Monday, November 09, 2009
Sepengal Sedih di Ujung Sana
Ku lihat wajahnya tak lagi ceria. Hanya tersisa sesungging senyum tipis di ujung sana. Itu pun tak lebih dari sikap basa-basi sembari menghormati setiap tamu yang datang. Kali ini ia sendiri. Benar, hanya seorang diri berbaur dengan yang lain, sembari berbincang sekenanya. Sejurus, tak tampak bidadari ataupun malaikat kecil yang senantiasa mendampinginya.
Sedikitnya sudah 5 bulan ini, ia hidup meradang. Sendiri, ditinggalkan begitu saja oleh orang-orang terdekatnya. Sang istri yang biasa menemani, kini lenyap. Tak jelas apa alasan yang membuatnya harus menghilang. Pun bersama dua orang buah hati mereka.
Menurutnya, sejak semula, dia berupaya menahan keingingan sang istri untuk hengkang. Apalagi, kedua malaikat itu masih terlalu kecil untuk di bawa kabur. Si Irvine yang telah berusia 4 tahun dengan Praditha sang adik yang umurnya 2 tahun lebih muda. Namun, kerasnya keinginan sang istri bak batu karang. Hatinya begitu kokoh.
Kabarnya, bermula dari pemasalahan biasa, yang sampai detik ini, ia tak pernah mau cerita, membuatku sadar, bahwa perpisahan mereka berawal dari sesuatu yang sederhana. Sebagaimana pertemuan mereka yang sederhana, perpisahan itu pun harus diakhiri dengan cara yang sederhana pula.
Kini, sang istri pergi ntah kemana, tanpa meninggalkan penjelasan lebih. Hanya selembar surat yang teronggok di sudut meja makan.
”pa, aku harus pergi sekarang. Ya, sekarang!”, demikian isi surat yang di lipat sedemikian rupa hingga berbentuk amplop.
Malam itu, sehabis pulang kantor, tepatnya di hari Selasa, minggu pertama di bulan November, ia mendadak layu. Tak kuasa ia melihat sekeliling ruangan yang telah berubah bentuk. Di sana sini sampah aneka rupa berserakan. ”kok bisa begini”, gumannya lirih.
Ternyata, istri dan kedua anaknya pergi tanpa membersihkan rumah seperti biasanya. Suara riuh kedua buah hati yang selalu menghambur kedalam pelukannya pun tak lagi terjadi. Semua senyap. Betul-betul sunyi.
Malam itu, dengan perasaan sedih, ia duduk mematung. Memandang sekeliling sembari menghirup aroma yang tersisa. Aroma yang begitu lekat di penciumannya dan begitu akrab baginya.
Tak terasa, ia pun tertidur, di sofa empuk yang berhadapan langsung dengan televisi.
Lamat-lamat, seiring kesunyian yang makin menggema, penggalan masa indah itu kembali menyeruak keluar.
Tepatnya, delapan tahun silam, tanpa sengaja, ia bertemu dengan seorang gadis. Gadis muda dengan paras ayu yang usianya terpaut empat tahun lebih muda. Ntah kebetulan atau tidak, ia selalu bertemu dengannya saat berkunjung ke perpustakaan kampus. Di setiap kesempatan, di dapatinya gadis itu sedang asyik membaca di salah satu sudut ruangan.
Hingga suatu waktu dengan perasaan was was, ia pun memberanikan diri menyapa. ”Perkenalkan, nama saya Galuh”, ungkapnya sebagai pembuka pembicaraan. Namun, gadis berkacamata itu, seakan tak bergeming. Di perlakukan demikian, ia pun tak kuasa menahan malu dan hendak bergegas pergi, ketika dengan tiba-tiba si gadis mulai mengeluarkan kata-kata.
”hei, siapa tadi namamu? Maaf aku gak menyimak karena keasyikan baca” jawab sang gadis.
” oh, gak apa-apa”, jawabnya
” aku cuma sedikit heran, mengapa kamu selalu berada di pojokan ini setiap aku datang ke perpustakaan. Btw, sedang mengerjakan apa?”
”gak... aku cuma baca buku doang, kok!” kilahnya
Singkat kata, pertemuan itu jadi awal kedekatan mereka. Si gadis yang pendiam, ternyata merupakan pesona indah yang asyik untuk diajak ngobrol. Perpustakaan pun jadi tempat bersejarah buat mereka. Tempat dimana pertemuan-pertemuan selanjutnya dilakukan, sembari mengerjakan tugas-tugas perkuliahan.
Beberapa tahun kemudian, ketika ia tamat dan berhasil diterima bekerja di salah satu perusahaan multi nasional, niatnya mempersunting sang gadis semakin kuat. Apalagi, pihak keluarga mereka sudah saling kenal. Jenjang pernikahan pun tinggal selangkah lagi.
Begitulah kisah singkatnya, hingga akhirnya mereka hidup bahagia dan dikaruniai dua orang anak. Si suami menyayangi istri, demikian pula sebaliknya. Setidaknya itu penglihatanku sejak mengenal keluarga itu.
....
Malam itu, ditatapnya lekat-lekat setiap tamu yang datang. Pasalnya, tak sedikit tamu yang datang dengan membawa anggota keluarga lengkap. Jika sudah begini, hatinya pun pilu.
Memecah kebisuan, aku pun mengajaknya foto bareng. ”lumayan untuk kenang-kenangan”, tuturku.
Di pelaminan ini, kembali ia melayangkan sesungging senyum tipisnya, di sela-sela terpaan kilatan lampu blitz disertai rana yang membuka dalam waktu sepersekian detik.
” Makasih udah datang malam ini, bung”, ucapku
” sama-sama”, jawabnya.
” semoga menjadi keluarga yang bahagia”, ucapnya menimpali.
” semoga, doakan, ya!”, jawabku.
Selepas itu, ia mulai menjauh, berbaur dengan tamu-tamu undangan lain. Pesta malam itu pun terus berlanjut.
Namun, dari sorot matanya, masih tersisa pedih itu. Kepedihan yang jadi pertanda, betapa ia menderita. Sementara, musik mulai menggema memenuhi seisi ruangan.
” itu tadi teman akrabku, dik”, ujarku pada sang istri
” teman baik yang sedang dalam kondisi tidak baik”, lanjutku kemudian
Mendengar itu, sang istri hanya mengangguk-angguk. ”kasihan dia”, ungkapnya
Malam itu, semua puas. Tak ada yang kekurangan makan. Pun undangan tak kalah banyak yang hadir. Sebuah seremoni besar yang sesuai dengan harapan.
Lalu, ketika saatnya tiba, kami pun beranjak ke peraduan. Rasanya ingin bercinta secepatnya dan berharap malam tak usah berakhir. Menikmati nuansa yang sering disebut dengan ’sesuatu yang terindah’.
Namun, sebelum melakukannya, aku sempat terpikir, mungkinkah temanku tadi merasakan hal yang sama ketika memulainya dulu? Lalu, mengapa mereka harus berpisah.
”ah, aku gak ingin, dan, aku gak mau!” ujarku membathin
Perlahan kurangkul ia erat dan lampu kupadamkan. Yang tersisa hanya erangan!
(grafis: http://blog.turntablelab.com)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment