terhadap atasan. Atasan yang bukan saja sekedar atasan. Atasan yang jadi semua atasan di tempat itu. Dan mengapa pula, lampu harus mati. Tak ada yang tahu!

Jujur, tak ada niat Parin untuk memprovokasi. Ucapan itu hanya tercetus tiba-tiba akibat kekesalan yang sudah memuncak dan terakumulasi.

Akibat kekesalan itu juga, Parin harus berada di dua dimensi. Dimensi yang sama-sama nyata menurut penampakannya. Namun, mana yang lebih hidup, sulit dibedakan.

Hanya colekan seseorang di sebelah kanannya yang membuat ia kembali ke dunia sesungguhnya. “mas-mas, acaranya sudah kelar!” ungkap wanita di sebelahnya yang merasa terganggu akibat miringnya kepala Parin ke arah kanan .

Mendengar itu, Parin tergagap-gagap sambil membetulkan posisi duduk. Pria paruh baya ini masih terlihat linglung. Dalam hati dia bertanya: apa yang terjadi dan mengapa situasinya bisa berubah? Bukankah tadi dia duduk bersebelahan dengan seorang buruh pria? Dan, buruh itu yang menampar sang pimpinan dengan sepatunya.

“...tadi, emang mati lampu, kan?” tanya Parin pada wanita itu, masih dengan ekspresi bingung. “benar mas, tapi gak lama, kok!” jawabnya. “Tadi, ada lihat laki-laki yang lari menuju mimbar, gak?” tanya parin kembali. “Gak ada mas. Gak ada siapapun yang lari!” jawab perempuan itu menimpali sambil mendekatkan pundaknya ke leher; pertanda ekspresi tidak tahu.

Sembari keluar ruangan, Parin masih ingat betul bagaimana dia melihat lelaki itu beranjak dari kursinya dan langsung menuju mimbar di tengah gelapnya ruangan. “Tenang mas, sudah saya kasih pelajaran dia. Sekarang dia rasakan akibatnya!” Itu kata-kata yang diucapkan lelaki tadi. Perkataan yang masih terngiang jelas di telinganya. Kalo gak salah, dia sempat memperkenalkan diri. Ya..., Chairul namanya!

(Jakarta, Sabtu 21 April 2007, pukul; 01.15 WIB)

Thursday, April 19, 2007

"TsUnAMi KeDuA bAgI AcEh yAnG TeRkOyAk"


Rekonstruksi Aceh pasca Tsunami membuat kebutuhan kayu, -baik dalam bentuk olahan maupun gelondongan- menjadi sangat besar. Permintaan jumlah kayu sebanyak itu (baca; peruntukannya lebih banyak untuk perumahan) ternyata telah menimbulkan bencana baru, yang mungkin lebih besar ketimbang Tsunami sebelumnya.

Sejak Tsunami melanda Aceh dan Nias beberapa tahun silam, kebutuhan akan sumber daya alam, khususnya kayu hutan berlipat ganda. Tak terhitung berapa juta meter kubik kayu yang sudah masuk ke daerah ini, guna pembangunan berupa fasilitas umum maupun rumah-rumah penduduk.

Kebutuhan kayu sebanyak itu telah membuka peluang bagi terjadinya penebangan liar, -yang dalam bahasa populernya disebut: illegal logging-. Itu sebabnya, banyak kalangan baik dari akademisi dan Non Government Organizations (NGO), lokal maupun internasional, yang peduli terhadap kelestarian alam, khususnya hutan, khawatir kebutuhan kayu sebesar itu akan mendrorong orang/ pihak yang tak bertanggungjawab untuk melakukan penggundulan hutan.

Isu penebangan liar mulai mendapat perhatian politik dan media dari seluruh dunia dalam skala yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Sejumlah negara secara resmi mengumumkan dan menandatangani deklarasi “Forest Low and Governance (FLAG)” untuk menangani masalah ini. Di saat yang sama banyak pihak mulai membangkitkan kesadaran masyarakat akan biaya yang harus ditanggung masyarakat lokal dan ekosistem hutan yang hancur jika pencurian kayu secara sistematis terus berlanjut.

Sebagai ilustrasi, untuk membangun 120.000 unit rumah sederhana bagi korban Tsunami, dibutuhkan kayu sebanyak 8 sampai 10 juta kubik. Hal ini sangat kontradiktif dengan hasil hutan nasional yang hanya 5 juta kubik kayu. Jelas ini tak mungkin, karena hasil hutan tersebut harus harus dibagi untuk kebutuhan kayu di seluruh Indonesia. Andai saja, hasil kayu nasional tersebut digunakan untuk membangun rumah sederhana bagi korban Tsunami. Diperlukan minimal dua tahun dalam pengadaannya.

Bagi pemerintah daerah, pemenuhan kayu sebanyak itu bukanlah perkara mudah. Kesulitan finansial berupa anggaran yang terbatas disertai pembenahan di segala bidang menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat. Untuk itulah bantuan dari negara-negara donor yang tersentuh dengan penderitaan para korban Tsunami -yang sebagian besar pesimis dengan masa depannya-, menjadi oase yang menyejukkan.

Bantuan negara donor dalam penanganan bencana pasca Tsunami, khususnya perumahan, sedikit banyak telah memberi jawab. Mereka yang dulunya larut dalam kesedihan, akibat kehilangan harta dan nyawa, kini mulai bangkit menapak hidup yang penuh harap. Banyak desakan agar mereka (baca: negara donor) membantu korban dalam pengadaan kayu untuk perumahan disamping bantuan lain. Akan tetapi pihak NGO (baca; WALHI, WWF dan FFI) mengkhawatirkan penggunaan kayu dalam jumlah besar akan berakibat pada deforestasi (penggundulan hutan), mengingat sekarang ini jumlah tutupan hutan di Indonesia berkurang hingga 2 juta ha/tahunnya. Karena itu para NGO tersebut mengkampanyekan pelarangan penggunaan kayu ilegal dengan anjuran; bagi mereka (baca: investor) yang menggunaan kayu ilegal dalam pembangunan rumah, akan mengakibatkan penghentian bantuan dari negara donor. Walau tak secara drastis merubah paradigma masyarakat untuk meninggalkan kayu ilegal, anjuran tersebut di rasa manjur untuk mengurangi penggunaan kayu ilegal.


Semakin Mengkhawatirkan

Indonesia yang memiliki 10 persen hutan hujan tropis di dunia yang tersisa, mempunyai sejarah kerusakan hutan yang sangat cepat. Kegiatan penebangan liar yang anarkis telah memacu laju penyusutan hutan (deforestasi) yang tiada duanya di dunia. Jika dianalogikan; dalam setiap tahunnya, kurang lebih areal hutan seluas negara Swiss akan musnah.

Aneka kerugian, berupa; biaya sosial, finansial dan lingkungan yang di timbulkan oleh penebangan liar ternyata cukup besar. Illegal logging telah mengakibatkan negara penghasil kayu kehilangan pendapatan sedikitnya sebesar US$ 15 milyar per tahunnya dan hilangnya hutan dapat mempengaruhi sumber penghidupan lebih dari satu milyar penduduk di negara berkembang yang hidup dalam kemiskinan parah. Hilangnya hutan juga di diikuti oleh maraknya kebakaran, tanah longsor dan banjir yang mengambil nyawa ribuan orang. Penebangan liar pun ikut mengancam eksistensi banyak species yang terancam punah.

Data di lapangan menunjukkan, bahwa dari semua ijin yang diberikan pemerintah kepada perusahaan yang menggunakan kayu sebagai kegiatan produksinya, hanya IPHHK (Ijin Pengelolaan Hasil hutan Kayu) yang menampakkan perubahan drastis. IPHHK sebelum Tsunami ada 31 unit usaha. Namun anehnya, setelah Tsunami, ijin usaha ini terus bertambah menjadi 47 IPHHK di seluruh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Dari 47 pemegang IPHHK tersebut, tercatat 17 diantaranya berakhir masa berlakunya pada tahun 2005 silam. Sedangkan 10 IPHHK berlokasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kawasan yang di tetapkan sebagai paru-paru dunia yang kini tengah terancam keberadaannya.

Meski masuk ke Kawasan Ekosistem Leuser sangat ketat dan kawasannya tidak diijinkan untuk dirambah apalagi diambil hasil kayunya. Pada prakteknya, sejak jaman Orde Baru pembabatan taman nasional tersebut sulit dihentikan. Penyebabnya tidak lain, karena kayu sebagai hasil hutan merupakan komoditi yang menjanjikan untuk menghasilkan uang dalam jumlah besar dan dalam waktu relatif singkat.

Di tengah lebatnya hutan hujan tropis di Kawasan Ekosistem Leuser, merbau (Intsia spp) merupakan jenis kayu yang paling banyak di incar para penebang liar. Pohon ini sendiri tumbuh di hutan hujan tropis dataran rendah di propinsi Papua dan sebagian Sumatera.

Menurut the World Conservation Union (WCN), merbau di golongkan sebagai spesies yang rentan terancam kepunahan (vulnerable). Sementara the World Conservation Monitoring Centre (WCMC) menggolongkan kayu merbau Indonesia sebagai spesies yang terancam (threatned). Kepedulian terhadap eksploitasi merbau yang melampaui batas telah mendorong usaha untuk mencantumkannya dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) pada tahun 1992.

Kayu ini menjadi begitu berharga dan diminati, karena kekuatan dan daya tahannya. Kayu berharga ini sering digunakan untuk pembangunan jalan dan jembatan, membangun rumah, lantai, perabotan luar ruangan, decking, balok dan lemari. Di pasaran, harga kayu ini pun cukup mahal antara US$ 200 untuk kayu bulat dan US$ 450 – 600 untuk kayu olahan. Sebuah harga yang cukup menggiurkan tentunya.

Sejak pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 2001. Ekspor resmi kayu bulat merbau telah menurun, namun pembalakan liar dan penyeludupan masih terus berlangsung dalam skala besar, dimana kini volumenya mencapai 300.000 m kubik per bulan. Lagi-lagi besaran yang sangat mengkhawatirkan.

Berdasarkan hasil investigasi WALHI Aceh, ditemukan banyaknya truk pengangkut kayu (baca; diantaranya Merbau) yang keluar dari Aceh Tenggara, yang notabene mempunyai kawasan hutan cukup luas. “Sedikitnya setiap hari ada 20 truk pengangkut kayu keluar dari kawasan hutan di daerah tersebut,” ungkap Nurul Ichsan, Divisi Advokasi WALHI Aceh dalam sebuah seminar di Aceh beberapa waktu lalu.

Berdasarkan data di Dishut Aceh Tenggara, diketahui bahwa luas kawasan hutan di Aceh Tenggara sebesar 423.286 Ha terbagi atas; 276.000 Ha untuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), 55.000 Ha untuk Hutan Lindung (HL), 47.125 Ha Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan 30.000 Ha Hutan Konservasi (HK) serta ditambah dengan Area Pegunungan Lain (APL) seluas 15.061 Ha

Dari data tersebut disebutkan pula, bahwa pasca Tsunami, sekitar 1.886,07 m kubik kayu dibawa keluar dari Aceh Tenggara dengan tujuan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dan sebagian lainnya ke Sumatera Utara (Tanjung Balai) untuk tujuan ekspor.

Sebagai gambaran, pada Januari 2005, diketahui rincian kayu yang keluar, nihil, sehubungan dengan status Aceh dalam darurat sipil sebagai upaya untuk memutus rantai dengan pihak GAM. Kemudian pada bulan Februari, jumlah kayu yang berhasil dibawa keluar sebanyak 196.15 m3. Dilanjutkan pada bulan Maret; 507,62 m3, April; 311,05 m3, Mei; 449,58 m3, dan Juni sebanyak 421,67 m3 dengan pemegang SKSHH sebanyak 12 perusahaan, dimana sebagian perusahaan tersebut tidak aktif.

Sedangkan bagi masyarakat lokal yang terlibat illegal logging, kegiatan menebang pohon merupakan pekerjaan terakhir, akibat tidak adanya pekerjaan lain. Bagi Nasrudin (50) misalnya. Pria usia lanjut, warga desa Kuta Ujung. Kec. Darul Hasanah, Kab. Aceh Tenggara, akhirnya harus menjual kayu gelondongan karena tak punya pekerjaan tetap.

Dari hasil usaha ke tengah hutan selama ini, Nasrudin hanya mendapat imbalan dari ‘touke’ (agen/ pengumpul) sebesar Rp. 25.000 hingga Rp. 30.000 per hari. Hasil ini yang dia pakai untuk mencukupi keluarganya. Bahkan untuk menambah kekuranggan, dia terpaksa berkebun tanaman muda di lahan milik orang lain.

Nasrudin berharap agar pemerintah dan LSM, Pers dan yayasan yang peduli terhadap lingkungan dapat memberdayakan masyarakat. Pasalnya, jika tidak ada bantuan, baik untuk usaha pertanian, perikanan serta perkebunan, dapat dipastikan masyarakat akan menebang pohon di hutan. Karena kegiatan ini merupakan cara tercepat untuk menghasilkan uang.

Kasus penebangan liar pasca Tsunami tidak hanya terjadi di Aceh Tenggara saja. Sebuah lembaga internasional; Flora Fauna International (FFI) untuk Asia Fasifik juga membeberkan kasus penebangan liar di Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Kabupaten Pidie dengan kerusakan kawasah hutan mencapai kurang lebih 4.000 hektar.

Penebangan liar di Aceh Barat semakin marak di kawasan hutan Kecamatan Arongan Lambalek. Meski kawasan itu dekat dengan lalu lintas yang ramai, perambahan terus berlangsung. Pembabatan seakan telah menjadi menu harian yang tak perlu ditakuti. Pasalnya, banyak pihak yang bermain dengan masyarakat sebagai penonton.

Saat ditanya, mengapa akttivitas penggundulan hutan semakin meningkat akhir-akhir ini? Dengan mudah dapat dijawab, karena permintaan hasil hutan berupa kayu semakin besar. Hal ini juga dibenarkan oleh WWF Aceh. Mereka berpendapat, tingginya angka kebutuhan kayu dalam proses rekontruksi Aceh turut memicu munculnya penebangan liar. Umumnya, penebangan liar ini dilakukan oleh pemilik modal yang dibekingi oleh oknum aparat tertentu, dengan spekulasi kayu-kayu tersebut bisa dijual bagi masyarakat yang membutuhkan rumah.

Padahal kegiatan tersebut tidak mudah. Sebagai contoh adalah kasus LSM yang membangun 900 unit rumah bagi korban Tsunami. Setelah membangun 70 unit, diketahui bahan rumah tersebut menggunakan kayu hasil penebangan liar. Akhirnya sebuah lembaga donor dari Austria dan Jerman menghentikan aliran dananya.

Menanggapi maraknya perambahan hutan, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi NAD, Ir. Mustafa Hasybullah mengatakan, bahwa ini merupakan dari tidak difungsikannya Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Akibatnya, perambahan hutan tak terkontrol. “Dengan memanfaatkan HPH kembali, penebangan liar di Aceh dapat di tekan.” ungkapnya.

Menurut Mustafa, maraknya illegal logging lebih dikarenakan moratorium kayu tahun 2001 lalu. Akibatnya, kebutuhan kayu tidak terpenuhi dan melahirkan pelaku perambahan hutan. “Dengan adanya HPH yang jelas, kami bisa menuntut pertanggungjawaban mereka kalau terjadi penebangan liar. Kalau sekarang, kami mau minta pertanggungjawaban siapa?” kilahnya.

Solusi Penting

Tak diragukan lagi bahwa penebangan liar telah menjadi isu yang paling mendesak yang di hadapi dunia dewasa ini. Tak urung negara-negara maju yang tergabung dalam G8 sepakat untuk meminimalisir kegiatan penebangan dan perdagangan kayu ilegal di dunia sejak tahun 1998 lalu. Namun sejauh ini, upaya tersebut nyaris tidak berdampak terhadap kelestarian hutan dan perdagangan kayu liar. Sampai detik ini penebangan masih berlanjut.

Masih segar dalam ingatan, bagaimana banjir bandang melanda Aceh Tenggara pada Oktober 2005 lalu, tempat Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berada. Peristiwa yang menewaskan 14 warga sipil dan 1 orang Brimob di Desa Lawe Mengkudu, Desa Lak Lak, Jongar, Aunan dan Lawe Beringin, Kec. Badar. Bukan hanya nyawa yang melayang, ratusan rumah dan prasarana lainnya ikut terseret arus. Bencana tersebut di duga akibat penebangan liar yang dilakukan oknum tak bertanggungjawab, selama 20 tahun silam hingga sekarang, tanpa melakukan peremajaan.

Terlepas dari apa yang terjadi, selayaknya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terhampar dai Aceh sampai Sumatera Utara, dengan hutan seluas 2,7 juta Ha harus di jaga dan dilestarikan. Masyarakat Aceh menilai telah terjadi ketidakseriusan penanganan dalam hal pengelolaan hutan sebagai penopang kehidupan.

Apapun alasannya, tidak dibenarkan untuk mengambil kayu dari Kawasan Ekosistem Leuser. Kini saatnya kita mengurangi penggunaan kayu, khususnya yang ilegal sebagai bahan material bangunan, mengingat jumlahnya yang kian terbatas. Untuk itulah rangkaian solusi cedas diperlukan untuk menjamin langkah-langkah pencegahan dapat terlaksana, sehingga pihak-pihak tak bertanggungjawab tidak bertindak semakin jauh. Adapun solusi tersebut, diantaranya:

Pertama; pemerintah perlu membangun dan meningkatkan kesadaran di tingkat masyarakat akan pentingnya pengelolaan SDA yang berkesinambungan. Sehingga dengan pelibatan masyarakat lokal secara aktif, akan membuat mereka berada di garda terdepan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan.

Cara ini dianggap efektif dan efisien untuk mengatasi kerusakan, karena hutan masih dianggap memiliki unsur magis dan sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan dari para cukong kayu yang mempunyai modal besar.

Kedua; pemerintah harus menindak tegas para pelaku pencurian kayu secara ilegal (Illegal logging). Ada anggapan, selama ini para cukong tidak bisa disentuh hukum, sehingga kondisi ini tidak hanya membuka peluang untuk terjadinya perambahan, tetapi juga merusak tatanan hukum di Indonesia.

Ketiga; pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dengan cara ini diharapkan, masyarakat sekitar hutan tidak akan menggantungkan hidupnya dengan merusak hutan, tetapi turut dalam pelestariannya. Mereka akan beralih ke profesi lain sesuai dengan program ataupun rencana yang akan diarahkan oleh pemerintah. Karena selain kayu, masih banyak hasil hutan non kayu yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan.

Keempat; perlunya arus informasi yang bisa diakses oleh masyarakat terpencil sekalipun, lewat pemberitaan media yang berimbang. Hal ini menjadi penting agar sebuah peristiwa ataupun hasil dan perkembangan pembangunan yang telah dicanangkan bisa diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.

Kelima; perlunya pembangunan yang berkelanjutan (sustanaible development), yakni suatu pembangunan yang pemanfaatan sumberdaya alamnya, arah investasinya, orientasi pengembangan teknologinya dan perubahan kelembagaannya dilakukan secara harmonis dan dengan amat memperhatikan potensi pada saat ini dan di masa depan dalam pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat

Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan bisa diwujudkan melalui keterkaitan yang tepat antara alam, kondisi sosial, kondisi ekonomi dan budaya. Pemanfaatan sumberdaya alam untuk mendukung kegiatan manusia ada batasnya, meskipun teknologi yang dikuasai telah menjadikan batas-batas tadi relatif sifatnya. Pembangunan berkesinambungan bukanlah suatu situasi harmoni yang tetap dan statis, melainkan merupakan suatu proses perubahan eksploitasi sumberdaya alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi dan pengembangan kelembagaan konsisten dengan pemenuhan saat ini dan di masa depan.

Keenam; terealisasinya Protokol Kyoto Jepang tahun 2004. Jika perjanjian Kyoto tersebut melibatkan puluhan bahkan ratusan negara, maka akan memberikan kompensasi yang cukup berarti terhadap masyarakat di Kawasan Ekosistem Leuser.

Seandainya perjanjian tersebut menjadi kenyataan, maka setiap negara yang ikut dan tergabung dalam traktat tersebut akan menjadi negara donor terhadap pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser. Dalam perjanjian tersebut dikatakan; kayu-kayu yang berasal dari Kawasan Ekosistem Leuser tidak boleh ditebang sembarangan.

Ternyata, dari semua keberadaannya kini, kenyataan yang paling memilukan adalah penebangan kayu jutaan kubik di kawasan paru-paru dunia (baca: Ekosistem Leuser) masih berlangsung. Dengan dalih, demi rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca Tsunami, kerusakannya semakin mengkhawatirkan. Ketika tak ada yang tersisa, kita hanya bisa pasrah menunggu bencana besar (baca: Tsunami) kedua datang lagi. Semoga saja tidak!

Monday, April 16, 2007

"Saatnya Serikat Pekerja Tumbuh"



Pentingnya kegiatan berserikat bagi buruh dalam memperjuangkan hak-haknya, telah membuat munculnya beragam aliansi serikat pekerja sejak runtuhnya Orba hingga sekarang. Sedikitnya ada 27 serikat pekerja/buruh yang telah terdaftar di Departemen Tenaga Kerja.

Kebangkitan gerakan buruh dapat dilihat dari kelahiran puluhan organisasi buruh baru di Indonesia. Bila selama Orde Baru, pemerintah hanya mengakui Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai organisasi tunggal buruh, kini sederet nama baru organisasi buruh lahir. Pengurusnya pun ada veteran dari organisasi pekerja masa lalu, politisi, aktivis kampus, aktivis LSM, dan kaum profesional. Nyaris seperti partai-partai politik, bermunculan pula organisasi buruh yang memiliki identifikasi dengan aliran ideologi, baik berbau agama maupun aliran-aliran sekuler.

Tercatat dua organisasi buruh yang mengidentifikasi dengan gerakan Islam, yakni Sarikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), organisasi buruh yang membawa bendera Nahdlatul Ulama, dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI). Di samping organisasi buruh yang mengidentifikasi dengan aliran keagamaan, muncul pula Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang mencantumkan asas sosialis demokrasi. Ada pula gerakan buruh marhaen, Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) yang dipimpin M Pasaribu.

Meski delapan organisasi buruh yang tergabung dalam Forum Solidaritas Union (FSU) belum mencabut penolakan terhadap UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh Nomor 21 Tahun 2000, cukup banyak organisasi buruh yang telah mencatatkan keberadaannya di Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja. Aktivis buruh kawakan, seperti Agus Sudono dan Bomer Pasaribu, masih terdapat dalam kepengurusan serikat buruh. Bomer Pasaribu masih tercatat sebagai Ketua Federasi SPSI, sedangkan Agus Sudono tercatat sebagai Ketua Gabungan Serikat Buruh Industri Indonesia (Gasbiindo). Nama Eggi Sudjana dan Jumhur Hidayat juga muncul sebagai organisator serikat buruh. Eggi memimpin Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI). Jumhur muncul sebagai Ketua Gabungan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Gaspermindo) .

Tokoh bawah tanah dalam gerakan buruh semasa Soeharto, seperti Mochtar Pakpahan dan Dita Indah Sari, masih saja tampil dalam gerakan buruh. Pakpahan memimpin SBSI. Dita yang dulu memimpin Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) kini memimpin FNPBI.

Masih persis seperti fenomena partai politik, ada pula sejumlah organisasi papan nama dengankeanggotaannya yang belum jelas. Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja hingga Agustus tahun lalu mencatat ada 27 organisasi serikat pekerja. Dari jumlah itu, Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI)-organisasi yang pernah memonopoli gerakan buruh semasa Orde Baru- tercatat masih memiliki peringkat tertinggi dalam jumlah keanggotan serikat pekerja.

FSPSI tercatat memiliki 6.424 organisasi pekerja di tingkat perusahaan yang tersebar di 25 provinsi. Sedangkan organisasi pecahannya, FSPSI Reformasi memiliki 3.131 serikat pekerja di tingkat perusahaan yang tersebar di 26 propinsi.

Sebuah Dilema

DI balik hingar-bingar gerakan serikat pekerja, masih banyak soal yang mesti dijawab oleh aktivis buruh. Sebuah ciri yang melekat pada serikat buruh adalah iuran anggota untuk membiayai kegiatan organisasi. Dari sederet organisasi buruh yang ada, belum satu pun organisasi yang mandiri dalam keuangannya. Bahkan yang telah mulai menarik iuran anggota pun masih satu-dua. Federasi SPSI masih mengandalkan dana dari luar dirinya, yakni dana dari Jamsostek yang tidak dinikmati oleh serikat-serikat buruh lainnya. Menurut sumber tertentu, F-SPSI tahun lalu menerima dana tidak kurang dari Rp 900 juta dari Jamsostek.

Lima puluh persen dana yang ada didekap oleh Federasi dan tidak pernah dilaporkan pada anggota. Antara lain karena alasan itulah Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi muncul dan memisahkan diri dari F-SPSI, .

Dewan Pimpinan Pusat F-SPSI mengakui, selama ini mereka menerima uang Jamsostek. Namun, menurut DPP F-SPSI, dana itu merupakan imbalan yang diterima karena menjualkan polis asuransi Jamsostek kepada anggotanya.

Di luar F-SPSI, serikat-serikat buruh lain masih mengandalkan dana dari luar negeri. Saat ini serikat-serikat buruh dari luar negeri berlomba-lomba mengulurkan tangan membantu organisasi-organisa si buruh yang baru muncul di Indonesia , baik dalam dana untuk pelatihan, program, maupun dana rutin. American Center for International Labor Solidarity (ACILS) merupakan salah satu LSM dari AS yang agresif membantu pendanaan serikat-serikat buruh baru di Indonesia .

Aspek (Asosiasi Serikat Pekerja) Indonesia menerima dana dari Union Network International (UNI) yang berbasis di Geneva . Selain itu, ia juga memperoleh bantuan dari serikat-serikat buruh dari negara-negara lain yang tergabung dari UNI. SPSI Reformasi memperoleh bantuan dana dari International Confederation of Trade Union (ICFTU). AJI (Aliansi Jurnalis Independen) memperoleh dana dari banyak funding seperti UNICEF, Internews, GTZ, IFJ. SBSI menerima dana dari serikat buruh Kristen Belanda (CNV) dan World Confederation of Labor (WCL), selain iuran dari 70 persen anggo-tanya yang kini, menurut Sekjen SBSI Raswan Suryana, telah mencapai 1.693.275 orang. SBJ (Serikat Buruh Jakarta) memperoleh dana dari organisasi buruh di Denmark .

Iuran anggota memang belum mentradisi. Bagaimana buruh mau membayar iuran kalau mereka belum mempunyai bukti konkret bahwa serikat pekerja memang perlu untuk memperjuangkan kepentingan mereka? Iuran sangat kecil, sementara overhead cost organisasi sangat besar.

Kucuran dana dari luar negeri yang cukup deras itu boleh jadi merupakan salah satu penyebab organisasi buruh menolak memberikan laporan bantuan luar negeri yang diterimanya kepada pemerintah, sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Menurut para pengurus organsisasi tersebut, mereka wajib melaporkan dana yang diterima dan penggunaan dana tersebut kepada anggota, bukan kepada pemerintah.

Di luar iuran, sederet persoalan lain masih menghadang. Belum tumbuhnya kultur serikat pekerja di kalangan buruh membuat kemampuan buruh dalam berunding dengan pihak perusahaan menjadi sangat lemah. Akibatnya, mereka lebih mudah memilih cara-cara yang militan dengan mogok, menutup jalan, atau merusak pabrik daripada bernegosiasi dengan perusahaan. Keterampilan berorganisasi dan berunding ini tidak akan tumbuh seketika.

Serikat Pekerja Kerah Putih

Antusiasme gerakan buruh tidak hanya monopoli pekerja pabrik. Di kalangan pekerja kerah putih dan profesional kini juga muncul kecenderungan baru untuk menghimpun diri dalam organisasi pekerja. Kalangan karyawan bank mebentuk Federasi Organisasi Pekerja Keuangan dan Perbankan Indonesia (Fokuba). Jurnalis yang bergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kini bergiat mengampanyekan pendirian serikat kerja di lingkungan perusahaan pers.

Perkembangan organisasi buruh pada pekerja berkerah putih kini cukup pesat. Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia , yang semula bergabung dalam Fokuba, kini telah menghimpun 52 serikat pekerja di tingkat perusahaan. Organisasi ini mengklaim memiliki anggota sekitar 70.000 orang. Aspek yang semula berbasis pada pekerja sektor keuangan dan perbankan kini memperluas pengaruh. Dalam waktu singkat mereka telah menggandeng karyawan PT Indosat, PT Pos dan Telekomunikasi, Taman Impian Jaya Ancol, dan sejumlah penerbitan dan percetakan.

Protes buruh dari kalangan pekerja kerah putih ini menampilkan warna yang berbeda dengan gerakan buruh yang selalu diidentifikasi sebagai pekerja kelas bawah, kumuh, dan revolusioner. Pertemuan-pertemuan mereka diadakan di ruang ber-AC. Sehari-hari mereka berdasi. Logo yang dipilih tidak jauh berbeda dengan logo perusahaan-perusaha an kapitalistik. Simbol dan idiom yang mereka pergunakan pun jauh dari ke-kiri-kirian.

Aspek Indonesia dalam sebuah seminar memajang spanduk dengan slogan berbahasa Inggris United We Bargain, Di-vided We Beg. Penyebaran seri-kat pekerja di kalangan pekerja berkerah putih ini cukup pesat karena, antara lain, organisasi itu telah menyiapkan program penyiapan pembentukan seri-kat, lengkap dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, berita acara pembentukan organisasi, surat permohonan ke Depnaker dalam sebuah disket.

Kantor Aspek Indonesia di Tebet Dalam, Jakarta Selatan, pun dipenuhi dengan poster gerakan buruh yang bersifat "multinasional" . Di kantor yang dikontrak untuk jangka waktu lima tahun dengan uang sewa Rp 25 juta per tahun itu kini tengah dibangun ruang pelatihan information technology dan bahasa Inggris untuk pengurus. Bahkan pembantu rumah tangga yang dipekerjakan di kantor itu pun terampil berbahasa Inggris. Maklum ia pernah bekerja sebagai TKW (tenaga kerja wanita-Red) di Singapura.

Tak terbatas pada penampilan fisik saja, Aspek juga menjalin erat dengan jaringan internasional. Suatu ketika Aspek menerima pengaduan dari karyawan PT Korean Exchange Bank Danamon karena manajemen perusahaan asal Korea itu menolak pendirian serikat pekerja di lembaga tersebut. Bahkan, yang bersifat "multinasional" . Manajemen bank tersebut langsung menghubungi Aspek. Namun, pengurus Aspek langsung mengadukan persoalan itu kepada Presiden Federasi Union Bank di Seoul, yang langsung mengontak orang Korea yang memimpin perusahaan itu. Akhirnya ia menyetujui pembentukan serikat pekerja di perusahaan itu. Ternyata ia sendiri anggota serikat buruh di negaranya.

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN