Friday, August 28, 2015

Rupah Anjlok, Mengapa?

(Ilustrasi Dolar AS begitu kuat terhadap banyak mata uang. Source: app.hedgeye.com)
...
Lama saya menahan diri untuk tidak berkomentar tentang anjloknya nilai tukar rupiah ke level terendah, yang oleh beberapa kalangan disebut sebagai yang terburuk sejak 1998.

Uniknya, banyak yang menyebut kondisi ini sebagai perwujudan dari buruknya manajemen tim ekonomi Presiden Jokowi dalam mengelola sektor keuangan dan makro ekonomi lainnya. Menurut mereka, jika Prabowo yang jadi presiden, maka kondisi itu tak akan terjadi.

Membaca itu, saya hanya geleng-geleng kepala. Masa ya, kalo presidennya Prabowo, gak bakal mengalami pelambatan ekonomi dan anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Kemungkinan besar, mereka tidak paham dan tidak tahu, kondisi yang sebenarnya.

Dengan asupan pengetahuan yang terbatas, ijinkan saya berbagi argumentasi tentang mengapa rupiah terdepresiasi begitu dalam. Pun, dengan bahasa sederhana dan mudah dimengerti, saya coba jelaskan rentetan penyebabnya.

Begini, bagi banyak negara di dunia, ketergantungan terhadap dolar AS memang tak terelakkan. Mereka betul-betul bergantung pada dolar. Maklum, semua pinjaman maupun dana hibah selalu menggunakan dolar sebagai alat tukar. Bahkan, tak hanya negara, --dalam hal ini pemerintah--, pihak swasta (investor) pun menggunakan dolar untuk menjalankan operasi bisnisnya, meskipun pada gilirannya, ouput yg dihasilkan bisa jadi berbeda, (baca: non-dolar). Namun, selalu, pembayaran pinjaman, kudu menggunakan dolar.

Oleh sebab itu, gak heran jika banyak negara membutuhkan dolar untuk memacu pertumbuhan ekonomi mereka. Pertumbuhan yang diharapkan mampu mengingkatkan kesejahteraan masyarakat. Serta tak ketinggalan, kemampuan untuk membayar cicilan ke kreditur.

"Dolar telah menjadi raja di negara-negara dunia ketiga."

So, krisis finansial yang terjadi telah mengakibatkan banyak negara emerging market, seperti Indonesia terkena imbasnya. Secara sederhana, krisis finansial itu terjadi akibat ketidakstabilan jumlah dolar yang beredar. Jika dolar yang tersedia di pasar jumlahnya terbatas, maka akan berdampak terhadap nilai tukar. Untuk rupiah, ia mengalami pelemahan terhadap dolar, jika volume dolar yang beredar sangat sedikit. Demikian sebaliknya. 

Lalu, yang harus dipahami, adalah, apa yang terjadi dengan dolar saat ini?

Saat ini, khususnya di Indonesia, dolar yang beredar mulai mengalir kembali ke negeri asal, Amerika Serikat. Hal itu terjadi karena banyak faktor. Salah satunya, karena paket kebijakan ekonomi di negeri paman Sam itu sendiri.

Sementara faktor lainnya, adalah ketidakstabilan ekonomi di tanah air, ditandai dengan kebijakan yang belum berpihak ke investasi. So, ketimbang mengambil resiko terlalu besar, para investor memilih keluar Indonesia, dan mulai berkelana mencari negara tujuan baru.

Oh ya, sebelum terlampau jauh, saya ingin mengajak pembaca untuk memahami big picture, mengapa krisis finansial global terjadi, dan seperti apa dampaknya bagi Indonesia.

Krisis moneter yang terjadi sekarang ini (baca: pelemahan rupiah), sejatinya tak bisa dilepaskan dari krisis beberapa tahun sebelumnya, yang terjadi di tahun 2008. Saat itu, akibat gejolak ekonomi di dalam negerinya, Amerika Serikat (AS) mengalami goncangan yang cukup parah. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah AS kemudian mengucurkan serangkaian paket kebijakan.

Salah satu paket kebijakan itu adalah Quantitative Easing (QE), paket kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve (The Fed) dengan menyuntikkan dana (stimulus) dalam jumlah besar ke dalam sistem keuangan mereka. The Fed mengeluarkan uang untuk membeli obligasi jangka panjang, baik itu obligasi berupa surat utang AS dan obligasi kredit perumahan. Harapannya, uang itu bisa digunakan oleh perusahaan untuk keperluan lainnya.

Selintas, kebijakan QE dari The Fed telah membantu AS yang dilanda resesi sejak 2009. Namun, belum diketahui seberapa membantu kebijakan QE itu bagi pertumbuhan ekonomi AS sejak 2009 sampai sekarang.

Uniknya, The Fed tak ingin terus-terusan melakukan pembelian obligasi, karena akan menimbulkan persoalan baru di masa depan. Maka, the Fed mengurangi pembelian obligasi itu secara bertahap. Proses pembelian obligasi secara bertahap itu, kemudian dikenal dengan Tapering Off, yang mulai berlaku pada Juni 2013. Harapannya pada musim panas 2014, program QE bisa berakhir.

Selain itu, perubahan yang dilakukan The Fed berpotensi mengundang respon pasar, tak hanya di AS tetapi juga bagi pasar di seluruh dunia. Karena The Fed ingin kembali dalam kondisi normal, ditandai dengan tak ada lagi program menyuntik dolar ke sistem keuangan, maka cara itu harus dilakukan dengan hati-hati.

Sayangnya, program Tapering Off  (mengurangi stimulus) ternyata memunculkan ambruknya IHSG pada Juli 2013. IHSG saat itu jatuh lebih dari 20%, atau memasuki fase bearish

Salah satu faktor yang membuat hengkangnya dana asing karena adanya spekulasi The Fed yang mengurangi stimulus. Saat itu, fund manager asing cenderung memburu untung ke negara berkembang. Namun, sejak muncul spekulasi adanya rencana tapering, mereka mengubah portofolio, sehingga banyak dana asing di negara berkembang ditarik kembali ke negara asalnya.

Singkat cerita, upaya memotong dana stimulus mengakibatkan investor hengkang dari Indonesia. Bisa dipastikan, akibat kebijakan itu, jumlah dolar yang beredar menjadi terbatas. Dolar pun mengalami penguatan terhadap rupiah.

Belakangan, imbasnya tak berhenti sampai disitu. Beberapa tahun setelahnya, perekonomian global menjadi lesu. Belum lagi, karena tak kuat menghadapi gempuran dolar, Tiongkok terpaksa mendevaluasi nilai mata uangnya. Akibatnya, pasar di Tiongkok menjadi terbatas untuk produk-produk dari luar negeri, dan mereka fokus pada konsolidasi ekonominya.

Bak bola salju, krisis juga berdampak terhadap pelemahan mata uang sejumlah negara, sebut saja, Brasil, Rusia, Jepang, Australia, India hingga Malaysia. Dan jika dibandingkan dengan negara-negara itu, Indonesia terbilang lebih kuat, karena berbagai faktor.

Di sisi lain, pelemahan rupiah juga diperburuk dengan lesunya pasar ekspor Indonesia yang didominasi oleh komoditas, seperti batubara, sawit dan karet. Jika selama ini, produk komoditas lebih banyak diserap oleh Tiongkok, maka seiring dengan devaluasi Yuan, negeri tirai bambu itu pun menutup sementara kran impor mereka. Akibatnya, devisa dari ekspor pun berkurang.

Anjloknya nilai tukar rupiah juga didukung oleh buruknya neraca perdagangan kita yang selalu mencatatkan angka negatif alias defisit dalam 3 tahun terakhir. BPS mencatat, pada tahun 2012 Indonesia mengalami defisit dalam transaksi neraca perdagangan sebesar USD 1,6 miliar. Di 2013 dan 2014 secara beruntun defisit yang dialami Indonesia sebesar USD 4,076 miliar dan USD 1,886 miliar. 

Ketika ekspor lesu, sementara impor jalan terus, kondisi perekonomian akan mengalami penurunan drastis. Buktinya, pertumbuhan ekonomi kita hanya mampu bertengger di angka 4.7 persen dari target semula 5 persen. Kendati demikian, Indonesia belum masuk pada masa krisis.

Alasannya, kondisi fundamental ekonomi Indonesia relatif baik, terlihat dari tingkat inflasi tahun ini yang terjaga di level 5 persen. Jika ingin dibandingkan dengan tahun 1998, kondisinya jauh berbeda. Pada 1998, inflasi mencapai angka 78 persen, akibat ketidakpercayaan pada rupiah. 

Oh ya, anjloknya rupiah pada awal pekan (baca; 24 Agustus 2015) ke level 14.049,5 per dolar Amerika Serikat, ditengarai akibat kepanikan pasar. Kepanikan yang membuat pasar memburu dolar Amerika Serikat. Kepanikan yang membuat hampir semua mata uang dunia melemah tanpa batas. 

Meski tak bisa diprediksi sampai kapan pelemahan rupiah terus terjadi, banyak yang meyakini kondisi itu sifatnya sementara. Pasalnya, kondisi fundamental Indonesia tidak sejelek yang terefleksikan pada kurs rupiah. Harapannya, dalam jangka menengah, rupiah akan menguat sesuai fundamentalnya.

Dalam situasi panik seperti ini, tak banyak yang bisa dilakukan pemerintah. Sulit menempuh kebijakan yang biasa, karena yang dihadapi adalah orang panik dan low confidence.

Untuk menenangkan pasar, yang bisa dilakukan Presiden Joko Widodo adalah mengumumkan bahwa pemerintah akan memangkas atau mempertajam prioritas proyek-proyek yang haus devisa.

Dan benar saja, pemerintah memastikan akan mengeluarkan sejumlah paket kebijakan untuk menjaga agar rupiah kembali menguat. Paket kebijakan itu berkaitan dengan sektor riil, sektor keuangan, deregulasi, dan pemberian insentif pajak atau tax holiday.

Sebagai langkah awal, kebijakan itu akan membuat aktivitas ekonomi berjalan mulus. Baru kemudian, mendorong mata uang asing untuk datang. Harapannya,  kebijakan itu akan mampu memperkuat nilai rupiah.

Selain memperkuat rupiah, paket kebijakan itu dikeluarkan untuk menambah pasokan devisa, menjaga ekonomi secara makro‎, serta memperbaiki daya beli masyarakat yang memang lemah akhir-akhir ini.

Ketika pemerintah berjuang menyiapkan paket kebijakan untuk mendongkrak nilai rupiah yang mencapai titik terendah dalam 17 tahun terakhir, masyarakat diminta tetap optimis. Pasalnya, hanya dengan optimisme, badai besar ekonomi itu bisa kita lalui bersama-sama. (Jacko Agun)

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN