Wednesday, November 11, 2009

Banjir dan Masyarakat Bantaran Ciliwung


Antisipasi banjir bagi masyarakat di bantaran kali Ciliwung dilakukan tidak hanya dengan pemantauan tinggi muka air di pintu air Katulampa- Bogor ataupun di pintu air Manggarai. Kegiatan membersihkan kali dari sampah-sampah yang hanyut pun kerap dilakukan agar alirannya menjadi lancar.

Meski pemungutan sampah sering dilakukan, tetap saja jumlah sampah yang hanyut cukup banyak. Karena itu, dalam pertemuan para tokoh masyarakat, diusulkan salah satu alternatif penanganan, yakni anjuran membuang sampah dengan menggunakan kantong-kantong plastik besar. Diharapkan, sampah-sampah yang dibuang tidak dalam serpihan, tetapi dikumpul dalam satu wadah yang akan memudahkan dalam pemungutannya.

Sodikin (40), salah seorang ketua RT di Kelurahan Kampung Melayu, --yang terkenal dengan kawasan banjir--, menggagas cara unik tersebut. Menurutnya, membuang sampah dalam plastik besar merupakan solusi pilihan terakhir. “ketimbang berserakan di sungai, sampah-sampah itu akan lebih mudah kita kutip jika berada dalam kantong-kantong plastik. Tapi, hal macam itu tetap bukan cara terbaik” ungkap Sodikin, Ketua RT.12/RW.01, Kel. Kampung Melayu – Jakarta Timur.

Biasanya, di musim penghujan seperti sekarang ini, informasi tentang kondisi tinggi muka air di hulu Sungai Ciliwung menjadi sangat penting. Pasalnya, jika terjadi luapan air sungai dari hulu, masyarakat yang tinggal di bantaran Ciliwung akan segera melakukan persiapan-persiapan.

“karena itu, HT (handy talky) yang saya pegang ini (sembari menunjukkan alat tersebut) tak pernah lepas dari genggaman. Setiap ada informasi terbaru tentang kondisi sungai di daerah hulu, warga selalu saya beritahu” ungkap pria paruh baya yang telah menjadi ketua RT untuk kedua kalinya.

Selain karena keakuratannya, informasi yang diterima melalui handy talky bisa langsung diberitahukan kepada warga. Biasanya, di mesjid dengan bantuan pengeras suara, merupakan tempat terbaik untuk menyampaikan setiap informasi. “disini, mesjid punya tanggungjawab lebih, karena berfungsi sebagai penyampaian woro-woro bagi warga. Sehingga jangan heran, jika ada pemberitahuan dari mesjid, warga dengan antusias akan mendengarkan” lanjut Sodikin.

Upaya tersebut sudah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun silam. Masyarakat yang tinggal di bantaran sungai pun telah terbiasa dengan hadirnya banjir. Saking seringnya, masyarakat akhirnya mengantisipasi dengan meninggikan rumah mereka. Di lantai dua itu biasanya mereka meletakkan peralatan-peralatan penting.

“betul, mas, kalo banjir datang kita langsung siap siaga dengan mengungsikan semua barang ke atas loteng. Kita juga akan tinggal disana sambil menunggu banjir surut”, ungkap Kiki (22), warga Gg. Aman Kampung Melayu – Jakarta Timur.

Peristiwa banjir ini pula yang membuat masyarakat tidak mengisi rumahnya dengan perabotan. Pasalnya, setiap banjir datang, perabotan rumah tangga banyak yang rusak. Mau tidak mau, masyarakat hanya akan membeli perabotan yang penting saja. Selebihnya akan diletakkan di lantai dua, itupun jika masih tersedia ruang yang cukup. Sehingga tidak mengherankan, jika lantai satu rumah warga di biarkan kosong.

Banjir yang melanda bantaran ciliwung, sedikitnya terjadi sekali dalam setahun. Biasanya, banjir yang datang tidak pernah memperhatikan musim. Ketika volume air di hulu melimpah, besar kemungkinan kawasan Kampung Melayu akan terendam air. Kondisi ini yang dikenal sebagai banjir kiriman. Banjir seperti ini pun sering terjadi ketika tidak turun hujan.

“karena itu, kami tidak terlalu khawatir jika hujan deras turun seperti sekarang ini. Kali Ciliwung tidak akan meluap. Beda halnya, kalo hujan turun tiga hari tiga malam”, ungkap Sodikin yang selalu memberitahu warga setiap ada pergerakan tinggi muka air.

Jika tinggi muka air di pintu air Katulampa – Bogor mencapai 100cm, dan tinggi air di Depok telah mencapai 200cm, warga diperintahkan untuk siaga satu. Pasalnya, dalam jangka waktu 6 – 8 jam kemudian, banjir bandang akan menghantam Jakarta. Waktu yang relatif panjang itu bisa digunakan untuk berkemas-kemas sembari mengungsi ke tempat yang lebih tinggi.

Jika banjir datang, bantuan biasanya tak pernah datang terlambat, baik dari pemerintah daerah maupun dari TNI, masyarakat dan NGO. Beragam bantuan, mulai tenda pengungsian, selimut hingga makanan selalu tiba tepat waktu. “itu sebabnya kami tidak terlalu takut, kalo banjir datang. Biasanya di tempat yang lebih tinggi telah didirikan tenda lengkap dengan pemberian makanan”, ujar Sadikin menambahkan.

Dalam menghadapi kemungkinan banjir yang akan terjadi kali ini, masyarakat bantaran Ciliwung telah siap. Serangkaian pelatihan telah disosialisasikan pada masyarakat secara berkala. Itu sebabnya mereka tidak terlalu kaget dan sudah mengerti apa yang harus dilakukan ketika banjir tiba.

Selain itu, banyak stigma negatif yang dilekatkan pada mereka. Pasalnya, bantaran kali bukanlah daerah hunian pemukiman, tetapi merupakan kawasan daerah aliran sungai yang berfungsi sebagai penopang tepi sungai dari abrasi. Mereka juga kerap dituduh sebagai pencemar sungai dengan membuang sampah-sampah secara sembarangan.

Namun tuduhan itu dibantah oleh Sadikin. Menurutnya, sampah-sampah yang berserakan di sungai, kebanyakan bukan hanya sampah rumah tangga, tetapi limbah pabrik yang sengaja dialirkan ke sungai. “buktinya, kami sering membersihkan sampah-sampah kain, plastik, oli dan bahkan kami juga pernah menemukan bangkai hewan yang dihanyutkan.
Sedangkan untuk masyarakat disini kebanyakan udah mengerti bahayanya banjir, tapi tidak tertutup kemungkinan masih ada yang bandel, kok”, ungkap Sadikin bersemangat.

Bagi Sadikin dan masyarakat sekitar yang mendiami kawasan tersebut sejak dulu, keberadaan Ciliwung sangat bermakna. Hal ini terlihat setidaknya dalam 30 tahun silam. Saat itu, sungai Ciliwung digunakan masyarakat untuk beragam keperluan, mulai dari mencuci, memasak hingga mandi. Namun, kondisinya sekarang sangat mengkhawatirkan. Air sungai yang menghitam dan berbau membuatnya tidak bisa digunakan lagi.

Meski demikian, masyarakat tidak pernah kesulitan air bersih. Sumur-sumur bor yang dibuat oleh masyarakat secara swadaya tetap menghasilkan air dengan kualitas yang jernih, baik di musim hujan maupun di musim kemarau. Setidaknya itu yang dituturkan oleh Sadikin, saat BERLING menanyakan tentang kondisi air di bantaran kali Ciliwung.

“air disini paling bagus. Warnanya jernih dan tidak berbau. Selama kami minum, tidak pernah ada yang sakit. Tapi untuk jelasnya, airnya belum pernah di periksa ke lab”, tutur Sadikin, ayah beranak satu.

Kondisi bantaran sungai yang kini sudah dipenuhi pemukiman penduduk, ternyata menyisakan aneka permasalahan, mulai dari masalah sosial, kesehatan, ekonomi hingga kerusakan lingkungan. Karena itulah pemerintah daerah tengah berupaya untuk memindahkan penduduk yang tinggal di bantaran sungai ke suatu tempat yang lebih layak. Saat ini, rencana relokasi masih dalam tahap sosialisasi.

“sekarang kita sedang menyiapkan lahan untuk memindahkan masyarakat yang tinggal di bantaran Ciliwung, sehingga mereka dapat tempat yang lebih layak ketimbang hidup di bantaran yang harusnya tidak ada penduduk”, ungkap Pitoyo Subandrio, kepala Balai Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (IPK-PWSCC).

Namun, rencana pemindahan ini ditentang oleh Sodikin dan warga yang lain. Menurutnya, upaya pemindahan itu tidak segampang yang diharapkan, karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Masyarakat yang mendiami kawasan ini tidak akan pindah jika proses ganti rugi tidak menguntungkan mereka. “Belum lagi, jika harga rumah susun yang ditawarkan cukup tinggi, masyarakat disini pasti kesulitan dalam pembayarannya”, tukas Sodikin.

Berdasarkan rencana strategi pembangunan daerah (renstrada) tahun 2009, Kali Ciliwung seharusnya sudah kembali dikeruk dan lebarnya dikembalikan seperti semula. Namun sayang, kondisi sungai yang dulunya jernih dan banyak ikan, tak bakalan kembali seperti semua. Semua karena ulah manusia yang tidak bertanggungjawab. (jacko_agun)

(photo: http://picasaweb.google.com/lh/photo/zyeR2AU1wIhs1YpQ5aAoiw)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN