Sunday, December 11, 2011

Sebuah Penantian Panjang



Hari ini (12/12/2011) merupakan waktu yang yang paling ditunggu-tunggu oleh seorang teman. Setelah berjuang cukup lama untuk memperoleh momongan, kini ia tinggal menunggu waktu persalinan istrinya. Semoga saja semuanya lancar.

Dari sekian lama membina rumah tangga, ini merupakan pengalaman ketiganya menunggu kehadiran si kecil. Penantian panjang tersebut jadi momen yang sangat berharga. Pasalnya, dua kehamilan sebelumnya berujung dengan kepiluan mendalam. Ia dan istrinya mesti merelakan buah hati mereka kembali pada sang khalik.

Dalam kondisi demikian, bisa dibayangkan betapa merindunya mereka akan hadirnya si buah hati. Tak kala banyak orangtua tengah asyik bermain dengan si kecil, mereka hanya bisa memandang dari jauh sembari mengelus dada. Berharap mereka juga akan merasakannya.

Tak ingin mengalami kejadian serupa, teman ini pun rajin memeriksakan istrinya ke dokter. Hari demi hari pembentukan janin berjalan normal. Tidak ada kelainan. Namun sayang, di tengah jalan keanehan mulai terjadi. Dokter pun menyarankan second opinion.

Singkat cerita, mereka tetap bergerak maju. Biarlah hal yang menakutkan itu menjadi rahasia Ilahi. Mereka tegar meski resiko tetap ada. Saatnya menunggu muzijat kecil terjadi. Muzijat yang akan mengubah hidup mereka. Pertanda sebuah babak baru dimulainya keceriaan plus kesibukan ekstra.

***

Sementara itu, di luar sana, ribuan mungkin jutaan anak-anak kecil yang dilahirkan dari sebuah perjuangan panjang kini sedang menunggu mati. Mati akibat ketidakramahan lingkungan terhadap mereka. Mati oleh kepulan asap yang menggerogoti setiap rongga paru-paru mereka.

Beberapa waktu lalu saya terhenyak membaca kiriman imel dari seorang teman. Dalam surat elekroniknya ia menyertakan sebuah halaman situs yang berisi tentang kondisi terkini tantangan anak Indonesia. Selengkapnya bisa ditemukan di http://lipsus.kompas.com/suaraanakindonesia.

Data Laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2008 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara terbesar ketiga pengkonsumsi rokok di dunia, setelah Cina dan India. Lebih dari 60 juta penduduk Indonesia tidak berdaya menghadapi rokok. Padahal, sedikitnya 400 ribu orang per tahun meninggal akibat konsumsi rokok di kalangan remaja yang meningkat 144% antara 1995-2004.

Berdasarkan laporan tersebut, sebanyak 76,6% perokok merokok di dalam rumah ketika bersama dengan anggota keluarga lain. Akibatnya banyak anak Indonesia terpapar asap rokok, dan menanggung risiko penyakit akibat rokok.

Riset tersebut sejalan dengan Data Pusat Promosi Kementrian Kesehatan 2011 yang menunjukkan ada 40,3 juta anak usia 0 – 14 tahun terpapar asap rokok. Dari jumlah itu, 1,7% diantaranya telah menjadi perokok aktif sejak usia 5 hingga 9 tahun.

Temuan lain juga menyebutkan bahwa rokok telah merusak sumber keuangan rumah tangga miskin. Sedikitnya keluarga miskin membelanjakan 12,4% pendapatannya untuk membeli rokok, dengan mengorbankan gizi keluarga, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan bagi rumah tangga kaya yang perokok hanya menghabiskan 7% pendapatannya untuk membeli rokok.

Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, secara nyata rokok telah menjadi mesin pembunuh nomor wahid. Perlahan namun pasti. Di tengah ketidakberdayaan, anak-anak menjadi korban.

Dalam sebuah kesempatan, Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih pernah menyatakan keprihatinannya atas meningkatnya jumlah anak-anak perokok di atas usia 10 tahun di Indonesia, sejak empat tahun terakhir.

Riset Kementerian Kesehatan tahun 2010 menunjukkan jumlah perokok anak berusia di atas 10 tahun sejak tahun 2007 mengalami peningkatan prevalensi mencapai 28,2 %. Sedangkan 54,1% lebih dari separuh penduduk laki-laki berusia 15 tahun keatas mengkonsumsi rokok setiap hari. Artinya terjadi kenaikan sekitar 5% dimana mereka memiliki risiko kanker paru sebesar 20-25 persen.

Sementara itu, Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) memperkirakan tahun ini lebih dari 5 juta orang akan meninggal terkait tembakau karena serangan jantung, stroke, kanker, penyakit paru-paru atau penyakit lainnya. Itu semua belum termasuk lebih dari 600.000 orang (1/4 dari mereka adalah anak-anak) yang akan meninggal karena paparan perokok pasif.

Berdasarkan perkiraan, jumlah korban meninggal per tahunnya akibat penggunaan tembakau secara global bisa meningkat menjadi 8 juta pada 2030. Sebuah angka yang mengejutkan, tentunya. Setelah membunuh 100 juta orang selama abad ke-20, penggunaan tembakau bisa membunuh satu miliar orang selama abad ke-21.

Regulasi Pembatasan Tembakau

Semakin nyatanya bahaya akibat tembakau, memaksa WHO mengambil keputusan penting, yakni diberlakukannya pembatasan penggunaan tembakau. Dengan tema “The World Health Organization (WHO) Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC)”, WHO menyerukan desakan tersebut dalam peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang jatuh pada 31 Mei 2011 lalu. Regulasi pembatasan terhadap tembakau pun semakin kencang didengungkan.

Konvensi Kerangka Kerja WHO dalam Pengendalian Tembakau, selanjutnya disingkat WHO FCTC dikembangkan untuk menanggapi globalisasi epidemik tembakau dan merupakan perjanjian berbasis bukti yang menegaskan kembali hak semua orang untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Konvensi ini merupakan tonggak bagi pentingnya kesehatan masyarakat dan memberikan dimensi hukum yang baru dalam menggalang kerjasama kesehatan internasional.

WHO FCTC diharapkan mampu melakukan perubahan dalam mengembangkan strategi regulasi untuk mengatasi zat adiktif dibandingkan dengan konvensi pengendalian sebelumnya. Perjanjian itu juga mengakui pentingnya kerjasama internasional dan membantu negara berkembang untuk memenuhi kewajiban perjanjian mereka. Perjanjian itu juga diharapkan mampu melindungi generasi sekarang dan mendatang dari gangguan kesehatan, sosial, lingkungan, konsekuensi ekonomi, konsumsi tembakau, dan paparan akibat asap tembakau.

WHO FCTC menjadi instrumen penting yang diharapkan mampu mengendalikan penggunaan tembakau. Awalnya, perjanjian ini dimulai pada tahun 2003, merupakan perjanjian pertama dan paling cepat yang pernah dinegosiasikan di bawah naungan WHO. Perjanjian ini telah didukung lebih dari 170 negara, merupakan prestasi tertinggi dalam sejarah kemajuan kesehatan masyarakat di dunia.

Bagaimana Dengan Indonesia?

Seorang teman yang ikut meliput Konferensi Asia Pasifik tentang Pengendalian Tembakau dan Kesehatan (Asia Pacific Conference on Tobacco or Health–APACT) di Sydney, Australia, beberapa waktu lalu, mengatakan bahwa Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang belum meratifikasi konferensi WHO-FCTC.

Saat itu, secara seluruh peserta konferensi yang terdiri dari 700 peserta dari 41 negara sepakat menekan pemerintah Indonesia agar segera menandatangani peraturan internasional mengenai kesehatan masyarakat ini.

Indonesia dianggap membahayakan efektifitas upaya pengendalian tembakau yang sudah dilakukan dengan amat baik di kawasan Asia. Saat ini di antara negara-negara dengan penduduk terbesar di dunia, hanya Amerika Serikat dan Indonesia yang belum menandatangani aturan ini.

Akibatnya begitu terasa. Ketika iklan, promosi dan sponsor rokok sudah dilarang di hampir seluruh dunia, produk rokok di Indonesia malah meraup untung besar. Mereka (baca: produsen rokok) beriklan dengan sangat gencar. Tak sulit menemukan iklan rokok di tempat-tempat umum. Selain itu, tidak ada peringatan bergambar mengenai bahaya merokok untuk kesehatan di kemasan rokok, seperti yang banyak ditemui di negara lain.

Di dalam negeri sebenarnya sudah ada pengaturan mengenai tembakau, salah satunya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 20/PMK.07/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 84/PMK.07/2008 tentang Penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau dan Sanksi atas Penyalahgunaan Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.

Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) adalah merupakan penerimaan negara dari cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2%. Peraturan tersebut sebenarnya sebagian telah mengakomodasi juga instrumen yang ada di dalam WHO FCTC, walaupun memang belum secara komprehensif dalam membatasi peredaran tembakau. DBHCHT dialokasikan di samping untuk mengatasi masalah dampak sosial terhadap akibat asap rokok, juga dapat dipakai untuk memperbaiki sistem produksi tembakau.

Menanggapi desakan ratifikasi tersebut, Menteri Perindustrian saat itu (2010), Fahmi Idris menolak mengenai kewajiban meratifikasi konvensi PBB tersebut. "Konvensi PBB tidak wajib," ujarnya pada salah satu media terbitan nasional.

Menurut Fahmi, Indonesia seharusnya bersikap netral atas konvensi tersebut. Tidak ada pengaruhnya antara ditandatangani atau tidak ditandatanganinya ratifikasi itu. Menurutnya, konvensi boleh ditaati, boleh juga tidak, karena bukan sebuah keharusan.

Ketidakharusan meratifikasi konvensi berskala internasional tersebut, menurut Fahmi, belajar dari pengalaman ratifikasi konvensi Kebebasan Berserikat yang dilakukan pada 1998. "Waktu meratifikasi konvensi itu, saya menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, padahal konvensi dikeluarkan pada tahun 1936. Toh, dalam jeda itu tidak terjadi apa-apa," ujarnya.

Bahkan, dia menambahkan, Amerika Serikat hingga sekarang belum bersedia meratifikasi karena menurut mereka tidak perlu.

Sebuah Anomali

Meski ada anggapan yang mengatakan tidak ada perubahan berarti jika Indonesia meratifikasi WHO FCTC, setidaknya konvensi tersebut akan menjadi acuan dalam membuat aturan-aturan yang lebih detil yang berpihak pada masyarakat. Anehnya, belum lagi ratifikasi dilakukan, kecurangan telah terjadi. Bukti terbaru adalah dengan hilangnya pasal tembakau di Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Fakta ini menjadi contoh betapa sulitnya melindungi keluarga sehat agar tetap sehat terbebas dari asap rokok.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menjadi sangat kontroversial ketika dalam pembahasannya terdapat pasal mengenai tembakau yang tiba-tiba dihilangkan. Sontak, masyarakat pun bereaksi. Ternyata untuk mendapatkan hidup sehat tidak mudah. Padahal tolok ukur program PHBS (perilaku hidup bersih dan sehat), salah satu indikatornya adalah keluarga harus bebas dari asap rokok.

Mengendalikan penggunaan tembakau tentu saja harus dilakukan dengan bijak dan hati-hati. Mengingat beberapa daerah di Indonesia secara ekonomi penduduknya masih mengandalkan komoditas tembakau sebagai mata pencaharian yang sekaligus dapat meningkatkan pendapatan asli daerah. Tetapi, bukankah kesehatan lebih penting dari semuanya itu? Kesehatan akan jutaan bayi yang akan lahir sebagai pemerus bangsa ini. Salah satunya adalah kehadiran bayi teman yang sedang ditunggu-tungu itu. (Jekson Simanjuntak)



(credit foto: http://syncmed.com/wp-content/uploads/2011/07/protect-children-from-passive-smoking.jpg)

Friday, November 04, 2011

Ini kah Indonesia?


Young Ratna studies a map she found amongst the rubbish, while her brother, Basir separates the plastic he has collected at the Bantar Gebang landfill site, on January 26, 2010 in Jakarta, Indonesia. (Ulet Ifansasti/Getty Images)

Temans, gak tau kenapa, kok gw sedih bangat, melihat foto ini, ya?
Foto ini bercerita sangat dalam, menurutku.
Bercerita tentang Indonesia (yang) katanya kaya, ditampilkan dengan pendekatan (yang) sangat miskin.

Lagi-lagi akal sehatku tergelitik.
Indonesia kaya.
Ya.., kaya sekali
Kaya dengan sampah!

Secara teknis, foto ini sangat menarik, karena dari segi komposisi, lighting, DOP, angle dan ketepatan momen, semua tersaji indah dan sempurna.

Pesan yang ditimbulkannya pun sangat terasa.
Betapa, seorang anak yang kebetulan berwarganegara Indonesia mencoba menyimak makna ke-Indonesian hanya lewat sebuah peta.

Ya.., hanya dari sebuah peta.
Peta usang yang merupakan selipan dari sebuah agenda yang kini sudah tak terpakai.

Bagi kita, maksudku, --saya--, peta merupakan hal biasa.
Namun, bagi anak kecil seperti Ratna, peta berarti sebuah pengetahuan baru.
Pengetahuan tentang luas wilayah.
Wilayah yang saking luasnya, tak banyak orang yang beruntung pernah menjelajahinya dari ujung barat hingga ke ujung timur.

Dengan teliti, ia melihat bentuk pulau-pulau itu.
Mencoba mereka-reka dan mengingat nama asing yang tertulis kecil di setiap bagiannya.
Bisa jadi, Ratna juga sedang mengeja tulisan tersebut.
Nama yang begitu asing.
Dan, itulah Indonesia.

Sejurus, dia ingin bertanya…
Tapi, pada siapa?
Apakah pada abangnya yang terlihat sibuk memungut sampah?
Sepertinya tidak...

Saat itu,
Tak ada yang bisa menjawab.
Mungkin nanti, ketika ada orang yang lebih bisa…
Ia pasti bertanya.

Inikah Indonesia?
Bercerita lewat sebuah peta yang kebetulan di pungut dari tempat sampah?

Melihat foto ini, saya jadi teringat dengan seorang bocah…
Umurnya, mungkin tak beda jauh dari Ratna.
Pun, sama-sama perempuan.

Jika saja, ia yang ada di foto itu.
Ia pasti segera bertanya…

“pa, ini peta apa?”
“inikah Indonesia?”


(Jakarta, Sabtu 1.52)

Saturday, April 30, 2011

Indeks Kebebasan Pers Dunia 2010




Rezim komunis di Asia masih menjadi ancaman bagi kebebasan pers.



Empat negara di Asia yang masih terkungkung oleh rezim komunis, seperti Korea Utara yang berada pada posisi 177, Cina (171), Vietnam (165) dan Laos (168), merupakan negara dengan peringkat kebebasan pers terburuk. Korea bahkan tercatat hanya berada satu peringkat di bawah Eritrea, yang tidak menunjukkan perbaikan. Dalam kerangka suksesi diatur oleh Kim Jong-il guna mendukung anaknya, telah melakukan tindakan yang sangat merugikan pers. Selain itu, China, meskipun mulai terbuka dengan kebebasan menggunakan internet, tetap saja berada dalam posisi rendah karena kegiatan sensor dan penindasan yang terus menerus, terutama di Tibet dan Xinjiang. Sementara itu, di Laos, tindakan represi memang sudah jauh berkurang, tetapi tindakan kekerasan terhadap pers cenderung meningkat. Di sisi lain, Partai Komunis Vietnam yang berkuasa masih tetap dengan pola-pola lama, dimana kebebasan berbicara sangat dibatasi. Kondisi ini bahkan lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya.

Di antara tiga puluh negara yang masuk survey Indeks Reporters Without Borders, ditemukan bahwa sepuluh negara Asia, khususnya Myanmar dengan junta militernya telah memutuskan akan mengurangi sistem sensor, sehubungan dengan pemilihan umum November tahun lalu

Sementara peringkat kebebasan pers di India dan Thailand turun drastis, akibat maraknya aksi-aksi kekerasan yang terus berlanjut.

Kekerasan sebagai akses kegiatan politik telah menghasilkan ketegangan yang berpengaruh pada peringkat indeks kebebasan pers. Thailand berada pada posisi 153, dimana dua wartawan tewas dan 15 luka-luka saat meliput penindasan militer pada aksi "baju merah" di Bangkok. Sementara itu India menyelinap ke posisi 122, turun 17 poin dari tahun lalu akibat kekerasan ekstrim di Kashmir.

Filipina berada di posisi ke-34 akibat pembantaian lebih dari tiga puluh wartawan oleh partisan dari salah satu gubernur di Pulau Mindanao. Meskipun beberapa pembunuh wartawan telah dibawa ke pengadilan, impunitas masih terjadi di sana.

Sedangkan di Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi ke 117 dan tidak dapat melewati zona ambang batas pada posisi 100, meskipun pertumbuhan media sangatluar biasa. Dua wartawan tewas di Indonesia pada tahun 2010 dan beberapa orang lain menerima ancaman, terutama untuk laporan mereka pada bidang lingkungan. Sedangkan Malaysia berada pada posisi 141, Singapura (136) dan Timor Timur (93), semua turun tahun ini. Secara singkat, penindasan belum berkurang di negara-negara ASEAN, meskipun telah mengadopsi piagam hak asasi manusia di setiap askpek kehidupan.

Afghanistan berada pada posisi 147 dan Pakistan di urutan 151. Disana kelompok-kelompok Islam mesti bertanggungjawab karena aksi-aksi bom bunuh diri yang berakibat pada rendahnya tingkat kebebasan pers disana. Akibatnya kedua negara tersebut berada pada posisi buncit. Peristiwa pembom bunuh diri dan penculikan menjadikan pekerjaan wartawan sebagai sebuah pekerjaan yang berbahaya bagi wilayah di Asia Selatan. Negara-negara tersebut juga sering melakukan penangkapan terhadap wartawan investigatif, yang kadang-kadang berujung dengan penculikan.


Demokrasi di negara-negara Asia Fasifik


Menurut survey Reporter Without Borders, negara-negara di Asia-Pasifik merupakan negara dengan peringkat yang mengesankan. Selandia Baru adalah salah satu dari sepuluh pemenang di peringkat atas, diikuti Jepang di posisi 11, sementara Australia di peringkat 18 dan Hong Kong pada posisi 34. Dua negara demokrasi asia lainnya, Taiwan dan Korea Selatan, meringsek naik di posisi 11 dan 27, setelah sempat menurun pada tahun sebelumnya. Meskipun beberapa masalah tetap ada, seperti isu independensi newsroom dan kebijakan editorial media milik negara, penangkapan dan kekerasan juga masih kerap terjadi.

Beberapa negara berkembang telah berhasil membuat perubahan drastis, khususnya Mongolia (76) dan Maldives (52). Sebagai aturan, pihak berwenang telah menghormati kebebasan pers yang dicatat dalam deklarasi bersama terkait delik pers di Maladewa.

Sebuah peringkat di Index Reporter Without Border kadang kala bisa menipu. Fiji yang berada pada posisi 149, misalnya. Meski naik tiga peringkat, saat pemerintah mengeluarkan undang-undang pers yang baru, pada tahun 2009, sbuah peristiwa tragis terjadi, dimana tentara dengan membabi buta menyerang kantor berita. Lalu pada tahun 2010 terlihat lebih tenang. Sri Lanka yang berada pada posisi 158 melonjak empat peringkat, karena kekerasan yang jauh kurang, meski tetap ada. Saat ini kemampuan media untuk menantang otoritas cenderung melemah, karena seringkali pemerintah melakukan pengasingan terhadap puluhan wartawan.

Dalam Indeks berdasarkan pelanggaran terhadap kebebasan pers, Asia, telah meraih peringkat rendah pada tahun 2010. Bahkan ketika semua pihak telah menekan negara-negara agak bisa menikmati kebebasan, perlakukan kekerasan oleh rejim yang berkuasa masih saja terjadi. Ketika tekanan terjadi di bawah kendali rezim otoriter, adalah wajib untu tidak melakukan sensor. baru-baru ini, kalangan intelektual Cina, Liu Xiaobo akhirnya dijatuhi hukuman sebelas tahun di balik jeruji akibat perjuangannya membela kebebasan berekspresi. Sebuah perjuangan yang patut dihargai dan diberi Hadiah Nobel Perdamaian, karena membawa harapan baru bagi wilayah Asia-Pasifik.

source : Reporter Without Borders

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN