(Pengunjung sedang menikmati karya realis Alfred Leslie saat pameran tahun 1968, sumber: http://pages.vassar.edu) |
"The people must know their history"
- Maxim Gorky
Dalam beberapa waktu terakhir, perhatian saya kerap tertuju pada sesuatu, yang bagi banyak orang gak terlalu penting. Sesuatu yang sifatnya sangat personal dan agak lebay, mungkin. Namun, bagi saya hal itu begitu bermakna dan kesannya sangat mendalam.
Beberapa waktu terakhir, ntah mengapa, rasa ber-sastra saya kembali terusik. Diusik oleh hadirnya untaian kata indah penuh makna. Untaian kata yang seakan tak berujung. Sambung menyambung, bak ombak yang dihempaskan ke pantai, lalu ketika puas, kembali berlari menuju laut. Tak putus-putus, hingga pada gilirannya memunculkan jalinan kisah. Cerita yang menemukan wujudnya dalam bentuk prosa.
Jalinan cerita itu begitu kuat, sampai-sampai pembaca larut di dalamnya. Cerita yang mampu mengaduk-aduk setiap perasaan. Cerita yang membuat lupa. Cerita yang mampu hantarkan pembacanya ke langit ke tujuh, lalu ketika saatnya tiba, kembali menjejak Bumi. Memaksa sadar, bahwa cerita tetaplah cerita, berjarak bagi pembacanya.
Pernah di sebuah kesempatan, tak henti-hentinya saya tersenyum. Bahkan sesekali tergelak tawa. Tersenyum lalu tertawa, begitu awalnya. Hingga tanpa sadar, setiap kembali kesitu, saya selalu tersenyum. Tersenyum karena tidak menyangka, betapa si penulis mampu menghadirkan kisah sederhana menjadi luar biasa. Selintas saya membayangkan betapa menariknya jika kisah itu direkonstruksi di dunia nyata. Di dunia tiga dimensi, dimana setiap elemennya bergerak bebas. Pastinya seru sekali!
Belakangan, kisah itu tak melulu berbicara soal senyum. Makin kesini, aura sedihnya kental terasa. Ibarat klimaks, lalu muncullah anti klimaks. Demikian seterusnya. Kendati begitu, seringkali saya berharap, agar anti klimaks tak pernah muncul. Atau ketika muncul, biarlah ia ada diujung sana. Di tempat, dimana saya segera melompat dan tidak meneruskan tuk membaca. Karena saya tahu, sedihnya pasti mengendap lama. Dan sebelum sampai kesitu, saya akan berhenti. Tidak meneruskan sama sekali. Dalam beberapa waktu terakhir, perhatian saya kerap tertuju pada sesuatu, yang bagi banyak orang gak terlalu penting. Sesuatu yang sifatnya sangat personal dan agak lebay, mungkin. Namun, bagi saya hal itu begitu bermakna dan kesannya sangat mendalam.
Beberapa waktu terakhir, ntah mengapa, rasa ber-sastra saya kembali terusik. Diusik oleh hadirnya untaian kata indah penuh makna. Untaian kata yang seakan tak berujung. Sambung menyambung, bak ombak yang dihempaskan ke pantai, lalu ketika puas, kembali berlari menuju laut. Tak putus-putus, hingga pada gilirannya memunculkan jalinan kisah. Cerita yang menemukan wujudnya dalam bentuk prosa.
Jalinan cerita itu begitu kuat, sampai-sampai pembaca larut di dalamnya. Cerita yang mampu mengaduk-aduk setiap perasaan. Cerita yang membuat lupa. Cerita yang mampu hantarkan pembacanya ke langit ke tujuh, lalu ketika saatnya tiba, kembali menjejak Bumi. Memaksa sadar, bahwa cerita tetaplah cerita, berjarak bagi pembacanya.
Pernah di sebuah kesempatan, tak henti-hentinya saya tersenyum. Bahkan sesekali tergelak tawa. Tersenyum lalu tertawa, begitu awalnya. Hingga tanpa sadar, setiap kembali kesitu, saya selalu tersenyum. Tersenyum karena tidak menyangka, betapa si penulis mampu menghadirkan kisah sederhana menjadi luar biasa. Selintas saya membayangkan betapa menariknya jika kisah itu direkonstruksi di dunia nyata. Di dunia tiga dimensi, dimana setiap elemennya bergerak bebas. Pastinya seru sekali!
Lebih jauh, cerita tak hadir dengan sendirinya. Ada beberapa kali perjumpaan. Ada usaha curi-curi pandang. Pun, upaya surveillance dari tempat-tempat tinggi dan sunyi. Ajaibnya, ketika semua lengkap, pergulatan panjang muncul sebagai akibat dari proses pemurnian. Pemurnian untuk menyeleksi ulang, apakah kepingan yang dikumpulkan cocok dipasangkan ke dalam puzzle berukuran besar.
Untuk melakukannya, tak sembarang orang mampu. Hanya mereka dengan tingkat intelejensia baik yang bisa hasilkan karya bercita rasa tinggi. Dan, ia, satu diantara sedikit yang tersisa. Dia (baca: perempuan yang cantik) yang awalnya tak pernah bersinggungan sama sekali, baik di dunia nyata maupun maya. Dia yang awalnya berjarak, telah membangunkan tidur panjangku. Tidur lelap melupakan sastra. Namun, ia hadir begitu anggun, menjajakan sastra dengan gaya yang berbeda. Menjadikan sastra tetaplah sastra. Ia juga hadir menerangi relung gelap yang terluka. Ya, dialah pribadi luar biasa yang tak banyak orang tahu. Mahkluk istimewa yang kini belajar terbang. Kian lama, kian tinggi.
Oh ya, perkenalanku dengannya sudah cukup lama, sebenarnya. Perkenalan yang hanya sebatas kenal. Tidak lebih. Namun ketika ditanya, sejak kapan tertarik menelaah karya-karyanya yang indah itu. Jawabnya, sejak tanpa sengaja berlabuh di sebuah tempat, --yang jika boleh menyebutnya-- sebagai gudangnya harta karun. Harta karun, karena disanalah benda-benda berharganya disimpan. Terpajang rapi dan wangi, menanti setiap pengunjung datang bertamu.
Namun uniknya, saya bukan yang pertama tiba. Ternyata telah ada pengunjung lain yang datang lebih pagi. Sementara saya, ibarat siswa yang masuk terlambat. Selalu kesiangan! Ketika semua pengunjung telah berkeliling lebih dari sekali. Saya malah baru masuk di pelataran. Memandang pintu gerbangnya yang besar membuatku takjub, padahal belum masuk lebih dalam.
Demikianlah akhirnya, rasa takjub membuat saya beku. Tak berani melanjutkan ke dalam. Rasanya cukup dari sini saja. Di pelataran yang lapang ini. Di tempat, dimana saya bisa melihat ke dalam, juga menebar pandang ke arah luar. Dari sini, saya cukup puas. Karena bagi saya, harta karun memang berharga. Biarlah ia aman di dalam sana. Dan, ijinkan saya yang menjaganya.
***
Dari beberapa kali pertemuan tanpa sengaja, di persimpangan yang selalu ramai, saya selalu gagal menangkap apa yang ia maksud. Padahal, di beberapa kesempatan, ia kerap berteriak keras. Namun saya tak mendengar apapun, karena sekeliling begitu riuh. Ratusan, bahkan ribuan orang berlalu lalang di waktu yang bersamaan.
Saat itu, hanya sedikit kata yang bisa saya terjemahkan. Kata yang melayang indah dan dengan segala upaya berhasil saya rengkuh. Kata yang tersisa di udara. Kata yang selalu terngiang di dalam lubuk terdalam.
"Pemimpi", itu kata yang ia lepaskan. Kata yang mampu saya rekonstruksi, satu persatu lewat gerak bibirnya yang tipis. Bibir yang membuatku tak pernah berhenti menatap. Bibir yang indah, yang tiap hari makin indah. Maaf, jika saya terlalu berani.
Sebagai pemimpi, tak heran ia mampu lakukan banyak hal. Salah satunya, ketika berhasil merontokkan semua aturan yang ada dalam penulisan sastra. Yup, dia telah peragakan "breaking the rule". Bebas, persis seperti kehendak hatinya yang tak bisa dikekang. Berkelana menjelajahi setiap ruang, sambil sesekali menangkap makna yang tersisa.
Iseng, saya coba cari tahu apa arti dari "Pemimpi", sebagaimana ia menyebutnya. Setelah membaca beberapa literatur, saya mulai merenungkan. Mencoba menyusun dan me-reka-reka, kira-kira gaya penulisan seorang pemimpi itu masuknya ke dalam genre yang mana?
Dari penelusuran, saya menemukan, bahwa aliran dalam sastra memiliki kesamaan dengan kesenian lainnya, semisal seni lukis, drama, bahkan filsafat. Aliran dalam sastra memiliki hubungan erat dengan pandangan hidup dan kejiwaan si penulis, yang hasil akhirnya diekspresikan lewat karya.
Lebih jauh dapat saya pahami, bahwa sastra sejatinya berpangkal pada kesadaran penulis untuk menentang paham/ aliran sebelumnya. Perlawanan mendobrak aliran lama itu diwujudkan dalam bentuk ciptaan baru yang berbeda dari yang pernah ada. Mungkin ini yang ia maksud. Ia hadir sebagai genre terbaru. "Pemimpi"!.
Namun, pemimpi tak pernah ada dalam kamus genre sastra. Maklum, sebelumnya sastrawan hanya mengidentifikasi karya dalam beberapa genre utama, seperti impresionisme dan romantisme. Genre yang berdiri sendiri hingga sekarang.
Lalu dimana "Pemimpi" itu berada? Menurut saya, karyanya merupakan perpaduan "impresionisme", yang menekankan kesan sepintas tentang suatu peristiwa, dimana hanya mengambil hal penting saja. Kemudian dirangkai dengan "romantisme", paham yang selalu melukiskan sesuatunya secara sentimentil penuh perasaan.
Keberhasilannya, secara tidak langsung memproklamirkan diri sebagai genre terakhir. Genrenya para pemimpi. Genre yang membuat setiap pembaca masuk lebih dalam. Terlalu dalam sehingga takkan mampu melawan haru.
***
Sementara saya, jauh berbeda dengan penulis itu. Ibarat langit dan Bumi. Saya tidak mampu menulis dalam keadaan bermimpi. Atau menulis sembari memimpikan semua hadir dalam kompleksitas yang begitu nyata. Saya jauh dari itu.
Saya hanya penulis biasa yang melukiskan keadaan/peristiwa sesuai dengan kenyataan apa adanya. Seorang penulis yang tidak menambah ataupun mengurangi sebuah bobot dari suatu peristiwa yang dilihat secara nyata. Saya hanya menguraikannya, sebaik mungkin, semampu yang saya bisa.
Jika menempatkan diri pada genre yang ada, aliran saya adalah "Realisme". Aliran yang mengutamakan realitas kehidupan. Sebuah genre yang berseberangan dengan sastra imajis, sastra dari golongan para pemimpi.
Selain itu, sastra realis juga berbeda dengan pola penulisan surat kabar yang mengedepankan bahasa lugas menyikapi sebuah peristiwa, karena ia tidak semata-mata realistik. Sebagai karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan elastisitas bahasa yang memikat.
Dulunya, Realisme muncul sebagai bentuk kesadaran untuk bergerak ke arah perubahan. Di Eropa abad ke-19, misalnya, realisme dalam sastra hidup bersama perkembangan teknologi optik, utamanya kamera. Teknologi itu memperkuat keyakinan bahwa realitas dapat ditangkap dan dihadirkan kembali (baca: direpresentasikan) sebagaimana adanya, tanpa tendensi dan angan-angan.
Lalu, di Perancis, Emil Zola, seorang pionir realisme dalam sastra, kerap membawa kamera ke mana-mana, hanya tuk pastikan, bahwa realitas yang ia gagas dan hadirkan, telah bersih dari ilusi dan misteri.
Sementara itu, realisme klasik dalam catatan George Lukcs, muncul menjadi atmosfer yang membuyarkan paham mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan warna dan kehangatan puitik semu.
Masih di abad ke-19, Lukcs menekankan ide pada diterimanya filsafat Marxis. Filsafat yang hadir menganalisis manusia secara keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi juga secara keseluruhan. Dengan cara itu, marxisme menjadi jembatan ke arah sastra klasik dan memunculkan sastra klasik baru, seperti: Dante, Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy.
Belakangan, realisme tak berhenti sampai disitu. Dalam sejarah sastra, realisme turut serta sebagai penolakan terhadap sesuatu yang dianggap menjadi dusta sosial. Contohnya, di awal masa Revolusi, realisme hidup untuk menentang seni jaman kolonial yang hanya memaparkan alam “Mooi Indie” (baca: Hindia Belanda yang molek). Saat itu, realisme menemukan bentuknya dalam wujud protes. Protes akan kondisi yang membelenggu.
Oleh sebab itu, tak heran jika Gustave Courbet, pelukis kampung dari Ornans, sebuah daerah pertanian di Timur Perancis menyebut, hakekat realisme adalah menghadirkan sesuatu secara ideal. Tentu saja, karena acapkali sesuatu yang ideal, ditentukan oleh penguasa.
Dan saya, ntah mengapa, memang lebih condong dengan ide realisme!
Saat itu, hanya sedikit kata yang bisa saya terjemahkan. Kata yang melayang indah dan dengan segala upaya berhasil saya rengkuh. Kata yang tersisa di udara. Kata yang selalu terngiang di dalam lubuk terdalam.
"Pemimpi", itu kata yang ia lepaskan. Kata yang mampu saya rekonstruksi, satu persatu lewat gerak bibirnya yang tipis. Bibir yang membuatku tak pernah berhenti menatap. Bibir yang indah, yang tiap hari makin indah. Maaf, jika saya terlalu berani.
Sebagai pemimpi, tak heran ia mampu lakukan banyak hal. Salah satunya, ketika berhasil merontokkan semua aturan yang ada dalam penulisan sastra. Yup, dia telah peragakan "breaking the rule". Bebas, persis seperti kehendak hatinya yang tak bisa dikekang. Berkelana menjelajahi setiap ruang, sambil sesekali menangkap makna yang tersisa.
Iseng, saya coba cari tahu apa arti dari "Pemimpi", sebagaimana ia menyebutnya. Setelah membaca beberapa literatur, saya mulai merenungkan. Mencoba menyusun dan me-reka-reka, kira-kira gaya penulisan seorang pemimpi itu masuknya ke dalam genre yang mana?
Dari penelusuran, saya menemukan, bahwa aliran dalam sastra memiliki kesamaan dengan kesenian lainnya, semisal seni lukis, drama, bahkan filsafat. Aliran dalam sastra memiliki hubungan erat dengan pandangan hidup dan kejiwaan si penulis, yang hasil akhirnya diekspresikan lewat karya.
Lebih jauh dapat saya pahami, bahwa sastra sejatinya berpangkal pada kesadaran penulis untuk menentang paham/ aliran sebelumnya. Perlawanan mendobrak aliran lama itu diwujudkan dalam bentuk ciptaan baru yang berbeda dari yang pernah ada. Mungkin ini yang ia maksud. Ia hadir sebagai genre terbaru. "Pemimpi"!.
Namun, pemimpi tak pernah ada dalam kamus genre sastra. Maklum, sebelumnya sastrawan hanya mengidentifikasi karya dalam beberapa genre utama, seperti impresionisme dan romantisme. Genre yang berdiri sendiri hingga sekarang.
Lalu dimana "Pemimpi" itu berada? Menurut saya, karyanya merupakan perpaduan "impresionisme", yang menekankan kesan sepintas tentang suatu peristiwa, dimana hanya mengambil hal penting saja. Kemudian dirangkai dengan "romantisme", paham yang selalu melukiskan sesuatunya secara sentimentil penuh perasaan.
Keberhasilannya, secara tidak langsung memproklamirkan diri sebagai genre terakhir. Genrenya para pemimpi. Genre yang membuat setiap pembaca masuk lebih dalam. Terlalu dalam sehingga takkan mampu melawan haru.
***
Sementara saya, jauh berbeda dengan penulis itu. Ibarat langit dan Bumi. Saya tidak mampu menulis dalam keadaan bermimpi. Atau menulis sembari memimpikan semua hadir dalam kompleksitas yang begitu nyata. Saya jauh dari itu.
Saya hanya penulis biasa yang melukiskan keadaan/peristiwa sesuai dengan kenyataan apa adanya. Seorang penulis yang tidak menambah ataupun mengurangi sebuah bobot dari suatu peristiwa yang dilihat secara nyata. Saya hanya menguraikannya, sebaik mungkin, semampu yang saya bisa.
Jika menempatkan diri pada genre yang ada, aliran saya adalah "Realisme". Aliran yang mengutamakan realitas kehidupan. Sebuah genre yang berseberangan dengan sastra imajis, sastra dari golongan para pemimpi.
Selain itu, sastra realis juga berbeda dengan pola penulisan surat kabar yang mengedepankan bahasa lugas menyikapi sebuah peristiwa, karena ia tidak semata-mata realistik. Sebagai karya sastra, ia pun dihidupkan oleh pijar imajinasi dan elastisitas bahasa yang memikat.
Dulunya, Realisme muncul sebagai bentuk kesadaran untuk bergerak ke arah perubahan. Di Eropa abad ke-19, misalnya, realisme dalam sastra hidup bersama perkembangan teknologi optik, utamanya kamera. Teknologi itu memperkuat keyakinan bahwa realitas dapat ditangkap dan dihadirkan kembali (baca: direpresentasikan) sebagaimana adanya, tanpa tendensi dan angan-angan.
Lalu, di Perancis, Emil Zola, seorang pionir realisme dalam sastra, kerap membawa kamera ke mana-mana, hanya tuk pastikan, bahwa realitas yang ia gagas dan hadirkan, telah bersih dari ilusi dan misteri.
Sementara itu, realisme klasik dalam catatan George Lukcs, muncul menjadi atmosfer yang membuyarkan paham mistisisme, yang pernah mengelilingi fenomena sastra dengan warna dan kehangatan puitik semu.
Masih di abad ke-19, Lukcs menekankan ide pada diterimanya filsafat Marxis. Filsafat yang hadir menganalisis manusia secara keseluruhan, dan menggambarkan sejarah evolusi juga secara keseluruhan. Dengan cara itu, marxisme menjadi jembatan ke arah sastra klasik dan memunculkan sastra klasik baru, seperti: Dante, Shakespeare, Goethe, Balzac, atau Tolstoy.
Belakangan, realisme tak berhenti sampai disitu. Dalam sejarah sastra, realisme turut serta sebagai penolakan terhadap sesuatu yang dianggap menjadi dusta sosial. Contohnya, di awal masa Revolusi, realisme hidup untuk menentang seni jaman kolonial yang hanya memaparkan alam “Mooi Indie” (baca: Hindia Belanda yang molek). Saat itu, realisme menemukan bentuknya dalam wujud protes. Protes akan kondisi yang membelenggu.
Oleh sebab itu, tak heran jika Gustave Courbet, pelukis kampung dari Ornans, sebuah daerah pertanian di Timur Perancis menyebut, hakekat realisme adalah menghadirkan sesuatu secara ideal. Tentu saja, karena acapkali sesuatu yang ideal, ditentukan oleh penguasa.
Dan saya, ntah mengapa, memang lebih condong dengan ide realisme!
-End-
No comments:
Post a Comment