Thursday, September 24, 2015

#RIP Yongki

(Yongki ketika masih hidup bersama Tulus. source: wowkeren.com)

Waktu kecil dulu mereka mengatakan
Mereka panggilku gajah
Kini ku beri tahu puji dalam olokan
Mereka ingatku marah
Jabat tanganku panggil aku gajah

Kau temanku kau doakan aku
Punya otak cerdas aku harus sanggup
Bila jatuh gajah lain membantu
Tubuhmu disitu pasti rela jadi tamengku

--
Beberapa hari terakhir, ntah mengapa lagu "Gajah" buah karya penyanyi Tulus terngiang begitu kencang. Di kala senggang, sebagai pengusir sepi, lagu itu selalu saja diputar secara berulang oleh seorang kawan. Saya yang mendengarkan, hanya menyimak saja.

Selintas, lagu Gajah terkesan unik. Pasalnya, lagu bernuansa pop-jazz itu tidak spesifik bercerita tentang sifat dan perilaku satwa terbesar di Bumi yang bobotnya mencapai 6 ton itu.  Lagu itu lebih banyak bercerita tentang pengandaian dan persahabatan. Lagu itu pun, tak lebih dari metafora pergulatan hidup seorang Tulus.

Siapa sangka jika inspirasinya adalah peristiwa masa lampau, ketika Tulus kecil kerap menjadi korban bully. Tulus yang memiliki badan bongsor, sering dipanggil dengan sebutan 'gajah' oleh teman-temannya. Uniknya, hal itu tidak jadi penghambat baginya untuk terus berkarya dan menuntut ilmu. 

Lagu Gajah juga bercerita tentang kekinian, sebuah kondisi dimana Tulus yang sekarang berbeda dengan puluhan tahun silam. Di lagu itu, Tulus menegaskan bahwa dia adalah pribadi yang baru. Tulus yang dulu diangap sebelah mata, kini terbukti berhasil dan layak diperhitungkan.

Melalui lagu, Tulus yang memiliki nama lengkap Muhammad Tulus Rusyidi ingin menginspirasi, bahwa betapapun masa sulit telah terjadi dalam hidup kita, maka kita tak boleh berkecil hati. Bisa jadi, mereka yang dulu mengolok-olok kita, belum tentu lebih sukses dari kita di masa depan.  Oleh sebab itu, tetaplah fokus pada bidang yang dikuasai, karena dari situ terpancar bibit-bibit keberhasilan di masa depan.

Sunday, September 20, 2015

*tentang Pewarta


(Ilustrasi: kerja-kerja jurnalistik, Sumber: www.pakistantoday.com.pk)

“Journalism can never be silent: That is its greatest virtue and its greatest fault. It must speak, and speak immediately, while the echoes of wonder, the claims of triumph and the signs of horror are still in the air.”
– Henry Anatole Grunwald

Alfian (28), wartawan sebuah portal berita nasional tak pernah surut dalam bekerja, meski honor bulan kemarin tak kunjung tiba. Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap publik, ia selalu rajin mengirimkan laporannya ke kantor pusat di Jakarta.

Biasanya, ketika selesai melakukan wawancara dengan narasumber, ia bergerak menuju warung kopi Sekber Jurnalis, di Banda Aceh. Di warung yang memberikan layanan wifi gratis itu, Alfian bersama jurnalis --yang kurang beruntung-- akan menyelesaikan kerja-kerja jurnalistik mereka. Kurang beruntung, karena mereka tidak dibekali dengan modem wifi, seperti kebanyakan wartawan media-media besar lainnya.

Sembilan tahun menjadi wartawan, ternyata tak jadi jaminan memperoleh penghasilan yang lebih baik. Pasalnya, karir jurnalistiknya banyak dilalui tanpa ikatan kontrak yang jelas. 

Wednesday, September 16, 2015

Don't You Remember?

(Source: http://data.whicdn.com)


"Tommy terbaring di ranjang sepertinya sedang tidur. Mamanya, Tante Elza, menangis sambil menggenggam tangan Tommy. Sementara papanya, Om Beno, memeluk pundak Tante Elza, sambil menangis juga."

Tulisan diatas membuat sedih itu begitu nyata. Merampas seluruh akal sehat. Larut, menyatu dalam alunan pilu tiada henti. Memaksa beku, tak mampu beranjak. Jika pun bergerak, butuh waktu lama. Pedih itu tak lantas lenyap. Ia mengendap lama. Lama sekali.

Sementara itu, membacanya lagi, hanya sisakan tanya, mengapa si penulis begitu tega? Tega mengoyak-ngoyak rasa yang tersisa. Mengaduk-aduk rasa dalam sastra. Akankan ia sadar? Kata-kata indahnya telah rontokkan tembok tebal itu. Hancurkan setiap penghalang, antara akal sehat dan terima kenyataan. Kenyataan bahwa Tommy telah mati.

Tuesday, September 15, 2015

Mengapa Harus "Kiri"?

(Simbol "kiri". Sumber: syahwatvirtual.blogspot.com)
“Man is above all else mind, consciousness -- that is, he is a product of history, not of nature.” 
― Antonio Gramsci

Antonio Gramsci, filsuf kebangsaan Italia, penulis dan teoritikus politik merupakan salah satu intelektual kiri yang karya-karyanya paling laris dibaca dan ditafsirkan pada abad ke-20. Sejarawan kondang Eric Hobsbawn sangat mengapresiasi pemikiran Gramsci. Hobsbawn menilai, Gramsci merupakan intelektual Italia yang paling terkenal dan terkemuka sepanjang masa, yang karya-karyanya patut dikategorikan sebagai karya klasik. 

Sementara menurut Joseph A. Buttigieg, salah satu pemikir Gramsci terkemuka saat ini, Gramsci adalah ilmuwan politik dan kritikus budaya yang sangat sering dikutip dan karyanya paling banyak diterjemahkan.

Antonio Gramsci yang lahir di Ales, Italia pada 22 Januari 1891, dalam perjalanan hidupnya mengalami masa-masa suram, ketika harus mendekam di balik jeruji besi untuk waktu lama (baca: 20 tahun) di masa pemerintahan rejim fasis Benito Mussolini. Saat itu, ia dianggap sebagai orang yang berbahaya dan berseberangan dengan pemerintah.

Sunday, September 13, 2015

Kok, Laki-laki Suka Cabul?

(Ilustrasi, sumber: http://cdn.someecards.com)


Study: Women Have More Sexual Fantasies Than Men – But Men’s Are Raunchier
~Nieves Moyano Muñoz and Juan Carlos Sierra Freire

Sebuah artikel di dunia maya memuat judul demikian. Membaca tulisan itu, saya tersenyum simpul. Dikatakan, laki-laki memiliki pikiran lebih cabul ketimbang perempuan. 

Ya, laki-laki memang lebih sering memikirkan hal-hal cabul ketimbang perempuan. Pasalnya, laki-laki gampang tergoda untuk berpikiran cabul karena lingkungan. Melihat perempuan cantik dan seksi, misalnya. Atau, tak sengaja bersinggungan dengan konten-konten berbau pornografi.

Ternyata, kondisi itu ada alasannya dan bisa diukur secara ilmiah. Sebuah penelitian terkini membuktikannya. Adalah Nieves Moyano Munoz dan Juan Carlo Sierra Freire dari Fakultas Psikologi Universitas Granada, Spanyol yang meneliti kualitas fantasi seksual bagi pria dan wanita.

Friday, September 11, 2015

Bon Jovi, Ketika Saya Memutuskan Berjarak!

(Album solo pertama Jon Bon Jovi. Source: www.farm9.staticflickr.com)


"Nonton konser paling anarkis n dramak!!
Tiket palsu..
Rusuh...
Tapi akhirnya bisa masuk di lagu 4
Dan lepas semua...
Kecuali be-kondenya kaki dan emosi"
~ postingan seorang teman di media sosial

Membaca komentar itu, saya bisa membayangkan betapa seru dan hebohnya konser Bon Jovi yang digelar pada Jumat malam, 11 September 2015 di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Apalagi, kabarnya jumlah penonton mencapai 40.000 orang. Wow, dengan jumlah penonton sebanyak itu, bisa dipastikan stadion penuh sesak dan GBK berguncang hebat. 

Sementara itu, sepanjang Jumat malam, hampir semua timeline media sosial, mulai dari facebook, twitter hingga path tak putus-putus memberitakan konser Bon Jovi yang kali ini mengambil tajuk "Bon Jovi Live". Jika tidak mengomentari konsernya, maka sebagian besar netizen memposting foto-foto ketika konser berlangsung. Pun, tak sedikit yang share video juga. 

Konser Bon Jovi kali ini terbilang spektakuler. Pasalnya, sudah 20 tahun berselang, ketika ia menyapa penggemarnya di Indonesia. Saat konser pertama digelar, saya masih kuliah dan memang gandrung dengan lagu-lagunya. Apalagi, setahun sebelumnya, yakni pada 10 Oktober 2004, Bon Jovi menelurkan album kelima bertitel "Cross Road" dengan lagu andalan; Always dan Someday I'll be Saturday Night. 

Khusus untuk "Always" telah menjadi lagu terpopuler tidak hanya di dunia namun juga di Indonesia. Seingat saya, lagu itu sempat menempati posisi 4 di Billboard AS, posisi 2 di Mainstream Top 40 dan juga merupakan hit internasional posisi 1 di Australia, posisi 2 di Inggris dan posisi 4 di Jerman. Kebayang kan, betapa cetar membahananya uncle Bon ketika membawakan lagu itu? 

Saat konser Bon Jovi pertama kali di gelar di Jakarta di tahun 1995, hebohnya luar biasa. Tak hanya di ibukota, gaungnya pun menjalar hingga ke daerah-daerah, termasuk Medan. Mengapa Medan? Karena saya seorang warga Medan loh! Saat itu, lagu-lagu Bon Jovi menemukan bentuknya, setelah diputar berulang-ulang. Lagi dan lagi.

Tak hanya itu, sebelum konser digelar, promosinya sangat jor-jor an dan begitu masif. Hampir setiap hari, radio-radio di Medan, memutar jingle konser tersebut. Pojok-pojok kota pun jadi saksi kehebatan grup musik Bon Jovi. Terbukti dengan banyaknya poster yang ditempel di setiap tembok kota.  

Thursday, September 10, 2015

Selamat Jalan, do!

(Berduka untuk Edo. Sumber: http://thumbs.dreamstime.com)


"Pa, Si Edo... Edo meninggal. Aku terkejut. Sedih kali lah!", ujar Mawmaw dengan suara berat sesekali sesegukan.
"Kok bisa", tanyaku.
"Tahunya dari facebook. Banyak kawan-kawannya yang ucapin turut berduka", tuturnya kemudian.
"Ya ampun... ???"

Ya, begitulah sepenggal informasi yang kuterima malam tadi. Informasi yang membuat saya tercekat. Terhenyak dan beku beberapa saat. Gak menyangka! Maklum, Edo, seorang sahabat, meski tak begitu dekat, merupakan tipe anak muda yang tangguh. Dia juga gak gampang menyerah untuk mengejar apa yang diinginkan. Edo yang kalo dilihat selintas, sepertinya baik-baik saja. Maklum dalam pertemuan terakhir, setahun lalu dengan mawmaw, Edo masih terlihat bugar. Senyumnya yang khas juga selalu setia menghiasi. Namun siapa sangka, jika Edo yang setahu kami tidak memiliki riwayat penyakit apapun, kini telah tiada. Dan karenanya, saya sedih. Sedih sekali!

Oh ya, perkenalanku dengan Edo, sebenarnya telah berlangsung lama, tepatnya ketika kuliah dulu. Edo merupakan junioren si 'Mamaw', --perempuan istimewa-- yang ketika itu aktif di teater kampus. Karena memiliki ketertarikan serupa, Edo ikutan bergabung di organisasi kampus itu. Demikianlah, saya mengenal Edo sebagai pribadi yang hangat dan mudah bergaul.

Beberapa tahun kemudian, ketika sudah di Jakarta, saya mendapat kabar kalo Edo ikutan hijrah ke ibukota. Ketertarikannya pada bidang jurnalistik, khususnya dunia hiburan dan selebritas, telah menghantarkannya berkarier di beberapa media cetak di Jakarta. Tak puas dengan media cetak, kabar terakhir menyebutkan, ia juga bergabung dengan salah satu stasiun televisi swasta, sebagai reporter infotainment.

Khusus di karir terakhirnya itu, Edo kerap berbagi pengalaman sebagai reporter muda lewat laman facebook miliknya. Tentang bagaimana ia harus memberitakan seorang artis. Juga tentang bagaimana kelakuan para artis yang kerap menganggap mereka (baca: infotainment) sebagai musuh. Pun tak jarang ia berkeluh kesah perihal usahanya menunggu hingga subuh, demi mendapatkan gambar dan secuil konfirmasi dari para artis. Namun, sebagaimana hidup, meskipun keras, haruslah dijalani. Pun, Edo setia melakoninya.

Kepergian Edo yang tiba-tiba, saya ketahui dari mawmaw. Ia mengabarkan jika Edo meninggal malam tadi di sebuah rumah sakit di bilangan Jakarta Timur. Edo pergi dengan tenang sekitar pukul 8 malam. Saat kutanya, seperti apa informasi terakhirnya, mawmaw menjelaskan, bahwa jenazahnya akan dibawa malam ini juga ke Siantar, Sumatera Utara oleh abangnya yang memang setia menemani Edo di saat-saat terakhirnya.

Jujur, yang membuat saya sedih adalah kisah perjuangan hidupnya yang gak gampang menyerah. Bayangin aja, di belantara ibukota ini ia hanya sendiri. Setidaknya begitu informasi yang saya terima. Gak punya siapa-siapa, persis seperti saya. Itu sebabnya, saya dapat membayangkan seperti apa susahnya. Sendirian, mengejar impian. Mengejar cita-cita yang belum tentu bisa diraih.

Dan, yang membuat kisah pilu itu seakan berlanjut adalah, Edo ternyata tak lagi memiliki ibu. Ibunya telah meninggal beberapa waktu sebelumnya. Yang tersisa kini hanya seorang bapak. Itu pun sudah sangat tua.

Kondisi itu agak berbeda dengan saya, dimana kedua orang tua saya masih ada. Lengkap. Orang tua, khususnya, emakku yang selalu setia menanyakan kabar, jika saya lama tak berkirim kabar. 

Sementara itu, bagi orang-orang perantauan seperti saya, menerima kabar duka, sungguh pukulan yang mengagetkan. Tidak hanya menyesakkan, juga menyedihkan. Tidak menyangka sama sekali, jika seorang sahabat telah pergi begitu cepat mendahului kami.

Edo yang saya kenal baik, kini telah berpulang. Pergi dengan tenang dan damai, meski masih memendam sebuah keinginan besar. Lewat mawmaw beberapa waktu lalu, Edo sempat curhat, bahwa ia kepingin menjadi seorang presenter televisi. Sebuah keingingan yang hingga akhir hayatnya tak jua terpenuhi.

"Namun gak usah khawatir, do! Sekarang kau tenang disana"
"Disana, semua keinginanmu terpenuhi", ucapku dalam hati!


-end-



note: Turut berduka dalam!




Wednesday, September 09, 2015

Berjumpa Pemimpi Yang Terbang Kian Tinggi

(Pengunjung sedang menikmati  karya realis Alfred Leslie saat pameran tahun 1968,  sumber: http://pages.vassar.edu)
"The people must know their history"
- Maxim Gorky

Dalam beberapa waktu terakhir, perhatian saya kerap tertuju pada sesuatu, yang bagi banyak orang gak terlalu penting. Sesuatu yang sifatnya sangat personal dan agak lebay, mungkin. Namun, bagi saya hal itu begitu bermakna dan kesannya sangat mendalam.

Beberapa waktu terakhir, ntah mengapa, rasa ber-sastra saya kembali terusik. Diusik oleh hadirnya untaian kata indah penuh makna. Untaian kata yang seakan tak berujung. Sambung menyambung, bak ombak yang dihempaskan ke pantai, lalu ketika puas, kembali berlari menuju laut. Tak putus-putus, hingga pada gilirannya memunculkan jalinan kisah. Cerita yang menemukan wujudnya dalam bentuk prosa.

Jalinan cerita itu begitu kuat, sampai-sampai pembaca larut di dalamnya. Cerita yang mampu mengaduk-aduk setiap perasaan. Cerita yang membuat lupa. Cerita yang mampu hantarkan pembacanya ke langit ke tujuh, lalu ketika saatnya tiba, kembali menjejak Bumi. Memaksa sadar, bahwa cerita tetaplah cerita, berjarak bagi pembacanya.

Pernah di sebuah kesempatan, tak henti-hentinya saya tersenyum. Bahkan sesekali tergelak tawa. Tersenyum lalu tertawa, begitu awalnya. Hingga tanpa sadar, setiap kembali kesitu, saya selalu tersenyum. Tersenyum karena tidak menyangka, betapa si penulis mampu menghadirkan kisah sederhana menjadi luar biasa. Selintas saya membayangkan betapa menariknya jika kisah itu direkonstruksi di dunia nyata. Di dunia tiga dimensi, dimana setiap elemennya bergerak bebas. Pastinya seru sekali!

Sunday, September 06, 2015

*Anonymous

(Topeng Guy Fawkes menjadi inspirasi komunitas Anonymous. Sumber: http://images1.laweekly.com)


“I don't feel that it is necessary to know exactly what I am. The main interest in life and work is to become someone else that you were not in the beginning.” 
― Michel Foucault

Jika betul anda pengguna internet, pastinya tak asing dengan istilah 'Anonymous'? Kata itu sendiri awalnya ditujukan bagi para pengguna internet yang tidak ingin identitasnya diketahui. Salah satu alasannya, demi privasi dan keamanan. Kendati demikian, ada banyak alasan lain, sebenarnya.

Oh ya, sebagai informasi latar belakang, saya ingin berbagi tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Anonymous (anonim) sebagai sebuah entitas? Lalu seberapa besar pengaruh mereka? Dan seberapa berbahaya mereka?

Friday, September 04, 2015

Ketika Air Tanah Kian Langka


(Bang Nur sedang memperbaiki mesin pompa yang rusak. Foto: jacko agun)
...
“Pa, air mati lagi”, teriak mawmau setengah menjerit
Lalu, teriakan yang sama juga dilontarkan oleh Kelana.
“Cepat pa, airnya mati, abang mau pipis, nih!” ujarnya.

Saat itu, saya yang sedang menonton televisi segera bergegas ke kamar mandi memeriksa kebenarannya. Selanjutnya menuju teras, karena disana lah mesin pompa itu berada.

Jika pompa berfungsi normal, maka akan mengeluarkan suara. Namun malam itu, mesinnya mati. Tak terdengar suara apapun. Selintas, saya berpikir, pasti ada yang salah dengan sambungan listriknya. Maklum, kejadian seperti itu bukan yang pertama.

Jika demikian, tak ada cara lain, selain menghubungi ahlinya. Yup, dialah Bang Nur! Nurcahyo, nama lengkapnya. Lelaki paruh baya yang tinggal tak jauh dari kontrakan kami. Sehari-harinya ia bergelut dengan air. Tak heran jika tetangga menyebutnya “Bang Nur si tukang air”.

Biasanya jika sedang tak ada kerjaan, Bang Nur gampang dimintain tolong. Dengan peralatan lengkap, ia akan membantu siapapun yang mengalami kesulitan air. Persis seperti yang saya alami malam itu.

Thursday, September 03, 2015

Perjuangan Melawan Lupa!

(Milan Kundera, penulis novel The Book of Laugher and Forgetting. Source: carolinemcooper.wordpress.com)

Sejak novel pertamanya terbit 48 tahun silam, Milan Kundera menjadikan totalitarian komunisme sebagai sumber inspirasi. Inspirasi yang menunjukkan bahwa sistem komunisme memiliki banyak kelemahan, dan berpotensi korup. Semasa mudanya Milan Kundera terinspirasi oleh karya Robert Musil dan pemikiran Nietzsche. Tak hanya itu, ia juga tertarik dengan ide tokoh-tokoh renaisans, seperti Giovanni Boccaccio, Laurence Sterne, hingga Henry Fielding.

“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa!”, demikian kutipan dialog Mirek, tokoh utama dalam The Book of Laugher and Forgetting, karya penulis terkenal Cekoslowakia, Milan Kundera. Dalam buku itu, Mirek mengucapkannya pada tahun 1971. 

Namun sejatinya, apa yang dilukiskan Kundera merujuk pada peristiwa 30 tahun sebelumnya, tepatnya di bulan Februari 1948, ketika istana Praha dikuasai Gottwald, pemimpin komunis. Saat itu, Kundera ingin mengingatkan masyarakat Ceko, pentingnya melawan lupa, tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada Clementis, Menteri Luar Negeri Ceko yang berujung pada tiang gantungan.

Secara lugas, Kundera tidak lantas menangisi kematian tragis Clementis. Pun, tak mengutuki Gottwald (baca: pemimpin Partai Komunis Ceko) sebagai figur yang kejam, karena menggantung sahabat terbaiknya. Sahabat yang telah memberinya topi bulu untuk melindungi dari dinginnya salju. 

Kundera juga tidak terlalu ngotot mengkisahkan betapa besar jasa seorang Clementis yang telah melahirkan negara Komunis Cekoslowakia. Ia, malah memilih membuat plot tersendiri sembari berkaca dari adegan besar itu.

Dalam novelnya The Book of Laugher and Forgetting yang terjemahan bebasnya menjadi “Kitab Lupa dan Gelak tawa” Kundera memang tak ingin terjebak antara perseteruan Clementis dan Gottwald. Ia ingin mendudukkan persoalan, bahwa semua yang terjadi bukan semata-mata tentang kekuasaan, tentang komunisme. Pun bukan tentang mengerikannya invasi Rusia ke Ceko atau betapa tak terelakkannya kapitalisme.

Dalam novelnya, Milan Kundera ingin mengingatkan akan 2 hal sederhana yang selalu bertolak belakang, seperti ingatan dan lupa, sejarah dan kekinian, hingga demokrasi dan anarki.

Gagasan itulah yang ia sematkan dalam tokoh rekaan bernama Mirek. Di novelnya, Kundera tidak memberitahu siapa Mirek sebenarnya. Ini unik, seunik kata “Mirek” itu sendiri. Dan justru disinilah sisi pemikat sebuah karya sastra  hadir. Mirek pun bermetamorfosa dalam kekiniannya yang tak sempurna.

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN