Tuesday, January 01, 2008

Tarif SMS di Indonesia Masih Mahal


Siapa yang menyangka, kalo tarif SMS di Indonesia masih terbilang mahal, jika di banding dengan tarif sejenis di negara-negara lain di ASEAN. Kejadian ini ditengarai sebagai ulah perusahaan asal Singapura –Temasek Holding- dalam melakukan monopoli penentuan tarif per SMS.

Kejadian ini terungkap, ketika Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan perusahaan asal Singapura; Temasek Holding, bersalah karena melakukan kepemilkan silang di dua perusahaan telekomunikasi terbesar yang beroperasi di Indonesia; Indosat dan Telkomsel. Hal ini dianggap bersalah, karena secara sadar perusahaan tersebut telah menetapkan tarif per SMS yang relatif mahal.

Kecurangan mulai tercium, saat Singapore Technologies Telemedia (STT) dan Singapore Telecomunications (Sing-Tel) memiliki sebagian besar saham perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia (baca; Indosat dan Telkomsel). Ternyata kedua perusahaan tersebut merupakan anak perusahaan Temasek Holding, sebuah perusahaan raksasa yang berbasis di Singapura.

Dengan kepemilikan silang Temasek, terjadi price leadership. Telkomsel yang saat ini sebagai pemimpin pasar karena jangkauannya yang luas, bisa menetapkan tarif seluler seenaknya. Jika di biarkan hal ini bisa berakibat pada kerugian konsumen (consumer loss).

Padahal jika kita mengacu pada perhitungan KPPU saja, selama tahun 2003 – 2006 diperkirakan konsumen mengalami kerugian mencapai Rp. 30,8 triliun. Kerugian ini terjadi akibat biaya yang dikeluarkan untuk belanja sektor komunikasi.

Ikhwal masalah

Di tahun 2001 lalu, pemerintah melakukan tukar guling antara Telkom dengan Indosat. Alternatif ini di pilih sebagai solusi untuk meningkatkan valuasi (baca; nilai tambah) perusahaan dan menciptakan persaingan yang sehat di industri telekomunikasi di Indonesia.

Sayangnya, hal ini tidak berjalan seperti yang di rencanakan. Akibat terpuruknya nilai tukar rupiah dan keterbatasan dana di APBN untuk bidang ini, pemerintah akhirnya menjual beberapa aset (baca: BUMN) yang dianggap merugi, akibat kredit macat.

Akhirnya, banyak BUMN yang sebenarnya memiliki arti penting bagi bangsa ini, harus di relakan berpindah tangan ke tempat lain, hanya demi dalih pengelolaan yang profesional dan pemasukan bagi kas negara yang rencananya mencapai 6,5 triliun/ tahun kala itu.

Padahal dalam UUD 1945 disebutkan, bahwa cabang-cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak, dikuasai oleh negara, yang dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Jika dilihat dari prakteknya, jelas telah terjadi kesalahan prosedur yang di sengaja. Ini yang mengakibatkan bangsa ini semakin merugi

Jaringan yang Meresahkan

Ketika komunikasi telah menjadi kebutuhan, maka segala cara dilakukan manusia guna memenuhi kebutuhan tersebut. Sama halnya ketika industri telekomunikasi mulai merasuki sendi-sendi kehidupan. Hadirnya beberapa operator dengan tarif SMS yang relatif tinggi, tak membuat masyarakat jera. Berapa pun tarif yang di tawarkan, pasti akan habis di lahap konsumen.

Sehingga jangan heran, jika bisnis ini menjadi mesin pencetak uang bagi para pemain di industri ini. Lebih jauh, para pemain tadi akhirnya membuat jaringan yang kuat untuk bersepakat dalam menentukan tarif per SMS yang harus di bayar konsumen.

Dugaan inilah yang menguatkan kecurigaan KPPU, ketika tarif SMS yang dikeluarkan oleh delapan perusahaan seluler di Indonesia (Indosat, Telkomsel, XL, Bakrie Telecom, Mobile-8, Telkom, Smart Telecom, Hutchison) relatif sama.

Ternyata, tarif SMS di Indonesia terbilang mahal jika dibandingkan dengan di negara-negara ASEAN yang lain. Padahal batasan yang ditetapkan Badab Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) hanya berkisar antara Rp. 73 – Rp. 75 per SMS.

Saat ini, tarif SMS untuk pascabayar adalah Rp. 250 dan pra bayar Rp. 350. Lagi-lagi, pendapatan atas SMS ini menjadi milik operator pengirim.

Rakyat dirugikan

Jika sudah begini, operator mengambil margin keuntungan yang sangat tinggi mencapai 200% -300%. Lebih kecil dari biaya produksi yang dikeluarkan. Keuntungan mereka bertambah besar jika SMS di kirimkan ke pelanggan lain dalam operator yang sama, mengingat pengiriman SMS sesama operator jauh lebih murah, karena menggunakan jaringan sendiri. Berbeda halnya jika mengirim ke oprator yang berlainan. Dengan begitu, biaya produksi benar-benar minim.

Secara sederhana bisa dianalogikan seperti ini; misalkan dalam sehari SMS yang di kirim dari operator seperti Telkomsel mencapai 230 juta SMS per harinya. Tinggal di kalikan dengan tarif SMS (misal: Rp. 350). Sedikitnya, pendapatan mencapai Rp. 80 miliar masuk ke rekening Telkomsel per harinya. Coba bandingkan jika dikalikan dalan setahun. Pendapatan bisa merujuk angka Rp. 29 triliun. Sebuah angka yang fantastik, bukan?

Itu baru Telkomsel. Bagaimana dengan operator lain? Tentu mencapai hasil yang besar juga. Jika saja market share operator terbesar tanah air sekitar 53%, maka pendapatan SMS yang dapat di kumpulkan seluruh operator dalam setahun bisa mencapai Rp. 50 triliun.

Sehingga jangan heran, ketika operator tak akan rela melepas keuntungan yang begitu gampang mereka raih, di porak-poranda oleh kebijakan pemerintah yang dianggap menghambat. Apalagi kebanyakan dari mereka sudah merintis usaha ini sejak tahun 1999.

Ada dugaan, para operator ini tidak jujur dalam menyampaikan data komponen dan biaya produksi kepada BRTI -notabene perpanjangan tangan pemerintah- sebagai upaya penyusunan tarif dasar SMS.

Jika sudah begini, hanya campur tangan pemerintah yang sanggup untuk meredakannya. BRTI sebagai satu-satunya regulator telekomunikasi di Indonesia, hendaknya mampu menyusun dan mengawasi batasan harga yang telah ditetapkan. Jangan sampai terjadi penetapan sepihak dilakukan oleh operator-operator tersebut.

Cara ini dianggap mampu melindungi kepentingan publik dari praktek-praktek yang merugikan masyarakat demi memperkaya segelintir orang, apalagi memperkaya negara lain.(berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN