Friday, September 04, 2015

Ketika Air Tanah Kian Langka


(Bang Nur sedang memperbaiki mesin pompa yang rusak. Foto: jacko agun)
...
“Pa, air mati lagi”, teriak mawmau setengah menjerit
Lalu, teriakan yang sama juga dilontarkan oleh Kelana.
“Cepat pa, airnya mati, abang mau pipis, nih!” ujarnya.

Saat itu, saya yang sedang menonton televisi segera bergegas ke kamar mandi memeriksa kebenarannya. Selanjutnya menuju teras, karena disana lah mesin pompa itu berada.

Jika pompa berfungsi normal, maka akan mengeluarkan suara. Namun malam itu, mesinnya mati. Tak terdengar suara apapun. Selintas, saya berpikir, pasti ada yang salah dengan sambungan listriknya. Maklum, kejadian seperti itu bukan yang pertama.

Jika demikian, tak ada cara lain, selain menghubungi ahlinya. Yup, dialah Bang Nur! Nurcahyo, nama lengkapnya. Lelaki paruh baya yang tinggal tak jauh dari kontrakan kami. Sehari-harinya ia bergelut dengan air. Tak heran jika tetangga menyebutnya “Bang Nur si tukang air”.

Biasanya jika sedang tak ada kerjaan, Bang Nur gampang dimintain tolong. Dengan peralatan lengkap, ia akan membantu siapapun yang mengalami kesulitan air. Persis seperti yang saya alami malam itu.

***
Jam merujuk pukul 21.17 WIB, ketika aliran air mati. Sekeliling juga basah, seiring hujan yang enggan rehat sejak sore tadi.

Singkat cerita, tak sampai 10 menit, Bang Nur tiba di depan pagar, lengkap dengan peralatannya, seperti: senter, kunci-kunci hingga lem pipa.

“Maaf telat, mas”, ujarnya lirih.

Kepadanya saya ceritakan kronologisnya. Setelah itu, ia memeriksa mesin pompa dan berlanjut memanjat pagar belakang untuk memastikan bahwa memang benar ada sambungan listrik yang rusak di bagian torent (baca: tampungan air).

Di gelapnya malam, Bang Nur melakukannya seorang diri. Kira-kira 15 menit dia disitu. Namun saya tak bisa mengetahui apa saja yang dilakukannya. Sesekali saya memanggil namanya, sekedar tuk pastikan bahwa ia dalam keadaan baik. Maklum, saya gak bisa berbuat banyak, karena lokasi torent sangat sempit.

Usai memeriksa torent, ia pun turun. “Coba nyalain listriknya, mas", pintanya. Dan…, sim salabim, tak berapa lama mesin air kembali berputar. Normal.

“Kita tunggu ya, mas”, tuturnya. Biasanya, jika pompa telah mati, dibutuhkan 15 – 20 menit agar air di kran bisa mengalir seperti biasa.

Sembari menunggu, Bang Nur kemudian bercerita tentang profesinya. Tentang suka dukanya ketika bekerja membuat sumur pompa. Baginya tiada yang lebih berharga, selain berhasil membuat air bisa mengalir.

***
Menurut Bang Nur, kondisi air tanah di Jakarta, kini jauh berbeda. Tidak seperti ketika ia memulainya di tahun 90-an. Saat itu, secara otodidak ia belajar membuat sumur pompa dari ayahnya. Kini, ketika sang ayah tiada, Bang Nur yang melanjutkan profesi mulia itu.

Menurut Bang Nur, sejak 10 tahun terakhir kondisi air tanah di Jakarta sangat menyedihkan. Dulu, dengan menggali 20 – 25 meter, air gampang ditemukan. Namun sekarang, paling dekat di kedalaman 30 – 4o meter. Belum lagi, tak jarang penggalian terhalang batu dalam formasi rapat. Jika sudah begitu, tak ada cara lain, selain pindah lokasi.

“Di tempat mas ini, kedalamannya 29 meter, baru airnya jernih. Sementara si tetangga sebelah, kedalamannya 35 meter”, paparnya.

Letak kontrakan yang bersebelahan, ternyata tak membuat sumber air berada pada kedalaman yang sama. Semua tergantung dari lokasi mata airnya.

Bang Nur menambahkan, tiap wilayah di Jakarta punya karakteristik tersendiri. Di rumahnya, ia mencontohkan, kedalamannya hanya 15 meter. Airnya sangat jernih, bersih dan tidak berbau. Sementara di Jakarta Utara, kedalaman bisa mencapai 40 meter.

Saat ku tanya, mengapa kedalamannya bisa berbeda-beda? Bang Nur menjawab: ya, itulah hebatnya rahasia Tuhan. Ia pun tak ingin berspekulasi, mengingat pengetahuannya yang terbatas.

Selanjutnya, Bang Nur menjelaskan jika kondisi air tanah juga dipengaruhi jumlah tumbuhan yang menempel di permukaan. “Tumbuhan membuat air tetap terjaga, caranya dialirkan lewat akar”, paparnya.

Dengan kondisi sekarang, dimana gedung-gedung pencakar langit bertebaran, kebutuhan air dipastikan bertambah. Apalagi dalam praktiknya, gedung-gedung tersebut menghisap air jauh lebih besar ketimbang masyarakat sekitar.

“Ya mas, setiap ada gedung tinggi, warga pasti menggali lebih dalam dari biasanya”, ujarnya.

Saat kuceritakan mengenai cadangan air purba yang kemungkinan sudah terpakai saat ini. Wajahnya menyiratkan ekspresi heran. Bang Nur serius mendengarkan.

“Yang benar, mas?” tanyanya
“Menurut penelitian, sih, gitu”, jawabku.

Setidaknya, demikian yang diceritakan Firdaus Ali, peneliti dan pakar di bidang air, tepat sebelum siaran di salah satu televisi berbayar di Jakarta. Firdaus Ali yang juga Founder & Chairman Indonesia Water Institute menjelaskan kepada saya, kondisi air tanah di Jakarta sangat memprihatinkan .

Menurutnya, kondisi air tanah di Jakarta sudah tidak bisa digunakan lagi, bahkan setidaknya sejak 12 tahun terakhir. Alasannya, airnya sudah tercemar bahan-bahan berbahaya. Selain itu, volumenya sangat terbatas.

Buktinya, pada tahun 2007, data pemerintah menyebutkan jumlah pemakaian air tanah oleh warga telah mencapai sekitar 22 juta liter. Namun menurut perhitungan Firdaus, jumlah itu jauh lebih besar, setidaknya 11 kali lebih besar.

Dengan demikian, air yang selama ini digunakan warga merupakan cadangan air yang tersisa. Cadangan air tanah purba yang terperangkap jauh di dalam tanah, yang ketika diambil, tak mungkin bisa dikembalikan seperti semula.

Penggunaan air tanah purba juga ditengarai menyebabkan permukaan tanah menurun. Diperkirakan Jakarta akan tenggelam dalam waktu 25 tahun lagi. Bisa jadi, ketika persediaan air tanah purba itu betul-betul habis.

“ Jakarta akan tenggalam ya, mas?” tanyanya dengan mimik serius.
“ Ya, kalau persoalan ini tidak di benahi”, jawabku.

Fakta itu kian nyata, ketika mengetahui bahwa kecepatan penurunan muka tanah Jakarta pada 2007-2008 telah mencapai 26 cm per tahun. Angka itu, jauh lebih besar dibanding 1o tahun sebelumnya. Seiring perubahan tata ruang kota yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi ketimbang kestabilan ekosistem, bencana pun terjadi.

Di sisi lain, tinggi muka air laut juga meningkat. Antara tahun 1925 dan 1989, menurut LIPI, tinggi permukaan air laut Jakarta meningkat 4,3 mm per tahun. Meskipun peningkatannya masih lebih rendah dibanding kota lain, seperti Semarang dan Surabaya, Pemprov DKI dihadapkan pada persoalan lain, yakni kontribusi air pasang menggenangi pemukiman.

Untuk itulah, menurut Firdaus Ali, diperlukan strategi dalam memenuhi kebutuhan air Jakarta tanpa mengeksplorasi air tanah secara berlebihan. Caranya, dengan memperbaiki pelayanan air perpipaan (PAM), pengendalian eksploitasi air tanah (baca; Peraturan Gubernur 37/2009), serta restorasi dan melindungi sumber air permukaan.

***
Di perbincangan malam itu, Bang Nur yakin, di tahun-tahun mendatang mencari air tanah semakin sulit. Hal itu didasarkan pada pengalamannya selama ini. Selain kuantitas air yang menurun, kualitas air tanah yang dikonsumsi juga memburuk. Dibuktikan dari hasil klasifikasi Indeks Pencemaran (IP) di 48 sumur yang tersebar di 5 wilayah di Jakarta. Hasilnya, 27 sumur tercemar berat dan sedang, sementara 21 sumur lainnya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik.

Hasil pemantauan juga menunjukkan, 67 persen sumur mengandung bakteri coliform dan 58 persen mengandung fecal coli melebihi baku mutu. Bakteri itu biasanya berasal dari air buangan rumah tangga, sungai, atau septic tank. Bakteri penyebab diare itu merembes dari permukaan tanah ke dalam air resapan dengan mudah.

“Pantas, banyak yang bilang, air di Jakarta Utara udah gak sehat. Saking gak sehatnya, banyak yang menggunakannya hanya untuk mandi saja”, ungkap Bang Nur.

***
Kini, kualitas lingkungan Jakarta yang dihuni hampir 12 juta jiwa terus terdegradasi. Buktinya, penduduk kesulitan memperoleh air bersih. Di sisi lain, buruknya pengawasan juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pengambilan air tanah secara besar-besaran telah berdampak pada ketersediaannya. Akibatnya, permukaan tanah menurun dan cadangannya menipis. Sementara di musim kemarau, warga harus bersiap memperdalam sumur.

Iseng saya melakukan riset kecil-kecilan dari internet, terkait kawasan mana saja yang masuk kategori kritis. Hasilnya, saya menemukan data yang mencengangkan. Data itu berasal dari Dinas Pertambangan DKI Jakarta (2004) tentang zona ketersediaan air.

Diketahui, yang masuk zona sangat kritis adalah kawasan dengan kedalaman muka air tanah lebih dari 16 meter dengan fluktuasi muka air tanah lebih dari 8 meter. Sedangkan zona kritis yang memiliki kedalaman muka air tanah 12-16 meter dengan fluktuasi muka air tanah 6-8 meter. Artinya, semakin sulit menemukan air tanah, ketersediaannya kian kritis, berakibat pada dibutuhkannya tenaga dan biaya yang lebih besar.

Mengetahui hal itu, saya terhenyak. Gak menyangka, jika air tanah yang kami gunakan masuk pada kategori sangat kritis. Maklum, dengan kedalaman 29 meter, saya menjadi ragu, apakah airnya masih ada dalam 20 tahun ke depan, jika eksploitasi yang gila-gilaan terus berlanjut.

Kini, masyarakat diperhadapkan pada kenyataan, Jakarta Selatan bukanlah kawasan dengan ketersediaan air berlimpah, seperti yang diagung-agungkan banyak orang. Airnya mungkin masih bersih, tapi untuk mendapatkanya kian sulit. Saat ini, Jakarta Selatan tak ada bedanya dengan kawasan lain di Jakarta. Kawasan dengan zona sangat kritis terhadap keberadaan air tanah.

Selanjutnya, beberapa daerah yang masuk zona kritis dan sangat kritis, diantaranya; Cempaka Putih, Johar Baru, Senen, Tanah Abang di Jakarta Pusat; Kembangan, Kebon Jeruk di Jakarta Barat; Setiabudi, Kebayoran Lama, Tebet, Pasar Minggu, Jagakarsa di Jakarta Selatan; dan Duren Sawit, Makassar, Cipayung, Ciracas, Pasar Rebo di Jakarta Timur.

Ya, Pasar Minggu memang tak jauh dari tempat tinggal saya. Sebuah wilayah dengan perubahan yang sangat cepat, setidaknya dalam 2 dekade terakhir. Di kawasan dengan luas 21,90 Km2 yang terdiri dari 65 RW dan 733 RT itu telah berdiri beberapa pusat perbelanjaan. Pun tak ketinggalan dengan pusat bisnis dan aneka jenis hunian, mulai dari apartemen, rumah hingga kontrakan.

“Benar mas, dulu di Pasar Minggu masih banyak tanah lapang. Kalau sekarang, semua sudah tertutup dengan rumah penduduk dan ruko. Belum lagi, mal-mal mulai banyak”, ujar Bang Nur.

***
Meski belum terlambat, Pemprov DKI telah mencanangkan program gerakan kepedulian terhadap air tanah dengan konsep 5R yakni reduce (menghemat), reuse (menggunakan kembali), recycle (mengolah kembali), recharge (mengisi kembali), dan recovery (memfungsikan kembali). Konsep 5R ini diharapkan bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Konsep 5R itu adalah:
1. Reduce (menghemat): masyarakat diminta untuk menggunakan 20 liter per hari per orang.
2. Reuse (menggunakan kembali): pemerintah mengimbau masyarakat menggunakan air bekas untuk keperluan yang tidak membutuhkan air bersih, misalnya menyiram taman dan mencuci kendaraan.
3. Recycle : mengolah air limbah menjadi air bersih dengan menggunakan metode kimiawi sehingga layak digunakan lagi.
4. Recharge (mengisi kembali) : konsep memasukkan air hujan ke dalam tanah dan ini dapat dilakukan dengan cara membuat sumur resapan.
5. Recovery yakni memfungsikan kembali tampungan-tampungan air dengan cara melestarikan keberadaan situ serta danau.

Ketersediaan air tanah, sejatinya masih bisa terwujud, jika setiap orang, termasuk pemerintah memiliki kesadaran yang sama. Harapannya, kesadaran itu tidak berakhir di tataran pemikiran semata, namun berlanjut melakui aksi-aksi nyata. Karena ketika kesadaran diaktualisasikan, maka perubahan akan terjadi.

Dan, dalam perbincangan kami malam itu, Bang Nur kian yakin bahwa persoalan air, dimasa depan semakin krusial. Penguasaan atas air, berpotensi menghasilkan beragam konflik. Meski tidak mudah, Bang Nur yakin, masalah air tanah masih bisa dibenahi selama pemerintah mau bertindak. Salah satunya dengan membatasi jumlah pembangunan gedung bertingkat.

“Semoga pemerintah sadar, ya, mas! Seharusnya, di musim hujan seperti sekarang ini, air yang berlebih bisa dialirkan lagi ke tanah, sehingga air tetap ada", pungkasnya menutup pembicaraan kami malam itu.

- End-



(Jakarta, 14 Juli 2013)
note: tulisan ini menjadi juara pertama pada lomba blog tentang air yang diadakan oleh AJI Jakarta dan Danone, 2 tahun silam.

2 comments:

  1. Wow tulisan ini menang lomba blog tentang air? Hebat. Keren

    ReplyDelete
  2. Makasih ya... Ini cuma keberuntungan, kok. Bisa jadi karena jurinya buta. Jadi asal comot aja. Hehehe...

    ReplyDelete

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN