Monday, August 31, 2015

Penunggang Malam Menanti Keajaiban!

(Dia sedang berada di kubikalnya, berkutat dengan pekerjaan tanpa henti. Source: www.thomasnet.com)


***
Malam itu, seperti juga malam-malam sebelumnya, tak banyak yang berubah.  Laki-laki itu masih sendiri di kubikalnya, ditemani secangkir coklat hangat plus komputer butut yang terus meraung tanpa henti. Sejatinya ia mendamba perubahan. Perubahan yang akan membawa dampak besar. Namun sayang, semua berjalan lambat, bak putaran roda pedati. Teratur, monoton, normatif dan sangat membosankan. 

Oh ya, ini merupakan hari keempat, baginya bekerja. Dan sehari lagi, aura libur telah bersiap memanggil. Jika bagi banyak orang, bekerja merupakan keharusan, tidak demikian bagi pria paruh baya itu.

Baginya, bekerja lebih dari sekedar kebutuhan. Sementara bagi kebanyakan orang, bekerja adalah memenuhi kebutuhan. Sayangnya, banyak pekerja (baca: level bawah - menengah) tak menyadari, bahwa bekerja bak deret hitung, dan kebutuhan adalah deret ukurnya. Selalu saja, gaji tak kan mampu mencukupi semua kebutuhan yang diinginkan. Kebutuhan selalu berlari lebih cepat, ketimbang gaji yang dikumpulkan.

Karena itulah, ia sadar diri. Baginya kebutuhan jadi refleksi dari hasil kerja keras selama sebulan. Artinya, kebutuhan harus mengikuti gaji, agar tak ketinggian pasak daripada tiang.

Tak hanya itu, menurutnya, bekerja tak lebih dari kemampuan menjual diri. Mirip-mirip pola pekerja seks komersial (PSK) dalam menjaring mangsanya. Jika ada yang booking, pertanda ia masih dibutuhkan. Sedangkan, jika sepi, itu artinya harus introspeksi, sembari mempercantik diri, lewat beragam cara.

Sehingga tak heran, ketika ia bosan dengan lingkungan kerja yang model-nya begitu-begitu aja, itu artinya ia harus bersiap hengkang untuk lompatan yang lebih tinggi. Biarlah kantor itu tenggelam dalam segala kebodohan para punggawanya.

Ingat kerja, ia pun ingat petuah senior kampusnya, dulu. Kala itu, senioren kerap berkunjung hanya tuk menyemangati para junioren yang akan tamat. Mereka datang untuk mengingatkan, bahwa dunia kerja, jauh berbeda dengan dunia kampus. Saat itu, para senioren menganalogikan, mencari kerja ibarat memancing ikan.

“Jka sungai mulai kering, itu artinya ikan sudah menghilang. Karena itu, segeralah beranjak ke sungai lain yang masih berair”, demikian nasihat mereka.

Hanya saja, dari serangkaian usaha yang dilakukan, sepertinya ia belum beruntung. Pernah ada beberapa kesempatan wawancara, namun akhirnya pupus, hanya karena harga yang tak cocok, atau pola kerja yang sepertinya kurang manusiawi.

Dan, disetiap sesi wawancara, ntah mengapa, ia selalu berkata jujur, tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak. Pun, tentang apa yang ia lakukan ketika bekerja. Jika tidak mengetahui hal yang ditanya, dengan lugas ia mengakuinya. 

Ia tak ingin seperti beberapa temannya, yang harus membual di hadapan HRD, hanya karena tak ingin terlihat bodoh, atau kalah malu. Padahal HRD tahu, sebuah jawaban itu jujur atau tidak.

Lalu, pernah juga, dalam sebuah sesi wawancara, HRD menanyakan tentang prestasi terbesar yang pernah ia lakukan saat bekerja. Ia pun terhenyak. Diam seribu bahasa. Pasalnya tak menyangka mendapat pertanyaan itu. Dan selama ini, prestasi terbesar, tak pernah ada dalam kamusnya. Karena baginya, bekerja adalah menjual diri, demi sekeping rupiah. Lagi, dan lagi, jika belum laku, ya..., coba lagi.

Berhubung harus menjawab pertanyaan sulit itu, dengan suara berat dan terbata-bata, ia pun berkata:

“Prestasi terbesar saya adalah...,  ketika berhasil memaki-maki manager kantor yang telah berlaku anarki dan sangat sewenang-wenang”

“Apa??? Kok jadi prestasi terbesar?”, tanya HRD itu

“Ya, karena saat itu, tak ada seorang pun yang berani melawannya. Mereka semua takut. Takut kehilangan jabatan. Takut dianggap pembangkang. Sementara bagi saya, jabatan gak penting. Yang terpenting adalah bekerja dengan benar. Bekerja dengan hati yang gembira. Begitu bu.”, jawabnya.

“Lalu, apa yang kamu dapat dari prestasi itu?”

“Saya dikasih SP (Surat Peringatan). SP 5”

Begitulah akhirnya, ketika perusahaan itu tak jadi merekrutnya sebagai karyawan baru, meskipun telah melewati serangkaian tes yang panjang nan berliku. Bisa jadi perusahan itu, tak ingin memiliki karyawan yang kritis dan juga pembangkang, yang sewaktu-waktu siap menikam, ketika mereka lemah. Sebagai gantinya, tak ada pilihan lain, ia harus bertahan. Dan, kubikal sempit itu, jadi saksi bisu penantian panjangnya akan sebuah perubahan.

***
Malam itu, tak banyak kendala yang berarti. Semua pekerjaan mampu diselesaikan dengan baik. Meski terlihat mudah, kerap ia tak memiliki waktu untuk beristirahat. Maklum, ia tak menyia-nyiakan waktu yang ada.

Dan sesuai aturan umum yang berlaku di dunia kerja, dalam 8 jam bekerja, maka 1 jam diantaranya adalah istirahat. Mengapa? karena pekerjanya manusia, bukan robot! Butuh istirahat juga.

Oh ya, kini robot pun butuh rehat? Jika sudah melebihi jam/ log yang ditentukan, robot harus diistirahatkan. Karena itu, ketika ada atasan yang selalu memaksa karyawannya untuk bekerja tanpa memberi waktu beristirahat. Itu merupakan pelanggaran HAM berat. Tidak manusiawai. Keterlaluan!

Dengan waktu kerja yang unik, ia harus memanfaatkannya dengan baik. Jangan sampai ada pekerjaan yang tertunda, dan sebisa mungkin, waktu istirahat harus digunakan maksimal.

Jam telah merujuk pukul 1 dini hari, ketika sebagian besar pekerjaannya selesai. Sembari menata ulang semua yang diperlukan, ia mulai mengalihkan pandangannya pada laman-laman tertentu yang ditawarkan oleh internet.

Biasanya pilihannya jatuh pada pada laman film online. Atau, jika sedang malas menonton film, ia memilih mendengar musik lewat youtube. Pilihan mendengar musik dilakukan, ketika voltase mata tinggal 5 watt, khusus sambil menunggu waktu untuk pulang.

Oh ya, menonton film, sungguh sebuah pengalaman yang menakjubkan. Lewat film, penonton akan mengetahui kekuatan ide yang ditawarkan oleh pembuatnya. Lewat film, kebutuhan audio - visual juga akan disegarkan. Dipenuhi lagi, persis seperti gelas kosong yang minta diisi.

Dan menonton film, merupakan sisi lain dari berkesenian. Mengolah kembali rasa, karsa dan karya yang mungkin telah berkurang. Singkatnya, menonton film adalah mencerna pengetahuan baru, mengapresiasi karya orang lain dan menanti kejutan-kejutan yang ditimbulkannya. Sementara itu, tugas penonton adalah; “nikmati saja!”

Meski bukan penonton yang freak, menonton film merupakan kebutuhan yang harus terpenuhi. Ketika internet hadir menawarkan beragam kemudahan, seperti tontonan film online secara gratis, sebuah kemewahan yang harus direspon dengan baik.

Namun dari semua itu, ia kerap tak habis pikir, jika ada orang yang tak suka menonton film, baik di bioskop, lewat DVD maupun internet. Bisa jadi, ada yang salah dengan kepribadian orang itu. Salahnya adalah ia tak memiliki rasa berkesenian. Rasa seni yang mampu membuatnya lebih hidup, ketimbang sekedar hidup.

“Sayang sekali ia hidup”, gumamnya.

Akhirnya ia mengambil kesimpulan, wajar, jika tingkah laku seseorang seperti itu. Kaku dengan pola pandang yang aneh. Maklum, orang-orang yang bersinggungan dengan seni, cara memandang masalah plus menyikapinya berbeda. Orang seni, memandang masalah, tak lebih dari masa lalu dan kini jadi peluang baru. Sementara bagi non penikmat seni, masalah adalah beban yang harus dijalani.

Menyitir ungkapan opa Pram (alm), ia lalu menganologikannya, demikian, “betapa menyedihkannya manusia yang tak pernah menonton film, karena ia tak akan pernah tahu indahnya kehidupan dan begitu mempesonanya hasil kerja perangkat audio-visual.”

Selanjutnya, ketika harus pulang, sementara film yang ditonton belum selesai, mau tidak mau, sesi menonton pada malam itu harus dihentikan. Namun, tak perlu berkecil hati, karena esok masih ada. Itu sebabnya, tak jarang, menonton sebuah film kerap ia tunaikan dalam 2 hari. Meskipun, pada kondisi normal, menonton film hanyalah hitungan jam, gak pake berhari-hari. Hehehe...

***
Jam telah merujuk pukul 3.15 WIB ketika ia menempelkan ibu jarinya di pemindai absen, yang berada di pojokan pintu masuk. Itu artinya argonya telah selesai.

Meski sejatinya, ia boleh pulang sejak 2.00 WIB dini hari, namun ia tidak melakukannya. Ia ingin membuktikan bahwa ia bukan pekerja yang hitung-hitungan soal waktu. Sebisa mungkin, ia selalu bekerja lebih dari waktu yang ditentukan. Alasan lain, semata-mata ingin menunjukkan, bahwa waktu tak bisa membatasi, apalagi membelenggunya.

Dari sisi waktu, jam kerjanya terbilang aneh. Masuk jam 6 sore lalu pulang pukul 3 subuh. Rasa-rasanya gak ada jam kerja kantor yang seperti itu. Jika pun ada, paling banter, pulangnya pagi. Bukan pulang tengah malam seperti itu.

Pernah ia berniat mempertanyakannya ke petinggi kantor. Namun urung, karena enggan dicap sebagai pekerja yang menolak kerjaan. Ia juga gak ingin dikenal sebagai pekerja yang banyak tanya. Mungkin, cara terbaik adalah tetap bekerja, sambil sesekali, lirik-lirik kesempatan, siapa tahu ada tempat yang cocok. 

Usai absen, ia masuk ke lift barang dan segera menuju parkiran motor. Disana motor bututnya telah menanti. Motor yang setia menemaninya selama 10 tahun terakhir. Motor yang jadi teman seia-sekata, saksi perjalanan karirnya.

Malam itu, udara cukup dingin. Dinginnya serasa hampir menusuk tulang. Pastinya tak ada yang ingin berlama-lama dalam kondisi itu, jika bukan sebuah keharusan. Maklum, cuaca di musim kemarau memang beda. Kering dan benar-benar dingin. 

Biasanya, mendapati udara dingin seperti itu, pikirannya segera menerawang ke suatu tempat. Gunung! Ya, di gunung ia pasti menemukan udara sedingin itu. Bahkan dalam kondisi ekstrem, dinginnya gunung mampu membuat dirinya bergidik dan segera berlari ke dalam hangatnya tenda. Dinginnya gunung pun membuat minuman sehangat apapun, berubah jadi beku. Dinginnya gunung emang mematikan.

Dan, malam itu, ia tak ingin berlama-lama. Sebisa mungkin ia melaju menuju rumah. Namun apa daya, motor tua keluaran tahun 2005 itu ternyata punya keinginan lain. Motor itu sulit dihidupkan. Ngadat!

Kini, tak ada cara lain, selain memeriksa sistem pengapiannya. Dari semuanya itu, busi merupakan salah satu elemen penting yang jadi indikator, ketika motor gak bisa diajak kompromi. Sekilas ia lihat, businya masih menghasilkan percikan api. Itu tandanya, sistem pengapian masih baik. 

“Sepertinya, motor ini hanya butuh pemanasan”, pikirnya, karena sudah lebih dari 8 jam mesinnya mati.

Setelah melakukan beberapakali engkolan, ia pun menghentikannya. Saatnya mengambil nafas. Keringat mulai membanjiri wajahnya. Udara dingin jadi solusi ditengah kegerahan yang terjadi.

Sembari menunggu, pikirannya mulai berkelana. Berkaca dari kondisi itu, ia tersedak, apa jadinya jika motor mogok saat tidak di parkiran. Di tengah jalan, misalnya. Wah, pastinya rempong abis.

Kebayang, kan! Gimana susahnya mencari bengkel ditengah malam seperti itu. Dipastikan, gak ada bengkel yang buka. Sementara, jika ingin menumpang ke rumah warga, pun, sama sulitnya. Lagi-lagi, karena jam segitu, kebanyakan rumah telah sepi, ditinggal tidur pemiliknya. 

So, jika kondisi itu terjadi, sungguh sebuah bencana. Bencana besar yang memaksa segera berpikir cepat. Jika mogoknya masih di dekat kantor, maka kembali ke parkiran jadi pilihan terbaik. Namun, jika mogoknya di tengah jalan, jauh dari kantor, cara lain harus ditempuh.  

Jika kemungkinan terburuk itu yang terjadi, maka solusi terbaik adalah mengunjungi pos ronda, masjid, pos polisi dan sejumlah lokasi publik space lainnya yang mudah-mudahan masih ada orang disana. Setelah menitipkan motor disitu, baru perjalanan pulang dilanjutkan. Besoknya, motor lalu dibawa ke bengkel yang berada di dekat lokasi itu.

Setelah 10 menit menunggu, motor butut itu akhirnya hidup juga. Kini saatnya menjaga agar mesinnya tetap menyala. Segera wajahnya pun, berubah sumringah. 

“Thx God!” ungkapnya di dalam hati.

***
Tiba di pos jaga, tiket masuk yang sebelumnya ia selipkan di kantong, segera ditukarkan. Selanjutnya ia meninggalkan kantor dan melenggang menuju jalan Gatot Subroto yang subuh itu terlihat lengang.

Di perempatan Kuningan ia berhenti. Pasalnya, lampu menyala merah. Sejurus ia memeriksa indikator bensin. Rupanya tinggal 1 bar, pertanda harus segera mengisi bahan bakar.

Dari perempatan Kuningan, pom bensin tidak terlalu jauh. Letaknya ada di kiri jalan, berjarak 700 meter, dekat persimpangan arah ke Mampang. Dan 3 menit kemudian, ia pun sampai di lokasi yang dituju.

Tak seperti waktu-waktu sebelumnya, subuh itu, ntah mengapa, antrean pembeli bbm jenis bensin cukup panjang. Setidaknya ada 15 motor, kalo gak salah hitung. Sementara anjungan pengisian bensin yang beroperasi cuma 1. Tumben!

Tiba di SPBU, ia berada pada antrean nomor urut delapan. Artinya, ia harus setia menunggu. Untuk mengisi bbm, dibutuhkan waktu sedikitnya 1-2 menit bagi setiap motor. Sehingga untuk sampai pada gilirannya, diperlukan waktu paling lama 16 menit dan paling cepat 8 menit.

Sembari menunggu, ia teringat obrolannya dengan seorang teman di kantor, sehari sebelumnya. Dalam sesi ngobrol informal malam itu, temannya berkisah tentang kekhawatirannya terhadap maraknya begal (baca: perampok motor) akhir-akhir ini.

Kehadiran begal telah membuat temannya itu tak pernah berangkat dari rumahnya di Depok, diatas jam 12, ketika masuk shift malam. Temannya itu selalu berangkat lebih awal. Kehadiran begal, membuat banyak orang tak ingin mengambil resiko.

“Ya, sejak begal ada, gue selalu berangkat lebih cepat, mas”, ujar temannya.
“Abis, repot kalo ntar jadi korban”, tuturnya kemudian.

Sementara itu, tadi pagi, seorang teman yang lain berkisah tentang begal yang terjadi di kawasan Mampang, Jaksel. Kebayang, kan, Mampang yang kawasannya selalu ramai, ternyata ada begal. Lalu dimana, kawasan yang bebas begal? Ntahlah... Itu artinya, ia harus extra waspada.

Secara perlahan ia berhasil maju dari antrean yang ada. Namun, pikirannya tentang begal, masih tak bisa hilang. Sampai-sampai, semua orang yang antre ia perhatikan dengan seksama.

“Jangan-jangan diantara mereka ada yang jadi pelaku begal”, pikirnya.

Keberadaan begal memang mengerikan. Maklum, para pembegal cenderung nekad dalam melaksanakan aksinya. Tak heran, jika banyak dari korbannnya yang luka-luka. Pun, tak sedikit yang meninggal dunia.

Para begal selalu beroperasi, meski polisi terus memburu mereka. Mereka seakan tak punya urat takut. Jika disuatu kawasan, begal marak terjadi, maka polisi akan mengubek-ubek daerah itu. Namun, bukan begal namanya, jika tak punya banyak akal. Jika selesai beroperasi di sebuah kawasan, mereka kemudian pindah ke kawasan lainnya. Begitu seterusnya.

Dengan pola itu, dipastikan kehadiran mereka tak bisa diprediksi. Polisi selalu kalah cepat, meskipun untuk beberapa kasus, ada juga begal yang bernasib sial. Begitu tertangkap, sebagai imbalan, kaki para begal dihadiahi timah panas oleh petugas. Alasannya, sebagai tanda kenang-kenangan, kalau-kalau mereka melakukan aksi serupa di lain waktu. Jadinya gampang untuk dikenali.

Sementara itu, kawasan yang jadi lokasi operasi begal terus berubah. Selalu berpindah-pindah setiap bulannya. Karena itu, bisa jadi, Mampang merupakan salah satu lokasi alternatif mereka. Namun, dari informasi yang bersileweran di dunia maya diketahui, lokasi-lokasi seperti Depok dan Tangerang Selatan menjadi lokasi langganan para begal. Selalu saja perampokan motor terjadi di kawasan itu.

Beberapa saat kemudian, petugas SPBU memanggilnya untuk maju. Ia pun tersadar. Tak berapa lama, bensin sebanyak 2 liter berhasil berpindah ke motornya. Dengan bbm sebanyak itu, motor bututnya kini mampu bergerak bebas, setidaknya untuk 3 hari kedepan. 

Ketika tangki telah penuh, ia pun beranjak, keluar dari pom bensin. Selanjutnya, tinggal mengakhiri sisa perjalanan malam itu. Dan, seperti sebelumnya, jalanan di kawasan Mampang tak banyak berubah. Masih sepi. Sunyi!

Ia lalu tancap gas!

***
Jam digital di handphonenya merujuk angka 16.45 WIB, ketika alarm yang telah diseting sebelumnya berbunyi. Setidaknya, lebih dari 1 kali hp itu berdering keras, sebelum akhirnya ia terbangun dari tidur singkatnya.

Sore itu, seperti waktu-waktu sebelumnya, ia kembali bergegas. Kembali berkutat dengan rutinitas yang menjemukan. Kembali mencari peruntungan yang moga-moga berpihak padanya.

Dan sore itu, ia tetap setia. Berharap pada perubahan. Perubahan yang sangat dinantikan.

--End--





No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN