Sunday, September 20, 2015

*tentang Pewarta


(Ilustrasi: kerja-kerja jurnalistik, Sumber: www.pakistantoday.com.pk)

“Journalism can never be silent: That is its greatest virtue and its greatest fault. It must speak, and speak immediately, while the echoes of wonder, the claims of triumph and the signs of horror are still in the air.”
– Henry Anatole Grunwald

Alfian (28), wartawan sebuah portal berita nasional tak pernah surut dalam bekerja, meski honor bulan kemarin tak kunjung tiba. Sebagai bentuk tanggungjawab terhadap publik, ia selalu rajin mengirimkan laporannya ke kantor pusat di Jakarta.

Biasanya, ketika selesai melakukan wawancara dengan narasumber, ia bergerak menuju warung kopi Sekber Jurnalis, di Banda Aceh. Di warung yang memberikan layanan wifi gratis itu, Alfian bersama jurnalis --yang kurang beruntung-- akan menyelesaikan kerja-kerja jurnalistik mereka. Kurang beruntung, karena mereka tidak dibekali dengan modem wifi, seperti kebanyakan wartawan media-media besar lainnya.

Sembilan tahun menjadi wartawan, ternyata tak jadi jaminan memperoleh penghasilan yang lebih baik. Pasalnya, karir jurnalistiknya banyak dilalui tanpa ikatan kontrak yang jelas. 

Contohnya, dua tahun lalu, ketika masih bekerja di sebuah media lokal. Enam bulan gajinya tak dibayar. Karena tak tahan dengan kelakuan manajemen, ia memilih hengkang. Tak ada pesangon untuknya.

Sementara itu, dalam setahun terakhir Alfian mengadu peruntungan dengan bekerja sebagai kontributor untuk sebuah media online berpusat di Jakarta. Tugasnya memasok berita-berita dari Aceh. 

Uniknya, dengan tugas cukup berat seperti sekarang ini, Alfian tidak memiliki  surat perjanjian kerjasama (kontrak). Tak hanya itu, ia pun tak dibekali dengan Id Card. Beruntung, selama ini peliputannya lancar-lancar saja, meskipun hanya bermodalkan kartu keanggotaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Padahal bekerja di daerah bekas konflik dan rawan bencana seperti Aceh risikonya besar.

Dengan pendapatan tak tetap, Alfian harus pintar-pintar berhemat dan cerdas dalam melakukan peliputan. Pasalnya, ia dibayar jika beritanya dimuat. Sementara jika tidak, ia tidak mendapat bayaran, meskipun sudah mengeluarkan biaya untuk transport atau pulsa telepon waktu liputan. 

Kisah sedih itu, seakan berlanjut, pada pertangahan tahun lalu, ketika ia sakit. Saat itu, sebulan ia terbaring usai menjalani operasi pengangkatan batu empedu. Akibatnya, selama itu ia tak ada pemasukan. Biaya perawatan dan pengobatan yang hampir Rp.30 juta, ditanggung bersama keluarganya. Tabungan pribadinya habis terkuras.

Sadar risiko pekerjaannya cukup berbahaya, Alfian berniat mendaftar secara mandiri ke BPJS. Namun, upaya itu urung dilakukan, karena ia masih belum sanggup untuk membayar iuran per bulannya.

Begitulah kehidupan Alfian. Walau keadilan belum berpihak, ia tetap setia pada profesinya. Dia masih lajang. Bagaimana kalau sudah berkeluarga, sementara pekerjaan ini belum memberi jaminan secara finansial dan sosial untuknya.

***
Senada dengan Alfian, suka duka menjadi jurnalis tetap menarik untuk dibagikan. Setidaknya sebagai pembelajaran bagi generasi muda, yang bercita-cita menjadi jurnalis. Hal itu penting, agar mereka memahami kondisi sebenarnya yang bakal dihadapi, ketika memilih jalan hidup sebagai pewarta.

Meski tak serupa, kisah Kelana menarik untuk disimak. Kelana adalah jurnalis yang telah bekerja cukup lama. Setidaknya lebih dari 10 tahun. Ia pun memulai karirnya dari bawah, sebagai seorang pewarta foto untuk sebuah koran lokal di sebuah daerah. Tak hanya sebagai pewarta foto, ia juga memiliki kemampuan menulis yang baik. Sehingga, ia kerap menuliskan laporannya, tidak hanya berupa foto, namun tulisan juga.

Tak puas hanya bekerja di media cetak, ia pun mencoba peruntungan di media televisi. Lagi-lagi, ia memulainya dari level terendah, yakni reporter. Kemampuan menulis membuatnya gampang beradaptasi. Maklum, saat itu, kebanyakan reporter muda (baca: tidak memiliki latar belakang pers) selalu kesulitan dalam menulis naskah.

Sementara itu, ketertarikannya pada audio visual tak pernah surut. Jika ada kesempatan, ia curi-curi waktu untuk belajar menggunakan kamera video dipandu para senior yang lebih berpengalaman. Dari mereka, Kelana belajar banyak, tentang bagaimana mengambil gambar bergerak secara benar.

Oh ya, backgroundnya sebagai pewarta foto, membuatnya mudah beradaptasi dengan kamera video. Untuk beberapa hal, seperti framing, pencahayaan hingga komposisi merupakan hal dasar yang dipelajari tidak hanya di fotografi, namun juga kamera video.

Jika di kamera foto dikenal istilah momen terbaik, maka di kamera video, dikenal sekuen terbaik. Kedua hal itu yang membedakannya. Hasil foto adalah still (beku), sementara hasil kamera video adalah kegiatan bergerak (sekuen).

Singkat cerita, kemampuannya menulis dipadu dengan background fotografi telah menghantarkannya menjadi seorang “video journalists” (VJ) yang bersahaja. Secara saderhana, video journalists, adalah seorang pewarta yang bertugas mengambil gambar sekaligus membuat laporan dalam bentuk teks. Dua kegiatan yang dilakukan oleh satu orang. Wow... Sangat multi tasking!

Menjadi seorang VJ merupakan pilihan sulit. Tak semua orang mampu melakukannya. Meliput, dimulai dengan mengumpulkan informasi latar belakang, sementara disaat yang bersamaan, harus memikirkan visual yang akan diambil, pastinya merepotkan. Belum lagi, harus menjaga kelengkapan peralatan yang dibawa dan jumlahnya tidak sedikit. Semua itu menuntut kewaspadaan tingkat tinggi. Kondisi itu diperparah jika ada penugasan ke lokasi-lokasi “remote area” yang jauh dari mana-mana. Tantangan dan cobaannya cukup berat. 

Dari beberapa penugasan, yang paling berkesan adalah ketika meliput di Aceh, saat Tsunami (2004) dan Gempa Yogja (2006). Di Aceh, ia harus berjibaku seorang diri, ke lokasi-lokasi bencana, sembari memikirkan cara kembali untuk mengirimkan gambar secepatnya ke kantor. Sementara di Jogya, ia harus berebutan dengan tivi lain hanya untuk mendapat daftar antrean feeding dari Telkom.

Ya, kurang lebih begitu perjalanan hidup Kelana sebagai seorang jurnalis muda. Namun, sama seperti Alfian, hidupnya jauh dari sejahtera. Dengan gaji yang pas-pas-an ia tidak mengeluh. Maklum, ia memang mencintai pekerjaan itu sejak muda, tepatnya ketika masih duduk di bangku kuliah.

Menjadi jurnalis adalah pilihannya, khususnya setelah dicekoki para senioren kampus yang memang telah lebih dahulu bergabung di industri media massa. Saat itu, menjadi jurnalis cukup disegani, karena bisa menulis bebas, berbicara bebas, bisa ketemu banyak orang, mulai dari gubernur hingga tukang becak. Menjadi jurnalis juga tak harus masuk pagi, seperti keharusan karyawan pada umumnya. Menjadi jurnalis pun tak perlu rapi, apalagi berdasi. Btw, alasan terakhir itu yang menguatkannya memilih profesi wartawan. Ya.., gaya hidupnya yang anti mainstream dan tidak bisa rapi, memang pas untuk profesi itu. Kondisi itu didukung oleh latar belakangnya sebagai anggota mapala (baca: mahasiswa pecinta alam) yang terkenal sulit diatur.

Selain itu, Kelana juga merupakan jurnalis yang sangat teguh memegang kode etik. Apalagi, di tahun 2004, ia memutuskan bergabung di salah satu organisasi jurnalis yang paling berpengaruh saat ini, yaitu AJI.

Menjadi jurnalis AJI, ia harus tahan godaan. Pasalnya, sejak awal AJI merupakan organisasi jurnalis pertama yang menyerukan “Tolak Amplop”. Sebuah kampanya yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai sesuatu yang nisbih dan paradoks. Tentu saja, karena kebanyakan gaji jurnalis sangat tidak manusiawi, sementara beban yang dipikulnya cukup berat, yakni sebagai pilar keempat demokrasi.

Sehingga jika dibandingkan dengan teman-temannya yang bukan jurnalis AJI, kehidupan Kelana jauh berbeda. Jangankan mobil, rumah untuk berlindung pun ia tak punya. Padahal ia telah bekerja lebih dari 10 tahun.

Kendati demikian ia tak pernah berkecil hati. Baginya perjuangan saat ini adalah perjuangan nilai. Perjuangan untuk menanamkan nilai-nilai luhur ditengah keluarga dan lingkungan. Perjuangan untuk bertindak jujur dan tidak melakukan hal-hal yang diluar kepatutan kode etik. Seperti menerima amplop atau suap, misalnya.

Jika saja ia gemar melakukan hal-hal itu, hidupnya pasti berubah. Ia bakal sama dengan jurnalis lain, yang ketika liputan selesai, selalu setia menanti pembagian amplop dari panitia. Ia pun akan sangat terikat dengan kegiatan haram itu. Padahal, bisa jadi uang yang diterima tak besar-besar amat. Namun harga dirinya sebagai jurnalis telah tergadai. Beruntung, Kelana tidak melakukan itu.

Bagi Kelana, apa lagi yang harus dipertahankan? Setelah gaji yang begitu rendah, lalu haruskah menjual harga diri? Baginya harga diri merupakan kritikal poin yan tak boleh ditawar dengan iming-iming rupiah. Tentu saja, karena yang tersisa hanya harga diri. Lantas, haruskah dijual? Menggadaikannya demi rupiah yang tak seberapa? Tidak!

Oleh sebab itu, Kelana tak pernah malu, jika melihat teman-teman sepantarannya sudah sangat maju. Pergi dengan baju berdasi lengkap dengan tunggangan kuda besi. Baginya, menjadi jurnalis itu merupakan panggilan jiwa, meskipun kesejahteraan masih jauh dari harapan.

Hanya saja, jika diperbolehkan, ia ingin berbangga di hadapan anak-anaknya. Bangga menjadi jurnalis yang jujur dan independen. Jurnalis yang tak bisa disetir oleh kepentingan apapun, bahkan pemilik modal. Ia bangga menjadi jurnalis yang selalu teriak paling keras soal “tolak amplop”. Sehingga, disetiap kesempatan, sebisa mungkin, ia akan meracuni para junioren, untuk menjauhkan diri dari kegiatan terkutuk itu.

Baginya, bekerja dengan hati riang dan gembira menjadi obat yang manjur. Apa jadinya, ketika terima amplop, tapi setelah itu, hati kita deg-deg-an. Takut, kalau-kalau bocor dan kantor mengetahuinya. Tentunya hidup jadi tidak nyaman. Karena itu lah ia memilih jalan sunyi. Menjadi jurnalis yang tidak kaya, namun tenang hatinya.

“Gak apa-apa saya miskin, asal anak-anak saya bangga, bahwa mereka masih punya bapak yang berlaku jujur dan tidak menggadaikan harga dirinya demi sekeping rupiah. Karena tentu saja, perjuangan ini adalah perjuangan nilai. Nilai yang akan diingat oleh anak-anakku nanti”, pungkas Kelana malam itu, ketika kami bertemu di sebuah rumah makan tak jauh dari kontrakannya.

-end-




No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN