(Topeng Guy Fawkes menjadi inspirasi komunitas Anonymous. Sumber: http://images1.laweekly.com) |
“I don't feel that it is necessary to know exactly what I am. The main interest in life and work is to become someone else that you were not in the beginning.”
― Michel Foucault
Jika betul anda pengguna internet, pastinya tak asing dengan istilah 'Anonymous'? Kata itu sendiri awalnya ditujukan bagi para pengguna internet yang tidak ingin identitasnya diketahui. Salah satu alasannya, demi privasi dan keamanan. Kendati demikian, ada banyak alasan lain, sebenarnya.
Oh ya, sebagai informasi latar belakang, saya ingin berbagi tentang siapa sebenarnya yang dimaksud dengan Anonymous (anonim) sebagai sebuah entitas? Lalu seberapa besar pengaruh mereka? Dan seberapa berbahaya mereka?
Sejauh ini, berdasarkan literatur, diketahui penggunaan kata Anonymous lebih banyak bersinggungan dengan dunia hack meng-hack. Mereka yang melakukannya disebut hacker. Dunia yang sepenuhnya adalah maya, namun, dampaknya begitu nyata.
Komunitas hacker yang keberadaannya sangat misterius itu akhirnya membentuk wadah, bergabung jadi satu dengan nama Anonymous pada tahun 2003. Anonymous kemudian dikenal sebagai kelompok hacktivist yang cirinya diketahui lewat beberapa simbol, diantaranya dengan topeng Guy Fawkes yang diadaptasi dari film V for Vendetta. Pada tahun 2011, Majalah Time memasukkan nama Anonymous sebagai salah satu orang paling berpengaruh di dunia.
Keberadaan Anonymous memang nyata. Terakhir, Anonymous mengancam akan meretas sistem kemanan informasi Malaysia, sebagai bentuk protes terhadap Perdana menteri Malaysia Najib Razak yang diduga korup. Ancaman itu terdapat dalam video berdurasi 4 menit dan meminta PM Najib untuk mundur.
Lebih lanjut Anonymous mengancam akan meretas berbagai situs instansi pemerintah Malaysia seperti kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia dan 150 situs pemerintah lainnya. Untuk menanggulangi hal itu, pemerintah Malaysia meminta agar sepuluh instansi penting memperkuat sistem keamanan informasi mereka.
Sebelumnya, Anonymous juga sempat membuat heboh Singapura lewat video Youtube. Mereka menyatakan perang dengan pemerintah Singapura jika tidak menghilangkan “Internet Licensing Framework” yang dianggap membatasi kebebasan berpendapat.
Pesan di video itu menyebutkan: “tujuan utama adalah memprotes implementasi internet licensing framework dengan memberikan sedikit gambaran seperti apa kondisi dunia maya, apabila framework yang menjijikkan, menekan, dan menghina itu tetap diberlakukan.”
Framework yang diumumkan pada Mei 2013 lalu itu mengharuskan situs berita yang memiliki lebih dari 50.000 pengunjung untuk menyediakan “jaminan performa” sebesar SGD 50.000, seperti yang sudah dilakukan media besar di negara itu. 10 situs berita online, kebanyakan terkait dengan pemerintah, diperintahkan untuk mengajukan lisensi, dengan sg.news.yahoo.com. Akibatnya, raksasa internet seperti Google, Facebook, dan eBay menentang keras gerakan itu dengan mengeluarkan pernyataan gabungan yang mengatakan bahwa:
“Peraturan baru itu akan menghambat kemampuan Singapura untuk terus berinovasi, mengembangkan industri dan teknologi, serta menarik investasi di sektor kunci itu.”
Meskipun para hacker mengatakan bahwa mereka adalah bagian dari Anonymous, pada kenyataannya kelompok itu adalah jaringan individu yang saling terasosisasi secara acak dibawah komando tidak terpusat. Hacker manapun bisa melibatkan diri dengan aktivitas kelompok ini tanpa perlu meminta izin, dengan berpura-pura memiliki banner milik kelompok tersebut.
***
Jika informasi diatas merujuk pada kehadiran hacker berlebel Anonymous, maka kehadiran anonymous-anonymous lainnya juga tak kalah seru. Diantaranya, ada yang suka bersembunyi karena alasan yang sangat prinsipal.
Hal-hal yang sangat prinsipal itu, biasanya berhubungan dengan keamanan dan keselamatan diri. Sehingga tak ada cara lain, selain memunculkan profil dengan simbol anonim, untuk menentang hal-hal tabu atau dianggap bertentangan dengan pemerintah yang otoriter, dan akan menghambat eksplorasi diri dan ekspresi diri.
Belakangan, kondisi serupa memunculkan anonim dalam jumlah besar dengan beragam latar belakang, mulai dari pejabat yang terikat protokol standar kerja, wartawan yang menjalankan kerja-kerja investigasi, orang yang ingin mencari jodoh, pasien yang divonis mati sewaktu-waktu, hingga pengidap split personality.
Tak berhenti hanya disitu, ternyata ada tipe anonymous lain yang cukup unik. Mereka adalah anonymous ‘alay’ yang banyak berseliweran, hanya karena sedang tren saja. Seakan-akan, tak ingin diketahui jati dirinya, namun ternyata mudah dikenali, lewat jejak yang ditinggalkan, ataupun lewat kebiasan/ pola yang mereka buat.
Keberadaan anonymous ‘alay’, bisa dilihat di media sosial. Dari sekian banyak media sosial, ternyata tak sedikit penggunanya memilih menggunakan ide-ide anonymous. Ciri sederhananya, terlihat dari tidak jujurnya mereka memberikan informasi yang diminta. Misalnya, alamat kota yang sejatinya di Medan, diubah menjadi “Kathmandu - Nepal”. Atau umur yang sebenarnya 17 tahun diubah menjadi 34 tahun. Dan banyak lagi contoh lainnya.
Sifat Anonymous yang artinya tidak dikenal (unknown) secara tidak langsung menjadi identitas semu. Identitas yang bukan sekadar nick name, profile picture, ataupun isian di info profile.
Meski identitas itu bukan isian statistik, namun tak melulu ia hadir secara jujur. Padahal, identitas terbentuk sebagai "socially constructed" (terbentuk secara sosial), dan selalu "das sollen" (sebagaimana adanya).
Identitas pada awalnya muncul sebagai ‘entitas ide’, rumusan gagasan dan seperangkat informasi yang diatributkan kepada seseorang. Identitas yang secara tak sengaja diakui secara kolektif.
Beberapa benda kemudian diasosiasikan kepada identitas tertentu, mulai dari warna favorite, film kesukaan, model pakaian, nama samaran, hingga siapa yang ada di sampingnya (siblings). Identitas kemudian berkembang tidak hanya untuk urusan; agama, alamat, nickname, namun meluas ke hal-hal lain, seperti, quotation, website, dan blog. Demikianlah identitas hadir menyamarkannya sebagai anonymous.
***
Bagi saya, kejujuran menjadi poin penting. Karena itu, saya sangat menghargai ketika setiap orang bersinggungan secara jujur. Tidak pura-pura, apalagi basa-basi.
Kejujuran menjadi indikator, seberapa terbuka seseorang mampu mengeluarkan pendapatnya, baik di muka umum maupun di forum-forum tertentu. Pendapat yang seharusnya tidak semata-mata terlontar, namun hadir dari pergulatan ide yang matang.
Oleh karena itu, ketika pendapat hadir dari persepektif yang bisa dipertanggungjawabkan, maka tak perlu khawatir. Karena berbeda pandangan merupakan hal biasa. Hanya saja, mempertahankan pendapat menjadi penting, untuk memastikan apa yang diutarakan memiliki dasar pemikiran yang kuat. Atau, ketika diadu dalam bentuk argumentasi, tak ada salahnya menerima pendapat orang lain, jika memang benar adanya.
Sementara itu, keterkaitan pendapat dan jati diri sebagai Anonymous tidak bisa dipisahkan dari ruang yang ada. Ruang yang membuat setiap orang bebas untuk berlaku anonim. Uniknya, ruang itu tidak menuntut keabsahan pengunjungnya, dan hanya mengharapkan sebuah pendapat yang sifatnya bebas. Dan saking bebasnya, setiap pengunjung anonim bisa menulis apa saja. Sesuka hati mereka.
Berlaku anonim atau tidak, sebenarnya bukan ukuran. Anonymous bisa saja menghasilkan pendapat yang brilian dan luar biasa. Pun, dengan mereka-mereka yang menyertakan nama ketika mengeluarkan pendapat. Atau, demikian sebaliknya.
Berlaku Anonim, bukanlah sesuatu yang diharamkan. Bukan pula perkara yang dianggap benar atau salah. Berlaku anonim itu normal, sepanjang pendapat yang diutarakan merupakan ide asli, bukan copas dari sana sini, saduran, tanpa melakukan verifikasi.
Berlaku anonim, mulai memunculkan masalah, ketika pendapat yang diutarakan; berkonotasi negatif, memunculkan bibit permusuhan, kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan, hingga berpotensi menyinggung SARA. Dalam kondisi itu, mereka-mereka yang muncul sebagai anonim, seakan berada pada posisi aman. Terlindung dari beragam tudingan. Tentu saja, karena tudingan itu tidak bisa dialamatkan kepada mereka. Karena mereka merupakan orang-orang tanpa nama.
Karena itulah, seburuk-buruknya pendapat yang saya utarakan, saya akan muncul dengan sebuah nama. Nama yang bisa diketahui oleh banyak orang. Nama yang jelas pelafalannya dan bukan Anonymous.
Sama seperti saya yang muncul dengan nama jelas, mereka-mereka yang menggunakan nama jelas juga merupakan orang-orang yang berani. Orang-orang yang berani mempertanggungjawabkan setiap pendapat dan ide-ide mereka. Dan, saya sangat hormat kepada mereka.
-end-
catt: terinspirasi oleh seorang teman.
Bisa jadi seseorang memilih menjadi anonymous agar bisa memberi semangat lebih untuk orang lain tanpa mau ketahuan jati dirinya. Hampir serupa dengan pepatah "tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu". Serupa juga dengan keputusan orang yang memberi sumbangan dengan memilih menyebut dirinya sebagai hamba Allah atau NN supaya tidak menjadi riya baginya. Berguna bagi orang lain tanpa mengharap pujian.
ReplyDeleteThx buat komentarnya. Menarik! Btw, yang jadi konsern saya adalah, berbagi ide itu, lebih baik, jika tunjukkan jati diri yang sebenarnya. Mirip2 kata pepatah: Datang Tampak Muka, Pulang Tampak Punggung. Btw, menjadi anonymous itu pilihan. Kalo menjadi anonymous untuk hal-hal besar yang berdampak besar bagi kepentingan orang banyak, gw setuju. Tapi, kalo menjadi anonim untuk urusan yang sangat receh. Kok, kesannya gimana gethoo. Lagian, ketika seseorang muncul dengan ide briliannya. Secara gak langsung akan berimbas pada nilai tambah bagi orang tersebut. Sama halnya ketika teman baik saya (gak boleh sebut nama) menelurkan karya sastra yang begitu original dan menawan. Penghargaan otomatis hadir dengan sendirinya. Karena itu, tunjukkan diri sesungguhnya menjadi penting, sekedar tuk buktikan seberapa menarik ide-ide yang kita tawarkan. Hal itu juga penting sebagai marking, untuk memastikan, apakah kita adanya di kiri, kanan atau bahkan di tengah jalan.
ReplyDeleteOh ya, tulisan diatas tidak untuk memojokkan siapapun. Tidak pula untuk merendahkan seseorang yang telah berkomentar secara bebas. Credit poin-nya bukan disitu.
Finally, menjadi anonim tdk dilarang, hanya sulit untuk mengukur siapa mereka sesungguhnya. Beda, kalo ternyata kamu, saya, kita sudah mengetahui mereka sebumnya. Even anonim, kita tetap bisa baca siapa dia sesungguhnya.
Begitu sobat. Kurang lebih mohon maaf.