Thursday, November 19, 2009

Mythbuster Perubahan Iklim


Jim Hoggan, seorang professional public relation (PR) tanpa lelah berusaha memerangi kebohongan tentang tidak adanya dampak pemanasan global. Dan tugas PR untuk menyebarkanluaskan pemahaman itu.

"Aku tertegun, benar-benar kaget," ungkap Jim Hoggan, penulis buku baru “Climate Cover-Up: The Crusade to Deny Global Warming (Greystone Books) dan buku “ a chair of the David Suzuki Foundation”

Hoggan tidak terkejut saat mengetahui perubahan iklim berhasil mematikan kesadaran orang-orang tentang pemanasan global. Dia hanya kaget betapa banyak orang menyangkal keberadaan perubahan iklim yang sebenarnya sangat nyata. Selain itu ia pun kagum bahwa dibalik penolakan tersebut ia menemukan hal-hal baru yang dibutuhkan bukunya, demi mengurai kebohongan mereka dengan melibatkan PR.

Jika orang berada dalam posisi yang memahami bagaimana seni PR telah lebih jauh menyebabkan penolakan pemanasan global, seharusnya orang tersebut sadar. Hoggan menjabat sebagai presiden dari perusahaan PR Hoggan & Associates di Vancouver karena telah bekerja selama beberapa dekade. "Public relations adalah cara membina hubungan dan membantu orang berkomunikasi, bukan malah menyebarkan informasi yang keliru," katanya.

Tersinggung dan marah dengan kebiasaan perusahaan-perusahaan minyak dan batu bara yang menyewa perusahaan PR pada dekade 1980-an untuk menimbulkan keraguan mengenai realitas pemanasan global (sama seperti yang mereka lakukan untuk menyebarkan ketidakpastian tentang bahaya perokok pasif), akhirnya Hoggan mendirikan sebuah sumber online, DeSmogBlog.com, lima tahun lalu.

"Saat kami memulainya dengan sebuah blog kecil yang kemudian digemari masyarakat Vancouver. Saya tak pernah berpikir bahwa blog tersebut akan dilihat oleh 1,3 juta pengunjung hingga sekarang ," tutur Hoggan yang gak menyangka kalau bog tetap akan ada.

Ledakan Penolakan

Faktanya, Hoggan mengatakan, bahwa tidak hanya penolakan yang tetap ada. "tampaknya mereka yang tidak setuju dengan dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim juga meningkat." Ketika kesadaran masyarakat mulai tumbuh akan ada kekuatan ilmiah yang menjelaskan tentang pentingnya masalah perubahan iklim, sehingga orang-orang yang tidak putus asa dan orang yang keras kepala bertekad untuk menyangkal pentingnya penyelamatan Bumi demi uang besar. "Ini bukan konspirasi, itu sebuah industri," ungkapnya.

Pada akhir 1980-an, Hoggan menulis di “Climate Cover-Up”, pengakuan terhadap perubahan iklim dan kreasi manusia berupa gas-gas rumah kaca sebagai penyebab utama pemanasan Bumi, sampai-sampai mantan Presiden George Bush mengatakan "mereka yang berpikir kita tidak berdaya untuk melakukan apa-apa tentang efek rumah kaca dan kita melupakan 'efek Gedung Putih, sebagai presiden saya bermaksud untuk melakukan sesuatu tentang hal itu. "

Tetapi, selama 20 tahun, perusahaan-perusahaan minyak (dengan kemampuan mereka menyewa PR) dan perusahaan manufaktur ragu akan "ilmuwan palsu, palsu laporan ilmiah, organisasi-organisasi akar rumput palsu dan hal-hal lain yang berusaha mengeluarkan pers rilis yang bertujuan merongrong setiap usaha badan-badan politik untuk membuat undang-undang yang berlaku dalam mengurangi gas rumah kaca. "Berarti, kita benar-benar tidak melakukan apa-apa tentang masalah ini” lanjut Hoggan.

Gas rumah kaca terus meningkat (kadar emisi Canada sekarang berada pada posisi sekitar 30 persen pada tahun 1990, ketika seharusnya mereka sangup melakukan antisipasi), berbarengan dengan rendahnya kesadaran masyarakat. Jajak pendapat Gallup baru-baru ini memperkirakan bahwa 48 persen orang Amerika berpikir bahwa ancaman pemanasan global dilebih-lebihkan. Gerakan politik sangat lambat tentang kemungkinan adanya pajak karbon yang lebih sering ditolak. "ketika orang-orang seharusnya sudah menangis akibat adanya pajak karbon," kata Hoggan, seharusnya sudah dilaksanakan sejak peraturan itu dikeluarkan. Media pun terus mengutip secara skeptic tentang pemanasan global di ruang yang sama sebagai pendapat ilmuwan perubahan iklim yang bonafit. Ulasan Hoggan yang paling terkenal, saat ia menulis, The Calgary Herald.

Mengubah Taktik

Dalam pertemuan panel antar pemerintah tentang perubahan Iklim bersama Al Gore yang memenangkan hadiah nobel, rencananya pada pertemuan PBB di Kopenhagen mendatang, terang-terangan akan menyangkal adanya perubahan iklim menjadi sesuatu yang tidak biasa dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi di tempat itu, dia mengatakan, sekarang kita melihat semakin banyak "energi" dan "lingkungan"

Para ahli mengatakan bahwa masalah ini memang kesalahan kita, tapi itu akan terlalu mahal untuk dicegah. Masalah lain, seperti AIDS atau kemiskinan, peringkatnya lebih tinggi pada daftar prioritas, dan kami tidak mungkin menghadapi perubahan iklim pada waktu yang bersamaan, mereka membantah.

"Para ahli memberi orang-orang pengertian bahwa perubahan iklim bukanlah sesuatu hal yang tidak dapat mereka lakukan, itu strategi yang sangat pintar," ujar Hoggan.

Media yang bersahabat dengan tokoh-tokoh seperti Britain's Christopher Monckton (tampil di CBC's The Hour) dan Bjørn Lomborg (menghiasi dengan TED bicara) terus menemukan megafon untuk pandangan mereka bahwa perubahan iklim merupakan masalah yang terlalu besar untuk mereka perbaiki, "tanpa pernah bertanya darimana uang itu mereka dapatkan, "katanya.

Alasan untuk Berharap

Tapi, Hoggan menambahkan, "Jumlah orang yang memahami masalah dan yang peduli tumbuh dari hari ke hari."

“Saya benar-benar merasa bahwa pekerjaan saya membantu mengembangkan cara kita ketika berbicara tentang perubahan iklim kepada masyarakat, sehingga mereka dapat memahaminya secara lebih baik. Selain itu kita membantu mencerahkan orang-orang yang sering membuat bingung masyarakat”, ujar Hoggan.

“Saya pikir itu adalah sesuatu yang akan saya lakukan di rentang sisa waktu hidup saya” tandasnya.(Zoe Cormier/jacko agun)

Sunday, November 15, 2009

DPRD: Penanganan Banjir Butuh 900 M per Tahun


Penanganan banjir di Jakarta membutuhkan kegiatan multiyears yang mesti berkesinambungan. Saat ini, pengelolaan tata ruang jabodetabek pun harus berperspektif banjir dan jadi prioritas utama. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan sedikitnya 900 milyar per tahun.

Tidak komprehensifnya penanganan banjir di Jakarta, membuat banjir ibarat luka lama yang tidak bisa disembuhkan. Padahal, setiap tahunnya pemerintah daerah DKI Jakarta telah mengeluarkan dana yang cukup besar hanya demi mengatasi permasalahan klasik yang satu ini.

Sat ini, penanganan banjir yang dilakukan oleh Pemprov DKI kurang serius, terlihat dari berlarut-larutnya penyelesaian prasarana teknis yang berkaitan dengan antisipasi banjir. Dari begitu banyak saluran-saluran yang harusnya bisa mengalirkan air ke sungai, hanya sedikit yang berfungsi baik.
Selebihnya telah rusak akibat kurangnya pemeliharaan. Karena itu, salah satu solusi yang dilakukan oleh pemerintah kota adalah dengan memaksimalkan pompa-pompa yang ada.

Selain itu, penanganan masalah banjir yang dilakukan seringkali kalah cepat dengan masalah baru yang timbul. “setiap tahun gap yang timbul antara penyelesaian dengan munculnya masalah baru semakin besar. Contohnya, dari penyelesaian 10 -15 masalah, ternyata timbul 100 masalah baru”, ungkap Sayogo Hendrosubroto, anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta.

Dinamika perkembangan kota Jakarta pun ditengarai menjadi penyebab merosotnya kondisi lingkungan ibukota. Lahan-lahan yang seharusnya diperuntukan sebagai kawasan hijau atau pun daerah tangkapan air (catchment area), kini berubah menjadi pemukiman padat penduduk. Sehingga tidak mengherankan, jika kawasan tersebut akan terendam saat hujan turun. Selain karena tidak berfungsinya saluran pembuangan, kebanyakan kawasan-kawasan tersebut berada pada posisi yang rendah.

“sekarang ini air permukaan tidak bisa masuk ke saluran, karena adanya penyumbatan. Kapasitas salurannya juga terbatas. Adanya usulan untuk memperbesar saluran yang ada pun membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sehingga jangan heran, jika hujan sedikit saja kawasan bisnis seperti Sudirman– Thamrin akan tergenang air” Ujar Sayogo menjelaskan.

Dalam hitung-hitungan Komisi D DPRD yang membidangi tataruang wilayah dan lingkungan hidup, penanganan masalah banjir Jakarta membutuhkan dana sekitar 3 Triliun rupiah. Dana sebesar itu tentunya tidak tersedia dalam APBD. Karenanya , DPRD sedang mengupayakan adanya pinjaman dari Bank Dunia yang terkenal dengan bunga rendah.

“mudah-mudahan aja, tahun depan pinjaman tersebut bisa cair. Meski banyak yang tidak setuju, tambahan dana tersebut sangat dibutuhkan oleh Pemda DKI. Pasalnya, jika tidak dimulai, permasalahan ini tidak akan selesai” tegas Sayogo.

Menanggapi dana sebesar itu, Sayogo mengusulkan adanya transparansi keuangan yang diawasi bersama oleh semua elemen terkait. Selain itu, program tersebut betul-betul nyata dan sangat di perlukan demi kepentingan masyrakat ibukota.

Beberapa waktu tahun lalu, Pemprov DKI sempat mendapatkan dana sebesar 40% dari total 1,3 Triliun yang dianggarkan pemerintah pusat untuk penanganan banjir. Dana tersebut digunakan untuk pemeliharaan teknis, seperti pengerukan dan pembersihan aliran sungai.

Namun belakangan Pemprov DKI tidak lagi mendapat kucuran dana dari pemerintah pusat. Karenanya DPRD menyesalkan tidak adanya bantuan terkait program-progam yang sedang berjalan, padahal program yang berkaitan dengan normalisasi sungai sangat di perlukan. Apalagi berembus kabar tentang anggaran Banjir Kanal Timur (BKT) yang tidak diserap cukup banyak. “Kalau itu kita anggarkan ke wilayah, penanganan banjir tentu sangat signifikan sekali”, tegas Sayogo.

“kedepannya kita sangat mengharapkan bantuan dari pemerintah pusat dengan adanya alokasi APBN yang menyertakan penanganan banjir Jakarta di dalamnya. Pasalnya, permasalahan banjir Jakarta seakan jalan di tempat. Seharusnya pemerintah pusat tidak pilih kasih, karena selama ini beberapa daerah seperti Jawa Timur dan Sulsel kerap mendapat kucuran dana dari APBN, sementara DKI Jakarta tidak”, tukasnya. (jacko_agun)

(foto: heruno.blogspot.com)

Friday, November 13, 2009

PLN Pasang Alat Pembatas Listrik di Rumah Mewah


Jakarta, BERLING— Terjadinya pemadaman listrik di Jakarta akibat belum berfungsinya gardu induk Cawang, Gandul dan Kembangan, memaksa PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) menerapkan kebijakan khusus, yakni dengan menambah penggunaan alat kontrol pembatas konsumsi (load controller) listrik terhadap 200 rumah tangga yang menggunakan daya diatas 30KVA.

Pemasangan alat kontrol pembatas konsumsi listrik akan dilakukan secara bertahap. Hari ini (13/11), PLN rencananya akan mengadakan kegiatan sosialisasi pada masyarakat yang menggunakan daya diatas 30 KVA. “Kegiatan sosialisasi ini akan kita lakukan dengan cara tertentu, tidak dengan metode classroom, tetapi mendatangi satu persatu rumah-rumah pelanggan potensial yang penggunaan lisriknya diatas 30 KVA”, ungkap Purnomo Willy, GN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang.

Desakan penghematan energi listrik disampaikan oleh Menneg BUMN Mustafa Abubakar saat mengunjungi gardu induk Cawang, Kamis (12/11), terkait pemadaman listrik yang makin sering terjadi belakangan ini khususnya di Jakarta.

Namun kegiatan ini belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh Tan Pardede (45), warga Pondok Indah – Jakarta Selatan. “saya sendiri belum pernah dengar tentang sosialisasi itu. Saya juga gak diberitahu oleh kelurahan jika pemerintah akan mengadakan sosialisasi”, tuturnya.

Pemasangan alat kontrol pemakaian listrik akan dilakukan di 200 rumah di kawasan mewah, seperti: Pondok Indah, Bintaro, Menteng dan Kebayoran Baru. Penggunaan alat tersebut diharapkan penggunaan daya listrik bisa hemat 2-3 MW.

Menurut Willy, saat ini alat tersebut baru dipasang di sekitar 50 rumah, dan akan ditingkatkan hingga mencapai 200 rumah. Pelaksanaannya sendiri akan terus dilanjutkan hingga selesai. Hari Sabtu dan Minggu yang merupakan hari libur, dijadikan waktu yang tepat untuk melakukan sosialisai sekaligus pemasangan, karena pada hari-hari itu, para pemilik rumah memang kebetulan berada di tempat.

“berhubung alat ini merupakan barang baru, maka perlu diupayakan adanya pelatihan penggunaan bagi pelanggan tersebut, sehingga mereka akan mengerti” tutur Purnomo Willy saat dijumpai di kantornya .

Dengan pemakaian alat ini, efesiensi diharapkan dapat tercapai, karena bisa menghemat penggunaan listrik sebanyak yang diinginkan. “jika alat itu kita set sebanyak 70%, maka penggunaan pelanggan atas listrik hanya sekitar 70% dari total daya yang mereka pakai. Sedangkan jika penggunaannya melebihi dari batasan yang ditentukan, secara otomatis sambungan listrik akan padam. Listrik kemudian akan menyala kembali dalam satu menit kemudian”, tutur Willy kemudian.

Penggunaan alat kontrol pemakaian listrik ini hanya berlaku dalam kondisi kritis saja. Terganggunya pasokan listrik akibat pemadaman, misalnya. Penghematan yang dilakukan oleh alat ini terjadi pada beban puncak, yakni pada pukul 18.00 WIB hingga 22.00 WIB. Sedangkan jika kondisi sudah kembali normal seperti semula, penggunaan alat ini tidak diperlukan lagi.

Meski demikian, Willy tidak merinci, akan dikemanakan alat tersebut jika tidak digunakan lagi. Selain itu, biaya pengadaan alat tersebut merupakan tanggungjawab PLN. “pelanggan tidak akan dikenakan biaya tambahan” tukasnya.

Dengan adanya penghematan, masyarakat diharapkan dapat menjalankan aktivitasnya dengan nyaman. Meski begitu, masyarakat dihimbau untuk melakukan penghematan penggunaan listrik, termasuk sektor industri.

Masalah krisis listrik di Jakarta menjadi pertaruhan bagi manajemen PLN yang akhir-akhir ini menjadi sorotan media. "Saya berjanji kalau masalah ini cepat diatasi dengan berbargai program maka saya akan memberi semacam penghargaan kepada pejabat dengan kenaikan pangkat atau semacam bonus," kata Mustafa.

"Tetapi kalau tidak sesuai dengan jadwal akan kami berikan sanksi tegas," katanya tanpa merinci sanksi yang dimaksud.

PLN dalam kegiatannya harus terus menerus melakukan sosialisai dan menyampaikan informasi yang cepat dan jelas kepada konsumen soal adanya pemadaman. "Tidak hanya melalui situs PLN, tetapi juga bisa lewat media televisi, koran maupun radio, sehingga efektif sampai kepada masyarakat," tandasnya. (jacko_agun)

Wednesday, November 11, 2009

Banjir dan Masyarakat Bantaran Ciliwung


Antisipasi banjir bagi masyarakat di bantaran kali Ciliwung dilakukan tidak hanya dengan pemantauan tinggi muka air di pintu air Katulampa- Bogor ataupun di pintu air Manggarai. Kegiatan membersihkan kali dari sampah-sampah yang hanyut pun kerap dilakukan agar alirannya menjadi lancar.

Meski pemungutan sampah sering dilakukan, tetap saja jumlah sampah yang hanyut cukup banyak. Karena itu, dalam pertemuan para tokoh masyarakat, diusulkan salah satu alternatif penanganan, yakni anjuran membuang sampah dengan menggunakan kantong-kantong plastik besar. Diharapkan, sampah-sampah yang dibuang tidak dalam serpihan, tetapi dikumpul dalam satu wadah yang akan memudahkan dalam pemungutannya.

Sodikin (40), salah seorang ketua RT di Kelurahan Kampung Melayu, --yang terkenal dengan kawasan banjir--, menggagas cara unik tersebut. Menurutnya, membuang sampah dalam plastik besar merupakan solusi pilihan terakhir. “ketimbang berserakan di sungai, sampah-sampah itu akan lebih mudah kita kutip jika berada dalam kantong-kantong plastik. Tapi, hal macam itu tetap bukan cara terbaik” ungkap Sodikin, Ketua RT.12/RW.01, Kel. Kampung Melayu – Jakarta Timur.

Biasanya, di musim penghujan seperti sekarang ini, informasi tentang kondisi tinggi muka air di hulu Sungai Ciliwung menjadi sangat penting. Pasalnya, jika terjadi luapan air sungai dari hulu, masyarakat yang tinggal di bantaran Ciliwung akan segera melakukan persiapan-persiapan.

“karena itu, HT (handy talky) yang saya pegang ini (sembari menunjukkan alat tersebut) tak pernah lepas dari genggaman. Setiap ada informasi terbaru tentang kondisi sungai di daerah hulu, warga selalu saya beritahu” ungkap pria paruh baya yang telah menjadi ketua RT untuk kedua kalinya.

Selain karena keakuratannya, informasi yang diterima melalui handy talky bisa langsung diberitahukan kepada warga. Biasanya, di mesjid dengan bantuan pengeras suara, merupakan tempat terbaik untuk menyampaikan setiap informasi. “disini, mesjid punya tanggungjawab lebih, karena berfungsi sebagai penyampaian woro-woro bagi warga. Sehingga jangan heran, jika ada pemberitahuan dari mesjid, warga dengan antusias akan mendengarkan” lanjut Sodikin.

Upaya tersebut sudah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun silam. Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai pun telah terbiasa dengan hadirnya banjir. Saking seringnya, masyarakat akhirnya mengantisipasi dengan meninggikan rumah mereka. Di lantai dua itu biasanya mereka meletakkan peralatan-peralatan penting.

“betul, mas, kalo banjir datang kita langsung siap siaga dengan mengungsikan semua barang ke atas loteng. Kita juga akan tinggal disana sambil menunggu banjir surut”, ungkap Kiki (22), warga Gg. Aman Kampung Melayu – Jakarta Timur.

Peristiwa banjir ini pula yang membuat masyarakat tidak mengisi rumahnya dengan perabotan. Pasalnya, setiap banjir datang, perabotan rumah tangga banyak yang rusak. Mau tidak mau, masyarakat hanya akan membeli perabotan yang penting saja. Selebihnya akan diletakkan di lantai dua, itupun jika masih tersedia ruang yang cukup. Sehingga tidak mengherankan, jika lantai satu rumah warga di biarkan kosong.

Banjir yang melanda bantaran ciliwung, sedikitnya terjadi sekali dalam setahun. Biasanya, banjir yang datang tidak pernah memperhatikan musim. Ketika volume air di hulu melimpah, besar kemungkinan kawasan Kampung Melayu akan terendam air. Kondisi ini yang dikenal sebagai banjir kiriman. Banjir seperti ini pun sering terjadi ketika tidak turun hujan.

“karena itu, kami tidak terlalu khawatir jika hujan deras turun seperti sekarang ini. Kali Ciliwung tidak akan meluap. Beda halnya, kalo hujan turun tiga hari tiga malam”, ungkap Sodikin yang selalu memberitahu warga setiap ada pergerakan tinggi muka air.

Jika tinggi muka air di pintu air Katulampa – Bogor mencapai 100cm, dan tinggi air di Depok telah mencapai 200cm, warga diperintahkan untuk siaga satu. Pasalnya, dalam jangka waktu 6 – 8 jam kemudian, banjir bandang akan menghantam Jakarta. Waktu yang relatif panjang itu bisa digunakan untuk berkemas-kemas sembari mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.

Jika banjir datang, bantuan biasanya tak pernah datang terlambat, baik dari pemerintah daerah maupun dari TNI, masyarakat dan NGO. Beragam bantuan, mulai tenda pengungsian, selimut hingga makanan selalu tiba tepat waktu. “itu sebabnya kami tidak terlalu takut, kalo banjir datang. Biasanya di tempat yang lebih tinggi telah didirikan tenda lengkap dengan pemberian makanan”, ujar Sadikin menambahkan.

Dalam menghadapi kemungkinan banjir yang akan terjadi kali ini, masyarakat bantaran Ciliwung telah siap. Serangkaian pelatihan telah disosialisasikan pada masyarakat secara berkala. Itu sebabnya mereka tidak terlalu kaget dan sudah mengerti apa yang harus dilakukan ketika banjir tiba.

Selain itu, banyak stigma negatif yang dilekatkan pada mereka. Pasalnya, bantaran kali bukanlah daerah hunian pemukiman, tetapi merupakan kawasan daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penopang tepi sungai dari abrasi. Mereka juga kerap dituduh sebagai pencemar sungai dengan membuang sampah-sampah secara sembarangan.

Namun tuduhan itu dibantah oleh Sadikin. Menurutnya, sampah-sampah yang berserakan di sungai, kebanyakan bukan hanya sampah rumah tangga, tetapi limbah pabrik yang sengaja dialirkan ke sungai. “buktinya, kami sering membersihkan sampah-sampah kain, plastik, oli dan bahkan kami juga pernah menemukan bangkai hewan yang dihanyutkan.
Sedangkan untuk masyarakat disini kebanyakan udah mengerti bahayanya banjir, tapi tidak tertutup kemungkinan masih ada yang bandel, kok”, ungkap Sadikin bersemangat.

Bagi Sadikin dan masyarakat sekitar yang mendiami kawasan tersebut sejak dulu, keberadaan Ciliwung sangat bermakna. Hal ini terlihat setidaknya dalam 30 tahun silam. Saat itu, sungai Ciliwung digunakan masyarakat untuk beragam keperluan, mulai dari mencuci, memasak hingga mandi. Namun, kondisinya sekarang sangat mengkhawatirkan. Air sungai yang menghitam dan berbau membuatnya tidak bisa digunakan lagi.

Meski demikian, masyarakat tidak pernah kesulitan air bersih. Sumur-sumur bor yang dibuat oleh masyarakat secara swadaya tetap menghasilkan air dengan kualitas yang jernih, baik di musim hujan maupun di musim kemarau. Setidaknya itu yang dituturkan oleh Sadikin, saat BERLING menanyakan tentang kondisi air di bantaran kali Ciliwung.

“air disini paling bagus. Warnanya jernih dan tidak berbau. Selama kami minum, tidak pernah ada yang sakit. Tapi untuk jelasnya, airnya belum pernah di periksa ke lab”, tutur Sadikin, ayah beranak satu.

Kondisi bantaran sungai yang kini sudah dipenuhi pemukiman penduduk, ternyata menyisakan aneka permasalahan, mulai dari masalah sosial, kesehatan, ekonomi hingga kerusakan lingkungan. Karena itulah pemerintah daerah tengah berupaya untuk memindahkan penduduk yang tinggal di bantaran sungai ke suatu tempat yang lebih layak. Saat ini, rencana relokasi masih dalam tahap sosialisasi.

“sekarang kita sedang menyiapkan lahan untuk memindahkan masyarakat yang tinggal di bantaran Ciliwung, sehingga mereka dapat tempat yang lebih layak ketimbang hidup di bantaran yang harusnya tidak ada penduduk”, ungkap Pitoyo Subandrio, kepala Balai Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (IPK-PWSCC).

Namun, rencana pemindahan ini ditentang oleh Sodikin dan warga yang lain. Menurutnya, upaya pemindahan itu tidak segampang yang diharapkan, karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Masyarakat yang mendiami kawasan ini tidak akan pindah jika proses ganti rugi tidak menguntungkan mereka. “Belum lagi, jika harga rumah susun yang ditawarkan cukup tinggi, masyarakat disini pasti kesulitan dalam pembayarannya”, tukas Sodikin.

Berdasarkan rencana strategi pembangunan daerah (renstrada) tahun 2009, Kali Ciliwung seharusnya sudah kembali dikeruk dan lebarnya dikembalikan seperti semula. Namun sayang, kondisi sungai yang dulunya jernih dan banyak ikan, tak bakalan kembali seperti semua. Semua karena ulah manusia yang tidak bertanggungjawab. (jacko_agun)

(photo: http://picasaweb.google.com/lh/photo/zyeR2AU1wIhs1YpQ5aAoiw)

Monday, November 09, 2009

Sepengal Sedih di Ujung Sana


Ku lihat wajahnya tak lagi ceria. Hanya tersisa sesungging senyum tipis di ujung sana. Itu pun tak lebih dari sikap basa-basi sembari menghormati setiap tamu yang datang. Kali ini ia sendiri. Benar, hanya seorang diri berbaur dengan yang lain, sembari berbincang sekenanya. Sejurus, tak tampak bidadari ataupun malaikat kecil yang senantiasa mendampinginya.

Sedikitnya sudah 5 bulan ini, ia hidup meradang. Sendiri, ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang terdekatnya. Sang istri yang biasa menemani, kini lenyap. Tak jelas apa alasan yang membuatnya harus menghilang. Pun bersama dua orang buah hati mereka.

Menurutnya, sejak semula, dia berupaya menahan keingingan sang istri untuk hengkang. Apalagi, kedua malaikat itu masih terlalu kecil untuk di bawa kabur. Si Irvine yang telah berusia 4 tahun dengan Praditha sang adik yang umurnya 2 tahun lebih muda. Namun, kerasnya keinginan sang istri bak batu karang. Hatinya begitu kokoh.

Kabarnya, bermula dari pemasalahan biasa, yang sampai detik ini, ia tak pernah mau cerita, membuatku sadar, bahwa perpisahan mereka berawal dari sesuatu yang sederhana. Sebagaimana pertemuan mereka yang sederhana, perpisahan itu pun harus diakhiri dengan cara yang sederhana pula.

Kini, sang istri pergi ntah kemana, tanpa meninggalkan penjelasan lebih. Hanya selembar surat yang teronggok di sudut meja makan.

”pa, aku harus pergi sekarang. Ya, sekarang!”, demikian isi surat yang di lipat sedemikian rupa hingga berbentuk amplop.

Malam itu, sehabis pulang kantor, tepatnya di hari Selasa, minggu pertama di bulan November, ia mendadak layu. Tak kuasa ia melihat sekeliling ruangan yang telah berubah bentuk. Di sana sini sampah aneka rupa berserakan. ”kok bisa begini”, gumannya lirih.

Ternyata, istri dan kedua anaknya pergi tanpa membersihkan rumah seperti biasanya. Suara riuh kedua buah hati yang selalu menghambur kedalam pelukannya pun tak lagi terjadi. Semua senyap. Betul-betul sunyi.

Malam itu, dengan perasaan sedih, ia duduk mematung. Memandang sekeliling sembari menghirup aroma yang tersisa. Aroma yang begitu lekat di penciumannya dan begitu akrab baginya.

Tak terasa, ia pun tertidur, di sofa empuk yang berhadapan langsung dengan televisi.

Lamat-lamat, seiring kesunyian yang makin menggema, penggalan masa indah itu kembali menyeruak keluar.

Tepatnya, delapan tahun silam, tanpa sengaja, ia bertemu dengan seorang gadis. Gadis muda dengan paras ayu yang usianya terpaut empat tahun lebih muda. Ntah kebetulan atau tidak, ia selalu bertemu dengannya saat berkunjung ke perpustakaan kampus. Di setiap kesempatan, di dapatinya gadis itu sedang asyik membaca di salah satu sudut ruangan.

Hingga suatu waktu dengan perasaan was was, ia pun memberanikan diri menyapa. ”Perkenalkan, nama saya Galuh”, ungkapnya sebagai pembuka pembicaraan. Namun, gadis berkacamata itu, seakan tak bergeming. Di perlakukan demikian, ia pun tak kuasa menahan malu dan hendak bergegas pergi, ketika dengan tiba-tiba si gadis mulai mengeluarkan kata-kata.

”hei, siapa tadi namamu? Maaf aku gak menyimak karena keasyikan baca” jawab sang gadis.
” oh, gak apa-apa”, jawabnya
” aku cuma sedikit heran, mengapa kamu selalu berada di pojokan ini setiap aku datang ke perpustakaan. Btw, sedang mengerjakan apa?”
”gak... aku cuma baca buku doang, kok!” kilahnya

Singkat kata, pertemuan itu jadi awal kedekatan mereka. Si gadis yang pendiam, ternyata merupakan pesona indah yang asyik untuk diajak ngobrol. Perpustakaan pun jadi tempat bersejarah buat mereka. Tempat dimana pertemuan-pertemuan selanjutnya dilakukan, sembari mengerjakan tugas-tugas perkuliahan.

Beberapa tahun kemudian, ketika ia tamat dan berhasil diterima bekerja di salah satu perusahaan multi nasional, niatnya mempersunting sang gadis semakin kuat. Apalagi, pihak keluarga mereka sudah saling kenal. Jenjang pernikahan pun tinggal selangkah lagi.

Begitulah kisah singkatnya, hingga akhirnya mereka hidup bahagia dan dikaruniai dua orang anak. Si suami menyayangi istri, demikian pula sebaliknya. Setidaknya itu penglihatanku sejak mengenal keluarga itu.

....

Malam itu, ditatapnya lekat-lekat setiap tamu yang datang. Pasalnya, tak sedikit tamu yang datang dengan membawa anggota keluarga lengkap. Jika sudah begini, hatinya pun pilu.

Memecah kebisuan, aku pun mengajaknya foto bareng. ”lumayan untuk kenang-kenangan”, tuturku.

Di pelaminan ini, kembali ia melayangkan sesungging senyum tipisnya, di sela-sela terpaan kilatan lampu blitz disertai rana yang membuka dalam waktu sepersekian detik.

” Makasih udah datang malam ini, bung”, ucapku
” sama-sama”, jawabnya.
” semoga menjadi keluarga yang bahagia”, ucapnya menimpali.
” semoga, doakan, ya!”, jawabku.

Selepas itu, ia mulai menjauh, berbaur dengan tamu-tamu undangan lain. Pesta malam itu pun terus berlanjut.

Namun, dari sorot matanya, masih tersisa pedih itu. Kepedihan yang jadi pertanda, betapa ia menderita. Sementara, musik mulai menggema memenuhi seisi ruangan.

” itu tadi teman akrabku, dik”, ujarku pada sang istri
” teman baik yang sedang dalam kondisi tidak baik”, lanjutku kemudian
Mendengar itu, sang istri hanya mengangguk-angguk. ”kasihan dia”, ungkapnya

Malam itu, semua puas. Tak ada yang kekurangan makan. Pun undangan tak kalah banyak yang hadir. Sebuah seremoni besar yang sesuai dengan harapan.

Lalu, ketika saatnya tiba, kami pun beranjak ke peraduan. Rasanya ingin bercinta secepatnya dan berharap malam tak usah berakhir. Menikmati nuansa yang sering disebut dengan ’sesuatu yang terindah’.

Namun, sebelum melakukannya, aku sempat terpikir, mungkinkah temanku tadi merasakan hal yang sama ketika memulainya dulu? Lalu, mengapa mereka harus berpisah.

”ah, aku gak ingin, dan, aku gak mau!” ujarku membathin
Perlahan kurangkul ia erat dan lampu kupadamkan. Yang tersisa hanya erangan!

(grafis: http://blog.turntablelab.com)

Sunday, November 08, 2009

Menjajal jeram di Sungai Wampu


Sungai Wampu adalah satu dari belasan sungai besar yang terdapat di Sumatra Utara (Sumut). Panjang sungai, yang melewati dua kabupaten ini, sekitar 140 km, dan hulunya terletak di Kabupaten Karo melalui Kabupaten Langkat dan bermuara di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading, Langkat Timur Laut.

Karena terdapat pada dua kabupaten, sungai ini pun dikenal dengan tiga nama. Masyarakat Karo menamakan Lau Biang atau Lau Tuala. Sedangkan orang Langkat menamakan Sungai Wampu dan masyarakat sungai yang hampir menuju muara menamakannya Sungai Ranto Panjang.

Kedalaman maksimal sungai mencapai lima meter, sungai ini dikategorikan sebagai sungai besar dan panjang di Sumut, selain Sungai Bingei dan Sungai Asahan. Sungai Wampu memikili banyak sekali anak sungai dan bercabangan di beberapa titik tertentu. Di beberapa tempat ada pula sumber-sumber air panas yang menambah keindahan dan fungsi sungai.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Wampu melintasi hutan negara seluas 91.423 ha, yang sebagian besar terdapat di Karo dan termasuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Debit airnya saat ini sekitar sekitar 150 hingga 300 meter kubik per detik.

Sebelumnya debit air Sungai Wampu berada di atas 300 meter kubik per detik, namun dari tahun ke tahun turun akibat adanya perambahan hutan. Perambahan hutan tidak hanya menyebabkan penurunan debit air, namun jika terjadi hujan air sungai berlumpur. Berdasarkan data statistik, lahan kritis di DAS Wampu minimal 33.030 ha dan terus bertambah.

Meskipun hutan di pesisir Sungai Wampu tidak pernah lepas akan ancaman perambahan, namun Sungai Wampu masih mampu memberikan keindahan. Wisata arung jeram adalah salah satu cara yang sangat efektif untuk bisa menembus tebing dan seakan-akan menemani sungai yang mengalir menuju muara.

Saat ini, ada beberapa operator arung jeram di Sumut yang melayani wisatawan untuk menikmati keindahan Sungai Wampu. Salah satunya dalah sekelompok mahasiwa pencinta alam Fakultas Pertanian di Universitas Sumatra Utara yang tergabung dalam Parintal FP USU.

Tiga jalur

Ada tiga jalur yang dibuka untuk menikmati keindahan Sungai Wampu sekaligus menguji keberanian saat melewati jeram-jeram sungai, yang cukup besar.

Pertama, dari Desa Kaperas, Kecamatan Salapian, Langkat, menuju jembatan Bahorok, Kecamatan Bahorok, Langkat, panjang lintasan 23 km atau 12 jam pengarungan. Di Jalur Kaperan-Jembatan Bahorok ini ada tempat yang bernama Pamah Durian yang sering dijadikan tempat beristirahat pengarung.

Tempat ini bisa dijadikan tempat istirahat singkat, misalnya untuk beristirahat beberapa jam sebelum melanjutkan pengarungan. Pamah Durian sering juga dijadikan tempat menginap pengarung, karena lokasinya sangat indah dikelilingi tebing yang dihiasi air terjun dan mata air.

Kedua, yang juga berakhir di Bahorok, namun dengan waktu tempuh dua hari, dimulai dari Muara Lau Tebah, Karo, salah satu anak sungai yang hulunya di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Titik start dapat dicapai setelah berjalan kaki sekitar setengah hari dari Desa Simolap.

Ketiga, dimulai dari Desa Rih Tengah, Karo hingga Bahorok, lama pengarungan tiga hari. Untuk mencapai Rih Tengah menghabiskan waktu enam jam dari Medan.

Rute lainnya cukup pendek, hanya menghabiskan waktu tiga jam, dimulai dari Desa Perbesi, Karo hingga Desa Limang masih di Karo. Untuk mencapai Desa Perbesi dapat melalui Kabanjahe, ibukota Karo.

Meskipun selalu turun, debit air di rute-rute pengarungan yang dipilih masih masuk kategori tinggi, bahkan di beberapa titik terdapat jeram-jeram yang cukup berbahaya jika tidak hati-hati dan mengikuti sistem yang dianjurkan dalam olah raga arung jeram.

Karena air tinggi, Sungai Wampu hingga saat ini masih menjadi salah satu alternatif lokasi pelaksanaan kejuaraaan arung jeram di Sumut, selai Sungai Bingei di Karo, Sungai Asahan di Asahan dan Sungai Alas di Aceh Tenggara.

Beberapa kejuaraan arung jeram yang penah digelar di sungai ini, antara lain. Kejuaraan Arung Jeram Sumut 1999, seleksi wakil Sumut dalam kejuaraan Indonesia 2001 Asahan White Water Festival yang diikuti oleh olahragawan arung jeram berkelas internasional.

Konon Lau Biang adalah sungai yang cukup angker. Pada malam hari, khususnya selama bulan pur-nama, di sekitar Lau Biang sering terlihat adanya pendekar yang menunggang kuda putih, yang diyakini masyarakat di sekitarnya sebagai penjaga sungai.

(Sumber: Bisnis Indonesia, Erna Sari Ulina Girsang)

Saturday, November 07, 2009

Workshop REDD bagi Jurnalis


Sebanyak 26 orang jurnalis dari berbagai media mengikuti workshop REDD: Solusi atau Problem untuk Perubahan Iklim yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerjasama dengan TEMPO Institute, mengingat informasi tentang skema REDD dalam kaitanya dengan penanganan dampak perubahan iklim bagi kalangan media masih sedikit yang dipahami, hal ini terlihat dari masih kurangnya pemberitaan mengenai REDD, meskipun media telah meramaikan pemberitaan pemanasan global terutama pasca UNFCCC di Bali Desember 2007 lalu.

Terjadinya laju deforestasi hutan dalam beberapa dekade belakangan ini semakin mengkhawatirkan seiring dengan industri perkayuan. Pohon telah menjadi komoditi yang sangat diminati, sehingga diibaratkan bak emas coklat yang menggiurkan. Akibatnya, penebangan hutan secara komersial dibuka secara masif sehingga menimbulkan pemanasan global. Menghadapi itu, pemerintah pada Konferensi Para Pihak (COP) ke-13 di Bali beberapa waktu lalu merekomendasi munculnya Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) yang dalam bahasa Indonesianya berarti pengurangan emisi karena penggunaan hutan-- sebagai salah satu mekanisme untuk penstabilan iklim dunia.

Hutan yang diyakini memiliki kemampuan menyerap karbon dan menstabilkan iklim menjadi penting, guna menekan laju deforestasi dan perusakan hutan. REDD pun diusulkan sebagai mekanisme insentif bagi pemerintah dan masyarakat yang komit terhadap pengurangan gas rumah kaca pasca, sebagaimana diamanatkan Protokol Kyoto. Dari skema ini, diperkirakan sekitar US$ 2 miliar per tahun (13,33 persen) potensi pasar REDD dapat diserap Indonesia untuk mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan.

Meski REDD bertujuan mulia, namun tanggapan dalam negeri tentang mekanisme REDD menuai pro dan kontrak diantara penggiat lingkungan. Sebagian pihak menilai insentif REDD adalah mekanisme yang tidak adil karena negara-negara maju tetap mengeluarkan emisi karbon yang tinggi. Sementara negara berkembang menjadi korban dari kegiatan industri negara-negara maju.

Banyak pihak yang mempertanyakan siapa yang akan mendapatkan insentif REDD, bentuk dari insentif tersebut, dan mekanisme penyalurannya. Apakah masyarakat desa yang mengelola hutan rakyatnya dan mempraktekkan sistem agroforestry di lahan pekarangan dan ladangnya bisa mendapatkannya? Dengan insentif REDD, mampukah pemerintah mengajak peladang berpindah, yang mempraktekkan tebang bakar, mengubah pola budi dayanya? Demikian pula halnya dengan para pengusaha kelapa sawit dan industri pulp, dapatkah bentuk insentif REDD yang ditawarkan menjadikan mereka bersedia melakukan pengelolaan lahan yang ramah lingkungan?

Kegiatan yang diadakan selama dua hari (7-9 November 2009) di GG House Happy Valey, Jl Kampong CIbogo II No.423 Gadong, Cipayung, Bogor, bertujuan untuk memahami persoalan perubahan iklim dan plus minus upaya mereduksi emisi karbon melalui skema REDD. Selain itu, peserta diharapkan mampu menggali isu seputar REDD dan perubahan iklim kemudian menyampaikannya secara komprehensif melalui medianya.

Kegiatan workshop ini sendiri dibagi atas beberapa sesi yang dibawakan oleh beberapa narasumber, yakni: Arief Wicaksono (aktivis lingkungan), Hendro Sangkoyo (aktivis lingkungan, School of Democratic Economy, Rezal Kusumaatmadja (konseptor REDD untuk hutan Kalimantan Tengah), Wibisono, (staff ahli Gubernur Aceh untuk urusan hutan).

Kesadaran ini menjadi penting mengingat pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat ketimbang tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. (jacko_agun)

Monday, November 02, 2009

AEC, Kemajuan dan Tantangannya


Oleh: Jekson Simanjuntak

Seorang peneliti di Institute of Southeast Asian Studies, Singapura, Denis Hew, pernah mengatakan dalam satu laporan ilmiahnya pada Juni 2003 bahwa pembentukan Komunitas Ekonomi Asean (Asean Economic Community-AEC) perlu dilakukan secara bertahap. Langkah awalnya perlu diupayakan Asean Free Trade Area (AFTA), sebagai kawasan perdagangan bebas Asean. Meski sudah diresmikan sejak 2003 lalu, cakupannya perlu diperluas sehingga meliputi liberalisasi arus modal dan tenaga kerja sekaligus. Impiannya, komunitas ekonomi ini hampir mirip dengan pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa.

Seperti diketahui, ASEAN Economic Community (AEC) merupakan satu dari tiga pilar perwujudan ASEAN Vision 2020. Dua pilar lainnya adalah ASEAN Security Community dan ASEAN Socio-Cultural Community. Sesuai kesepakatan dalam ASEAN Summit pada bulan Januari 2007 lalu, pencapaian integrasi ekonomi melalui AEC akan dipercepat dari tahun 2020 menjadi tahun 2015, sebagaimana diusulkan mantan PM Singapura Goh Chok Tong dalam KTT Asean di Phnom Penh.

Pada kenyataannya, tak semua negara anggota Asean memiliki kemampuan ekonomi yang relatif setara, maka langkah awal liberalisasi menuju AEC dimotori oleh enam negara, yaitu Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, Indonesia, dan Brunei. Sedangkan, Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar dilibatkan belakangan setelah segala sesuatunya memadai.

Untuk mewujudkan AEC 2015 ini maka disusun AEC Blueprint yang memuat karakteristik, elemen, rencana aksi prioritas, target dan jadwal atau timeline pencapaiannya di bahas dalam KTT Asean di Cebu, Filipina, Januari 2007 lalu. Momentum ini menandai optimisme para pemimpin negara anggota Asean terkait dengan pembentukan komunitas ekonomi kawasan, dimana Menteri Perdagangan RI Mari Elka Pangestu, terlibat aktif dalam pembentukannya.

Cetak biru tersebut memuat empat kerangka utama AEC, yaitu single market and production base, competitive economic region, equitable economic development, serta full integration into global economy.

Dengan pendeklarasian AEC Blueprint, 10 negara anggota Asean harus mampu mengsinergikan kebijakan ekonominya, khususnya terkait dengan kebijakan perdagangan dan jasa, kebijakan investasi serta kebijakan ketenagakerjaan yang mengacu pada cetak biru tersebut.

Tentu saja akan banyak kendala, lebih-lebih yang terkait kebijakan bea cukai. Denis Hew sejak awal mengisyaratkan sulitnya kebijakan bea cukai setiap negara anggota Asean untuk menghapus hambatan perdagangan dan sejenisnya.

Sejumlah Kemajuan.

Meski beragam persoalan bakal muncul dan berpotensi mementahkan pembentukan AEC, pemerintah Indonesia malah berharap besar dengan hadirnya komunitas ekonomi kawasan ini. Pasalnya, keberadaan AEC diharapkan dapat menuntun semua negara ASEAN mewujudkan sebuah Komunitas Ekonomi ASEAN yang terbuka.

“Blueprint ini akan menuntun proses pembentukan kebijakan di semua negara ASEAN agar kebijakan nasional dapat bersinergi dengan komitmen regional," jelas Menteri Perdagangan sesaat setelah Pertemuan Para Menteri Ekonomi ASEAN dibuka resmi oleh Menteri Perdagangan dan Industri Filipina Peter B. Favila.

Peluang kerjasama ekonomi di lingkungan ASEAN akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan, terlihat dari Foreign direct investment (FDI) ke kawasan ASEAN pada tahun 2006 mengalami kenaikan sebesar 27%, yakni dari sekitar US$ 41 milyar menjadi US$ 52,4 milyar. Sementara itu untuk kuartal pertama tahun 2007, FDI ke ASEAN telah mencapai US$ 14 miliar atau meningkat 9% dibanding periode yang sama tahun lalu.

ASEAN juga berhasil mempertahankan kinerja ekspornya tahun lalu dengan mencatat kenaikan sebesar 16,5% dibanding tahun 2005, yakni dari US$ 650,63 milyar di tahun 2005 menjadi US$ 758,04 milyar di tahun 2006. Ekspor ASEAN pada kuartal pertama 2007 ini juga meningkat sebesar 10,1% dibanding periode yang sama tahun 2006.

Secara bertahap namun pasti, ASEAN telah berkembang sebagai satu kesatuan ekonomi yang menarik dan kompetitif. Hal ini antara lain ditunjukkan oleh keinginan yang besar dari mitra dialog ASEAN untuk merundingkan FTA atau kerjasama ekonomi lainnya yang lebih erat dengan ASEAN.

Tantangan ke depannya adalah menjaga momentum dari proses integrasi ini dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian di Tanah Air agar perekonomian Indonesia semakin kompetitif dan dapat mengambil manfaat yang sebesar-besamya dari perwujudan ASEAN Economic Community di tahun 2015 nanti.

Tantangan AEC

Dalam kondisi yang sangat terfragmentasi, bukan tidak mungkin beberapa negara merasa tidak mendapat manfaat maksimal dengan diadakannya ASEAN Economic Community (AEC). Hal ini terjadi akibat adanya kebijakan yang belum bersinergi antara kebijakan negara masing-masing dengan kebijakan kawasan.

Integrasi perekonomian regional ala AEC yang sedang diupayakan sesungguhnya merupakan sesuatu yang wajar. Uni Eropa misalnya, telah menjadi salah satu prototipe penyatuan kawasan yang representatif tentang regionalisme perekonomian. Kawasan tersebut bahkan telah punya mata uang bersama, euro.

Dalam pertemuan-pertemuan sebelumnya, para Menteri terkait juga membahas AEC Blueprint, selain membahas isu lain yang juga cukup penting, diantaranya pelaksanaan CEPT-AFTA dan upaya penyempurnaannya (antara lain terkait dengan berlakunya FTA dengan mitra dialog), pelaksanaan liberalisesi dalam konteks Priority Integration Sectors, dan penghapusan hambatan-hambatan non-tarif.

Namun, keraguan berikutnya muncul, perihal siapa paling diuntungkan dengan proyek besar pembentukan AEC, khususnya di rangkaian tahapannya? Di tataran ide, integrasi perekonomian Asean yang direkatkan oleh tema liberalisasi kawasan tentunya menawarkan aneka peluang dan sekaligus tantangan bagi masing-masing anggota Asean.

Pasalnya, laju pencapaian kesejahteraan dan kemakmuran antar negara anggota Asean sangat fluktuatif. Negara Myanmar, misalnya, memiliki laju peningkatan perekonomian yang sangat berbeda dengan Indonesia, bahkan dengan Malaysia yang jauh lebih maju. Sehingga ada keraguan, bila negara-negara tersebut mengikuti tahapan-tahapan pembentukan AEC, dikhawatirkan tidak akan menguntungkan mereka. Pada kondisi ini, agenda pembentukan AEC bisa jalan di tempat.

Target waktu 2015 memang masih lama. Namun, bergulirnya waktu bisa terasa makin cepat, ketika beragam perbedaan dan kepentingan di kalangan negara anggota ASEAN sendiri masih belum terselesaikan. Akibatnya, ASEAN mengalami kesulitan dalam membangun kapabilitas organisasi ketika berhadapan dengan kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik ekstra regional dan arus besar globalisasi yang semakin kuat.

Akhirnya, harus diakui bahwa blue print komunitas ekonomi Asean sejauh ini masih merupakan sebentuk konsep yang ideal di tataran ide, namun tidak menutup kemungkinan akan menemui aneka kendala yang tak kalah sulit dibandingkan dengan hambatan perdagangan itu sendiri.

(source peta: http://www.commerce.gov.mm/eng/images/asean_map.jpg)

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN