Saturday, November 07, 2009
Workshop REDD bagi Jurnalis
Sebanyak 26 orang jurnalis dari berbagai media mengikuti workshop REDD: Solusi atau Problem untuk Perubahan Iklim yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta bekerjasama dengan TEMPO Institute, mengingat informasi tentang skema REDD dalam kaitanya dengan penanganan dampak perubahan iklim bagi kalangan media masih sedikit yang dipahami, hal ini terlihat dari masih kurangnya pemberitaan mengenai REDD, meskipun media telah meramaikan pemberitaan pemanasan global terutama pasca UNFCCC di Bali Desember 2007 lalu.
Terjadinya laju deforestasi hutan dalam beberapa dekade belakangan ini semakin mengkhawatirkan seiring dengan industri perkayuan. Pohon telah menjadi komoditi yang sangat diminati, sehingga diibaratkan bak emas coklat yang menggiurkan. Akibatnya, penebangan hutan secara komersial dibuka secara masif sehingga menimbulkan pemanasan global. Menghadapi itu, pemerintah pada Konferensi Para Pihak (COP) ke-13 di Bali beberapa waktu lalu merekomendasi munculnya Reduced Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) yang dalam bahasa Indonesianya berarti pengurangan emisi karena penggunaan hutan-- sebagai salah satu mekanisme untuk penstabilan iklim dunia.
Hutan yang diyakini memiliki kemampuan menyerap karbon dan menstabilkan iklim menjadi penting, guna menekan laju deforestasi dan perusakan hutan. REDD pun diusulkan sebagai mekanisme insentif bagi pemerintah dan masyarakat yang komit terhadap pengurangan gas rumah kaca pasca, sebagaimana diamanatkan Protokol Kyoto. Dari skema ini, diperkirakan sekitar US$ 2 miliar per tahun (13,33 persen) potensi pasar REDD dapat diserap Indonesia untuk mendukung pengelolaan hutan yang berkelanjutan.
Meski REDD bertujuan mulia, namun tanggapan dalam negeri tentang mekanisme REDD menuai pro dan kontrak diantara penggiat lingkungan. Sebagian pihak menilai insentif REDD adalah mekanisme yang tidak adil karena negara-negara maju tetap mengeluarkan emisi karbon yang tinggi. Sementara negara berkembang menjadi korban dari kegiatan industri negara-negara maju.
Banyak pihak yang mempertanyakan siapa yang akan mendapatkan insentif REDD, bentuk dari insentif tersebut, dan mekanisme penyalurannya. Apakah masyarakat desa yang mengelola hutan rakyatnya dan mempraktekkan sistem agroforestry di lahan pekarangan dan ladangnya bisa mendapatkannya? Dengan insentif REDD, mampukah pemerintah mengajak peladang berpindah, yang mempraktekkan tebang bakar, mengubah pola budi dayanya? Demikian pula halnya dengan para pengusaha kelapa sawit dan industri pulp, dapatkah bentuk insentif REDD yang ditawarkan menjadikan mereka bersedia melakukan pengelolaan lahan yang ramah lingkungan?
Kegiatan yang diadakan selama dua hari (7-9 November 2009) di GG House Happy Valey, Jl Kampong CIbogo II No.423 Gadong, Cipayung, Bogor, bertujuan untuk memahami persoalan perubahan iklim dan plus minus upaya mereduksi emisi karbon melalui skema REDD. Selain itu, peserta diharapkan mampu menggali isu seputar REDD dan perubahan iklim kemudian menyampaikannya secara komprehensif melalui medianya.
Kegiatan workshop ini sendiri dibagi atas beberapa sesi yang dibawakan oleh beberapa narasumber, yakni: Arief Wicaksono (aktivis lingkungan), Hendro Sangkoyo (aktivis lingkungan, School of Democratic Economy, Rezal Kusumaatmadja (konseptor REDD untuk hutan Kalimantan Tengah), Wibisono, (staff ahli Gubernur Aceh untuk urusan hutan).
Kesadaran ini menjadi penting mengingat pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Dua kali lebih cepat ketimbang tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. (jacko_agun)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment