Friday, January 19, 2007

"MiMpI BuRuK JaDi KeNyAtAaN"

Sedetik kemudian, aku telah berada di atas pesawat yang akan membawaku terbang tinggi menembus awan, menuju Medan, kota paling bersejarah bagiku.

Rencana untuk pulang ke kampung halaman telah lama kurencanakan. Niatan yang awalnya cuma terlintas dalam pikiran itu pun, makin hari makin menggebu-gebu, minta segera di realisasikan.

Medan, ibukota Sumatera Utara, dengan penduduk +5 jt penduduk, telah mulai berbenah diri menghadapi jaman yang semakin maju. Bahkan sejak kutinggalkan 3 tahun lalu, kota tempatku dibesarkan ini telah menunjukkan banyak perubahan. Selain penambahan gedung-gedung baru yang diperuntukkan bagi mall ataupun perkantoran, jalan-jalannya pun menunjukkan banyak perbedaan. Kalau dulu jalan-jalannya kecil, sekarang terlihat makin lebar. Tak berhenti sampai disitu, Jalur yang dulunya 2 arah pun, kini menjadi satu arah, seiring pertambahan volume kendaraan yang dimiliki masyarakat.

@@@@@

Setelah berkonsultasi dengan teman seperjalanan yang akan menemani selama 5 hari kedepan. Perencanaan matang menjadi menu wajib yang memang diperlukan. Mulai dari peralatan, riset bahan liputan, kontak person, sampai driver yang akan mengantarkan kita berkeliling Sumatera Utara, telah di siapkan jauh-jauh hari.

Hanya dalam waktu seminggu semuanya telah ready. Kami pun akan memulainya pada hari Kamis (11/01/07) pagi. Sejurus kemudian, saat semua dirasa beres, mobil kantor yang kami tumpangi segera melaju di mulusnya jalanan ibukota menuju Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Disinilah cek-in dilakukan sembari menyortir barang yang akan dimasukkan ke bagasi pesawat.

Dengan menaiki pesawat MANDALA (AIR BUS A320: red) tujuan medan, penumpang yang jumlahnya ratusan terlihat membludak menuju pintu sempit pesawat. Budaya antri sepertinya masih terlalu jauh dari harapan. Sampai-sampai, untuk masuk pesawat saja, para penumpang harus beradu cepat. Padahal pesawat takkan berangkat jika penumpang belum masuk dan penumpang akan mendapat jatah kursi sendiri-sendiri, yang tentunya takkan pernah sama untuk setiap orang. Jadi, kalo di pikir-pikir, ngapain harus berebut? Mungkin inilah sisi buruk budaya kita yang susah untuk dihilangkan. “Bak, menunggu pembagian sembako aja!” gumanku lirih.

Untuk lima menit pertama, ritual rutin sebelum penerbangan dilakukan oleh awak kabin. Mula-mula, mereka (baca: awak kabin) akan memeriksa semua bangku penumpang apakah telah terisi atau tidak. Selanjutnya, sesuai prosedur penerbangan sipil, diwajibkan untuk memberikan penerangan singkat perihal upaya keselamatan selama penerbangan.

Mungkin karena terlalu sering dan sudah biasa diperagakan oleh para pramugari, sebagian besar penumpang mengacuhkan himbauan tersebut. Mereka lebih terlihat sibuk dengan membaca ataupun ngobrol dengan teman sebangku. Sedangkan bagi mereka yang baru pertama naik pesawat, setiap instruksi pastilah begitu bermakna.

Sejurus kemudian, pesawat mulai take off meninggalkan ibukota negara, -Jakarta-, tempatku mengadu nasib. Dari sini, perumahan penduduk yang tadinya terlihat dekat, lamat-lamat menjadi kecil seiring dengan ketinggian yang di capai pesawat. Beberapa kali kucoba tuk pejamkan mata saat pesawat tinggal landas, tapi keinginan melihat keluar jendela selalu saja tak terelakkan. Bahkan, saat roda mulai dilipat masuk ke dalam bodi pesawat, rasa deg-deg-an ikut-ikutan meraja. “Jangan-jangan akan terjadi hal buruk”, ungkapku membathin!

Menyaksikan detik-detik terakhir pesawat menjejak bumi menjadi waktu yang mendebarkan. Pasalnya, bayangan buruk tentang kecelakaan pesawat di tanah air selalu menghantui. Belum lepas dalam ingatan, bagaimana pesawat Adam Air - KI 574 hilang dari radar, saat berangkat dari Surabaya menuju Menado. Pesawat berpenumpang 112 orang, hilang begitu saja dari pantauan menara pengawas di Makassar. Berdasar perkiraan, diduga pesawat tersebut hilang di kawasan laut Masalembo atau di sekitar daerah Majene dekat Toraja.

Pada penerbangan kali ini, cuaca terlihat tenang dan bersahabat. Hanya, awan-awan halus yang terlihat bergelayut di sisi pesawat. Walau pemandangan sekeliling hanya sekumpulan awan putih, jauh diujung cakrawala bingkai alam terlihat jelas. Ini yang membuat pesawat terlihat mantap mengarungi ketinggian. Tak ada guncangan yang terjadi.

Mungkin karena terlalu mengantuk, akibat kurang tidur semalam, keinginan tuk pejamkan mata tak bisa di bendung lagi. Tak terasa, aku pun larut dalam aroma istirahat yang begitu dahsyat. Sepertinya, tiga puluh menit sudah aku tertidur, sampai tak sadar kalo awak kabin mulai membagikan makanan kepada setiap penumpang. Ketika meja lipat di depanku dibuka, aku baru sadar bahwa sekarang saatnya makan.

Selepas makan, kembali kurebahkan tubuh ini di kursi empuk penumpang. Berhubung gak ada kegiatan lain, kembali kupejamkan mata, Sementara temanku telah lebih dahulu pulas dalam mimpinya. Sepertinya, mengistirahatkan mata menjadi menu lanjutan yang menarik tuk di lakoni. Akhirnya, lagi-lagi aku terlelap. Gak ingat apapun juga!

@@@@@

Untuk satu jam pertama, pesawat yang kami tumpangi tak menunjukkan tanda-tanda akan mengalami gangguan cuaca buruk. Pasalnya sejak keberangkatan kondisi udara terlihat cerah dan baik-baik saja. Tak terlihat ada kendala selama penerbangan.

Saat pesawat memasuki daerah sumatera, tepatnya diatas kawasan Riau, kendaraan udara berbadan besar ini, mulai mengalami sedikit gangguan. Tiba-tiba saja, awan pekat menyelimuti pesawat, menimbulkan sedikit goncangan.

Sejak dari goncangan pertama, goncangan-goncangan selanjutnya semakin sering mendera. Bahkan, ketika memasuki daerah Sumatera Utara, goncangan itu semakin menjadi-jadi. Goncangan yang mulanya kecil dan tak terlalu sering, kini kian lama kian sering dengan frekuensi yang makin besar.

Dari balik jendela tempatku duduk, terlihat begitu pekatnya awan-awan tebal bertebaran di semua sisi. Sepertinya, tak ada lokasi yang tak ditempati awan-awan ini. Untuk itulah pesawat harus menambah ketinggian hingga 37.000 kaki, agar tidak terjebak di dalam kumpulan awan.

Sedetik kemudian pesawat telah berada jauh diatas awan. Keadaan kembali tenang. Tapi itu tak berlangsung lama. Pasalnya, saat memasuki wilayah Medan, pesawat harus mengurangi ketinggian. Dan, ini yang jadi pertanda buruk, awal kekhawatiranku terhadap transportasi udara.

Saat mencoba turun, tiba-tiba saja turbulence (baca; angin kencang) membuat pesawat terhempas naik ke arah kanan. Sontak semua penumpang kaget karenanya. Suasana yang tadinya tenang, kini berubah riuh. Masing-masing orang terlihat berpegangan kuat pada sandaran kursi. Bahkan doa-doa pertolonggan pada Sang Pencipta tak terhitung banyaknya dilafalkan oleh penumpang yang mulai ketakutan.

Sewaktu turbulence tadi, serasa jiwa ini terlepas dari raga. Aku jadi takut karenanya! Bahkan ketakutan yang selama ini harus kuredam saat bepergian dengan pesawat, kini jadi kenyataan. Jika diidentikkan, rasa takutku kali ini, melebihi ketakutan sewaktu naik Kora-kora dan Kicir-Kicir di Dufan- Ancol beberapa waktu yang lalu.

Jujur saja, kecelakaan pesawat atau apapun itu, telah lama mengusik akal sehatku. Pernah aku berpikir, jika saja terjadi kerusakan atau kecelakaan pesawat yang kutumpangi, maka aku orang pertama yang akan mengabadikan momen tersebut. Mungkin karena naluri jurnalis yang tinggi, membuat aku sering berandai-andai seperti itu. Padahal dalam kenyataannya tak demikian.

Pernah suatu kali, sewaktu penerbangan ke Surabaya, pesawat yang kutumpangi mengalami loss (lepas beban: red). Kontan aku berpegangan lebih erat pada pegangan kursi. Tak teringat sedetikpun, niat untuk mengambil gambarnya. Menyelamatkan diri sendiri tentu jadi prioritas utama.

Masih dalam penerbangan ke Medan. Sepuluh menit kemudian, pesawat semakin uring-uringan. Mencoba menembus awan yang luar biasa tebal. Sama seperti saat ini, pesawat berbobot mati puluhan ton tersebut, ternyata tak mampu membendung gravitasi Bumi. Mungkin karena adanya ruang hampa atau pesawat yang kehilangan kendali saat menembus awan, kendaraan angkasa ini harus jatuh beberapa saat. Kurang lebih 3 sampai 5 detik pesawat meluncur deras ke bawah.

Akibat gerakan menukik tadi, semua penumpang kembali panik. Penumpang yang tadinya terlihat was was, kini semakin siaga menghadapi kejadian yang terburuk. Masing-masing orang berpegangan lebih erat, sembari mmengucap doa-doa sesuai agama masing-masing.

Beberapa saat kemudian, melalui pengeras suara terdengar arahan: “...para penumpang diharapkan menegakkan sandaran kursi, melipat meja dan bersiaga sehubungan dengan cuaca buruk!” Mendengar itu, masing-masing orang semakin gugup. Gak tahu harus melakukan apa. Padahal baru beberapa menit sebelumnya, awak kabin mengingatkan, bahwa sebentar lagi kita akan mendarat di Bandara Internasional Polonia-Medan.

Cuaca buruk itu juga yang membuat pesawat harus berputar-putar di ketinggian selama sepuluh menit. Mencoba menunggu redanya badai yang diakibatkan oleh berkumpulnya awan-awan pekat dengan perbedaan tegangan/ konsentrasi. Sedikitnya 4 kali pesawat melakukan gerakan memutar di atas awan, sebelum mencoba turun ke bawah.

Saat mencoba mengurangi ketinggian, pesawat yang membawa penumpang 100 orang ini, terlihat sangat berhati-hati. Pasalnya, celah yang tersedia di kumpulan awan tebal tersebut tak banyak. Belum lagi, tebalnya awan-awan ini begitu berlapis. Sehingga, lepas dari satu lapisan awan, masih ada lapisan lain yang menunggu di bawahnya.

Sewaktu turun menembus awan, kejadian mengerikan kembali terjadi. Lagi-lagi, pesawat kehilangan keseimbangan, sehingga jatuh bebas (hilang kendali) beberapa saat. Kalo tadi pesawat mengalami los hanya beberapa detik. Kali ini terasa lebih lama. Sampai-sampai aku berpikiran, bahwa kondisi inilah yang mungkin dihadapi oleh pesawat Adam Air, yang hilang dan sampai saat ini belum ditemukan. Mungkin karena kehilangan keseimbangan, pesawat tersebut tak mampu naik.

Jatuh bebas! Sungguh, tak ada padanan kata yang menyamai maknanya. Rasa takut, takut dan sangat takut, jadi ekspressi tulus yang terpancar dari manusia-manusia pendosa seperti diriku. Serta tak ketinggalan berpasrah diri pada Sang Khalik, jadi ungkapan terakhir yang bisa kupanjatkan. Semoga Dia yang diatas sana berkenan atasku!

Itulah yang tergambar, saat pesawat menukik tajam beberapa saat. Kalo gak salah, sekitar 7 – 10 detik pesawat kehilangan keseimbangan, membuatku semakin bergidik dengan keringat yang mengucur deras. Sembari membungkuk dan bepegangan kuat pada lengan kursi, aku benar-benar pasrah! Tak sanggup melakukan gerakan apapun. Bahkan, niatan untuk mengabadikan momen terburuk, tiba-tiba hilang dari memori otakku.

Di saat-saat kritis seperti ini, dari tempat dudukku terlihat jelas butiran hujan mengalir deras membasahi sisi luar jendela. Ternyata di luar sana cuaca benar-benar buruk. Sampai-sampai hujan demikian lebatnya di atas ini, ditingkahi gelegar halilintar di ujung sana. Aku pikir, hujan hanya akan terjadi di ketinggian rendah atau jika posisinya lebih rendah dari awan. Pasalnya, hujan terjadi akibat tingkat kondensasi di awan. Ternyata tidak demikian halnya.

Lepas dari loss tadi, pesawat berusaha menjaga keseimbangan. Ini terlihat dari posisi pesawat yang kembali stabil oleh kemahiran sang pilot mengemudikan pesawat, dengan sangat berhati-hati.

@@@@@

Untunglah, setahap demi setahap, pesawat berhasil mengurangi ketinggian, hingga di kejauhan mulai terlihat jajaran pegunungan Bukit Barisan, ciri khas kawasan hutan Sumatera.

Masih dengan hujan yang mengguyur deras, rasa deg-deg-an belum juga reda. Lebatnya Kasawan hutan yang dilalui pesawat masih menimbulkan tanya? Belum lagi jarak panjang yang terbatas akibat kabut di kawasan ini tak bisa dianggap enteng. Pasalnya, di kawasan pegunungan ini, sebuah pesawat Garuda pernah jadi korban. Tepatnya di tahun 1997, pesawat tersebut menabrak pegunungan, akibat terbang terlalu rendah.

Aku hanya berdoa, semoga kami bisa turun dengan selamat, tak kurang suatu apapun. Aneh saja rasanya, jika pesawat berhasil mengelakkan cuaca buruk diatas sana, tapi harus terjatuh hanya karena menabrak bukit, akibat terbang terlalu rendah.

Untunglah semua yang kukhwatirkan tak pernah terjadi. Setelah melewati kawasan hutan, pesawat akhirnya berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Polonia – Medan, sepuluh menit kemudian. Sungguh, hanya ucapan syukur yang bisa kupanjatkan Pada-Nya, atas semua anugrahnya, sehingga aku ada, sebagaimana ku ada saat ini.

Sejurus kemudian, kami pun beranjak menuju ruang tunggu bagasi di dalam bandara.


Saturday, January 06, 2007

"MeNeRjAnG JeRaM PeKaLeN"

SEBAGAI wahana baru berwisata, Sungai Pekalen masih kurang familiar, bagi mereka yang senang dengan kegiatan arung jeram. Pasalnya, sungai ini kurang mendapat promosi, padahal jika ditelusuri, pesona yang ditimbulkannya tak bisa dianggap enteng. Ini yang membuat kami (baca: jurnalis televisi), merasa tertantang ingin menggeluti dan mengabadikannya ke dalam format video, agar bisa dinikmati oleh jutaan pemirsa lewat layar kaca.

Terletak di Kab. Probolinggo-Jawa Timur, sungai yang bersumber dari mata air gunung Lamongan dan Argopuro, biasa disebut Kali Pekalen Sampean. Dari pengamatan, sungai ini disebut-sebut sebagai sungai terbaik untuk kegiatan arung jeram di Jawa Timur. Kali Pekalen pun bersumber di tiga tempat; Sumberduren dan Ranusegaran, dan sumber di tapal batas Guyangan-Watupanjang.

"Batang air" dari Sumberduren dari Gunung Malang (1.221 m) dan Ranusegaran kemudian bertemu di Desa Jangkang, Kec. Tiris. Air dari kedua sumber inilah yang kemudian membentuk kali Pekalen Tiris-Condong yang menjadi "arus utama" arung jeram. Sedangkan sumber ketiga, tapal batas Guyangan-Watupanjang, Kec. Krucil, baru bertemu dengan hilir kali Pekalen di Desa Brani Wetan, Kec. Maron.

Dari sini, kali Pekalen mengalir ke utara dan bermuara di Desa Penambangan, Kec. Kraksaan. Dari pembacaan peta topografi, diketahui panjang aliran sekitar 50 km dengan kisaran 25 km (Tiris-Condong) yang bisa diarungi. Tapi, jarak tempuh masih bisa diperpanjang menjadi 40 km, hingga bisa mendarat persis di dekat kantor Pembantu Bupati di Gading. Namun untuk wisata arung jeram, waktu yang terlalu lama, bisa membuat penikmat bosan.

Persiapan Peliputan
Kabar tentang keeksotisan sungai ini, telah lama kami dengar. Bahkan saat singgah di Probolinggo beberapa waktu sebelumnya, kami sempat melakukan survey pendahuluan, perihal aman tidaknya melakukan peliputan di aliran sungai. Pasalnya, peralatan yang akan digunakan saat liputan tidak anti air.

Untuk kamera, misalnya. Demi keamanan selama berarungjeram, kami menggunakan 2 buah kamera yang tak terlalu berat, dengan kualitas gambar yang memadai (baca: 3 ccd). Satu kamera berupa handycam, kami masukkan ke dalam casing (wadah: red) yang tahan air. Sedangkan satu kamera lagi – SONY DSR PD 170- harus kami bungkus dengan plastic wrap, agar aman dari cipratan air. Maklum, casing untuk kamera ini, kami belum punya.

Peralatan lain, seperti: mik, clip on, kabel, earpiece, battere dan kaset cadangan, kami masukkan ke dalam sebuah wadah, yang disebut “Dry Bag”. Wadah kedap air, yang berasal dari bahan PVC ini, berfungsi untuk menyimpan segala macam barang yang rentan terhadap air.

Sedangkan tripot, alat bantu untuk dudukan kamera, tak perlu dimasukkan ke dalam wadah kedap air. Pasalnya, selain berat, benda ini bukan alat elektronik yang anti air. Hanya butuh penataan ruang di dalam perahu, agar benda ini tidak mengganggu selama pengarungan.

Setelah semua alat yang dibutuhkan dipacking rapi kedalam tempatnya. Kini saatnya menuju sungai. Menikmati pengarungan yang sesungguhnya.

Pesona Pekalen

Sungai Pekalen merupakan sungai permanen, karena dapat diarungi meskipun pada musim kemarau dengan arus yang tidak terlalu deras. Lain halnya pada bulan Januari hingga April debit air selalu tinggi, arus air menjadi lebih deras karena musim penghujan.
Sungai ini dikategorikan memiliki tingkat kesulitan (grade) II sampai dengan III +. Atau setingkat diatas Sungai Ayung ( Bali ) dan Sungai Sadang (Sulawesi Selatan). Bagi anda yang akrab dengan dunia arus liar, dua sungai ini tentunya sudah tak asing lagi, bukan?

Selain itu, tantangan alam berupa puluhan jeram yang ditawarkan masih sangat molek dan perawan. Pemandangan alam berupa air terjun, tebing sungai yang curam, sampai cerukan semacam goa, menambah panjang daftar panorama yang memberi nuansa baru pada kelopak mata.

Bagi para petualang, kondisi itu menjadi tantangan yang sangat menggiurkan. Belum lagi pemandangan alami yang khas dengan nuansa pedesaan menjadi pelengkap pesona arung jeram Sungai Pekalen.

Nuansa alami pun terekam pada langkah kaki penduduk desa yang berpenampilan ala kadarnya. Ketika perahu karet melintasi tepi sungai, tempat mereka mencuci pakaian, sebuncah senyum segera lemparkan tanpa malu-malu. Di balik bebatuan raksasa, penduduk desa yang kebanyakan perempuan itu asyik bercengkerama. Sesekali tangannya dilambaikan kepada peserta arung jeram. Sungguh, pemandangan langka yang jarang ditemui di perkotaan.

Sebuah Legenda

Sama seperti banyak tempat di Indonesia , Sungai pekalen pun memiliki cerita historis. Dari penuturan seorang sesepuh desa, diriwayatkan tentang perjalanan Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada pernah singgah di sungai ini.

Ada juga legenda lain yang menyebutkan bahwa sang Ratu Dewi Rengganis yang pernah membangun istana di kawasan Probolinggo, pernah singgah ke sungai ini sebelum melarikan diri ke gunung Argopuro.

Sampai sekarang penduduk sekitar masih meyakini adanya tempat pemandian sang dewi, di tempat tersebut. Konon ritual ini dilakukan setiap Jumat Legi pukul 24.00 malam.

Persiapan Pengarungan

Berhubung jalur pengarungan ada dua, yakni pekalen atas dan pekalen bawah. Tim liputan dibantu Regulo Rafting -operator arung jeram tertua di Sungai Pekalen-, berencana akan memulainya dari Pekalen atas. Pasalnya Pekalen atas memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dan dikhususkan bagi mereka yang sudah berpengalaman atau professional. Sedangkan pekalen bawah, lebih ditujukan pada layanan wisata. Meskipun begitu, jalur pekalen bawah tetaplah menantang.

Untuk menemukan lokasi basecamp Regulo Rafting, tidaklah begitu sulit karena dari jalan raya Probolinggo tinggal melihat papan petunjuk besar yang terletak di pinggir jalan. Dari jalan raya ini harus menempuh jarak sekitar 15 km untuk tiba disana. Sayangnya kondisi jalan tidak begitu bagus, sehingga para pengunjung akan melawati jalan yang berlubang-lubang.

Tiba di basecamp, biasanya peserta akan dipersilahkan beristirahat sejenak sambil disuguhi makanan kecil berupa pisang rebus dan minuman yang dinamakan Poka, terbuat dari teh dicampur jahe, keningar dan kayu manis. Selain itu, peserta juga diiberi kesempatan untuk berganti pakaian dengan pakaian yang siap untuk basah karena pasti akan terciprat derasnya air sungai.

Untuk keselamatan, para penikmat wisata arung jeram dilengkapi pelindung keselamatan seperti: helm, jaket pelampung, dan dayung, serta dipandu oleh seorang guide yang berpengalaman. Sedangkan perahu beserta pompa yang dibutuhkan untuk berarung jeram telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh operator. Sehingga ketika peserta datang, perahu telah siap.

Sebelum berangkat peserta akan diberi penjelasan singkat tentang cara berarung jeram. Disini peserta dikenalkan dengan beberapa istilah yang dipakai. Seperti "Maju" berarti mendayung maju, "Mundur" berarti mendayung mundur, "Stop" artinya berhenti mendayung, "Kiri Mundur" berarti pendayung kiri mendayung mundur dan pendayung kanan tetap mendayung maju, demikian sebaliknya. "Pindah Kiri/Kanan/Belakang" yang berarti peserta harus pindah duduk ke arah yang diperintahkan, dan yang paling penting yaitu "Boom" yang berarti peserta harus duduk di lantai dalam perahu dan mengangkat dayungnya menghadap ke atas - ini dilakukan apabila melewati jeram yang sangat deras dengan dinding samping yang sangat sempit.

Selanjutnya, untuk menuju lokasi, peserta akan dinaikkan ke mobil pickup. Setiap peserta harus berpegengan erat di pegangan, karena jalan yang dilalui lumayan menanjak naik turun. Sayangnya, sesudah turun dari mobil, peserta masih harus menyusuri jalan setapak yang lumayan jauh dan curam, sehingga stamina banyak terkuras disini. Malahan dapat dikatakan capeknya disini bukan karena arung jeramnya tetapi karena perjuangan ke titik start.

Petualangan yang Sesungguhnya

Sungai Pekalen Atas terletak di dusun Angin-Angin, desa Ranu Gedang, kecamatan Tiris, kabupaten Probolinggi, propinsi Jawa Timur. Dinamakan desa Ranu Gedang, karena di desa ini banyak terdapat pohon pisang (dalam bahasa jawa pisang disebut Gedang).

Dengan lebar sungai rata-rata 5-20 meter dan kedalaman air kurang lebih 1-3 meter, Sungai Pekalen Atas merupakan ajang ber-arung jeram yang sangat memukau.

Tiba di lokasi pemberangkatan, empat perahu karet dan beberapa kru Regulo sudah siap. Sedetik kemudian, aku dan “ndit” (baca: camera person) segera mengabadikan setiap momen yang berlangsung. Mulai dari mompa perahu, sampai doa dan yel-yel sebelum pengarungan.

Tak sabar rasanya, ingin segera terjun saat melihat jernihnya Sungai Pekalen. Namun, demi keselamatan, instruksi praktis tentang berarung jeram kembali didengungkan oleh “Ketip”, sang skipper (baca: kapten). Setelah semua paham, perahu karet pertama berisi lima orang yang sekaligus tim rescue mengarungi derasnya arus Sungai Pekalen.

Dimulai dengan jeram yang diberi nama “Selamat Datang”, kami diingatkan agar berhati-hati dan mematuhi aba-aba kru Regulo. "Dayung Maju", seru sang kapten saat meloloskan perahu dari celah batu besar di tengah sungai.

Pakaian yang tadinya tak terlalu basah, kini kuyup akibat empasan jeram sungai. Paddle (dayung: red) masing-masing lalu diangkat tinggi-tinggi, kemudian ditamparkan ke aliran sungai, pertanda keberhasilan melewati sebuah jeram dan kekompakan tim diatas perahu.

Lolos dari Jeram Selamat Datang, Jeram Pilihan Agak Rumit atau biasa disingkat Jeram Pilar sudah menanti. Disebut agak rumit, karena jeram ini diapit beberapa batuan besar. Sebelum meneriakkan aba-aba kepada peserta, tim harus bijak mengambil pilihan untuk melalui sisi sebelah mana. Itulah letak kerumitan jeram ini.

Lewat dari jeram-jeram tadi, di depan masih banyak jeram-jeram kecil yang siap menanti. Saking banyaknya, tak semua jeram diberi nama. Hanya jeram-jeram tertentu, yang mengingatkan akan sesuatu, lebih gampang diingat. Jeram Topmarkotop ini misalnya. Jeram di sisi kiri sungai ini begitu besar, membuat banyak perahu sering terbalik karenanya. Hanya kekompakan tim yang membuat perahu dapat melaluinya dengan mulus.

Dari jeram satu ke jeram berikutnya, jaraknya sangat bervariasi. Ada yang dekat, ada yang jauh. Ini yang membuat kepercayaan diri penggiat akan teruji. "Dari semua jeram yang ada, Jeram God Bless merupakan yang paling berbahaya, dengan tingkat kesulitan ‘grade III+. Di sini kita harus waspada penuh, karena kemungkinan perahu terbalik sangat besar," ujar Ketip, yang hafal betul sejarah dan karakteristik setiap jeram yang dilalui.

Dengan kekompakan dan segenap tenaga, akhirnya kami berhasil melalui jeram tersangar di sungai ini. Sejurus kemudian kami pun bersorak kegirangan, tanpa sadar kalo di depan masih ada jeram yang cukup sulit tuk dilewati. Berhubung pendayung sebelah kiri tidak siap, perahu pun tersedot ke dinding sungai di sebelah kiri. Akibatnya, tak ayal lagi, perahu tertahan di tebing sungai. Sedangkan para pendayung tak kuat menahan arus sungai. Satu persatu pendayung dan aku yang kebetulan di dalam perahu, terjatuh di telan arus sungai ber grade III. Rencana mengambil gambar akhirnya bubar, berganti dengan ‘self rescue’, menyelamatkan diri masing-masing. Untungnya, setelah itu arus sungai tak begitu deras, sehingga kita bisa berenang ke tepi, sambil menunggu perahu yang hanyut.

Sewaktu jatuh tadi, gerak refleks memaksaku mengangkat tangan tinggi-tinggi, sambil menggemgam kamera SONY DSR PD 170 (baca: tanpa casing) ditengah derasnya arus pekalen. Untung, air sungai tak bisa menyentuh kamera. Sehingga, sewaktu tiba di tepi, kamera yang kupakai masih bisa digunakan. “Syukur!”, tuturku membathin. Sebab, jika kamera rusak, aku gak akan bisa mengambil gambar, serta mungkin akan mendapat teguran dari kantor. Itu yang membuatku semakin berhati-hati di pengarungan kali ini.

Dalam pengarungan sungai, pada situasi apa pun, kuncinya harus “tenang”. Berhubung ada pemandu, prosedur dan aba-aba yang disampaikannya harus diikuti agar semua selamat. Karena itu, selain menawarkan keceriaan dan kerjasama, wisata air yang baru digalakkan di Sungai Pekalen awal 2002 ini, diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri para penggiatnya.

Setelah dirasa aman, reporter, yang ikut dalam pengarungan, akan melakukan pelaporan dari tempat itu, -biasa desebut dengan “Piece to Camera”-, sementara camera person akan mengambil gambarnya. Hal ini dilakukan jika ada momen penting yang layak untuk diberitakan.

JIka diamati, jeram-jeram disungai ini di beri nama yang berbeda oleh masing-masing operator. Hanya berberapa jeram tertentu mempunyai nama yang sama. Seperti Jeram Lumba-lumba dan jeram Delta, yang akan kita temui setelah dua jam pengarungan.

Jeram berikutnya yang tak kalah seru adalah Jeram Kuda Liar, Kuda Binal, dan Kuda Nil yang berturut-turut harus diarungi. Melewati Jeram Kuda Binal kita seperti dihentak-hentakkan seekor kuda karena jalur menurun dan berjeram panjang.

Di jeram-jeram besar, aku dan “ndit” akan berbagi tugas untuk merekam setiap kejadian. Seperti saat ini misalnya, aku yang berada di perahu rescue harus segera menepi, mencari tempat yang aman untuk mengambil gambar. Biasanya, tempat yang tinggi, seperti bongkahan batu dan jembatan menjadi pilihan. Setelah diberi aba-aba “dayung”, masing masing perahu akan melaju diantara putihnya deburan jeram. “Indah nian, sungai yang ditingakahi air terjun dan kicauan burung dikejauhan. Bak ikan cupang, perahu-perahu itu pun meliuk-liukkan tubuhnya, mengikuti setiap jengkal jeram yang tercipta”, gumanku lirih!

Tingkat kesulitan rafting di sini, dipengaruhi adanya air terjun di beberapa lokasi. Tantangan lainnya adalah peserta harus turun ke sungai dengan menggunakan tali memakai teknik ‘repeling’, bahkan mengharuskan ‘lining’ atau memindahkan perahu dengan teknik diulur memakai tali, dan ‘portaging’ yaitu mengangkut perahu karena tidak mungkin diarungi. Ini yang kami lakukan ketika tiba disebuah ‘terjunan’. Rasanya mustahil perahu dapat melaluinya


Tahap akhir

Setelah lelah ber arung jeram selama dua jam, kini kita tiba di sebuah perhentian, tepatnya di desa Condong, Kec. Condong. Di tempat ini, panitia telah menyiapkan hidangan ala kadarnya, berupa kue-kue dengan air kelapa muda. Sambil istirahat, puas rasanya melepas lelah sembari bercanda dengan sesama peserta, perihal petualangan yang telah dilalui.

Dan, jika istirahat dirasa cukup, pengarungan akan dilanjutkan. Tapi sebelum itu, ada ritual unik, yang menarik untuk dilakoni. Yup, melompat dari jembatan setinggi 7 meter, menjadi pembuka pengarungan tahap akhir ini.

Biasanya, para kru Regulo akan memulainya, diikuti para peserta yang punya nyali lebih. Dengan aba-aba “satu, dua, tiga” tiap-tiap orang akan melompat kedalam sungai yang mengalir tenang, dilanjutkan dengan berenang menuju perahu yang terambat di tepi. Sedangkan, bagi mereka yang ragu-ragu, diperbolehkan menuju perahu lewat darat.

Dari sini, pengarungan tinggal satu jam lagi menuju finish di Dusun Gembleng, Desa. Pesawahan. Tapi, jeram-jeram yang ada, tak bisa dianggap sepele. Walau tak sebesar jeram-jeram di hulu, jeram di bagian hilir lebih terlihat panjang dengan klasifikasi grade II.

Tak terasa, penyusuran telah menghabiskan Jarak 13 kilometer, ditempuh selama 3,5 jam pengarungan. Jumlah jeram yang dilalui pun tak kurang dari 33 buah seperti Welcome, Batu Jenggot, Pandawa, Rajawali, Xtravaganza, KPLA, Tripple Ace, The Fly Matador, Hiu, Cucak Rowo, Long Rapid, dan terakhir jeram Good Bye, berjarak 5 menit dari finish.

Setibanya di basecamp, tepatnya di pinggir sungai, kembali kamera disiagakan diatas tripot, menunggu tim lain yang belum sampai. “Roll... Action!”, Itu kata-kata yang kuucapkan, sebagai aba-aba, agar perahu selanjutnya segera melaju melahap jeram terakhir dengan kamera yang siap me-record, pertanda tahap akhir pengarungan.

Sejurus kemudian, peserta dan panitia berkumpul kembali, sembari berdoa atas keselamatan selama pengarungan, berlanjut dengan acara “bersih-bersih”, sementara operator sibuk membenahi alat yang telah digunakan. Sesudah itu, sajian pengggoda selera segera dihidangkan. Tempe , tahu dan ikan penyet, urap-urap dan lodeh, siap mengenyangkan perut para peserta yang energinya begitu terkuras setelah berarung jeram. Sekali lagi, untuk sekuen terakhir, aku pun mengabadikan momen tersebut. Ternyata, meliput sembari berwisata, dua hal yang saling berhubungan, jika kita lakukan dengan penuh kewaspadaan.

Monday, January 01, 2007

"Guy Ryder, Globalisasi yang Manusiawi"


Globalisasi tentunya sudah tak asing lagi telinga kita. Tapi, sadarkah kita, bahwa globalisasi memberi efek yang begitu besar, hingga merusak sendi-sendi kehidupan. Apalagi, globalisasi kini menjadi faktor penambah, menjadi motor pemindahan perubahan sosial dari tingkat lokal ke tingkat global. Mengapa?

Globalisasi antara lain ditandai dengan pemindahan proses produksi yang sebelumnya bersifat lokal menjadi ada di mana-mana, konstan, 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Dengan globalisasi, ada peningkatan nilai ekonomi, tetapi juga terjadi kesenjangan pendapatan global, yang makin parah dari tahun ke tahun.

Globalisasi, yang disebut-sebut sebagai momok yang tidak berprikemanusian, sering memunculkan protes dimana-mana, pada waktu lalu, saat ini, dan mungkin masih akan terus terjadi ke depan. Inilah juga yang menjadi kekhawatiran serikat pekerja dunia—kini bernama International Trade Union Confederation (ITUC/ Konfederasi Serikat Pekerja Internasional).

Imbas ini yang paling dirasakan oleh pekerja, yang dalam bahasa sehari-hari disebut buruh. Umumnya, demi mengejar produktivitas yang tinggi segala cara diupayakan oleh pemilik modal. Memaksimalkan sumberdaya yang ada menjadi kunci penting meraih peluang yang masih tersisa.

Hanya saja, peningkatan produktivitas sering berbanding terbalik penghargaan yang diterima oleh buruh. Pasalnya banyak buruh menerima gaji rendah dengan tekanan baik mental maupun fisik yang berlebihan, serta tak punya suara untuk memperjuangkankan ha-hak-haknya. Sehingga, tak jarang pekerja mencoba teriak melalui pembentukan serikat pekerja, yang akan membela kepentingan buruh.

Hal yang nyaris sama pun dialami oleh pekerja media, yang dalam bahasa kerennya disebut “Jurnalis”. Sudah jadi rahasia umum, banyak pemilik media yang membayar rendah karyawannya, demi alasan efisiensi atau keuangan perusahaan yang tidak stabil. Konon, itu juga yang membuat banyak rekan-rekan jurnalis, harus mengingkari profesinya dengan menerima suap (baca: 86) demi kehidupan yang lebih layak.

Untuk itu, perlu adanya kesepahaman antara pemilik modal dengan serikat pekerja yang mewakili para pekerja. Sebab kegagalan dalam penciptaan kohesi sosial menjadi salah satu sumber protes, kerusuhan, dan demonstrasi, yang setiap hari terjadi di berbagai negara.

Dalam 20 tahun terakhir ini, pengalaman empiris menunjukkan, pemilik modal yang berbisnis dalam bentuk perusahaan multinasional tak mau menyisihkan keuntungan kepada pekerja. Bahkan, dalam kasus terjadi penurunan keuntungan, korban pertama adalah gaji pekerja. Pola masa lalu tak akan menyelesaikan masalah di masa datang. Sebuah perubahan harus dilakukan.

Lebih parah lagi, banyak negara yang lebih mendambakan perusahaan multinasional ketimbang menghargai serikat pekerja di negara sendiri. Untuk itu ITUC (International Trade Union Confideration/ Konfederasi Serikat Pekerja Dunia) ingin mengubah hal tersebut. Mereka akan aktif melakukannya lewat berbagai protes pada setiap forum global. Namun kini, ITUC juga memilih jalur negosiasi. ITUC akan berkolaborasi dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Model Finlandia

Ketika ditanya, apakah ada model kerjasama tripartite antara pemerintah, pengusaha dan buruh yang mengedepankan kerjasama yang baik diantara ketiganya, dengan memperhatikan kesejahteraan buruh yang akan berdampak positif bagi kemajuan perusahaan, serta ketentuan UU yang berpihak pada buruh? Jawabnya, ada! Keberhasilan itu bisa kita lihat di Findlandia.

ITUC yang diketuai Guy Ryder, berjanji akan memperkuat aliansi dengan lembaga swadaya masyarakat dan akan terus menentang globalisasi yang tak manusiawi. Bukan globalisasi yang ditolak, tetapi globalisasi yang tidak manusiawi.

Ryder mengambil contoh Serikat Pekerja di Finlandia. Ia mengagumi gerakan serikat pekerja SASK. Model Finlandia ini bisa menjadi panutan soal penciptaan sebuah sistem dengan posisi tawar-menawar kolektif, kuat, yang bisa diterapkan dalam proses globalisasi. Model Finlandia pun dilengkapi dengan perlindungan sosial tingkat tinggi yang dicanangkan Pemerintah Finlandia. Hal itu diperkuat lagi dengan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur sosial.

Ryder mengemukakan, kohesi sosial di Finlandia di dapat lewat dialog terpusat, perlindungan sosial, dan pengeluaran pemerintah. Peran tripartit berjalan, terdiri dari pekerja, perusahaan, dan pemerintah.

Realisasinya adalah gaji yang tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik minimum. Perusahaan juga menjalankan bisnis dengan suasana tenang. Pekerja yang makmur juga akan meningkatkan daya beli dan kemudian merupakan sumber pertumbuhan ekonomi.

Oleh karena itu ITUC bertujuan memberikan penghargaan kepada pekerja, yang artinya dalam kehidupan riil adalah perbaikan nasib dan kesejahteraan buruh. Apakah itu sebuah utopia? Waktu yang akan menjawabnya.

Siapa Guy Ryder?

Guy Ryder, terlahir di Liverpool, Inggris, 3 Januari 1956 silam, punya hobi sederhana, yakni jogging, jalan kaki, dan membawa anjing kesayangannya ke mana-mana di saat senggang. Ryder adalah orator ulung, yang sibuk dengan jadwal pertemuan global di berbagai negara.

"Sepanjang hidup saya habis untuk menghadapi isu-isu pekerja di berbagai negara," ujar Ryder, lulusan University of Cambridge, Inggris, dengan gelar master of arts di bidang sosial politik.

Kapabilitas Ryder terasah dari kariernya, dimulai pada periode 1981-1985 sebagai Asisten di Departemen Internasional Kongres Serikat Pekerja Inggris. Karier awalnya itu membawanya menjadi Sekretaris Seksi Perdagangan Industri di International Federation of Commercial, Clerical, Professional and Technical Employees, Geneva, periode 1985-1988.

Kariernya, kemudian meloncat sebagai Asisten Direktur Konfederasi Internasional Serikat Pekerja Bebas periode (ICFTU) 1988-1998, Biro Geneva, Swiss. Ryder kemudian bekerja di ILO sebagai Direktur Biro Aktivitas Pekerja periode 1998-1999. Periode 1999-2001, ia menjabat sebagai Direktur Kantor Dirjen ILO dan sejak 1 Februari 2002 kembali ke ICFTU dengan posisi sebagai sekretaris jenderal.

Ryder melihat serikat pekerja global mempunyai masalah tersendiri dan memiliki organisasi masing-masing. Selain ICFTU, juga ada organisasi serikat pekerja global bernama World Confederation of Labour (WCL). Dalam lima tahun terakhir, Ryder bersama koleganya memikirkan penggabungan ICFTU dengan WCL. Hasilnya, terbentuklah ITUC, Rabu (1/11/06) lalu, dengan beranggotakan 306 serikat pekerja di 154 negara dengan anggota 168 juta pekerja.

Namun, ITUC belum bisa bersatu dengan Federasi Dunia Serikat Pekerja (WFTU), beranggotakan 145 serikat pekerja dengan 42 juta anggota yang eksis di negara komunis. "Kami tak bisa berunding dengan WFTU," tutur Ryder, dengan alasan WFTU bukanlah sebuah organisasi dengan dasar independensi.




ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN