Monday, January 26, 2009

Juli dan Jika Aku Menjadi


Beberapa waktu lalu, tiba-tiba saja aku diingatkan dengan seorang sahabat lama yang kini tak tentu rimbanya. Darinya aku belajar banyak tentang indahnya memberi dan berbagi. Suatu prinsip yang mungkin tetap saja masih berlaku hingga sampai kapan pun.

Sepuluh tahun silam, saya pernah memiliki seorang teman wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun. Pertemuan saya pun terbilang singkat. Seingatku cuma 6 bulan saja. Saat itu dia yang baru masuk kuliah di kampusku, ternyata memiliki perbedaan yang sangat mencolok dengan teman-teman seangkatannya.

Juli namanya. Yup, hanya Juli, demikian ia memperkenalkan dirinya untuk pertama kali. Bahkan untuk nama lengkapnya hingga sekarang pun aku tak tahu. Sebab kala itu, nama panggilan saja sudah cukup sebagai pembuka pertemanan.

Sore itu, langit di kampus tampak kelabu pertanda akan turun hujan, ketika aku di kagetkan oleh kehadiran sesosok wanita muda di PARINTAL (baca: organisasi mapala tempatku bergabung). Ia tengah sibuk membersihkan ruangan yang sedang kotor-kotornya. Setelah berkenalan dan berbincang sekenanya, ia pun mengaku memiliki ketertarikan pada bidang yang sama denganku --kegiatan alam bebas dan lingkungan--. Aktivitas itu sempat ia geluti saat SMU dulu. Itu yang membuatnya lebih memilih ngadem di sekret, ketimbang mengikuti ospek yang membosankan di sesi terakhir. Sedangkan bagi teman-teman mapala, keberadaannya tentu sangat membantu, apalagi kalau bukan karena perubahan drastis yang terjadi pada ruangan sumpek itu.

Sejak hari itu, walau tak pernah di rencanakan, pertemuanku dengannya terbilang sering. Apalagi, sejak dia merencanakan sebuah pameran seni di kampus, aku dan beberapa orang teman yang terbilang aktif berniat menyukseskan kegiatan tersebut. Itung-itung, berkegiatan lagi di sela-sela rutinitas laboratorium yang menyiksa, tentunya menjadi oase yang menyejukkan.

Sukses dengan acara tersebut, pertemuan informal kami pun berujung pada diskusi-diskusi yang juga informal. Biasanya topik-topik seperti terbitnya buku baru karya pengarang, baik ternama maupun tidak, dan perkembangan politik yang kami pahami secara dangkal, menjadi perdebatan sengit yang tak kalah serunya. Dalam setiap diskusi, tak ketinggalan banyak mahasiswa lintas angkatan akan bergabung, jika mahkluk-mahkluk penunggu –-organisasi tanpa bentuk-- ini sudah berkumpul.

Saat mengadakan pameran seni kala itu, aku baru mengetahui bahwa perempuan berdarah Batak kelahiran tahun 80 ini, memiliki bakat yang luar biasa terhadap seni, khususnya seni lukis. Salah satu karyanya yang masih bisa dinikmati adalah lukisan bunga dari olesan palet yang menghiasi ruang rapat pengurus PARINTAL hingga saat ini. Karya itu merupakan lukisan yang ia buat untuk pameran dan merupakan cenderamata yang disumbangkan, saat ia meninggalkan bangku kuliah di semester I. Ia merasa tidak cocok lagi belajar di kampusku tercinta (baca: Fak. Pertanian). Ini terjadi karena ia lebih tertarik pada bidang seni, ketimbang bidang pertanian yang menurutnya sungguh membosankan.

Ketertarikannya pada bidang seni pun tidak malu-malu ia tunjukkan. Saat ia datang ke kampus selalu saja ada benda seni yang ia bawa dan sengaja diperlihatkan ke kami para seniornya. Selain itu, masih lekat di ingatanku bagaimana ia kerap menggenggam setangkai kuncup lotus yang ia ambil dari kolam di depan kampus. Tentunya bunga itu tak pernah lepas dari kehadirannya. Dimana ada tangkai lotus, berarti disitu ia ada. Baginya bunga itu perlambang tertinggi dalam pencapaian manusia di segala hal. Itu pula sebabnya mengapa bunga lotus menjadi begitu sakral bagi umat Budha. Bahkan candi Borobudur sendiri pun jika dilihat dari atas merupakan perwujudan bentuk bunga lotus yang sedang mekar.

Selain itu, ia pun memiliki sifat usil yang belum bisa hilang bahkan di saat-saat terakhirnya di kampus. Apalagi, kalau bukan “kerajinan tangan”-nya. Kerajinan tangan ini yang membuatnya di kenal banyak orang. Pasalnya, setiap senggang selalu saja ia membuat grafiti di tembok-tembok ruangan. “sebagai kenang-kenangan kalo aku sudah tidak di sini lagi, bang”, kilahnya.

Salah satu karyanya yang membuat setiap mata pasti mencuri pandang adalah sebuah ornamen berukuran 10 x 10 cm di salah satu dinding tangga gedung di kampus. Lukisan itu menjadi begitu menarik karena keindahan yang ditampilkannya, padahal karya itu hanyalah oretan-oretan teratur yang berasal dari pinsil 2B miliknya. Dosen yang memberi mata kuliah pun kerap mengomentari karya grafitinya. Tentu saja lebih banyak yang menggelengkan kepala.

Namun, akankah keberadaan coretan tangan itu masih eksis di sana, sepertinya tak ada yang tahu. Sulit memastikan karya masterpiece itu masih ada, mengingat pengecetan rutin yang dilakukan pihak kampus terhadap gedung-gedung perkuliahan yang usianya sudah tua.

Namun yang tak kalah unik adalah penghormatannya terhadap para senior. Sejak masih SMA dulu, orang yang lebih tua darinya selalu ia panggil dengan sebutan “kakak”. Kebiasaan itu yang ia bawa hingga di bangku kuliah. Awalnya, para senioren yang ia panggil kakak merasa jengah dengan sebutan itu. Pasalnya, di tempatku, sebutan kakak hanya bagi perempuan yang usianya lebih tua, bukan untuk laki-laki. Namun, lambat laun semua orang bisa menerima dan membuatnya berbeda dengan yang lain. Karena itu pula ia diberi julukan “si Juli Kakak” oleh teman-temanku. Sehingga jangan heran, jika ada yang menanyakan nama Juli, setiap orang akan berkomentar: apakah --Juli kakak-- yang mereka maksudkan. Tentunya karena begitu banyak Juli di kampusku.

Ini hanyalah secuil kenangan yang bisa kuingat tentangnya. Apalagi, sejak orangtua laki-laki yang begitu kuat mengekangnya untuk tidak bersinggungan dengan seni, akhirnya meninggal, ia seperti mendapat spirit baru. Darinya aku mengetahui bagaimana orangtuanya sempat membakar atau pun membuang semua karya seni yang telah ia buat. Tidak hanya itu, semua alat-alat lukis lengkap dengan partisinya kerap dibuang ke tong sampah, hanya karena sang papa tak ingin anak perempuannya menjadi seniman. Menurut sang ayah, masa depan pekerja seni tidaklah pasti.

Beberapa waktu berlalu, dari seorang teman aku mendapat kabar tentang Juli yang ternyata tengah menimba ilmu pada universitas negeri di Bali. Rupanya, di tahun berikutnya ia berhasil di terima di fakultas seni disana. Ia pun berhasil meraih apa yang di inginkannya. Kuliah di bidang seni.

Namun, tak berapa lama berselang, kurang lebih dua tahun setelahnya, aku mendapat kabar yang tak kalah mengejutkan, yakni berita yang menyebutkan jika teman lama ini, kini telah hijrah ke negeri paman sam. Tak jelas apa alasannya. Sepertinya ia pun tak lagi menyelesaikan pendidikan formalnya. Dari teman itu, aku mendengar samar-samar bahwa Juli pergi ke Amerika karena ikut dengan seorang pria bule yang ditemuinya di Bali yang akhirnya bersedia menjadi suaminya. “Ehm... ternyata di usia yang masih sangat muda ia telah memutuskan untuk menikah, tentunya sebuah pilihan sulit”, pikirku.

Namun, lagi-lagi hingga sekarang aku tak mendapat kabar apapun tentangnya.

Membantu Sesama

Pada suatu kesempatan, saat menunggu sesi perkuliahan berikutnya, kami duduk berbincang di kantin depan yang letaknya bersebelahan dengan gedung dekanat. Saat itu, begitu banyak mahasiswa yang terlihat dengan beragam aktivitas. Ada yang sedang makan siang, sekedar ngobrol ataupun menunggu jam perkuliahan berikutnya seperti diriku. Sedangkan Juli, saat itu baru kelar mengikuti satu mata kuliah.

Sedetik kemudian, ia pun mulai menceritakan tentang aktivitas lainnya yang tak seorang anak kampus pun tahu. Sebelum pertemuan siang itu, aku hanya kenal si “Juli kakak” sebagai seorang pencinta seni dan penggemar kegiatan petualangan. Rencananya, jika bertahan di fakultas ini, ia pun ingin bergabung di mapala tempatku, untuk bisa menyalurkan bakatnya.

Dengan volume suara yang sedikit di pelankan, ia mulai menceritakan awal pertemuannya dengan komunitas yang bagi banyak orang mungkin sedikit beresiko. Bisa jadi, karena tingkah laku komunitas ini terkenal dengan sikap bebas dan urakannya. Bahkan sex bebas pun lumrah diantara mereka. Komunitas itu adalah kumpulan anak dengan beragam latar belakang. Ya, merekalah anak-anak jalanan, yang sering di sebut “anjal”.

Ternyata sudah lama juga ia aktif membagi sedikit pengetahuannya bagi anak-anak jalanan. Tepatnya sejak kelas 2 SMA. Itu pun ia lakoni karena ajakan seorang seniornya yang banyak bergerak di bidang pendampingan bagi anak-anak jalanan. Kebetulan pula seniornya itu aku kenal. Seorang anak mapala yang berbeda kampus denganku.

Singkat cerita, ia pun mengajakku untuk melihat perkembangan anak jalanan binaan mereka. Seminggu kemudian, menumpangi angkot 42 jurusan Pd. Bulan – IKIP, berdua kami berangkat dari kampus menuju rumah singgah, tempat “anjal” berkumpul. Sebelum tiba di sana, Juli sempat mengingatkanku agar tidak komentar apapun tentang kehidupan mereka. “ntar, abang lebih banyak diam dan mengamati aja”, ujarnya.

Rumah singgah itu letaknya di Jl. Sutomo, tepatnya di jantung kota Medan, ibukota Sumatera Utara. Luasnya pun tak begitu lebar. Hanya ada 2 kamar dengan 1 ruang tamu, 1 dapur dan 1 kamar mandi. Layaknya semua rumah singgah, kondisinya begitu memprihatinkan. Bau apek memenuhi seisi ruangan, tak terkecuali dengan toiletnya. Tumpukan sampah pun memenuhi pojok ruangan.

Setelah memperkenalkan diri dengan seorang anak yang paling tua dan dianggap sebagai koordinator, kami pun di beri kesempatan untuk melakukan sebuah tugas mulia. Hari itu, Juli akan memperagakan kemahirannya dalam mengajar baca tulis bagi sekumpulan anak yang kebetulan sedang berada di tempat itu.

Saat itu, ada sekitar 7 orang anak yang berkumpul. Lima laki-laki dan sisanya perempuan. Sejatinya, mereka ada di tempat itu, bukan karena ingin belajar baca-tulis, tapi karena kebetulan dari pagi mereka tidak berniat meninggalkan rumah. Jadinya, mau gak mau mereka harus ikut pelajaran. Usia mereka pun bervariasi, mulai dari 14 hingga 9 tahun. Kebanyakan dari mereka tak pernah mengeyam pendidikan formal.

Sejam berlalu, jumlah anjal yang ingin belajar menurun drastis. Kini, tinggal 4 orang. Ternyata, mereka keluar dengan beragam alasan. Permisi berpura-pura kencing, misalnya. Setelah itu, tak kelihatan lagi batang hidungnya. Jika sudah begini, tak ada alasan memanggil mereka kembali ke ruangan. Semua berpulang pada kesadaran anak-anak sendiri. Sebab, pada dasarnya mereka merupakan pribadi dengan tipikal bebas yang tak suka diatur. Itu yang menyebabkan beberapa diantaranya meninggalkan rumah orangtua mereka. Sehingga, jangan pernah coba-coba untuk mengatur mereka, karena mereka akan bereaksi.

Puas dengan sesi pembelajaran gratis siang itu, Juli pun membenahi lagi alat peraga yang sengaja ia persiapkan dari rumah. Buku ajar, Sipdol, pulpen dan karton yang berisi huruf dan angka ia masukkan kembali ke dalam tas. Kemudian ruangan di tata seperti sedia kala. Sementara aku hanya memperhatikan dari pojok ruangan.

Sejurus kemudian, Juli pun mulai mengeluarkan buntelan –-plastik hitam-- yang sedari tadi teronggok di dalam tas ranselnya. Benda itu merupakan menu makan siang ala kadarnya yang sengaja ia persiapkan. “... tadi aku beli sebelum kita berangkat ke sini.... kasihan mereka, banyak dari anak-anak ini belum makan sejak pagi tadi”, paparnya.

Aku yang memang belum makan siang hanya bisa melihat mereka melahapnya hingga kenyang. Tiba-tiba saja rasa laparku lenyap, berganti rasa haru yang meluap-luap, melihat sikap sobatku yang satu itu. Masih sempat-sempatnya ia memikirkan nasib sesama yang notabene orang tak di kenal. Sementara aku, rasanya belum ada yang pernah ku perbuat bagi sesama. Memberi sejumput rupiah buat para pengamen pun jarang.

Hari itu, aku benar-benar berasa di tampar dengan pemandangan tersebut. Pemandangan yang menyadarkanku tentang penderitaan orang-orang tak mampu. Jujur, aku bukan berasal dari keluarga kaya. Kehidupan keluargaku pun pas-pasan. Kendati demikian, ternyata masih banyak orang yang hidupnya jauh lebih parah, yang kadang kala makan hanya sekenanya. Hidup yang hanya di peruntukkan untuk mencari sesuap nasi dan tak pernah tahu apakah mereka masih bisa makan lagi sesudahnya.

Kaitan dengan Sebuah Program

Puluhan tahun berlalu, kondisiku sudah jauh berubah. Sekarang aku sibuk dengan rutinitas kerja yang sedikit mengganggu. Tak ada lagi waktu luang. Kalaupun pun ada, tentunya banyak tersedot untuk urusan keluarga. Sementara itu, keberadaan temanku Juli masih tetap sama, tak tentu rimbanya.

Saat mengenang kembali, masa-masa indah waktu kuliah dulu, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung. Beruntung bisa menikmati indahnya kuliah, --walau sedikit lama--, dengan segudang aktivitas, yang tak semua orang bisa merasakannya. Ringkasnya, banyak hal yang menarik tuk di pelajari selain bangku kuliah. Ini yang membuatku beda dengan mereka. Mereka yang tahunya hanya kuliah pulang, alias rumah--kampus--rumah. Tentunya, tak banyak kisah yang bisa diceritakan pada keturunannya kelak. Kasihan benar golongan seperti itu. Padahal, jika saja mereka mau sedikit aktif, pengalaman-pengalaman itu akan menjadi pelajaran berharga di hidupnya kelak.

Kembali ke temanku Juli, aku jadi teringat apa yang pernah kuperbuat. Sebuah perbuatan yang jika dihitung-hitung nilainya, tentu begitu kecil bagi kemanusiaan. Sungguh, aku sempat malu dengan kebiasaanku yang begitu jarang melihat lebih dalam perihal penderitaan kaum marjinal. Jika saja Juli dengan LSM-nya --yang aku lupa namanya-- tak memberikan mereka –-anak-anak jalanan-- rumah singgah, tentunya anak-anak itu tak punya tempat tuk bernaung. Mereka pun akan kembali tidur di emperan sepi ruko-ruko yang sudah tutup atau tak jarang pula di sudut-sudut kelam stasiun kereta, hanya dengan beralaskan kerdus ataupun koran bekas.

Kini, apakah sebuah kebetulan atau bukan, aku di hadapkan kembali pada realitas sosial yang sepertinya sudah tak di lirik karena isunya yang kurang sexy. Bahkan, untuk sekedar berempati pun orang-orang sekarang enggan. Inilah sekilas fakta yang biasa kutemui di belantara Jakarta. Bisa jadi, krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 65 silam yang membuat perubahan itu. Semua lebih mementingkan dirinya sendiri. Egosentris. Kemana perginya sifat peduli terhadap sesama yang sering di dengung-dengungkan di media massa? Bahkan, pemerintah pun sempat mencanangkan sesuatu yang dikenal dengan sebutan kesetiakawanan sosial.

Berbagi dengan orang miskin, mungkin itu tepatnya yang sempat ku-kerjakan. Sedikitnya 2 kali dalam sebulan, aku dan tim akan berkeliling ke daerah-daerah yang tentunya memiliki penduduk dengan tingkat penghasilan rendah. Yang dengan segala upaya berusaha mencukupi kehidupan mereka, walau nasib tak pernah berpihak, bahkan sejak mereka lahir.

Jika saja mereka bisa memilih, pastinya tak ingin bermimpi dan bercita-cita hidup jauh di bawah garis kemiskinan. Jika saja mereka bisa memilih, mereka pun akan memilih lahir dari keluarga-keluarga mapan yang tak kekurangan. Singkatnya, nasib yang membuat mereka seperti itu. Namun, apakah itu kehendak Tuhan?

Saat ditarik lebih jauh, bagi sebagian pemirsa yang telah akrab dengan program realita semi dokumenter yang ditayangkan oleh stasiun tivi tempatku bekerja. Program tersebut tentunya sudah tak asing lagi. “Jika Aku Menjadi” namanya. Sebuah acara yang menghadirkan sesuatu yang berbeda di zona prime time (baca: zona inti menurut pembagian waktu di pertelevisian).

Bagi stasiun televisi, mendisain sebuah program mendidik yang bisa diterima masyarakat tentunya memiliki kesulitan tersendiri. Sementara pada jam itu, program-program lebih banyak diisi dengan acara-acara hiburan, seperti film, sinetron atau musik. Itu sebabnya, program Jika Aku Menjadi, harus berjuang ekstra keras agar bisa diterima masyarakat. Berkompetisi dengan program-progam yang lebih banyak menjual mimpi semu, ketimbang realias kaum papah.

Bercermin dari kisahnya Juli, lagi-lagi aku merasa beruntung pernah mengenalnya walau hanya sesaat. Darinya aku belajar tentang memberi tanpa pamrih. Memberi yang kita bisa, even hanya sekedar tenaga. Kalau sekarang program “Jika Aku Menjadi” bisa memberi sesuatu bagi kehidupan mereka (baca: kaum miskin), itu adalah bonus. Karena yang terpenting adalah niat yang hadir dalam ketulusan untuk memberi dan berbagi.

Jika realitanya seperti ini, mungkin ada benarnya juga apa yang pernah dilontarkan Soe Hok Gie. Alm. tentang nasionalisme. Baginya, hanya orang yang dekat dengan alam dan masyarakat yang mengerti esensi nasionalisme. Sebab, nasionalisme bukan timbul dari slogan-slogan dan hipokrisi. Mengenal lebih dekat kaum miskin papah salah satunya. Dan di akhir komentarnya yang legendaris itu Gie pun menutupnya dengan mengatakan, “Itulah sebabnya mengapa kami mendaki gunung.”

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN