May Day menjadi satu-satunya festival yang paling sektarian. Banyak kisah dramatik yang mengikuti perkembangannya. Bendera aneka warna; hijau, merah dan hitam berkibar sejak lama dalam tiap kali perayaan May Day. Tapi satu hal yang pasti, May Day telah menjadi semacam situasi; antara perayaan dan hagemoni, antara hasrat terpendam dan politik terorganisir, antara kenangan atas kematian tragis dan lahirnya harapan akan sebuah masa depan yang lebih baik.
Hari Buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei dikenal dengan sebutan May Day. Hari Peringatan ini lahir dari gerakan kaum buruh untuk merayakan keberhasilan ekonomi dan sosial para buruh. Di banyak negara di dunia, hari tersebut ditetapkan sebagai libur nasional.
May Day lahir dari catatan kelam kelas pekerja saat memperjuangkan hak-hak ekonomi-politis mereka. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 membawa perubahan drastis, terutama di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Ketatnya disiplin dan waktu jam kerja yang lebih, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di banyak pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.
Cukilan Sejarah
Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi di tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers. Pemogokan ini membawa para aktivisnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat.
Pada masa itu, ada dua nama yang dianggap berhasil menyumbangkan gagasan untuk menghormati para pekerja. Mereka adalah Peter McGuire dan Matthew Maguire, pekerja mesin dari Paterson, New Jersey. Pada tahun 1872, McGuire dan Maguire beserta 100.000 pekerja melakukan aksi mogok, menuntut mengurangan jam kerja. McGuire lalu melanjutkannya dengan melobi pemerintah kota untuk menyediakan pekerjaan dan uang lembur.
Selanjutnya di tahun 1881, McGuire pindah ke St. Louis, Missouri untuk mengorganisasi para tukang kayu. Akhirnya didirikanlah sebuah persatuan tukang kayu di Chicago, dengan nama "United Brotherhood of Carpenters and Joiners of America". Akhirnya ide mengorganisasikan pekerja menurut bidang keahlian merebak ke seluruh negara. McGuire dan para pekerja di kota-kota lain merencanakan hari libur untuk para pekerja di setiap Senin Pertama Bulan September di antara Hari Kemerdekaan dan hari Pengucapan Syukur.
Pada tanggal 5 September 1882, parade Hari Buruh pertama diadakan di kota New York dengan peserta 20.000 orang yang membawa spanduk bertulisan 8 jam kerja, 8 jam istirahat, 8 jam rekreasi. Maguire dan McGuire memainkan peran penting dalam menyelenggarakan parade ini. Dalam tahun-tahun berikutnya, gagasan ini menyebar dan semua negara bagian merayakannya.
Pada April 1886, ratusan ribu pekerja di AS bergabung dengan organisasi pekerja Knights of Labour untuk menghentikan dominasi kelas borjuis. Perjuangan kelas tersebut menemukan momentumnya di Chicago, salah satu pusat pengorganisiran serikat-serikat pekerja AS yang cukup besar. Gerakan serikat pekerja di kota ini sangat dipengaruhi ide-ide International Workingsmen Association. Gerakan tersebut telah melakukan tekanan dan propaganda tanpa henti sebelum Mei untuk merealisasikan tuntutan "Delapan Jam Sehari".
Menjelang 1 Mei, sekitar 50.000 pekerja telah melakukan pemogokan. Sekitar 30.000 pekerja bergabung dengan mereka di kemudian hari. Para pekerja turun ke jalan bersama anak dan istri untuk meneriakkan tuntutan 'Delapan Jam Sehari'. Pemogokan ini membawa aktifitas industri di Chicago lumpuh dan kaum kapitalis panik.
Pada tanggal 1 Mei 1886 (Kemudian dikenal sebagai May Day), saat itu sebanyak 350.000 orang buruh yang diorganisir oleh Federasi Buruh Amerika melakukan pemogokan di banyak tempat di Amerika Serikat.
Dua hari kemudian, 3 Mei, pemerintah mengutus sejumlah polisi untuk meredam pemogokan pekerja di pabrik McCormick. Dengan membabi-buta polisi menembaki demonstran yang berhamburan. Pada kejadian itu terdapat 4 orang tewas dan banyak yang luka-luka. Ini menimbulkan amarah di kalangan kaum buruh, sebagian menganjurkan supaya mereka membalas dengan mempersenjatai diri.
Sejumlah kaum sosialis yang dipimpin Albert Parsons dan August Spies, juga merupakan anggota aktif Knights of Labour, menyerukan kepada kelas pekerja agar angkat senjata dan berpartisipasi di dalam aksi keesokan harinya.
Tragedi Haymarket
Pertemuan di hari berikut, 4 Mei 1886, berlokasi di bunderan lapangan Haymarket, para buruh kembali menggelar aksi mogoknya dengan skala yang lebih besar, aksi ini ditujukan sebagai bentuk protes tindakan represif polisi terhadap buruh. Semula aksi berjalan damai.
Karena cuaca buruk banyak partisipan membubarkan diri dan kerumunan tersisa sekitar ratusan orang. Pada saat itulah, 180 polisi datang untuk membubarkan aksi. Ketika pembicara terakhir hendak turun mimbar, menuruti peringatan polisi tersebut, sebuah bom meledak di barisan polisi. Satu orang terbunuh dan melukai 70 orang diantaranya. Polisi menyikapi ledakan bom tersebut dengan menembaki kerumunan pekerja yang berkumpul, sehingga 200 orang terluka, dan banyak yang tewas.
Meskipun tidak jelas siapa yang pelakunya, media massa dan politisi borjuis melemparkan tuduhan bahwa ledakan tersebut merupakan ulah kaum sosialis. Mereka menyerukan balas dendam yang pantas kepada kaum radikal. Setiap tempat pertemuan, sekretariat serikat pekerja, tempat cetak, serta rumah pribadi para aktifis diserang polisi. Setiap tokoh sosialis ditangkap. Bahkan individu-individu yang sama sekali tidak memahami apa itu sosialisme ditahan dan disiksa. Julius Grinnell, Jaksa Penuntut Umum kota tersebut, meminta kepolisian melakukan penyergapan terhadap aktivis buruh tanpa mempertimbangkan pelanggaran hukumnya. Delapan dari tokoh anarkis yang aktif di Chicago, dituntut dengan tuduhan pembunuhan terencana. Mereka adalah August Spies, Albert Parsons, Adolph Fischer, George Engel, Fielden, Michael Schwab, Louis Lingg dan Oscar Neebe.
Pengadilan spektakuler kedelapan anarkis tersebut menjadi sejarah kelam peradilan AS. Pada 21 Juni 1886, tanpa bukti-bukti kuat yang dapat mengasosiasikan kedelapan anarkis dengan insiden tersebut (dari kedelapan orang, hanya satu yang hadir. Dan Ia berada di mimbar pembicara ketika insiden terjadi), pengadilan menjatuhi hukuman mati kepada para tertuduh. Pada 11 November 1887, Albert Parsons, August Spies, Adolf Fischer, dan George Engel dihukum gantung. Louise Lingg menggantung dirinya di penjara.
Sekitar 250.000 orang berkerumun mengiringi prosesi pemakaman Albert Parsons sambil mengekspresikan kekecewaan terhadap praktik gelap pengadilan AS. Kampanye-kampanye untuk membebaskan mereka yang masih berada di dalam tahanan, terus berlangsung. Pada Juni 1893, Gubernur Altgeld, membebaskan sisa tahanan peristiwa Haymarket, mengeluarkan pernyataan bahwa, "mereka yang telah dibebaskan, bukanlah karena mereka telah diampuni, melainkan karena mereka sama sekali tidak bersalah." Ia meneruskan klaim bahwa mereka yang telah dihukum gantung dan yang sekarang dibebaskan adalah korban dari hakim dan para juri yang disuap. Tindakan ini mengakhiri karir politik mereka.
Kemudian pada tahun 1887, Oregon jadi negara bagian pertama yang menjadikan 1 Mei sebagai hari libur umum. Pada 1894. Presiden Grover Cleveland menandatangani sebuah undang-undang yang menjadikan minggu pertama bulan September hari libur umum resmi nasional.
Kongres Internasional Pertama diselenggarakan pada September 1866 di Jenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja dari seluruh dunia. Kongres pun mengajukan tuntutan agar jam kerja menjadi delapan jam sehari. Sebagaimana batasan ini mewakili kelas pekerja Amerika Serikat, maka kongres merubah tuntutan ini menjadi landasan umum kelas pekerja seluruh dunia.
Akhirnya, 1 Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada Konggres 1886 oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk; memenuhi tuntutan delapan jam sehari dan memberi semangat baru bagi perjuangan kelas pekerja.
Tanggal 1 Mei pun dipilih karena terinspirasi oleh kesuksesan aksi buruh di Kanada 1872, menuntut delapan jam kerja dan mulai berlaku pada 1 Mei 1886. Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi: Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis).
Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka
Bagaimana Dengan Indonesia?
Mungkin banyak yang belum tahu, kuatnya genre kapitalisme memberi dampak yang cukup besar di Indonesia, terutama bagi kelas pekerja. Aksi-aksi perjuangan kelas ini timbul dari tidak manusiawinya sistem yang berlaku. Tercatat aksi protes berupa pemogokan buruh di Indonesia memiliki sejarah panjang.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, pada tahun 1918, petani tebu dan buruh pabrik gula sudah berani menolak menanam dan menebang tebu, kemudian diikuti pemogokan di pabrik-pabrik gula di Yogyakarta, Surakarta, dan Mojokerto. Pada musim giling tebu tahun 1920 gerakan pemogokan meluas di seluruh daerah industri gula di Jawa. Namun, gerakan buruh itu pada akhirnya dikotori oleh kepentingan partai politik yang menaunginya.
Sejarah juga mencatat, setelah masa kemerdekaan, partai-partai politik memiliki kepentingan dengan buruh, karena buruh merupakan kelompok yang paling mudah dimobilisasi. Setelah peristiwa G30S-PKI, istilah buruh amat lekat dengan ideologi komunis. Pada masa ORBA, setiap usaha untuk memperingatinya dianggap kegiatan subversif. Padahal pelebelan ini tidak pas, karena mayoritas negara-negara di dunia (baca: penganut paham non-komunis,), menetapkan 1 Mei sebagai Labour Day dan menjadikannya sebagai hari libur nasional.
Berbagai peristiwa menyangkut aktivitas buruh di tingkat internasional seperti gerakan buruh di Polandia ikut mewarnai pergerakan buruh di Indonesia. Pemerintahan Orde Baru yang represif sebenarnya menyuburkan gerakan-gerakan buruh, karena Serikat Pekerja (SPSI) yang didukung pemerintah ternyata tidak mampu mengakomodir kepentingan pekerja.
Pada era reformasi, buruh kembali diperebutkan oleh partai-partai politik. Ini terlihat dari beberapa serikat buruh yang memiliki afiliasi politik dengan partai-partai tertentu, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi. Sehingga ikatan di kalangan buruh sempat terpecah, berakibat pada tak adanya solidaritas.
Sebagai contoh, kita bisa merujuk kasus Ngadinah, buruh pabrik sepatu PT Panarub Tangerang, yang sempat "menginap" di LP Wanita Tangerang. Ngadinah yang dituduh menggerakkan teman-temannya mogok karena memperjuangkan hak-hak normatifnya, bergabung dengan Perkumpulan Buruh Pabrik Sepatu (Perbupas) yang bernaung di bawah Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI). Tak ada serikat buruh lain yang bersimpati terhadapnya.
Setelah era Orde Baru berakhir, walaupun bukan hari libur, setiap tanggal 1 Mei kembali marak dirayakan oleh buruh di Indonesia dengan demonstrasi di berbagai kota, seperti di Jakarta, Lampung, Makassar, Malang, Surabaya, Medan, Denpasar, Bandung, Semarang, Samarinda, Manado, dan Batam.
Ketakutan Tak Beralasan
Setiap kali perayaan May Day hadir, pertanyaannya masih tetap sama. Mengapa banyak pihak Phobia May Day? Ini berkaitan dengan serangkaian aksi-aksi serentak yang dilakukan kaum buruh di Indonesia. Kalau pada tahun lalu, penolakan lebih diamanatkan atas rencana pemerintah merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan yang dianggap tidak mendukung iklim-investasi, terutama penanaman modal asing. Tahun ini kalangan buruh akan mengambil tema; “upah layak”.
Kekhawatiran bahwa gerakan massa buruh yang dimobilisasi setiap tanggal 1 Mei membuahkan kerusuhan, ternyata tidak terbukti. Sejak peringatan May Day tahun 1999 hingga 2007 tidak ada tindakan destruktif yang dilakukan oleh gerakan massa buruh yang masuk kategori "membahayakan ketertiban umum". Yang terjadi malahan tindakan represif aparat keamanan terhadap kaum buruh, karena berpedoman pada paradigma lama yang menganggap peringatan May Day didalangi gerakan komunis.
Sudah rahasia umum, jika kebijakan ketenagakerjaan merupakan persyaratan yang diajukan oleh negara donor maupun lembaga keuangan dunia (baca: IMF dan World Bank) untuk mengucurkan utang yang jadi sumber pendanaan. Banyak tekanan yang menganjurkan Indonesia menerapkan kebijakan ketenagakerjaan yang berprinsip pada kelenturan pasar tenaga kerja (labour market flexibility).
Meluasnya aksi buruh yang memaksa pemerintah menunda revisi UU Ketenagakerjaan diperkirakan akan terus berlanjut, karena niat pemerintah untuk menyerahkan kajian revisi pada lima perguruan tinggi ternama di Indonesia hanyalah mengulur waktu. Apalagi, ditengarai hasil kajian tersebut tidaklah jauh menyimpang dari "anjuran" lembaga keuangan tersebut. Ketidakmampuan pemerintah merespons tuntutan kaum buruh ini yang sebenarnya makin membuat ketidakpastian ini. Dengan demikian, mengambinghitamkan kaum buruh sebagai sumber masalah dan mereduksi May Day-Phobia bukanlah cara yang bijak.
Dalam sejarahnya, UU yang dibuat untuk kaum buruh Indonesia memang dimaksudkan untuk melindungi mereka. Mengapa? Kaum buruh (yang hanya memiliki tenaga) berada dalam posisi yang rentan dibandingkan dengan kaum pengusaha (yang memiliki modal) dan penguasa (yang memiliki kekuasaan). Oleh karena itu, selain merevisi UU Ketenagakerjaan, upah yang layak masih menjadi impian kaum terpinggirkan ini.
Dalam perspektif HAM, revisi UU Ketenagakerjaan berpotensi terjadinya pelanggaran hak atas pekerjaan yang layak. Ini berlawanan dengan semangat Pemerintah yang telah meratifikasi dua Kovenan Pokok HAM, yaitu Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Indonesia juga merupakan sedikit dari negara-negara di Asia yang meratifikasi secara lengkap Konvensi-konvensi ILO tentang standar pokok perburuhan.
Seharusnya pada peringatan Hari Buruh Sedunia ini, pemerintah dan pengusaha tidak mempropaganda sentimen anti buruh dan memproduksi kebijakan-kebijakan anti buruh. Menyiagakan puluhan ribu aparat keamanan hanyalah pemborosan, karena buruh bukanlah penjahat yang harus ditakuti.
Pemerintah Indonesia akan dikenang kaum buruh sebagai pelindungnya apabila setiap tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Libur Nasional, membatalkan revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, memberlakukan standar upah layak, meratifikasi UN Convention 1990 on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and their Families, dan membatalkan seluruh kebijakan yang berpotensi pelanggaran hak-hak buruh.
-end-