Thursday, September 03, 2015

Perjuangan Melawan Lupa!

(Milan Kundera, penulis novel The Book of Laugher and Forgetting. Source: carolinemcooper.wordpress.com)

Sejak novel pertamanya terbit 48 tahun silam, Milan Kundera menjadikan totalitarian komunisme sebagai sumber inspirasi. Inspirasi yang menunjukkan bahwa sistem komunisme memiliki banyak kelemahan, dan berpotensi korup. Semasa mudanya Milan Kundera terinspirasi oleh karya Robert Musil dan pemikiran Nietzsche. Tak hanya itu, ia juga tertarik dengan ide tokoh-tokoh renaisans, seperti Giovanni Boccaccio, Laurence Sterne, hingga Henry Fielding.

“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa!”, demikian kutipan dialog Mirek, tokoh utama dalam The Book of Laugher and Forgetting, karya penulis terkenal Cekoslowakia, Milan Kundera. Dalam buku itu, Mirek mengucapkannya pada tahun 1971. 

Namun sejatinya, apa yang dilukiskan Kundera merujuk pada peristiwa 30 tahun sebelumnya, tepatnya di bulan Februari 1948, ketika istana Praha dikuasai Gottwald, pemimpin komunis. Saat itu, Kundera ingin mengingatkan masyarakat Ceko, pentingnya melawan lupa, tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada Clementis, Menteri Luar Negeri Ceko yang berujung pada tiang gantungan.

Secara lugas, Kundera tidak lantas menangisi kematian tragis Clementis. Pun, tak mengutuki Gottwald (baca: pemimpin Partai Komunis Ceko) sebagai figur yang kejam, karena menggantung sahabat terbaiknya. Sahabat yang telah memberinya topi bulu untuk melindungi dari dinginnya salju. 

Kundera juga tidak terlalu ngotot mengkisahkan betapa besar jasa seorang Clementis yang telah melahirkan negara Komunis Cekoslowakia. Ia, malah memilih membuat plot tersendiri sembari berkaca dari adegan besar itu.

Dalam novelnya The Book of Laugher and Forgetting yang terjemahan bebasnya menjadi “Kitab Lupa dan Gelak tawa” Kundera memang tak ingin terjebak antara perseteruan Clementis dan Gottwald. Ia ingin mendudukkan persoalan, bahwa semua yang terjadi bukan semata-mata tentang kekuasaan, tentang komunisme. Pun bukan tentang mengerikannya invasi Rusia ke Ceko atau betapa tak terelakkannya kapitalisme.

Dalam novelnya, Milan Kundera ingin mengingatkan akan 2 hal sederhana yang selalu bertolak belakang, seperti ingatan dan lupa, sejarah dan kekinian, hingga demokrasi dan anarki.

Gagasan itulah yang ia sematkan dalam tokoh rekaan bernama Mirek. Di novelnya, Kundera tidak memberitahu siapa Mirek sebenarnya. Ini unik, seunik kata “Mirek” itu sendiri. Dan justru disinilah sisi pemikat sebuah karya sastra  hadir. Mirek pun bermetamorfosa dalam kekiniannya yang tak sempurna.

Siapa Milan Kundera?
Milan Kundera yang lahir 1 April 1929 di Brno, Bohemia (sekarang disebut Cekoslowakia), dianggap sebagai salah satu penulis besar abad ke-20. Filsafat dan ide-idenya tentang kemanusiaan, khususnya hubungan antara pria dan wanita, membuatnya menjadi legenda di dunia sastra.

Sejak lama, Kundera memang menunjukkan kecintaan dan kecenderungannya pada sastra. Buktinya, saat SMA ia telah rajin menulis puisi dan prosa. Kemudian, setelah kuliah dari Prague Academy of Performing Arts, kematangannya bersastra semakin terasah, tepatnya ketika ia belajar film, sastra, dan musik.

Pada masa Perang Dunia II, Kundera memutuskan bekerja sebagai staf redaksi majalah sastra seperti Listy dan Literarni Novini. Selain bersastra, pemahaman pada ide sosialisme membuatnya bergabung dengan partai komunis pada tahun 1948.

Dua tahun kemudian, Kundera dikeluarkan dari partai karena “cenderung soliter”. Dia lalu bergabung kembali dengan partai komunis itu, selama 14 tahun antara tahun 1956 hingga 1970.

Sepanjang tahun 50-an, Kundera menghabiskan waktu sebagai penerjemah dan penulis esai. Dia juga bekerja sebagai seorang penulis drama teater. Pada masa itu, Milan Kundera telah menerbitkan beberapa volume puisi, namun buku prosa pertamanya terbit pada tahun 1953. Selanjutnya ia menelurkan karya Laughable Loves, kumpulan cerita pendek yang ditulis antara tahun 1958 hingga 1960. Baru pada tahun 1967, Kundera menghasilkan novel pertamanya bertajuk The Joke, yang didalamnya mengupas paham Stalinisme.

Setelah invasi Rusia, pada Agustus 1968, Milan Kundera kehilangan pekerjaan dan kemudian buku-bukunya dilarang beredar pada tahun 1970. Hal itu seakan memperkuat keputusan pemerintah Ceko mencabut kewarganegaraannya di tahun 1979.

Pada masa itu, Milan Kundera dianggap sebagai tokoh gerakan radikal gagal yang disebut The Prague Spring. Ia pun mengalami posisi sulit, sampai akhirnya tidak diperbolehkan untuk mengajar. 

Ketika Kundera kehilangan pekerjaannya, bintangnya justru bersinar di tempat lain. Novelnya yang berjudul Life is Elsewhere menjadi novel asing terbaik di Perancis tahun 1973. Sementara novel lainnya The Farewell Party menjadi novel asing terbaik di Italia tahun 1976. Selain itu, novel-novelnya mulai diterjemahkan ke banyak bahasa, seperti Jerman, Spanyol, dan Inggris.

Melalui sastra, Kundera melihat bahwa bangsanya (baca: Ceko) telah dibius oleh janji-janji semu komunisme. Sementara ideologi dan praktek kekuasaan totalitarianisme justru membungkam kebebasan rakyatnya. Negara malah hadir melakukan kekerasan terhadap rakyatnya.

Akibatnya, pada tahun 1975 bersama istrinya ia terpaksa hengkang ke Perancis. Di Perancis, Kundera diterima menjadi profesor tamu di Universitas Rennes di Bretagne. Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1981 Milan Kundera diakui sebagai warga negara Perancis.

Sebagai seorang penyuka privasi, Milan Kundera memang cenderung tertutup. Itu sebabnya, tak banyak media yang berhasil mengintip kehidupan pribadinya. Satu yang pasti, ia hidup tenang di Paris bersama keluarganya.

Mengapa melawan lupa? 
"Perjuangan manusia adalah melawan lupa" merupakan quote legendaris milik Milan Kundera yang sangat mendunia. Pernyataan itu telah menjadi semacam pengingat bagi masyarakat, bahwa kita harus mengingat sejarah. Mengingat semua peristiwa yang pernah ada. Dan tidak melupakannya begitu saja. Belakangan, karya Milan Kundera banyak dijadikan referensi ilmu sosial di Indonesia, karena dianggap sesuai dengan konteks kekinian menyikapi fenomena sosial yang terjadi.

Pengalaman membuktikan, manusia memang memiliki kecenderungan mudah lupa. Lupa terhadap segala sesuatu, sebagai dampak dari propaganda, atau pembentukan opini yang sengaja dibangun untuk mengaburkan fakta yang sebenarnya

Menolak lupa harus dilakukan, karena seringkali dari lupa-lah segala anasir ketertindasan itu berasal. Dengan melawan lupa (baca: timbul dari diri sendiri), setidak-tidaknya membuat masyarakat sadar untuk memulai perlawanan atas sesuatu yang muncul dari luar (baca: kekuasaan yang menindas). Berkaca dari semangat itu pula, pola perlawanan ala Milan Kundera menjadi menarik untuk selalu didengungkan di tengah situasi apapun, sebagai bagian dari menuntut keadilan. 

Secara sederhana, pesan melawan lupa telah lama diingatkan oleh founding father kita, Ir. Soekarno, saat memperingati HUT Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1966. Saat itu, Soekarno secara tegas mengajak bangsa ini untuk tidak melupakan sejarah. Pesan yang terkenal sebagai "Jas Merah" itu menjadi momentum, bahwa masyarakat perlu menghargai sejarah. Jas Merah: Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah.

Pesan yang sama juga masih berlaku bagi beberapa kasus, yang hingga kini tak jelas penyelesaiannya. Bahkan, karena saking lamanya, banyak masyarakat yang mungkin sudah lupa. Melupakan bukan karena betul-betul lupa. Melupakan, yang muncul sebagai sikap apatis menghadapi persoalan. Melupakan, karena seakan tak pernah ada titik terang.

Beberapa kasus lama, coba saya segarkan kembali, agar kita menyadari bahwa masih banyak catatan kelam yang hingga kini tetap gelap dan tak jelas siapa pelakunya. Dan berikut, diantaranya:
1. Kasus pemerkosaan Sumarijem (Sum Kuning)
Sumarijem (18), gadis penjual telur dari Godean, diperkosa segerombolan anak pejabat/ orang terpandang di Yogyakarta, saat menanti bus pada 18 September 1970. Kasus ini merebak menjadi berita besar, ketika pihak penegak hukum mengalami kesulitan untuk membongkar kasusnya hingga tuntas. Saat itu, Sumarijem disuap agar tidak melaporkan kasus ini ke polisi. Belakangan oleh polisi tuduhan Sumarijem dinyatakan sebagai dusta. Seorang pedagang bakso keliling kemudian dijadikan kambing hitam dan dipaksa mengaku atas peristiwa itu.

2. Hilangnya 13 aktivis pada tahun 1998
Menjelang Reformasi tahun 1998, sekitar 13 aktivis diculik paksa oleh militer dan hingga kini keberadaannya masih misteri. Jika mereka meninggal dimanakah dikuburkan dan tidak jelas apa alasannya menculik para aktivis itu. Mereka adalah Yanni Afri, Sonny, Herman Hendrawan, Dedy Umar, Noval Alkatiri, Ismail, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Petrus Bima Anugerah, Widji Tukul, Hendra Hambali, Yadin Muhidin dan Abdun Nasser.

3. Aktivitas Petrus
Petrus atau juga dikenal sebagai "Penembakan Misterius" yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai operasi rahasia di masa pemerintahan Orde Baru untuk menghabisi para Gali (Gabungan anak liar) dan Preman yang dianggap meresahkan dan mengganggu keamanan/ ketentraman masyarakat. Hingga kini para pelaku Petrus tidak pernah tertangkap dan tidak jelas siapa pelakunya.

4. Pembunuhan Dietje
Di era 1980an, model cantik Dietje Budimulyono/Dice Budiarsih ditemukan tewas akibat tembakan berulang oleh seseorang yang ahli. Mayatnya dibuang di kebun karet di bilangan Kalibata (sekarang komplek perumahan DPR). Setelah kasus menjadi perhatian publik, polisi akhirnya menangkap seorang tua yang dikenal dengan sebutan Pakde (Muhammad Siradjudin), yang dituduh sebagai pelaku pembunuhan.

Pakde membantah pembunuh Ditje seperti yang tercantum dalam BAP. Pengakuan itu, menurut Pak De dibuat karena tak tahan disiksa polisi, termasuk saat melihat anaknya dianiaya hingga menderita patah rahang. Akhirnya Pakde dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, namun publik terlanjur mengetahui rumor bahwa Dietje menjalin asmara dengan menantu dari orang paling berkuasa di Indonesia saat itu. 

5. Pembunuhan Udin
Udin, seorang wartawan Harian Bernas di Yogyakarta tewas terbunuh oleh seseorang tidak dikenal. Udin yang bernama asli Fuad Muhammad Syafrudin, pada 13 Agustus 1996 kedatangan tamu misterius yang kemudian menganiayanya, dan pada 16 Agustus 1996 Udin mengembuskan nafas terakhirnya. Udin tercatat sebagai wartawan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Kasus Udin menjadi ramai, karena Kanit Reserse Polres Bantul, Serka Edy Wuryanto dilaporkan membuang barang bukti ke laut dan mengambil buku catatan Udin dengan dalih penyelidikan dan penyidikan.

6. Pembunuhan Marsinah
Marsinah hanyalah buruh pabrik biasa dan awalnya bukan aktivis yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Ia ditemukan tewas terbunuh pada 8 Mei 1993 diusia 24 tahun. Otopsi dari RSUD Nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.

Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim tersebut untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan meninggal pada 8 Mei 1993.

7. Larinya Edy Tansil
Edy Tansil adalah pengusaha keturunan yang memiliki nama asli Tan Tjoe Hong/Tan Tju Fuan yang menjadi narapidana dan harus mendekam selama 20 tahun di penjara Cipinang atas kasus kredit macet Bank Bapindo yang merugikan negara senilai 565 juta dollar (1.5 T rupiah dengan kurs dollar saat itu). Edy Tansil dilaporkan kabur dari penjara pada 4 Mei 1996 dan 20 petugas LP Cipanang dijadikan tersangka karena dianggap membantunya melarikan diri dan sejak itu keberadaan Edy Tansil bak raib ditelan bumi.

8. Pembunuhan Munir
Munir sebenarnya akan melanjutkan study S2 di Univeritas Utrecht, Belanda. Dalam kronologi pembunuhan aktivis HAM tersebut disebutkan bahwa menjelang memasuki pintu pesawat, Munir bertemu dengan Polycarpus seorang pilot pesawat Garuda yang sedang tidak bertugas. Dua jam sebelum pesawat mendarat di Amsterdam, dari mulut Munir mengeluarkan air yang tidak berbusa dan kedua telapak tangannya membiru. Awak pesawat mengangkat tubuh Munir, memejamkan matanya dan menutupi tubuh Munir dengan selimut. Ya, Munir meninggal dunia di pesawat, di atas langit negara Rumania. 

Sementara itu, dari sisi pemberantasan korupsi, upaya melawan lupa terus dilakukan. Terakhir, lewat bukut berjudul Tim Sembilan, Membongkar Skandal Century, karya Monang Sinaga. Lewat bukunya, Monang mengharapkan seluruh rakyat menolak lupa dan mendorong penyelesaian hukum skandal Bank Century yang telah merugikan negara 6.7 triliun rupiah.

Oleh sebab itu, publik selaku pihak yang paling dirugikan seharusnya jangan terlena, apalagi mengabaikannya. Masyarakat harus selalu disadarkan bahwa keadilan merupakan hak dasar yang harus dimiliki. Keadilan jadi indikator penting, bagaimana sebuah domokrasi telah ditegakkan dan menemukan bentuknya di tengah-tengah masyarakat.  

Prosa Sintetis
Kira-kira apakah yang menjadikan novel layak disebut novel, lalu membedakannya dengan esai, otobiografi, cerpen, puisi atau traktat filsafat? Bagi Milan Kundera, novel merupakan sepotong prosa sintetis yang panjang, didasarkan pada permainan tokoh-tokoh yang diciptakan. Istilah sintetis, bisa diterjemahkan sebagai keinginan penulis untuk memahami subjeknya dari segala sisi dan dalam kelengkapannya yang paling penuh. 

Setelah sempat membaca novel Milan Kundera, di masa kuliah dulu, utamanya Kitab Lupa dan Gelak Tawa, saya mengetahui bahwa Kundera telah mengaduk-aduk semua pola penulisan novel menjadi satu, sehingga memunculkan warna baru. Novel itu pun hadir memberi perspektif yang berbeda pada masanya.

Khusus di novel Kitab Lupa dan Gelak tawa, Kundera membubuhkan banyak pertanyaan kepada para pembaca, tentang makna kehidupan yang dibatasi oleh dua sudut pandang yang selalu berlawanan, namun mampu menghasilkan harmoni, seperti; lupa dan gelak tawa, masa lalu dan masa depan, cinta dan benci, fanatisme dan skeptisisme, ideologi politik dan kebebasan individu, hingga sex dan moralitas. 

Kundera menggambarkan gelak tawa sebagai kepuasan mutlak yang menjelma dalam kebebasan setiap individu dan lupa sebagai negasi dari gelak tawa itu sendiri. Dan semua ide awal dari pergulatan itu bermula dari praktek totalitarianisme komunis Ceko yang mematikan kebebasan. 

Lebih jauh Milan Kundera menilai, ketika gelak tawa dihapuskan oleh lupa, maka kehidupan manusia tidak lagi bermakna. Perjuangan manusia melawan kekuasaan menjadi momen kritikal, dimana semuanya dimulai dari perjuangan melawan lupa.

Oleh sebab itu, bagi saya, novel Kitab Lupa dan Gelak tawa merupakan rangkuman besar sejarah masa lalu, yang dikemas dengan jenaka dan cerdas. Penulisnya berhasil mengkritik paradigma masyarakat yang kerap mengagungkan masa depan, tanpa lebih dahulu mencintai masa lalu. 

Seperti yang ia katakan:
“Diri adalah keseluruhan dari segala sesuatu yang kita ingat. Jadi, yang membuat kita takut pada kematian bukanlah hilangnya masa depan, melainkan hilangnya masa lalu. Lupa merupakan sebentuk kematian yang hadir dalam kehidupan.”

Dan benar adanya, ketika manusia lupa, maka jati diri mereka yang sesungguhnya akan hilang. Oleh sebab itu, hidup memang untuk bertanya. Bertanya, hingga sebuah jawab muncul diujung sana. Bertanya, sembari berjuang untuk tetap melawan lupa!

-End-






No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN