“Man is above all else mind, consciousness -- that is, he is a product of history, not of nature.”
― Antonio Gramsci
Antonio Gramsci, filsuf kebangsaan Italia, penulis dan teoritikus politik merupakan salah satu intelektual kiri yang karya-karyanya paling laris dibaca dan ditafsirkan pada abad ke-20. Sejarawan kondang Eric Hobsbawn sangat mengapresiasi pemikiran Gramsci. Hobsbawn menilai, Gramsci merupakan intelektual Italia yang paling terkenal dan terkemuka sepanjang masa, yang karya-karyanya patut dikategorikan sebagai karya klasik.
Sementara menurut Joseph A. Buttigieg, salah satu pemikir Gramsci terkemuka saat ini, Gramsci adalah ilmuwan politik dan kritikus budaya yang sangat sering dikutip dan karyanya paling banyak diterjemahkan.
Antonio Gramsci yang lahir di Ales, Italia pada 22 Januari 1891, dalam perjalanan hidupnya mengalami masa-masa suram, ketika harus mendekam di balik jeruji besi untuk waktu lama (baca: 20 tahun) di masa pemerintahan rejim fasis Benito Mussolini. Saat itu, ia dianggap sebagai orang yang berbahaya dan berseberangan dengan pemerintah.
Oh ya, yang menarik dari Gramsci sebagai orang kiri, berawal jauh sebelum ia dipenjara. Kesadarannya timbul, ketika kuliah di Universitas Turin, tahun 1911 yang secara tak sengaja bersinggungan dengan social movement setelah membaca pemikiran filosof idealis Beneddetto Croce. Belakangan buah pikir Croce banyak mempengaruhi Gramsci di bidang politik dan munculnya gerakan sosial.
Saat itu, Gramsci sangat terkesan dengan gerakan buruh di kota Turin, suatu minat yang kemudian mendorongnya bergabung dengan Partai Sosialis Italia (PSI) di tahun 1913. Ia mulai menjalani kehidupan sebagai seorang aktivis kiri ketika bekerja pada koran sosialis, media masa kaum sosialis di kota itu.
Tulisan-tulisannya yang menitikberatkan pada analisis budaya dan kepemimpinan politik, telah memberi perspektif baru, ketika negara kerap hadir menjadi struktur yang menindas dan melakukan hegemoni atas masyarakat. Saat itu, Gramsci hadir sebagai pemikir Marxis yang berbeda. Menurutnya, pemikiran klasik Marxis yang diadopsi oleh Lenin hanya cocok untuk negara kapitalis terbelakang dan otoriterian seperti Rusia. Kondisi itu tidak bisa dipaksakan bagi negara Eropa Barat yang cenderung maju dan demokratis.
Dari beberapa ide yang dilontarkan, terobosan terbesar Gramsci adalah ketika melakukan kritik terhadap ide marxis yang “determinis, fatalistis, dan mekanistis”. Gramsci memainkan peran kunci dalam transisi determinisme ekonomi menuju Marxisme yang lebih modern. Pendapat itu ia lontarkan ketika melihat fasisme berkembang begitu rupa di Italia. Saat fasisme bangkit, itu artinya kegagalan gerakan kelas pekerja di Eropa Barat pada akhir tahun 20-an dan 30-an.
Pengalaman itu menyadarkan Gramsci bahwa kelas pekerja tidak harus menempuh jalan revolusioner. Selanjutnya ia berpegangan bahwa pertarungan kelas harus melibatkan ideologi. Ide-ide yang akan membuat revolusi dan juga yang akan mencegahnya.
Selanjutnya Gramsci memperkenalkan cara pembacaan “superstrukturalis” terhadap ideologi. Pendekatannya melalui konsep blok historis dan ideologi sebagai penyusun yang saling berkaitan dan saling mendukung menghasilkan totalitas. Sebuah tempat di luar pembedaan lama basis (superstruktur). Disini, Gramsci menekankan tentang kepemimpinan moral dan intelektual.
Hanya saja, agar kepemimpinan moral dan intelektual tidak menjadi sebuah kesadaran palsu diantara banyak kelas yang bertentangan, maka Gramsci menyuguhkan argumen ketiga yang paling penting, yakni “menggusur problematika reduksionis dari ideologi".
Secara gamblang, Gramsi menjelaskan pendekatan kelas adalah reduksi karena mengabaikan masalah identitas seperti ras, gender, atau lingkungan. Pasalnya, kelas buruh bukanlah satu-satunya kelas yang paling bertentangan dengan kapitalisme. Gerakan perempuan, gerakan hak sipil, gerakan masyarakat adat, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa adalah juga agen perubahan yang sejajar dengan kelas buruh.
Gagasan itu membuat Gramsci lebih “dialektik” daripada “deterministik”, dimana ia mencoba membangun sebuah teori yang dikenal sebagai otonomi, kemandirian, dan pentingnya budaya dan ideologi.
Kendati demikian, Gramsci tidak meninggalkan atau menolak keberadaan kelas dalam masyarakat serta peran historis mereka dalam perjuangan anti kapitalisme. Dengan kata lain, Gramsci tidak membunuh "kelas" sebagaimana keyakinan Post Marxis.
Bagi Gramsci, kelas akan selalu ada, ketika untuk bertahan hidup, mayoritas masyarakat disingkirkan secara paksa dan sistematis dari kepemilikan alat-alat produksi dan sumberdaya produktif. Atas semuanya itu, kelas merupakan sebuah hubungan yang bersifat relasional, dimana aksi satu kelas akan menyebabkan terjadinya reaksi atas kelas lainnya. Singkatnya, Gramsci percaya bahwa perjuangan itu hanya akan mungkin terjadi secara konsisten jika dipimpin oleh kelas pekerja.
Atas kritik itu, Gramsci dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu konsep hagemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalisme.
Refleksi atas ide Gramsci sebagai pemikir kiri memang tak kan pernah habis untuk dibahas. Lewat ide itu, Gramsci telah menunjukkan dirinya sebagai pihak yang berseberangan dengan pemerintah, yang belakangan diidentikkan sebagai “kiri”.
Sejarah Kiri
Sejak awal, istilah “kiri” seringkali dilekatkan dengan komunisme. Padahal istilah itu muncul jauh sebelumnya. Tepatnya, beberapa dekade sebelum Karl Marx pernah ada (1818-1883), saat hingar-bingar Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, di masa Raja Louis XVI dipancung guillotine pada 1792.
Kala itu semboyan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) menjadi daya tarik massa revolusioner, kaum buruh dan tani, bersama-sama kaum borjuis berhasil meruntuhkan pemerintah yang feodal.
Tapi setelah kaum borjuis berhasil mengambil alih kekuasaan, rakyat jelata tidak memperoleh kekuasaan apa-apa. Feodalisme berganti wajah menjadi borjuisme, yakni kekuasaan politik didominasi kepentingan segelintir lapisan atas-ekonomi. Rakyat hanya memperoleh kebebasan, sedangkan persamaan dan persaudaraan tinggal slogan.
Dalam situasi itu, ternyata masih ada sekumpulan orang di parlemen yang menentang borjuisme. Mereka lalu duduk mengelompok di sayap kiri ruangan, sebagai pihak yang bertentangan dengan pemerintah. Karena itu, mereka disebut “kaum kiri”. Mereka berhadapan dengan pendukung borjuisme yang menggerombol di sebelah kanan. Sejak itu “kiri” dan “kanan” menjadi kosa kata politik.
Jika dihitung sejak diterbitkannya buku “Manifesto Komunis” karya Marx dan Engels, gerakan marxisme baru mulai di tahun 1848. Setelah Karl Marx meninggal, sosialisme yang bersumber dari pemikiran Marx berkembang luas hingga mencapai tak kurang puluhan aliran. Adapun kaum marxis ortodoks atau komunis memperjuangkannya melalui Revolusi Oktober 1917.
Di beberapa negara, istilah kiri dan radikal kiri kemudian selalu dikaitkan dengan Komunisme, Maoisme, Otonomisme dan Anarkisme. Digunakan untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang menganjurkan Anti-Kapitalis, Politik Identitas atau Eco-Terrorism.
Jadi, secara historis, prinsip “kiri” berarti perlawanan terhadap kapitalisme yang tak memberi ruang bagi rakyat untuk menguasai sumberdaya.
Menjadi Kiri
Saat ini, menjadi "kiri", merupakan proses dari kesadaran penuh yang muncul tidak semata-mata karena mengikuti kelas-kelas yang berhubungan dengan sosialisme, atau komunisme.
Menjadi kiri, telah menemukan bentuknya jauh lebih dalam dari sekedar ide-ide marxis. Jauh lebih luas ketimbang berkutat pada kesadaran kelas hingga perjuangan kelas. Menjadi kiri juga tak harus angkat senjata dengan mempersenjatai buruh tani.
Saat ini, menjadi kiri tak wajib rajin turun ke jalan melakukan demonstrasi. Tidak pula mengangkat tangan kiri. Menjadi kiri juga tidak dengan mengucapkan slogan “Salam Revolusi” atau memakai kaos bergambar palu arit, Che Guevara, Karl Marx bahkan Soekarno.
Menjadi kiri juga tak selalu harus selesai membaca Des Capital besutannya Marx dan Engels. Atau, tidak pula identik ketika membaca tuntas buku Madilog karya Tan Malaka. Pun tidak melulu dikaitkan dengan “Catatan Seorang Demonstran”, buah pikir Soe Hok Gie.
Menjadi kiri, tidak semata-mata rajin mengkritik pemerintah dan sok berpihak pada masyarakat miskin, namun hidupnya tak bisa lepas dari produk-produk kapitalisme. Menjadi kiri juga bukan berarti rajin mengutip ide - ide pemikir kiri. Menjadi kiri bukan berarti rajin menulis artikel tentang Marx, Lenin dengan bahasa-bahasa yang rumit yang hanya dimengerti orang-orang kiri. Menjadi kiri lebih dari semuanya itu.
Menjadi kiri, kini jauh lebih sederhana. Tidak serumit yang dibayangkan orang-orang. Menjadi kiri hanyalah pergulatan yang muncul atas keresahan secara otomatis menyikapi persoalan disekitar kita. Resah melihat dehumanisasi yang terjadi lantaran ketimpangan semakin besar. Resah menyikapi gap antara si kaya dan si miskin semakin nyata. misalnya.
Kondisi itulah yang menjadi inti dari semangat kiri, yakni semangat melawan ketidakadilan dan dehumanisasi. Secara sederhana, menjadi kiri adalah ketika kita melihat hal-hal yang tidak adil di kantor kita, di rumah kita, bahkan di lingkungan kita. Kiri identik dengan cita-cita keadilan.
Sebab itu, adalah relevan apa yang pernah diucapkan oleh Soekarno, ketika ditanya Cindy Adams (baca: penulis) tentang apa itu orang kiri pada tahun 1966.
“Orang kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis. Kehendak untuk menjabarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat bercekcok dengan Komunis. Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilisme”, ujar Soekarno.
Oh ya, menjadi kiri juga tidak hadir dalam wujud pemberontakan, loh! Kiri itu hadir melawan kebencian dengan cinta kasih. Cinta terhadap sesama. Cinta terhadap kehidupan itu sendiri. Yup, semangat kiri tak lain adalah cinta, bukan pemberontakan.
Cinta inilah yang membuat para teolog pembebasan di Amerika Latin, seperti Romo Grande dan Uskup Oscar Romero rela mati di El Savador. Perlawanan mereka bukan karena kebencian terhadap pemerintah, tapi justru karena kecintaan mereka pada keadilan dan manusia itu sendiri. Sebuah perlawanan yang menjadi perwujudan dari teologi pembebasan.
Teologi Pembebasan yang merupakan buah pikir teologis muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga, sebagai pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi. Titik tolaknya mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, dimana Tuhan juga hadir di dalamnya.
Semangat cinta kasih telah menjadi kekuatan lain dari gerakan kiri. Oleh karena itu ada peribahasa yang berkembang mengatakan, jangan sebut dirimu seorang kiri, jika tidak memiliki cinta pada kehidupan dan sesama manusia.
Kini, "kiri" lebih banyak berbicara tentang melawan ketidakadilan dengan cara melepas sebentuk cinta tanpa pamrih.
-end-
― Antonio Gramsci
Antonio Gramsci, filsuf kebangsaan Italia, penulis dan teoritikus politik merupakan salah satu intelektual kiri yang karya-karyanya paling laris dibaca dan ditafsirkan pada abad ke-20. Sejarawan kondang Eric Hobsbawn sangat mengapresiasi pemikiran Gramsci. Hobsbawn menilai, Gramsci merupakan intelektual Italia yang paling terkenal dan terkemuka sepanjang masa, yang karya-karyanya patut dikategorikan sebagai karya klasik.
Sementara menurut Joseph A. Buttigieg, salah satu pemikir Gramsci terkemuka saat ini, Gramsci adalah ilmuwan politik dan kritikus budaya yang sangat sering dikutip dan karyanya paling banyak diterjemahkan.
Antonio Gramsci yang lahir di Ales, Italia pada 22 Januari 1891, dalam perjalanan hidupnya mengalami masa-masa suram, ketika harus mendekam di balik jeruji besi untuk waktu lama (baca: 20 tahun) di masa pemerintahan rejim fasis Benito Mussolini. Saat itu, ia dianggap sebagai orang yang berbahaya dan berseberangan dengan pemerintah.
Oh ya, yang menarik dari Gramsci sebagai orang kiri, berawal jauh sebelum ia dipenjara. Kesadarannya timbul, ketika kuliah di Universitas Turin, tahun 1911 yang secara tak sengaja bersinggungan dengan social movement setelah membaca pemikiran filosof idealis Beneddetto Croce. Belakangan buah pikir Croce banyak mempengaruhi Gramsci di bidang politik dan munculnya gerakan sosial.
Saat itu, Gramsci sangat terkesan dengan gerakan buruh di kota Turin, suatu minat yang kemudian mendorongnya bergabung dengan Partai Sosialis Italia (PSI) di tahun 1913. Ia mulai menjalani kehidupan sebagai seorang aktivis kiri ketika bekerja pada koran sosialis, media masa kaum sosialis di kota itu.
Tulisan-tulisannya yang menitikberatkan pada analisis budaya dan kepemimpinan politik, telah memberi perspektif baru, ketika negara kerap hadir menjadi struktur yang menindas dan melakukan hegemoni atas masyarakat. Saat itu, Gramsci hadir sebagai pemikir Marxis yang berbeda. Menurutnya, pemikiran klasik Marxis yang diadopsi oleh Lenin hanya cocok untuk negara kapitalis terbelakang dan otoriterian seperti Rusia. Kondisi itu tidak bisa dipaksakan bagi negara Eropa Barat yang cenderung maju dan demokratis.
Dari beberapa ide yang dilontarkan, terobosan terbesar Gramsci adalah ketika melakukan kritik terhadap ide marxis yang “determinis, fatalistis, dan mekanistis”. Gramsci memainkan peran kunci dalam transisi determinisme ekonomi menuju Marxisme yang lebih modern. Pendapat itu ia lontarkan ketika melihat fasisme berkembang begitu rupa di Italia. Saat fasisme bangkit, itu artinya kegagalan gerakan kelas pekerja di Eropa Barat pada akhir tahun 20-an dan 30-an.
Pengalaman itu menyadarkan Gramsci bahwa kelas pekerja tidak harus menempuh jalan revolusioner. Selanjutnya ia berpegangan bahwa pertarungan kelas harus melibatkan ideologi. Ide-ide yang akan membuat revolusi dan juga yang akan mencegahnya.
Selanjutnya Gramsci memperkenalkan cara pembacaan “superstrukturalis” terhadap ideologi. Pendekatannya melalui konsep blok historis dan ideologi sebagai penyusun yang saling berkaitan dan saling mendukung menghasilkan totalitas. Sebuah tempat di luar pembedaan lama basis (superstruktur). Disini, Gramsci menekankan tentang kepemimpinan moral dan intelektual.
Hanya saja, agar kepemimpinan moral dan intelektual tidak menjadi sebuah kesadaran palsu diantara banyak kelas yang bertentangan, maka Gramsci menyuguhkan argumen ketiga yang paling penting, yakni “menggusur problematika reduksionis dari ideologi".
Secara gamblang, Gramsi menjelaskan pendekatan kelas adalah reduksi karena mengabaikan masalah identitas seperti ras, gender, atau lingkungan. Pasalnya, kelas buruh bukanlah satu-satunya kelas yang paling bertentangan dengan kapitalisme. Gerakan perempuan, gerakan hak sipil, gerakan masyarakat adat, gerakan lingkungan, gerakan mahasiswa adalah juga agen perubahan yang sejajar dengan kelas buruh.
Gagasan itu membuat Gramsci lebih “dialektik” daripada “deterministik”, dimana ia mencoba membangun sebuah teori yang dikenal sebagai otonomi, kemandirian, dan pentingnya budaya dan ideologi.
Kendati demikian, Gramsci tidak meninggalkan atau menolak keberadaan kelas dalam masyarakat serta peran historis mereka dalam perjuangan anti kapitalisme. Dengan kata lain, Gramsci tidak membunuh "kelas" sebagaimana keyakinan Post Marxis.
Bagi Gramsci, kelas akan selalu ada, ketika untuk bertahan hidup, mayoritas masyarakat disingkirkan secara paksa dan sistematis dari kepemilikan alat-alat produksi dan sumberdaya produktif. Atas semuanya itu, kelas merupakan sebuah hubungan yang bersifat relasional, dimana aksi satu kelas akan menyebabkan terjadinya reaksi atas kelas lainnya. Singkatnya, Gramsci percaya bahwa perjuangan itu hanya akan mungkin terjadi secara konsisten jika dipimpin oleh kelas pekerja.
Atas kritik itu, Gramsci dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal sebagai penemu konsep hagemoni budaya sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalisme.
Refleksi atas ide Gramsci sebagai pemikir kiri memang tak kan pernah habis untuk dibahas. Lewat ide itu, Gramsci telah menunjukkan dirinya sebagai pihak yang berseberangan dengan pemerintah, yang belakangan diidentikkan sebagai “kiri”.
Sejarah Kiri
Sejak awal, istilah “kiri” seringkali dilekatkan dengan komunisme. Padahal istilah itu muncul jauh sebelumnya. Tepatnya, beberapa dekade sebelum Karl Marx pernah ada (1818-1883), saat hingar-bingar Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, di masa Raja Louis XVI dipancung guillotine pada 1792.
Kala itu semboyan kebebasan (liberté), persamaan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) menjadi daya tarik massa revolusioner, kaum buruh dan tani, bersama-sama kaum borjuis berhasil meruntuhkan pemerintah yang feodal.
Tapi setelah kaum borjuis berhasil mengambil alih kekuasaan, rakyat jelata tidak memperoleh kekuasaan apa-apa. Feodalisme berganti wajah menjadi borjuisme, yakni kekuasaan politik didominasi kepentingan segelintir lapisan atas-ekonomi. Rakyat hanya memperoleh kebebasan, sedangkan persamaan dan persaudaraan tinggal slogan.
Dalam situasi itu, ternyata masih ada sekumpulan orang di parlemen yang menentang borjuisme. Mereka lalu duduk mengelompok di sayap kiri ruangan, sebagai pihak yang bertentangan dengan pemerintah. Karena itu, mereka disebut “kaum kiri”. Mereka berhadapan dengan pendukung borjuisme yang menggerombol di sebelah kanan. Sejak itu “kiri” dan “kanan” menjadi kosa kata politik.
Jika dihitung sejak diterbitkannya buku “Manifesto Komunis” karya Marx dan Engels, gerakan marxisme baru mulai di tahun 1848. Setelah Karl Marx meninggal, sosialisme yang bersumber dari pemikiran Marx berkembang luas hingga mencapai tak kurang puluhan aliran. Adapun kaum marxis ortodoks atau komunis memperjuangkannya melalui Revolusi Oktober 1917.
Di beberapa negara, istilah kiri dan radikal kiri kemudian selalu dikaitkan dengan Komunisme, Maoisme, Otonomisme dan Anarkisme. Digunakan untuk menggambarkan kelompok-kelompok yang menganjurkan Anti-Kapitalis, Politik Identitas atau Eco-Terrorism.
Jadi, secara historis, prinsip “kiri” berarti perlawanan terhadap kapitalisme yang tak memberi ruang bagi rakyat untuk menguasai sumberdaya.
Menjadi Kiri
Saat ini, menjadi "kiri", merupakan proses dari kesadaran penuh yang muncul tidak semata-mata karena mengikuti kelas-kelas yang berhubungan dengan sosialisme, atau komunisme.
Menjadi kiri, telah menemukan bentuknya jauh lebih dalam dari sekedar ide-ide marxis. Jauh lebih luas ketimbang berkutat pada kesadaran kelas hingga perjuangan kelas. Menjadi kiri juga tak harus angkat senjata dengan mempersenjatai buruh tani.
Saat ini, menjadi kiri tak wajib rajin turun ke jalan melakukan demonstrasi. Tidak pula mengangkat tangan kiri. Menjadi kiri juga tidak dengan mengucapkan slogan “Salam Revolusi” atau memakai kaos bergambar palu arit, Che Guevara, Karl Marx bahkan Soekarno.
Menjadi kiri juga tak selalu harus selesai membaca Des Capital besutannya Marx dan Engels. Atau, tidak pula identik ketika membaca tuntas buku Madilog karya Tan Malaka. Pun tidak melulu dikaitkan dengan “Catatan Seorang Demonstran”, buah pikir Soe Hok Gie.
Menjadi kiri, tidak semata-mata rajin mengkritik pemerintah dan sok berpihak pada masyarakat miskin, namun hidupnya tak bisa lepas dari produk-produk kapitalisme. Menjadi kiri juga bukan berarti rajin mengutip ide - ide pemikir kiri. Menjadi kiri bukan berarti rajin menulis artikel tentang Marx, Lenin dengan bahasa-bahasa yang rumit yang hanya dimengerti orang-orang kiri. Menjadi kiri lebih dari semuanya itu.
Menjadi kiri, kini jauh lebih sederhana. Tidak serumit yang dibayangkan orang-orang. Menjadi kiri hanyalah pergulatan yang muncul atas keresahan secara otomatis menyikapi persoalan disekitar kita. Resah melihat dehumanisasi yang terjadi lantaran ketimpangan semakin besar. Resah menyikapi gap antara si kaya dan si miskin semakin nyata. misalnya.
Kondisi itulah yang menjadi inti dari semangat kiri, yakni semangat melawan ketidakadilan dan dehumanisasi. Secara sederhana, menjadi kiri adalah ketika kita melihat hal-hal yang tidak adil di kantor kita, di rumah kita, bahkan di lingkungan kita. Kiri identik dengan cita-cita keadilan.
Sebab itu, adalah relevan apa yang pernah diucapkan oleh Soekarno, ketika ditanya Cindy Adams (baca: penulis) tentang apa itu orang kiri pada tahun 1966.
“Orang kiri adalah mereka yang menghendaki perubahan kekuasaan kapitalis. Kehendak untuk menjabarkan keadilan sosial adalah kiri. Ia tidak perlu Komunis. Orang kiri bahkan dapat bercekcok dengan Komunis. Nasionalisme tanpa keadilan sosial menjadi nihilisme”, ujar Soekarno.
Oh ya, menjadi kiri juga tidak hadir dalam wujud pemberontakan, loh! Kiri itu hadir melawan kebencian dengan cinta kasih. Cinta terhadap sesama. Cinta terhadap kehidupan itu sendiri. Yup, semangat kiri tak lain adalah cinta, bukan pemberontakan.
Cinta inilah yang membuat para teolog pembebasan di Amerika Latin, seperti Romo Grande dan Uskup Oscar Romero rela mati di El Savador. Perlawanan mereka bukan karena kebencian terhadap pemerintah, tapi justru karena kecintaan mereka pada keadilan dan manusia itu sendiri. Sebuah perlawanan yang menjadi perwujudan dari teologi pembebasan.
Teologi Pembebasan yang merupakan buah pikir teologis muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga, sebagai pendekatan baru yang radikal terhadap tugas teologi. Titik tolaknya mengacu pada pengalaman kaum miskin dan perjuangan mereka untuk kebebasan, dimana Tuhan juga hadir di dalamnya.
Semangat cinta kasih telah menjadi kekuatan lain dari gerakan kiri. Oleh karena itu ada peribahasa yang berkembang mengatakan, jangan sebut dirimu seorang kiri, jika tidak memiliki cinta pada kehidupan dan sesama manusia.
Kini, "kiri" lebih banyak berbicara tentang melawan ketidakadilan dengan cara melepas sebentuk cinta tanpa pamrih.
-end-
No comments:
Post a Comment