Wednesday, September 08, 2010

(menunggu) jemputan!



....

hujan, tiba-tiba tumpah dengan derasnya di halaman gedung Aldiron (--ex Mabes AU jaman dulu--), tempat saya menunggu jemputan terakhir yang akan mengantarkan saya ke lokasi tujuan. Sekeliling terasa riuh saat itu. Resepsionis sibuk dengan panggilan yang tak begitu jelas suaranya. Sedang di bagian luar, beberapa sekuriti sibuk dengan handy talky di dada dan payung di lengan kanan, sembari membuka pintu setiap mobil yang masuk lobi. Sementara itu, di bagian dalam tempatku memandang, terlihat banyak orang berlalu lalang menuju lorong-lorong yang saya gak tahu tembusnya kemana. Pun, tak ketinggalan cleaning service yang sibuk mengepel lantai kotor akibat dilalui banyak orang.

Saat itu, sebenarnya saya telah berada di ruang tunggu. Di sebuah ruangan besar dengan empat sofa empuk yang siap memanjakan setiap tamu yang berkunjung. Di sudut-sudutnya di letakkan pot bunga sebagai etalase penambah daya tarik ruangan. Saya akhirnya berhasil duduk manis di sofa itu, meski 20 menit sebelumnya, sempat mematung, tegak berdiri, di dekat meja resepsionis. Menunggu, sembari berharap, semoga ada bangku kosong yang ditinggalkan buat saya.

Agar tidak mengganggu tamu yang lain, saya pun menanyakan kepada resepsionis perihal kedatangan kendaraan yang bakal menjemput . "kira-kira jam berapa kendaraannya datang?" tanya saya.

"kabarnya sih, jam 11 siang pak", jawab si resepsionis dengan lugunya.
"Waduh, telatnya lama juga ya" gumamku membathin.

Padahal, sejak pukul 10 pagi, saya sudah berada disana demi sebuah penugasan. Penugasan yang sebetulnya sangat berat menurutku. Penugasan yang tentu saja jauh berbeda dengan penugasan sebelumnya. Pasalnya, resiko kehilangan nyawa menjadi taruhan.

Sedikitnya sudah dua kali pergantian orang di bangku sebelahku, sebelum akhirnya kendaraan besar itu tiba.

Kebanyakan dari mereka selalu menanyakan maksud kedatanganku. "mau meliput apa disini, mas?" tanya mereka.

Jawaban itu menjadi wajar, jika melihat peralatan yang kubawa. Sebuah tas kamera lengkap dengan tripot.

"gak mas/mbak", demikian jawabku
"saya sedang menunggu jemputan, kok", ujarku menimpali
"tapi kok belum datang juga ya?", tanya seorang pria di sisi kananku.
"bisa jadi, karena hujan", jawabku singkat.

Oh, ya, kabar terakhir yang ku terima dari resepsionis mengatakan bahwa jemputanku belum bisa datang karena faktor cuaca. Maklum, di luar saat itu sedang hujan deras. Petir pun tak ketinggalan ikut bersahutan.

Tepat pukul 12 siang lewat beberapa menit, saat hujan telah reda, raungan mesin terdengar sayup-sayup di luar sana. Sebuah mesin terbang telah mendarat dengan selamat di halaman gedung Aldiron. Tepatnya, di pojokan dekat jalan MT Haryono. Sekuriti yang sedari tadi sibuk menunggu akhirnya mendatangi saya. "jemputannya sudah datang, mas", ujarnya.

"Oke, kalo begitu saya harus segera berangkat", jawabku.
Lalu, dengan kasak kusuk tamu di sekeliling saya mulai bertanya
"emang kendaraannya mana, mas?" tanya mereka
"itu, udah datang", sahutku
"yang mana, kok saya gak melihat", ujar seseorang di depanku.
(padahal di depan lobi memang tidak ada kendaraan yang parkir)
"yang itu lho, mas, yang suaranya meraung-raung", jelasku padanya.

Sedetik kemudian saya pun menghilang, meninggalkan gedung bersejarah milik angkatan udara, menuju "chopper" yang siap menerbangkanku menuju lokasi tujuan.

Namun, sebelum beranjak, sempat kulirik tatapan bingung mereka. Sebuah percakapan pun sayup-sayup terdengar.

"wah, hebat, jemputannya heli, tho", pekik seorang diantara mereka.

foto: www.beritahankam.blogspot.com

(Jakarta, 07 Sept 2010)

Thursday, September 02, 2010

Ada Ijinnya, gak? (Refleksi Ruang Privat)


Perdebatan tentang ruang publik dan ruang privat seringkali menjadi hambatan tersendiri bagi jurnalis dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistiknya. Buktinya, beberapa waktu lalu, jurnalis televisi yang sedang meliput korban meninggal akibat tertimpa lift di Bank Mega Tendean, Jakarta Selatan di hadang oleh petugas keamanan gedung.

Dalam tayangan Headline News Metro TV pukul 14.00 WIB (22/08/10) terlihat jelas bagaimana petugas keamanan berusaha menghalang-halangi kerja wartawan yang ingin meliput gedung tempat terjadinya musibah. “udah ada ijinnya, belum” ujar M. Juhud, --salah seorang petugas keamanan gedung--, kepada para jurnalis.

Sebagaimana kejadian yang terjadi di banyak tempat, kerap kali para petugas kemanan tidak memperbolehkan wartawan masuk, demi alasan yang tidak jelas, meski tersirat kepentingan publiknya di dalamnya.

“yang penting perintah dari atasan melarang wartawan masuk, ya, kita tinggal menjalankan saja” ujar Ayadi, salah satu petugas keamanan Bank Mega Tendean yang ditemui penulis saat jaga malam.

“kalo mas perhatikan, dari pintu gerbang sudah ada larangan tidak boleh mengambil gambar. Berarti kegiatan ambil gambar memang tidak diperbolehkan”, sambung Kayut, petugas jaga yang lain.

Adanya ketidaktahuan para sekuriti terhadap dasar hukum pelarangan yang mereka lakukan, umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, yakni karena perintah atasan atau tidak inginnya kejadian tersebut diketahui media.

“biasanya, sekuriti yang bertugas, tidak pernah tahu batasan ruang publik dan ruang privat. Mereka hanya tahu, bahwa siapapun dilarang masuk ke lokasi kejadian, karena ada anggapan bahwa musibah yang terjadi dianggap aib perusahaan, sehingga umum tak boleh tahu”, papar Satrio Arismunandar, anggota senior AJI.

Lebih jauh, Satrio menjelaskan bahwa ruang publik sebagimana definisi Jurgen Habermes, seorang filsuf kenamaan Jerman, menyatakan bahwa ruang publik merupakan ruang diskusi kritis bagi semua orang. Dimana, setiap warga privat berkumpul untuk membentuk sebuah opini publik, dengan “nalar publik” yang tercipta sebagai pengawas terhadap kekuasaan Negara.

“atau, jika dianalogikan, ruang privat merupakan ruang yang tidak ingin diketahui oleh umum, dimana pihak-pihak lain dilarang menerobos masuk” papar Satrio yang kini menjadi eksekutif produser di salah satu stasiun televisi swasta.

Selain itu, ruang ini pun tidak terbelenggu dalam arti fisik semata. Artinya, pribadi-pribadi yang tidak dibatasi ruang pun masih memiliki aspek privat yang tidak boleh diganggu. Haknya bisa diganggu hanya demi tujuan yang lebih besar ataupun telah melanggar aspek privat orang lain.

Sedangkan, bagian yang sebenarnya tidak mungkin bisa ditutup-tutupi, misalnya gedung tinggi harusnya masuk wilayah umum. “abis, setiap orang pasti bisa melihat gedung Bank Mega dari manapun karena tingginya, tapi tidak bagian dalamnya. Sehingga pihak keamanan tidak mungkin menutup gedung tersebut dengan kain hitam. Sehingga terasa janggal, jika satpam menghalangi wartawan mengambil gambarnya, apalagi jika gambarnya diambil diluar kawasan”, tambahnya.

Tewasnya seorang cleaning servis Bank Mega, Riyan (35) pada pukul 8.20 WIB (22/08/2010) akibat terhimpit atau tertimpa beban lift, masuk kategori kecelakaan kerja, ujar Kapolsek Mampang, Kompol Risto Samudera, sebagaimana dikutip dari detik.com.

“begitu kejadian ini merupakan kecelakaan kerja, berarti ada kelalaian ataupun kesalahan prosedur yang sebenarnya berimplikasi pada kepentingan publik yang lebih luas, yakni menjadi pelajaran bagi pihak maintenance gedung di tempat lain untuk mematuhi standar keselamatan kerja (pasal 3 UU no.1/1970)yang berlaku”, ungkap Satrio, yang juga pernah menjadi Dosen Tamu di Jurusan Hubungan Internasional, FISIP-UI (1993) dan dosen Public Relations di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Kawula Indonesia, Jakarta Timur (2001).

Karena itulah upaya penghalang-halangan yang dilakukan oleh pihak keamanan gedung dinilai berlebihan. “harusnya, kerja wartawan jangan di haling-halangi, karena ada kepentingan umum dan hal itu bertentangan dengan Pasal 18 (1), UU Pers no. 40/ 1999” tandas Satrio.

Meski berita tersebut dimuat di banyak media, baik cetak, maupun elektronik, Trans TV yang masih satu manajemen dengan Bank Mega menjadi satu-satunya televise yang enggan mempublikasikan peristiwa itu.

“setelah kejadian, kita dihubungi oleh petinggi Bank Mega yang menginginkan agar berita tersebut tidak usah di publikasikan, karena beresiko terhadap perusahaan” ujar seorang karyawan Trans TV yang tak ingin namanya disebutkan.

“sewaktu kejadian, sebenarnya kita tetap melakukan peliputan, tapi kasetnya langsung disimpan dan tidak tayang”, ujar karyawan yang lain.

Hingga saat ini, belum ada penjelasan lebih rinci dari pihak Bank Mega terkait lepasnya lift dari lantai 3 yang merenggut nyawa Riyan, warga Jalan Kelapa Tiga RT.02/RW.06, Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Saat meninggal korban mengenakan baju berwarna abu-abu dengan celana panjang hitam. Kini tumpuan keluarga itu telah tiada, dan hanya menyisakan kepiluan mendalam bagi sang isri dan 2 buah hati mereka yang masih terlalu kecil untuk mengerti apa yang terjadi. (jacko agun)

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN