Wednesday, September 16, 2015

Don't You Remember?

(Source: http://data.whicdn.com)


"Tommy terbaring di ranjang sepertinya sedang tidur. Mamanya, Tante Elza, menangis sambil menggenggam tangan Tommy. Sementara papanya, Om Beno, memeluk pundak Tante Elza, sambil menangis juga."

Tulisan diatas membuat sedih itu begitu nyata. Merampas seluruh akal sehat. Larut, menyatu dalam alunan pilu tiada henti. Memaksa beku, tak mampu beranjak. Jika pun bergerak, butuh waktu lama. Pedih itu tak lantas lenyap. Ia mengendap lama. Lama sekali.

Sementara itu, membacanya lagi, hanya sisakan tanya, mengapa si penulis begitu tega? Tega mengoyak-ngoyak rasa yang tersisa. Mengaduk-aduk rasa dalam sastra. Akankan ia sadar? Kata-kata indahnya telah rontokkan tembok tebal itu. Hancurkan setiap penghalang, antara akal sehat dan terima kenyataan. Kenyataan bahwa Tommy telah mati.

"Sungguh sangat menyedihkan!"

" Puaskah kau?"

Dia belum bisa terima. Gak terima, karena kisah indah sebelumnya begitu memikat, ternyata tidak pada akhirnya. Berubah cepat, begitu rupa. Ibarat menunggu buah dari pohon anggur, ternyata pohonnya ditebang duluan. So, gak ada yang bisa diambil. Berantakan!

Inikah efek kejut itu? Efek yang mengejutkan dan hanya sisakan bulir basahi Bumi? Memaksa akal sehat tetap tertidur dan bukannya bersikap? Ketika semua terjadi begitu cepat, lantas ada yang terkoyak. Membekas lalu busuk.

Yang tersisa hanya aroma! Aroma khas yang begitu lekat. Aroma luka. Dalam!

Pedih, karena yang dicinta telah pergi begitu saja. Lantas adakah yang mampu menolaknya? Membangunkannya dengan sihir? Tidak. Ia tetap beku. Dingin.

Sejurus, ia membayangkannya di alam nyata. Pastinya, sedihnya lebih dari sekedar sedih. Sedih yang membuat mama dan papa kita tak mampu bendung sungai itu terus mengalir. Mengalir bak air bandang. Meluap, hanyutkan setiap benda yang masuk di alirannya.

Namun itu belum seberapa. Masih ada kejutan lainnya. Kejutan yang mencabut asa terdalam kita. Rasa yang membuat kita teriak. "Damn, sedih banget!"

Pedihnya masih disini, di dalam labirin terdalam, yang kita tak pernah tahu, ada berapa lorong di dalamnya. Mungkin ratusan. Mungkin pula ribuan. Atau ratusan ribu. Jutaan barangkali?

"Kupeluk sekali lagi tubuhnya yang kaku. Pelukanku tidak bersambut. Kucium keningnya untuk terakhir kali sebelum perawat membawa jasadnya pergi untuk dibersihkan. Mataku basah. Aku tak pernah membayangkan hal ini. Aku begitu kehilangan. Ada sesuatu yang hilang dari hatiku dan rasanya menyakitkan. Seperti diambil paksa."


Ya, kalimat diatas membuatnya kehilangan kata-kata. Ia hanya diam. Luruh semakin dalam. Kesedihan telah membunuhnya. 

Ia telah kehilangan kata-kata. 

---
Selintas, ia teringat syair sebuah lagu yang rilisnya belum terlalu lama. 
Lagu yang liriknya begitu menyedihkan.

When will I see you again?
You left with no goodbye,
Not a single word was said,
No final kiss to seal any sins,
I had no idea of the state we were in,

I know I have a fickle heart and a bitterness,
And a wandering eye, and heaviness in my head,

But don't you remember?
Don't you remember?
The reason you loved me before,
Baby, please remember me once more,

When was the last time you thought of me?
Or have you completely erased me from your memory?
I often think about where I went wrong,
The more I do, the less I know,
                                                                                         - Don't You Remember/ Adele


--end--








2 comments:

  1. Lirik lagu "remember" nya adele emang sedih banget dan sepintas mirip sama kutipan tulisan seseorang yg dikutip di atas. Tapi yg membedakan adalah, adele ditinggal cowonya nikah. Sementara tulisan yg dikutip, cowonya meninggal.

    ReplyDelete
  2. tapi, kan, sedih!
    kalo kata bang Monte: "puas kau?"


    ...
    btw, hebat ya, si penulis itu...
    makin kagum gw dibuatnya.
    semoga dia gak tau!

    ReplyDelete

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN