Saturday, December 18, 2010

Cancun: Mau Dibawa Kemana...?


Pertemuan terakhir di Cancun, mengungkapkan adanya jarak antara janji-janji negara maju yang lemah dan di mana seharusnya mereka berada. Para pemimpin KTT juga menyatakan bahwa pemotongan emisi harus sejalan dengan kenyataan ilmiah, dimana pengurangan emisi 25-40% pada 2020. Selain itu diperlukan adanya komitmen untuk menjaga kenaikan suhu global tetap berada di bawah dua derajat Celsius.

Berbeda dengan hiruk pikuk dan gaung yang ditimbulkan oleh COP (Pertemuan Para Pihak) ke-15 di Copenhagen-Denmark setahun lalu, COP ke-16 di Cancun-Mexico kali ini terasa kurang semeriah yang dibayangkan. Pasalnya , kesepakatan secara hukum yang seharusnya mengikat semua negara peserta konferensi masih belum membuahkan hasil. Padahal istilah “Hopenhagen” sempat didengungkan sebagai pembangkit kembali rasa kepedulian akibat pemanasan global.

Sejak awal banyak pihak mengkhawatirkan Pertemuan Para Pihak (COP) ke-16 di Cancun, Mexico tidak banyak membawa perubahan. Hal ini terlihat dari minimnya antusiasme menjelang COP-16 atas Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC). Dalam beberapa kali diskusi terkait Cancun, banyak pihak mengakui, ”besar kemungkinan tidak akan ada kesepakatan yang mengikat secara hukum, karena kita sudah bisa duga hasilnya”

Jepang, Kanada dan Rusia contohnya. Mereka menolak pengurangan emisi lebih banyak seperti diatur Protokol Kyoto. Padahal masalah inilah yang menjadi tuntutan utama negara-negara berkembang. Selain soal besaran pengurangan emisi, stagnasi juga diakibatkan adanya pemisahan atas usulan dana bantuan bagi negara-negara miskin terkait dengan dampak perubahan iklim.

Sikap Jepang menjadi penghambat besar dalam upaya mencapai kesepakatan di Cancun, yang dianggap penting dalam menjamin tercapainya traktat iklim baru yang menyeluruh dalam beberapa tahun mendatang. Oleh karena itu Jepang diminta agar memperlunak posisinya, bukan dengan langsung mewujudkan traktat itu, namun paling tidak sepakat untuk menyusun kata-kata yang memungkinkan pembahasan lebih lanjut seusai KTT Iklim Cancun.

Sejatinya, kesepakatan ini sangat dibutuhkan guna memastikan kelanjutan Protokol Kyoto yang pelaksanaanya akan selesai pada 2012. Protocol Kyoto memuat sejumlah kewajiban Negara-negara maju yang tergabung dalam Annex I untuk menurunkan emisi gas rumah kacanya sebesar 5,2% di bawah level emisi tahun 1990. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa pemanasan global suhu bumi disebabkan oleh energi panas matahari yang terperangkap. Dikhawatirkan pemanasan global mengakibatkan kekacauan sistem iklim di Bumi.

Kendati demikian, konferensi tersebut berhasil mengajukan draft kesepakatan terbaru, yakni mencantumkan referensi untuk sebuah periode komitmen kedua Protokol Kyoto. Usulan ini masih harus mendapatkan persetujuan dari 190 negara yang menghadiri konferensi.

Draft baru ini mengusulkan perpanjangan waktu melebihi kerangka kerja putaran pertama 2008-2012 yang menjadi isu paling diperdebatkan antara delegasi negara-negara maju dan berkembang selama 12 hari perundingan tersebut.

Cancun Cuma Persinggahan

Para Kepala Pemerintahan dalam pembicaraan di KTT Iklim Cancun telah memilih harapan daripada ketakutan dan membawa dunia menuju jalan yang sulit tapi sekarang bisa di kendalikan menuju kesepakatan global untuk menghentikan perubahan iklim yang berbahaya.

“Dari hambatan menjadi kelancaran, para kepala pemerintahan di Cancun telah menunjukkan bahwa mereka dapat bekerjasama dan dapat maju ke muka untuk mencapai kesepakatan global untuk menyelamatkan iklim,” kata Shailendra Yashwant, Direktur Kampanye, Greenpeace Asia Tenggara.

“Tahun ini dunia mengalami banyak kejadian sebagai konsekuensi perubahan iklim – suhu tertinggi dalam sejarah, bencana alam, dan hampir mencapai rekor pelelehan es di kutub. Ini sebabnya mengapa pembicaraan tahun depan di Durban, Afrika Selatan, harus menjadi tujuan tercapainya kesepakatan kuat, bukan hanya satu lagi titik singgah” tambahnya.

Sementara itu, Heru Prasetyo dari Satuan Tugas Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Lahan (REDD+) Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) menegaskan, ”Sekarang orang tidak bicara (hasil) Cancun, tetapi berbicara tentang Cape Town.” Itu artinya Cancun memang belum menjadi referensi, tapi lebih seperti tempat singgah untuk membahas konvensi perubahan iklim.

Ternyata di Cape Town, Afrika Selatan semua harapan itu diletakkan. Ari Muhammad, Koordinator Adaptasi Perubahan Iklim, World Wildlife Fund for Nature (WWF) menuturkan bahwa di Cancun akan tetap ada kesepakatan-kesepakatan kecil yang akan menjadi pijakan untuk melangkah ke legally binding.

Perseteruan Dua raksasa

Seperti sudah diduga, ada alasan klasik yang menjadi batu sandungan terkait kesepakatan yang bakal diambil dalam COP ke 16. Situasi klasik itu pun masih berlanjut, yakni perseteruan antara dua raksasa, China dan Amerika Serikat. Mereka sama-sama tidak mau memberikan komitmen pengurangan emisi dengan alasan pertumbuhan, meski secara terpisah mereka telah melakukan mitigasi dengan mengembangkan energi terbarukan.

China, berdalih telah menerapkan kebijakan pajak untuk konsumsi energi. Pajak bahan bakar sebesar 2,4 yuan (RMB), menurut riset yang dikutip World Resources Institute (WRI) diperkirakan akan mengurangi permintaan bahan bakar 10 persen pada 2010. Pemerintah China juga memberikan subsidi sebagai insentif untuk konservasi energi. Menteri Keuangan China, misalnya, menyediakan 30 persen hingga 50 persen subsidi bagi mereka yang menggunakan lampu hemat energi.

Sementara itu, Amerika berjanji menurunkan emisinya sekitar 17 persen pada 2020 dari level emisi tahun 2005, bukan dari level emisi pada tahun 1990. Agak mengherankan, karena level emisi pada tahun 2005 (5,2%) lebih rendah ketimbang tahun 1990 sekitar 55%.

Apa yang dilakukan kedua negara tersebut dianggap kurang menjawab tantangan perubahan iklim yang telah membawa penderitaan bagi banyak negara, seperti makin menyusutnya kepulauan maladewa yang sebentar lagi akan terhapus dari peta bumi, atau bencana banjir yang dialami oleh ribuan warga Afganistan, serta warga Rusia yang diserang suhu panas yang pertama dalam lima dekade, dan berbagai bencana lain akibat perubahan iklim.

Kesepakatan Kopenhagen menyebutkan untuk menahan kenaikan temperatur tidak melebihi 2 derajat celsius. Untuk itu dibutuhkan pengurangan emisi hingga lebih dari 40 persen dibandingkan level 1990.

Perdebatan Dana Hijau

Pada pertemuan COP di Cancun, salah satu masalah yang masih dirundingkan adalah usulan tentang "Dana Hijau", sebuah sarana untuk mengumpulkan dan menyalurkan dana sebesar 100 miliar US$ hingga tahun 2020.

Hingga Jumat (10/12), Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang masih bersikukuh bahwa Bank Dunia yang harus menangani "Dana Hijau" itu. Namun, usulan ketiga negara itu ditentang negara-negara berkembang karena mereka menilai Bank Dunia adalah sebuah organisasi kepanjangan tangan negara-negara barat.

Beberapa negara misalnya negara-negara Amerika Latin blok Alba yang dipimpin Bolivia juga berkeberatan dengan konsep Dana Hijau. Mereka meyakini negara-negara barat akan membiayai jual beli karbon, pajak penerbangan atau mekanisme lain dengan menggunakan uang rakyat.

Sementara itu, draft dokumen terbaru nampaknya mendapat dukungan dari negara peserta dan pengamat di konferensi tingkat tinggi ini.

"Ini adalah sebuah usulan kompromi. Anda mencari kompromi, maka Anda mencari formula yang bisa diterima semua pihak. Secara umum usulan ini mencantumkan sejumlah hal yang menarik," kata Menteri Lingkungan Hidup Prancis Nathalie Kosciousko-Morizet.

Sementara itu, seperti dilaporkan kantor berita AFP, perunding Brasil Luiz Figueiredo mengatakan Jepang dan Rusia nampaknya menerima usulan terbaru ini.Sedangkan Menteri Urusan Iklim Inggris, Chris Huhne memperingatkan bahaya besar pertemuan tahunan ini akan macet jika tidak menelurkan hasil yang positif.

Temuan Baru

Sebuah temuan baru menjelaskan bagaimana negara-negara maju yang tergabung dalam Annex I untuk segera mengurangi kadar emisi mereka. Wartawan yang meliput Cancun melaporkan usulan teks kompromi itu merupakan sebuah langkah maju meskipun pembicaraan antar negara masih terus berlangsung.

"Dokumen baru ini sangat kuat dalam memahami skala permasalahan, namun tidak memberikan hal baru dalam upaya mengurangi emisi," papar Richard Black Wartawan Lingkungan BBC yang meliput COP ke-16 sebagaimana dikutip dari laman mereka.

Dokumen tersebut menegaskan bahwa negara-negara maju harus mengurangi emisi mereka antara 25-40% di bawah level 1990 pada tahun 2020 untuk mencapai target 1,5 atau 2 C. Namun, dokumen ini tidak menjelaskan secara rinci bagaimana mencapai target tersebut.

Dokumen itu juga mencantumkan desakan agar negara-negara maju atau Annex I meningkatkan kesadaran mereka demi mencapai penurunan tingkat emisi karbon hingga 25-40% pada tahun 2020 mendatang. (Jacko Agun)

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN