Thursday, April 19, 2007
"TsUnAMi KeDuA bAgI AcEh yAnG TeRkOyAk"
Rekonstruksi Aceh pasca Tsunami membuat kebutuhan kayu, -baik dalam bentuk olahan maupun gelondongan- menjadi sangat besar. Permintaan jumlah kayu sebanyak itu (baca; peruntukannya lebih banyak untuk perumahan) ternyata telah menimbulkan bencana baru, yang mungkin lebih besar ketimbang Tsunami sebelumnya.
Sejak Tsunami melanda Aceh dan Nias beberapa tahun silam, kebutuhan akan sumber daya alam, khususnya kayu hutan berlipat ganda. Tak terhitung berapa juta meter kubik kayu yang sudah masuk ke daerah ini, guna pembangunan berupa fasilitas umum maupun rumah-rumah penduduk.
Kebutuhan kayu sebanyak itu telah membuka peluang bagi terjadinya penebangan liar, -yang dalam bahasa populernya disebut: illegal logging-. Itu sebabnya, banyak kalangan baik dari akademisi dan Non Government Organizations (NGO), lokal maupun internasional, yang peduli terhadap kelestarian alam, khususnya hutan, khawatir kebutuhan kayu sebesar itu akan mendrorong orang/ pihak yang tak bertanggungjawab untuk melakukan penggundulan hutan.
Isu penebangan liar mulai mendapat perhatian politik dan media dari seluruh dunia dalam skala yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Sejumlah negara secara resmi mengumumkan dan menandatangani deklarasi “Forest Low and Governance (FLAG)” untuk menangani masalah ini. Di saat yang sama banyak pihak mulai membangkitkan kesadaran masyarakat akan biaya yang harus ditanggung masyarakat lokal dan ekosistem hutan yang hancur jika pencurian kayu secara sistematis terus berlanjut.
Sebagai ilustrasi, untuk membangun 120.000 unit rumah sederhana bagi korban Tsunami, dibutuhkan kayu sebanyak 8 sampai 10 juta kubik. Hal ini sangat kontradiktif dengan hasil hutan nasional yang hanya 5 juta kubik kayu. Jelas ini tak mungkin, karena hasil hutan tersebut harus harus dibagi untuk kebutuhan kayu di seluruh Indonesia. Andai saja, hasil kayu nasional tersebut digunakan untuk membangun rumah sederhana bagi korban Tsunami. Diperlukan minimal dua tahun dalam pengadaannya.
Bagi pemerintah daerah, pemenuhan kayu sebanyak itu bukanlah perkara mudah. Kesulitan finansial berupa anggaran yang terbatas disertai pembenahan di segala bidang menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat. Untuk itulah bantuan dari negara-negara donor yang tersentuh dengan penderitaan para korban Tsunami -yang sebagian besar pesimis dengan masa depannya-, menjadi oase yang menyejukkan.
Bantuan negara donor dalam penanganan bencana pasca Tsunami, khususnya perumahan, sedikit banyak telah memberi jawab. Mereka yang dulunya larut dalam kesedihan, akibat kehilangan harta dan nyawa, kini mulai bangkit menapak hidup yang penuh harap. Banyak desakan agar mereka (baca: negara donor) membantu korban dalam pengadaan kayu untuk perumahan disamping bantuan lain. Akan tetapi pihak NGO (baca; WALHI, WWF dan FFI) mengkhawatirkan penggunaan kayu dalam jumlah besar akan berakibat pada deforestasi (penggundulan hutan), mengingat sekarang ini jumlah tutupan hutan di Indonesia berkurang hingga 2 juta ha/tahunnya. Karena itu para NGO tersebut mengkampanyekan pelarangan penggunaan kayu ilegal dengan anjuran; bagi mereka (baca: investor) yang menggunaan kayu ilegal dalam pembangunan rumah, akan mengakibatkan penghentian bantuan dari negara donor. Walau tak secara drastis merubah paradigma masyarakat untuk meninggalkan kayu ilegal, anjuran tersebut di rasa manjur untuk mengurangi penggunaan kayu ilegal.
Semakin Mengkhawatirkan
Indonesia yang memiliki 10 persen hutan hujan tropis di dunia yang tersisa, mempunyai sejarah kerusakan hutan yang sangat cepat. Kegiatan penebangan liar yang anarkis telah memacu laju penyusutan hutan (deforestasi) yang tiada duanya di dunia. Jika dianalogikan; dalam setiap tahunnya, kurang lebih areal hutan seluas negara Swiss akan musnah.
Aneka kerugian, berupa; biaya sosial, finansial dan lingkungan yang di timbulkan oleh penebangan liar ternyata cukup besar. Illegal logging telah mengakibatkan negara penghasil kayu kehilangan pendapatan sedikitnya sebesar US$ 15 milyar per tahunnya dan hilangnya hutan dapat mempengaruhi sumber penghidupan lebih dari satu milyar penduduk di negara berkembang yang hidup dalam kemiskinan parah. Hilangnya hutan juga di diikuti oleh maraknya kebakaran, tanah longsor dan banjir yang mengambil nyawa ribuan orang. Penebangan liar pun ikut mengancam eksistensi banyak species yang terancam punah.
Data di lapangan menunjukkan, bahwa dari semua ijin yang diberikan pemerintah kepada perusahaan yang menggunakan kayu sebagai kegiatan produksinya, hanya IPHHK (Ijin Pengelolaan Hasil hutan Kayu) yang menampakkan perubahan drastis. IPHHK sebelum Tsunami ada 31 unit usaha. Namun anehnya, setelah Tsunami, ijin usaha ini terus bertambah menjadi 47 IPHHK di seluruh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Dari 47 pemegang IPHHK tersebut, tercatat 17 diantaranya berakhir masa berlakunya pada tahun 2005 silam. Sedangkan 10 IPHHK berlokasi di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kawasan yang di tetapkan sebagai paru-paru dunia yang kini tengah terancam keberadaannya.
Meski masuk ke Kawasan Ekosistem Leuser sangat ketat dan kawasannya tidak diijinkan untuk dirambah apalagi diambil hasil kayunya. Pada prakteknya, sejak jaman Orde Baru pembabatan taman nasional tersebut sulit dihentikan. Penyebabnya tidak lain, karena kayu sebagai hasil hutan merupakan komoditi yang menjanjikan untuk menghasilkan uang dalam jumlah besar dan dalam waktu relatif singkat.
Di tengah lebatnya hutan hujan tropis di Kawasan Ekosistem Leuser, merbau (Intsia spp) merupakan jenis kayu yang paling banyak di incar para penebang liar. Pohon ini sendiri tumbuh di hutan hujan tropis dataran rendah di propinsi Papua dan sebagian Sumatera.
Menurut the World Conservation Union (WCN), merbau di golongkan sebagai spesies yang rentan terancam kepunahan (vulnerable). Sementara the World Conservation Monitoring Centre (WCMC) menggolongkan kayu merbau Indonesia sebagai spesies yang terancam (threatned). Kepedulian terhadap eksploitasi merbau yang melampaui batas telah mendorong usaha untuk mencantumkannya dalam Appendix II Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) pada tahun 1992.
Kayu ini menjadi begitu berharga dan diminati, karena kekuatan dan daya tahannya. Kayu berharga ini sering digunakan untuk pembangunan jalan dan jembatan, membangun rumah, lantai, perabotan luar ruangan, decking, balok dan lemari. Di pasaran, harga kayu ini pun cukup mahal antara US$ 200 untuk kayu bulat dan US$ 450 – 600 untuk kayu olahan. Sebuah harga yang cukup menggiurkan tentunya.
Sejak pemerintah Indonesia mengeluarkan larangan ekspor kayu bulat pada tahun 2001. Ekspor resmi kayu bulat merbau telah menurun, namun pembalakan liar dan penyeludupan masih terus berlangsung dalam skala besar, dimana kini volumenya mencapai 300.000 m kubik per bulan. Lagi-lagi besaran yang sangat mengkhawatirkan.
Berdasarkan hasil investigasi WALHI Aceh, ditemukan banyaknya truk pengangkut kayu (baca; diantaranya Merbau) yang keluar dari Aceh Tenggara, yang notabene mempunyai kawasan hutan cukup luas. “Sedikitnya setiap hari ada 20 truk pengangkut kayu keluar dari kawasan hutan di daerah tersebut,” ungkap Nurul Ichsan, Divisi Advokasi WALHI Aceh dalam sebuah seminar di Aceh beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data di Dishut Aceh Tenggara, diketahui bahwa luas kawasan hutan di Aceh Tenggara sebesar 423.286 Ha terbagi atas; 276.000 Ha untuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), 55.000 Ha untuk Hutan Lindung (HL), 47.125 Ha Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan 30.000 Ha Hutan Konservasi (HK) serta ditambah dengan Area Pegunungan Lain (APL) seluas 15.061 Ha
Dari data tersebut disebutkan pula, bahwa pasca Tsunami, sekitar 1.886,07 m kubik kayu dibawa keluar dari Aceh Tenggara dengan tujuan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dan sebagian lainnya ke Sumatera Utara (Tanjung Balai) untuk tujuan ekspor.
Sebagai gambaran, pada Januari 2005, diketahui rincian kayu yang keluar, nihil, sehubungan dengan status Aceh dalam darurat sipil sebagai upaya untuk memutus rantai dengan pihak GAM. Kemudian pada bulan Februari, jumlah kayu yang berhasil dibawa keluar sebanyak 196.15 m3. Dilanjutkan pada bulan Maret; 507,62 m3, April; 311,05 m3, Mei; 449,58 m3, dan Juni sebanyak 421,67 m3 dengan pemegang SKSHH sebanyak 12 perusahaan, dimana sebagian perusahaan tersebut tidak aktif.
Sedangkan bagi masyarakat lokal yang terlibat illegal logging, kegiatan menebang pohon merupakan pekerjaan terakhir, akibat tidak adanya pekerjaan lain. Bagi Nasrudin (50) misalnya. Pria usia lanjut, warga desa Kuta Ujung. Kec. Darul Hasanah, Kab. Aceh Tenggara, akhirnya harus menjual kayu gelondongan karena tak punya pekerjaan tetap.
Dari hasil usaha ke tengah hutan selama ini, Nasrudin hanya mendapat imbalan dari ‘touke’ (agen/ pengumpul) sebesar Rp. 25.000 hingga Rp. 30.000 per hari. Hasil ini yang dia pakai untuk mencukupi keluarganya. Bahkan untuk menambah kekuranggan, dia terpaksa berkebun tanaman muda di lahan milik orang lain.
Nasrudin berharap agar pemerintah dan LSM, Pers dan yayasan yang peduli terhadap lingkungan dapat memberdayakan masyarakat. Pasalnya, jika tidak ada bantuan, baik untuk usaha pertanian, perikanan serta perkebunan, dapat dipastikan masyarakat akan menebang pohon di hutan. Karena kegiatan ini merupakan cara tercepat untuk menghasilkan uang.
Kasus penebangan liar pasca Tsunami tidak hanya terjadi di Aceh Tenggara saja. Sebuah lembaga internasional; Flora Fauna International (FFI) untuk Asia Fasifik juga membeberkan kasus penebangan liar di Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Kabupaten Pidie dengan kerusakan kawasah hutan mencapai kurang lebih 4.000 hektar.
Penebangan liar di Aceh Barat semakin marak di kawasan hutan Kecamatan Arongan Lambalek. Meski kawasan itu dekat dengan lalu lintas yang ramai, perambahan terus berlangsung. Pembabatan seakan telah menjadi menu harian yang tak perlu ditakuti. Pasalnya, banyak pihak yang bermain dengan masyarakat sebagai penonton.
Saat ditanya, mengapa akttivitas penggundulan hutan semakin meningkat akhir-akhir ini? Dengan mudah dapat dijawab, karena permintaan hasil hutan berupa kayu semakin besar. Hal ini juga dibenarkan oleh WWF Aceh. Mereka berpendapat, tingginya angka kebutuhan kayu dalam proses rekontruksi Aceh turut memicu munculnya penebangan liar. Umumnya, penebangan liar ini dilakukan oleh pemilik modal yang dibekingi oleh oknum aparat tertentu, dengan spekulasi kayu-kayu tersebut bisa dijual bagi masyarakat yang membutuhkan rumah.
Padahal kegiatan tersebut tidak mudah. Sebagai contoh adalah kasus LSM yang membangun 900 unit rumah bagi korban Tsunami. Setelah membangun 70 unit, diketahui bahan rumah tersebut menggunakan kayu hasil penebangan liar. Akhirnya sebuah lembaga donor dari Austria dan Jerman menghentikan aliran dananya.
Menanggapi maraknya perambahan hutan, Kepala Dinas Kehutanan Propinsi NAD, Ir. Mustafa Hasybullah mengatakan, bahwa ini merupakan dari tidak difungsikannya Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Akibatnya, perambahan hutan tak terkontrol. “Dengan memanfaatkan HPH kembali, penebangan liar di Aceh dapat di tekan.” ungkapnya.
Menurut Mustafa, maraknya illegal logging lebih dikarenakan moratorium kayu tahun 2001 lalu. Akibatnya, kebutuhan kayu tidak terpenuhi dan melahirkan pelaku perambahan hutan. “Dengan adanya HPH yang jelas, kami bisa menuntut pertanggungjawaban mereka kalau terjadi penebangan liar. Kalau sekarang, kami mau minta pertanggungjawaban siapa?” kilahnya.
Solusi Penting
Tak diragukan lagi bahwa penebangan liar telah menjadi isu yang paling mendesak yang di hadapi dunia dewasa ini. Tak urung negara-negara maju yang tergabung dalam G8 sepakat untuk meminimalisir kegiatan penebangan dan perdagangan kayu ilegal di dunia sejak tahun 1998 lalu. Namun sejauh ini, upaya tersebut nyaris tidak berdampak terhadap kelestarian hutan dan perdagangan kayu liar. Sampai detik ini penebangan masih berlanjut.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana banjir bandang melanda Aceh Tenggara pada Oktober 2005 lalu, tempat Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) berada. Peristiwa yang menewaskan 14 warga sipil dan 1 orang Brimob di Desa Lawe Mengkudu, Desa Lak Lak, Jongar, Aunan dan Lawe Beringin, Kec. Badar. Bukan hanya nyawa yang melayang, ratusan rumah dan prasarana lainnya ikut terseret arus. Bencana tersebut di duga akibat penebangan liar yang dilakukan oknum tak bertanggungjawab, selama 20 tahun silam hingga sekarang, tanpa melakukan peremajaan.
Terlepas dari apa yang terjadi, selayaknya Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terhampar dai Aceh sampai Sumatera Utara, dengan hutan seluas 2,7 juta Ha harus di jaga dan dilestarikan. Masyarakat Aceh menilai telah terjadi ketidakseriusan penanganan dalam hal pengelolaan hutan sebagai penopang kehidupan.
Apapun alasannya, tidak dibenarkan untuk mengambil kayu dari Kawasan Ekosistem Leuser. Kini saatnya kita mengurangi penggunaan kayu, khususnya yang ilegal sebagai bahan material bangunan, mengingat jumlahnya yang kian terbatas. Untuk itulah rangkaian solusi cedas diperlukan untuk menjamin langkah-langkah pencegahan dapat terlaksana, sehingga pihak-pihak tak bertanggungjawab tidak bertindak semakin jauh. Adapun solusi tersebut, diantaranya:
Pertama; pemerintah perlu membangun dan meningkatkan kesadaran di tingkat masyarakat akan pentingnya pengelolaan SDA yang berkesinambungan. Sehingga dengan pelibatan masyarakat lokal secara aktif, akan membuat mereka berada di garda terdepan untuk mendukung upaya pelestarian lingkungan.
Cara ini dianggap efektif dan efisien untuk mengatasi kerusakan, karena hutan masih dianggap memiliki unsur magis dan sebagai warisan leluhur yang harus dilestarikan dari para cukong kayu yang mempunyai modal besar.
Kedua; pemerintah harus menindak tegas para pelaku pencurian kayu secara ilegal (Illegal logging). Ada anggapan, selama ini para cukong tidak bisa disentuh hukum, sehingga kondisi ini tidak hanya membuka peluang untuk terjadinya perambahan, tetapi juga merusak tatanan hukum di Indonesia.
Ketiga; pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Dengan cara ini diharapkan, masyarakat sekitar hutan tidak akan menggantungkan hidupnya dengan merusak hutan, tetapi turut dalam pelestariannya. Mereka akan beralih ke profesi lain sesuai dengan program ataupun rencana yang akan diarahkan oleh pemerintah. Karena selain kayu, masih banyak hasil hutan non kayu yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Keempat; perlunya arus informasi yang bisa diakses oleh masyarakat terpencil sekalipun, lewat pemberitaan media yang berimbang. Hal ini menjadi penting agar sebuah peristiwa ataupun hasil dan perkembangan pembangunan yang telah dicanangkan bisa diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kelima; perlunya pembangunan yang berkelanjutan (sustanaible development), yakni suatu pembangunan yang pemanfaatan sumberdaya alamnya, arah investasinya, orientasi pengembangan teknologinya dan perubahan kelembagaannya dilakukan secara harmonis dan dengan amat memperhatikan potensi pada saat ini dan di masa depan dalam pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat
Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan bisa diwujudkan melalui keterkaitan yang tepat antara alam, kondisi sosial, kondisi ekonomi dan budaya. Pemanfaatan sumberdaya alam untuk mendukung kegiatan manusia ada batasnya, meskipun teknologi yang dikuasai telah menjadikan batas-batas tadi relatif sifatnya. Pembangunan berkesinambungan bukanlah suatu situasi harmoni yang tetap dan statis, melainkan merupakan suatu proses perubahan eksploitasi sumberdaya alam, arah investasi, orientasi perkembangan teknologi dan pengembangan kelembagaan konsisten dengan pemenuhan saat ini dan di masa depan.
Keenam; terealisasinya Protokol Kyoto Jepang tahun 2004. Jika perjanjian Kyoto tersebut melibatkan puluhan bahkan ratusan negara, maka akan memberikan kompensasi yang cukup berarti terhadap masyarakat di Kawasan Ekosistem Leuser.
Seandainya perjanjian tersebut menjadi kenyataan, maka setiap negara yang ikut dan tergabung dalam traktat tersebut akan menjadi negara donor terhadap pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser. Dalam perjanjian tersebut dikatakan; kayu-kayu yang berasal dari Kawasan Ekosistem Leuser tidak boleh ditebang sembarangan.
Ternyata, dari semua keberadaannya kini, kenyataan yang paling memilukan adalah penebangan kayu jutaan kubik di kawasan paru-paru dunia (baca: Ekosistem Leuser) masih berlangsung. Dengan dalih, demi rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh pasca Tsunami, kerusakannya semakin mengkhawatirkan. Ketika tak ada yang tersisa, kita hanya bisa pasrah menunggu bencana besar (baca: Tsunami) kedua datang lagi. Semoga saja tidak!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment