Tuesday, January 15, 2008

Mengunjungi Kahyangan di Tanah Jawa


Mengunjungi situs-situs bersejarah, tentunya mengasyikkan. Apalagi jika lokasinya berada di dataran tinggi yang merupakan sisa gunung berapi masa lalu. Masyarakat sekitar pun menyebutnya sebagai kahyangan, tempat berkumpulnya para dewa.

Kali ini saya mencoba menyambangi, suatu kawasan yang berada di Kabupaten Banjarnegara, berjarak 26 KM dari ibukota Kabupaten Wonosobo, Propinsi Jawa Tengah. Secara keseluruhan, kawasan ini mencakup 5 kabupaten, yakni; Batang, Kendal, Temanggung, Wonosobo dan Banjarnegra dengan areal 619,846 hektar. Sungguh luas, bukan?

Sekeliling sangat gelap, sewaktu kami memulainya hari itu. Jam merujuk pukul 02.00 WIB dini hari. Dengan berat hati, terpaksa saya harus bangun dari tidur yang singkat, jika tak ingin terlambat tiba disana. Kalau di hitung-hitung, paling-paling 2 jam mata ini sempat terpenjam.

Menggunakan kendaraan roda empat bertenaga 1300cc, kami pun beranjak meninggalkan kota bersejarah Jogyakarta melewati Magelang menuju Kabupaten Banjarnegara, tempat kawasan itu berada. Saat itu, hanya kegelapan yang bisa dinikmati. Hingga tak terasa, kami pun tiba di lokasi yang bernama “Menara Pandang” pada ketinggian 1700 mdpl. Menara ini disebut demikian, karena (kabarnya) dari tempat ini kita bisa menyaksikan matahari terbit di balik Gunung Sinduro yang menglilingi kawasan ini pada pukul 6 pagi.

Berhubung saat itu masuk musim penghujan, rencana menikmati sunrise harus direlakan dengan perasaan kecewa. Pasalnya, matahari yang ditunggu-tunggu tak kunjung muncul. Hanya mega-mega bewarna keemasan berbaur dengan awan yang memancar di ufuk timur. Sampai akhirnya, secara perlahan sekeliling mulai terang, pertanda kami harus melanjutkan perjalanan.

Secara geografis, kawasan ini terletak antara 7º,20' Lintang Selatan hingga 109º,92' Bujur Timur yang menurut pembacaan Google Earth berada pada Latitude: -7,20 dan Longitude: +109,92, dengan ketinggian 2.000-an m. Dari beberapa literatur yang saya baca, ketinggian tempat ini memiliki banyak versi. Mulai dari 2.093 hingga 2.565 m dari permukaan laut. Ntah lah, mana yang betul. Pasalnya, saat kesana, saya tidak bisa mengukurnya, karena ketiadaan alat (baca: altimeter).

Tentu anda sudah tak sabar ingin mengetahui apa nama kawasan tersebut, bukan? Bagi anda yang pernah kesana, ataupun berasal dari kawasan ini, namanya tentu sudah tak asing lagi. Yup.. anda benar. Dataran Tinggi Dieng-lah namanya, yang dalam bahasa ilmiahnya disebut Dieng Plateau.

Dengan suhu rata-rata 13ºC-17ºC di siang hari dan 10ºC di malam hari, menjadikan kawasan ini berhawa sejuk dan sangat cocok ditanami aneka jenis tanaman. Namun, di waktu-waktu tertentu, seperti Juli – Agustus, kita perlu waspada, karena suhunya bisa mencapai 0ºC. Suhu ekstrim ini sangat di khawatirkan masyarakat, sebab bisa membuat kerusakan pada tanaman pertanian. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai bun upas, artinya embun racun.

Berdasarkan etimologinya, Dieng berasal dari bahasa Indonesia Purba (sebelum bahasa Kawi) atau mungkin bahasa Sunda Kuna (baca; bukan bahasa Sansekerta); “Di” dan “Hyang” yang berarti Kediaman Para Dewa (kahyangan).

Dari kawasan ini, sumber mata air Sungai Serayu berada. Sungai Serayu merupakan sungai yang mengalir di Jawa Tengah bagian Selatan, bermuara di Cilacap. Sumber mata air ini disebut dengan Tuk Bimo Lukar (Mata-air Bimo Lukar). Tuk Bimo Lukar selain sebagai mata air Sungai Serayu, konon juga dipercayai dapat membuat awet muda.

Menikmati Pesona Candi Arjuna

Dahulunya dataran tinggi Dieng tempat pemujaan dan asrama pendidikan Hindu tertua di Indonesia. Sebagai buktinya, bangunan suci tersebut masih bisa kita temui sampai sekarang. Sedikitnya, dapat kita saksikan 8 buah candi dengan lokasi yang tak terlalu jauh.

Pada kesempatan ini, hanya kawasan Candi Arjuna yang bisa kami nikmati dari dekat. Pasalnya, waktu yang tersedia dengan lokasi wilayah yang sangat luas membuat kami harus memilih. Sejatinya, di kawasan ini terdapat beberapa kompleks candi, seperti Candi Gatotkaca, Candi Bima, Candi Dwarawati dan Candi Parikesit.

Dieng merupakan tempat suci yang memiliki kekuatan magis, karena dianggap sebagai tempat bersemayamnya arwah para leluhur. Di tempat ini pula terdapat beberapa komplek candi yang diperkirakan di bangun pada masa Dinasty Sanjaya, abad ke 8, awal peradaban Hindu, dengan peninggalan beberapa arca, seperti Siwa,Wisnu, Agastya, Ganesha dan lain-lain.

Gugusan Candi Arjuna konon untuk memuja Dewa Syiwa. Kawasan candi ini terdiri dari dua deret. Deret sebelah timur terdiri dari empat candi yang menghadap ke barat; candi Arjuna, candi Srikandi, candi Puntadewa dan candi Sembadra. Deret sebelah barat menghadap ke timur yaitu candi Semar yang berhadapan dengan candi Arjuna.

Penamaan candi-candi itu dipercaya baru dimulai pada abad ke-19 berkaitan dengan cerita wayang Purwa dalam lakon Mahabharata. Hal ini ditunjukkan dengan adanya relief-relief pada dindingnya. Penamaan candi juga tidak ada kaitannya dengan fungsi bangunan dan diperkirakan diberikan setelah bangunan candi ditinggalkan atau tidak digunakan lagi. Siapa tokoh yang membangun candi tersebut belum bisa dipastikan, karena informasi yang terdapat di 12 prasasti batu tidak menyebutkan siapa tokoh yang membangun.

Dari prasasti batu hanya ditemukan angka tahun 731 saka (809 Masehi) dan 1210 Masehi. Informasi ini digunakan sebagai petunjuk bahwa tempat ini digunakan selama 4 abad. Dari sisi arsitekturnya, candi-candi ini agak berbeda dengan candi kebanyakan di Pulau Jawa. Candi-candi tersebut dibangun dengan menggunakan konstruksi batu Andesit yang berasal dari Gunung Pakuwaja yang berada di Selatan komplek Candi Dieng.

Sejarah Geologi

Dataran tinggi Dieng merupakan dataran yang terbentuk oleh kawah gunung berapi yang telah mati. Bentuk kawah jelas terlihat dari dataran yang terletak di tengah dengan dikelilingi oleh bukit-bukit.

Dataran tinggi Dieng (Dieng Plateau) merupakan sebuah komplek gunung berapi. Sebuah kumpulan komplek gunung berapi yg luas dan mempunyai kemiripan hubungan gunung mayor dan minor dengan gabungan aliran lava dan batuan piroklastik (Francis, 1994). Komplek Dieng berbentuk dataran luas dengan panjang kurang lebih 9 mil (14 km) dan lebar 4 mil (6 km) dan memanjang dari arah barat daya - tenggara.

Struktur yg luas ini mungkin gabungan kaldera dengan peninggalan dua atau lebih stratovolkano. Bagaimana pun, tidak ada deposit yang besar dari gabungan pembentukan kaldera yang teridentifikasi. Sebuah kaldera tersebut usianya lebih dari 16.000 tahun. Sketsa peta Dieng Plateau dan kaldera sempat dibuat oleh Newhall dan Dzurisin (1988) yang dimodifikasi dari Delarue (1980).

Dieng yang berasal dari gunung api tua mengalami penurunan drastis (dislokasi), oleh patahan arah barat laut dan tenggara. Gunung api tua itu adalah Gunung Prau. Pada bagian yang amblas muncul gunung-gunung kecil yaitu: Gunung Alang, Gunung Nagasari, Gunung Panglimunan, Gunung Pangonan, Gunung Gajahmungkur dan Gunung Pakuwaja.

Beberapa aktivitasnya masih menimbulkan karakteristik yang khas. Seperti magma yang timbul tidak terlalu kuat, layaknya gunung merapi. Sedangkan letupan-letupan yang terjadi lebih karena tekanan air bawah tanah oleh magma yang menyebabkan munculnya beberapa gelembung-gelembung lumpur panas. Fenomena ini antara lain dapat dilihat pada Kawah Sikidang atau Kawah Candradimuka.

Sehingga jika ada yang mengatakan tempat ini merupakan bekas danau besar yang dikelilingi oleh gunung-gunung, sepertinya agak susah diterima akal. Akan lebih tepat, jika dikatakan kawasan ini merupakan bekas kawah akibat letusan gunung purba yang lama kelamaan digenangi air. Kawasan tergenang ini pula yang menyebabkan timbulnya telaga tadi.

Kawah aktif

Selain candi, Dieng juga menyimpan banyak kawah yang masih aktif mengeluarkan asap putih tebal. Beberapa di antaranya dinamai sesuai legenda Mahabarata, seperti Kawah Candradimuka dan Sumur Jalatundha. Candradimuka adalah nama kawah tempat menempa bayi Tetuko yang kelak menjadi ksatria gagah berani Gatotkaca.

Salah satu kawah di Dieng, yakni Kawah Sinila, sempat terkenal pada akhir 1970–an lalu karena mengeluarkan gas beracun yang menewaskan ratusan penduduk di sekitarnya. Kini, uap panas yang keluar dari kawah–kawah aktif tersebut dimanfaatkan untuk memutar turbin pada pembangkit listrik energi panas bumi yang mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 60 MW (2001).

Salah satu kawah yang dibuka sebagai objek wisata untuk umum adalah Kawah Sikidang. Kawah yang dari jauh sudah terlihat mengepulkan asap putih tebal tersebut, setelah didekati ternyata berbentuk kolam seluas sekitar 100 meter persegi yang berisi cairan kental abu–abu gelap yang mendidih bergumpal–gumpal.

Kawah ini pun sering berpindah-pindah letaknya, seiring dengan perbedaan tekanan di bawahnya. Jika pada tahun lalu, kawah aktifnya berjarak tidak terlalu jauh dari pintu masuk, kini lokasinya agak jauh ke tengah. Suara menggelegak dan desis uap air yang terbentuk dari kawah berwarna coklat kehitaman itu menimbulkan nuansa mistis yang khas.

Untuk mencapainya, kita harus hati-hati karena di sekitarnya banyak tumpukan lumpur kelabu yang berbau menyengat. Lumpur yang tampaknya padat dan sudah mengering tersebut sebenarnya adalah lumpur basah yang lembek dan sangat panas. Jika tidak waspada, kaki kita bisa terperosok ke dalamnya.

Indahnya Telaga Warna

Saat berkunjung ke kawasan ini, yang jangan dilewatkan adalah menikmati telaga alamnya, seperti telaga Merdada, Sumurup, Pengilon dan Telaga Warna. Dua telaga terakhir merupakan tempat menarik dan paling sering dikunjungi wisatawan, karena letaknya yang tidak terlalu jauh dari jalan raya.

Cukup dengan membayar Rp. 3000/ orang kita sudah bisa memasuki kawasan Telaga Warna. Telaga ini menjadi lokasi favorit pengunjung, karena keasrian dan akses jalannya. Berbeda dengan telaga di tempat lain, di tempat ini pengunjung dimanjakan dengan jalan betonnya yang tertata rapi. Sehingga pengunjung akan melenggang dengan aman, tanpa harus takut terpeleset akibat licinnya jalan. Selain itu, di beberapa titik disediakan lokasi peristirahatan berupa bangku beton, tempat pengunjung melepas lelah sembari menikmati indahnya telaga.

Di telaga Warna ini kita juga bisa melihat 3 warna telag, yakni; biru, hijau dan cokelat untuk waktu-waktu tertentu. Sedangkan di musim penghujan seperti sekarang ini, warna telaga lebih di dominasi warna hijau.

Telaga Warna merupakan danau di dalam kawah dengan relief yang rendah dengan luas 20 Ha. Kedalamannya antara 10 – 20 m. Gelembung gas sering tampak di permukaan telaga dan udaranya menjadi berbau belerang. Gelembung ini terjadi akibat aktivitas vulkanologi jauh di dalam bumi, yang di dominasi oleh gas seperti, belerang.

Dengan kondisi topografi, pemandangan alam yang indah serta situs-situs purbakala berupa candi, terasa pas mengidentikkannya sebagai khayangan di Bumi Jawa. Sebuah tempat yang sangat sayang tuk lewatkan begitu saja. Setidaknya, menikmati kesan magis yang masih tersisa.

Tuesday, January 01, 2008

Tarif SMS di Indonesia Masih Mahal


Siapa yang menyangka, kalo tarif SMS di Indonesia masih terbilang mahal, jika di banding dengan tarif sejenis di negara-negara lain di ASEAN. Kejadian ini ditengarai sebagai ulah perusahaan asal Singapura –Temasek Holding- dalam melakukan monopoli penentuan tarif per SMS.

Kejadian ini terungkap, ketika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan perusahaan asal Singapura; Temasek Holding, bersalah karena melakukan kepemilkan silang di dua perusahaan telekomunikasi terbesar yang beroperasi di Indonesia; Indosat dan Telkomsel. Hal ini dianggap bersalah, karena secara sadar perusahaan tersebut telah menetapkan tarif per SMS yang relatif mahal.

Kecurangan mulai tercium, saat Singapore Technologies Telemedia (STT) dan Singapore Telecomunications (Sing-Tel) memiliki sebagian besar saham perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia (baca; Indosat dan Telkomsel). Ternyata kedua perusahaan tersebut merupakan anak perusahaan Temasek Holding, sebuah perusahaan raksasa yang berbasis di Singapura.

Dengan kepemilikan silang Temasek, terjadi price leadership. Telkomsel yang saat ini sebagai pemimpin pasar karena jangkauannya yang luas, bisa menetapkan tarif seluler seenaknya. Jika di biarkan hal ini bisa berakibat pada kerugian konsumen (consumer loss).

Padahal jika kita mengacu pada perhitungan KPPU saja, selama tahun 2003 – 2006 diperkirakan konsumen mengalami kerugian mencapai Rp. 30,8 triliun. Kerugian ini terjadi akibat biaya yang dikeluarkan untuk belanja sektor komunikasi.

Ikhwal masalah

Di tahun 2001 lalu, pemerintah melakukan tukar guling antara Telkom dengan Indosat. Alternatif ini di pilih sebagai solusi untuk meningkatkan valuasi (baca; nilai tambah) perusahaan dan menciptakan persaingan yang sehat di industri telekomunikasi di Indonesia.

Sayangnya, hal ini tidak berjalan seperti yang di rencanakan. Akibat terpuruknya nilai tukar rupiah dan keterbatasan dana di APBN untuk bidang ini, pemerintah akhirnya menjual beberapa aset (baca: BUMN) yang dianggap merugi, akibat kredit macat.

Akhirnya, banyak BUMN yang sebenarnya memiliki arti penting bagi bangsa ini, harus di relakan berpindah tangan ke tempat lain, hanya demi dalih pengelolaan yang profesional dan pemasukan bagi kas negara yang rencananya mencapai 6,5 triliun/ tahun kala itu.

Padahal dalam UUD 1945 disebutkan, bahwa cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara, yang dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Jika dilihat dari prakteknya, jelas telah terjadi kesalahan prosedur yang di sengaja. Ini yang mengakibatkan bangsa ini semakin merugi

Jaringan yang Meresahkan

Ketika komunikasi telah menjadi kebutuhan, maka segala cara dilakukan manusia guna memenuhi kebutuhan tersebut. Sama halnya ketika industri telekomunikasi mulai merasuki sendi-sendi kehidupan. Hadirnya beberapa operator dengan tarif SMS yang relatif tinggi, tak membuat masyarakat jera. Berapa pun tarif yang di tawarkan, pasti akan habis di lahap konsumen.

Sehingga jangan heran, jika bisnis ini menjadi mesin pencetak uang bagi para pemain di industri ini. Lebih jauh, para pemain tadi akhirnya membuat jaringan yang kuat untuk bersepakat dalam menentukan tarif per SMS yang harus di bayar konsumen.

Dugaan inilah yang menguatkan kecurigaan KPPU, ketika tarif SMS yang dikeluarkan oleh delapan perusahaan seluler di Indonesia (Indosat, Telkomsel, XL, Bakrie Telecom, Mobile-8, Telkom, Smart Telecom, Hutchison) relatif sama.

Ternyata, tarif SMS di Indonesia terbilang mahal jika dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN yang lain. Padahal batasan yang ditetapkan Badab Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) hanya berkisar antara Rp. 73 – Rp. 75 per SMS.

Saat ini, tarif SMS untuk pascabayar adalah Rp. 250 dan pra bayar Rp. 350. Lagi-lagi, pendapatan atas SMS ini menjadi milik operator pengirim.

Rakyat dirugikan

Jika sudah begini, operator mengambil margin keuntungan yang sangat tinggi mencapai 200% -300%. Lebih kecil dari biaya produksi yang dikeluarkan. Keuntungan mereka bertambah besar jika SMS di kirimkan ke pelanggan lain dalam operator yang sama, mengingat pengiriman SMS sesama operator jauh lebih murah, karena menggunakan jaringan sendiri. Berbeda halnya jika mengirim ke oprator yang berlainan. Dengan begitu, biaya produksi benar-benar minim.

Secara sederhana bisa dianalogikan seperti ini; misalkan dalam sehari SMS yang di kirim dari operator seperti Telkomsel mencapai 230 juta SMS per harinya. Tinggal di kalikan dengan tarif SMS (misal: Rp. 350). Sedikitnya, pendapatan mencapai Rp. 80 miliar masuk ke rekening Telkomsel per harinya. Coba bandingkan jika dikalikan dalan setahun. Pendapatan bisa merujuk angka Rp. 29 triliun. Sebuah angka yang fantastik, bukan?

Itu baru Telkomsel. Bagaimana dengan operator lain? Tentu mencapai hasil yang besar juga. Jika saja market share operator terbesar tanah air sekitar 53%, maka pendapatan SMS yang dapat di kumpulkan seluruh operator dalam setahun bisa mencapai Rp. 50 triliun.

Sehingga jangan heran, ketika operator tak akan rela melepas keuntungan yang begitu gampang mereka raih, di porak-poranda oleh kebijakan pemerintah yang dianggap menghambat. Apalagi kebanyakan dari mereka sudah merintis usaha ini sejak tahun 1999.

Ada dugaan, para operator ini tidak jujur dalam menyampaikan data komponen dan biaya produksi kepada BRTI -notabene perpanjangan tangan pemerintah- sebagai upaya penyusunan tarif dasar SMS.

Jika sudah begini, hanya campur tangan pemerintah yang sanggup untuk meredakannya. BRTI sebagai satu-satunya regulator telekomunikasi di Indonesia, hendaknya mampu menyusun dan mengawasi batasan harga yang telah ditetapkan. Jangan sampai terjadi penetapan sepihak dilakukan oleh operator-operator tersebut.

Cara ini dianggap mampu melindungi kepentingan publik dari praktek-praktek yang merugikan masyarakat demi memperkaya segelintir orang, apalagi memperkaya negara lain.(berbagai sumber)

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN