Globalisasi tentunya sudah tak asing lagi telinga kita. Tapi, sadarkah kita, bahwa globalisasi memberi efek yang begitu besar, hingga merusak sendi-sendi kehidupan. Apalagi, globalisasi kini menjadi faktor penambah, menjadi motor pemindahan perubahan sosial dari tingkat lokal ke tingkat global. Mengapa?
Globalisasi antara lain ditandai dengan pemindahan proses produksi yang sebelumnya bersifat lokal menjadi ada di mana-mana, konstan, 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Dengan globalisasi, ada peningkatan nilai ekonomi, tetapi juga terjadi kesenjangan pendapatan global, yang makin parah dari tahun ke tahun.
Globalisasi, yang disebut-sebut sebagai momok yang tidak berprikemanusian, sering memunculkan protes dimana-mana, pada waktu lalu, saat ini, dan mungkin masih akan terus terjadi ke depan. Inilah juga yang menjadi kekhawatiran serikat pekerja dunia—kini bernama International Trade Union Confederation (ITUC/ Konfederasi Serikat Pekerja Internasional).
Imbas ini yang paling dirasakan oleh pekerja, yang dalam bahasa sehari-hari disebut buruh. Umumnya, demi mengejar produktivitas yang tinggi segala cara diupayakan oleh pemilik modal. Memaksimalkan sumberdaya yang ada menjadi kunci penting meraih peluang yang masih tersisa.
Hanya saja, peningkatan produktivitas sering berbanding terbalik penghargaan yang diterima oleh buruh. Pasalnya banyak buruh menerima gaji rendah dengan tekanan baik mental maupun fisik yang berlebihan, serta tak punya suara untuk memperjuangkankan ha-hak-haknya. Sehingga, tak jarang pekerja mencoba teriak melalui pembentukan serikat pekerja, yang akan membela kepentingan buruh.
Hal yang nyaris sama pun dialami oleh pekerja media, yang dalam bahasa kerennya disebut “Jurnalis”. Sudah jadi rahasia umum, banyak pemilik media yang membayar rendah karyawannya, demi alasan efisiensi atau keuangan perusahaan yang tidak stabil. Konon, itu juga yang membuat banyak rekan-rekan jurnalis, harus mengingkari profesinya dengan menerima suap (baca: 86) demi kehidupan yang lebih layak.
Untuk itu, perlu adanya kesepahaman antara pemilik modal dengan serikat pekerja yang mewakili para pekerja. Sebab kegagalan dalam penciptaan kohesi sosial menjadi salah satu sumber protes, kerusuhan, dan demonstrasi, yang setiap hari terjadi di berbagai negara.
Dalam 20 tahun terakhir ini, pengalaman empiris menunjukkan, pemilik modal yang berbisnis dalam bentuk perusahaan multinasional tak mau menyisihkan keuntungan kepada pekerja. Bahkan, dalam kasus terjadi penurunan keuntungan, korban pertama adalah gaji pekerja. Pola masa lalu tak akan menyelesaikan masalah di masa datang. Sebuah perubahan harus dilakukan.
Lebih parah lagi, banyak negara yang lebih mendambakan perusahaan multinasional ketimbang menghargai serikat pekerja di negara sendiri. Untuk itu ITUC (International Trade Union Confideration/ Konfederasi Serikat Pekerja Dunia) ingin mengubah hal tersebut. Mereka akan aktif melakukannya lewat berbagai protes pada setiap forum global. Namun kini, ITUC juga memilih jalur negosiasi. ITUC akan berkolaborasi dengan Organisasi Buruh Internasional (ILO) dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Model Finlandia
Ketika ditanya, apakah ada model kerjasama tripartite antara pemerintah, pengusaha dan buruh yang mengedepankan kerjasama yang baik diantara ketiganya, dengan memperhatikan kesejahteraan buruh yang akan berdampak positif bagi kemajuan perusahaan, serta ketentuan UU yang berpihak pada buruh? Jawabnya, ada! Keberhasilan itu bisa kita lihat di Findlandia.
ITUC yang diketuai Guy Ryder, berjanji akan memperkuat aliansi dengan lembaga swadaya masyarakat dan akan terus menentang globalisasi yang tak manusiawi. Bukan globalisasi yang ditolak, tetapi globalisasi yang tidak manusiawi.
Ryder mengambil contoh Serikat Pekerja di Finlandia. Ia mengagumi gerakan serikat pekerja SASK. Model Finlandia ini bisa menjadi panutan soal penciptaan sebuah sistem dengan posisi tawar-menawar kolektif, kuat, yang bisa diterapkan dalam proses globalisasi. Model Finlandia pun dilengkapi dengan perlindungan sosial tingkat tinggi yang dicanangkan Pemerintah Finlandia. Hal itu diperkuat lagi dengan pengeluaran pemerintah untuk pengembangan infrastruktur sosial.
Ryder mengemukakan, kohesi sosial di Finlandia di dapat lewat dialog terpusat, perlindungan sosial, dan pengeluaran pemerintah. Peran tripartit berjalan, terdiri dari pekerja, perusahaan, dan pemerintah.
Realisasinya adalah gaji yang tidak hanya sekadar memenuhi kebutuhan fisik minimum. Perusahaan juga menjalankan bisnis dengan suasana tenang. Pekerja yang makmur juga akan meningkatkan daya beli dan kemudian merupakan sumber pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu ITUC bertujuan memberikan penghargaan kepada pekerja, yang artinya dalam kehidupan riil adalah perbaikan nasib dan kesejahteraan buruh. Apakah itu sebuah utopia? Waktu yang akan menjawabnya.
Siapa Guy Ryder?
Guy Ryder, terlahir di Liverpool, Inggris, 3 Januari 1956 silam, punya hobi sederhana, yakni jogging, jalan kaki, dan membawa anjing kesayangannya ke mana-mana di saat senggang. Ryder adalah orator ulung, yang sibuk dengan jadwal pertemuan global di berbagai negara.
"Sepanjang hidup saya habis untuk menghadapi isu-isu pekerja di berbagai negara," ujar Ryder, lulusan University of Cambridge, Inggris, dengan gelar master of arts di bidang sosial politik.
Kapabilitas Ryder terasah dari kariernya, dimulai pada periode 1981-1985 sebagai Asisten di Departemen Internasional Kongres Serikat Pekerja Inggris. Karier awalnya itu membawanya menjadi Sekretaris Seksi Perdagangan Industri di International Federation of Commercial, Clerical, Professional and Technical Employees, Geneva, periode 1985-1988.
Kariernya, kemudian meloncat sebagai Asisten Direktur Konfederasi Internasional Serikat Pekerja Bebas periode (ICFTU) 1988-1998, Biro Geneva, Swiss. Ryder kemudian bekerja di ILO sebagai Direktur Biro Aktivitas Pekerja periode 1998-1999. Periode 1999-2001, ia menjabat sebagai Direktur Kantor Dirjen ILO dan sejak 1 Februari 2002 kembali ke ICFTU dengan posisi sebagai sekretaris jenderal.
Ryder melihat serikat pekerja global mempunyai masalah tersendiri dan memiliki organisasi masing-masing. Selain ICFTU, juga ada organisasi serikat pekerja global bernama World Confederation of Labour (WCL). Dalam lima tahun terakhir, Ryder bersama koleganya memikirkan penggabungan ICFTU dengan WCL. Hasilnya, terbentuklah ITUC, Rabu (1/11/06) lalu, dengan beranggotakan 306 serikat pekerja di 154 negara dengan anggota 168 juta pekerja.
Namun, ITUC belum bisa bersatu dengan Federasi Dunia Serikat Pekerja (WFTU), beranggotakan 145 serikat pekerja dengan 42 juta anggota yang eksis di negara komunis. "Kami tak bisa berunding dengan WFTU," tutur Ryder, dengan alasan WFTU bukanlah sebuah organisasi dengan dasar independensi.
No comments:
Post a Comment