Satu setengah abad berlalu, berita awalnya hadir dalam bentuk lagu dan cerita, berlanjut menjadi balada-balada yang disenandungkan pengamen keliling.
Apa yang kita anggap sebagai jurnalisme modern baru muncul pada abad ke-17 dan betul-betul hadir dari perbincangan, terutama di tempat publik seperti kafe di Inggris, kemudian berkembang ke tempat lain, seperti; pub ‘kedai minum’ di Amerika.
Disini, pemilik bar menjadi tuan rumah yang mulai memperbincangkan tentang orang-orang yang datang dan pergi. Mereka sering mencatat apa yang mereka lihat maupun dengar dalam buku tamu yang di letakkan di pojok meja. Di Inggris, kafe-kafe ini memfokuskan diri pada jenis informasi spesifik. Surat kabar pertama muncul dari kafe-kafe ini sekitar tahun 1609, ketika percetakan mulai mengumpulkan berita perkapalan, gosip, dan argument politik dari kafe dan mencetaknya di atas kertas.
Dalam evolusi suratkabar pertama, politisi Inggris mulai membicarakan sebuah fenomena baru yang mereka sebut ‘opini publik’. Pada awal abad ke-18, seiring revolusi industri, wartawan/ penerbit mulai memformulasikan teori kebebasan berbicara dan mulainya pers bebas.
Pada tahun 1720, dua orang dari sebuah suratkabar London, yang menulis dengan nama samaran Cato memperkenalkan ide bahwa kebenaran harus bisa menjadi pertahanan melawan pencermaran nama baik. Pada waktu itu, hukum Inggris berbunyi sebaliknya: “bukan hanya tiap kritik terhadap pemerintah adalah sebuah tindak kejahatan, tapi juga ‘makin besar kebenaran, makin besar pula pencemaran nama baik yang ditimbulkannya’, mengingat kebenaran punya daya rusak yang lebih hebat.”
Argumen Cato berpengaruh besar di tanah koloni ‘Amerika’, saat perasaan tidak puas terhadap pemerintahan Inggris sedang berkembang. Seorang penerbit muda bernama Benyamin Franklin, menjadi orang pertama yang menerbitkan ulang tulisan Cato. Ketika seorang penerbit lain bernama John Peter Zenger diadili pada tahun 1735 karena mengkritik gubernur New York yang dianggap tak punya sikap menghadapi kerajaan Inggris.
Gagasan Cato menjadi dasar pembelaan diri. Menurutnya, rakyat memiliki sebuah hak untuk memaparkan dan melawan kekuasaan yang semena-mena, dengan berbicara dan menulis kebenaran. Akhirnya, dewan juri membebaskan Zenger dari tuduhan. Langkah ini mengguncangkan dasar hukum Amerika dan makna pers bebas di Amerika pun mulai menemukan bentuknya.
Konsep tersebut akhirnya mengakar dalam pemikiran para pendiri Amerika Serikat yang terus bergulir hingga menjiwai Deklarasi Hak-Hak Dasar Virginia yang sebagian ditulis oleh James Madison. Kemudian berkembang dalam Konstitusi Massacussetts yang ditulis oleh John Adams dan sebagian besar pernyataan lain tentang hak-hak dasar di tanah koloni. “Pemerintah seharusnya tidak boleh menyensor, tak seorang pun yang boleh dan pers pun akan bebas.”
Thomas Jeferrson menyampaikan hal ini kepada George Wasingthon. Baik Benjamin Franklin maupun Madison tak berpikir bahwa kata-kata tersebut akan dimasukkan ke dalam konstitusi federal. Namun dua delegasi, George Mason dari Virginia dan Elbridge Gerry dari Massachussetts keluar dari ruang konvensi. Dan orang-orang seperti Thomas Paine dan Samuel Adams, memanas-manasi publik untuk minta pernyataan hak-hak dasar tertulis sebagai sebuah prasyarat untuk menyetujui Konstitusi, maka pers bebas lantas menjadi klaim pertama publik atas pemerintah mereka.
200 tahun berselang, pengertian pers sebagai benteng kebebasan menyatu dalam doktrin hukum Amerika. ... berdasarkan Amandemen Pertama, demikian bunyi keputusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung guna mendukung hak New York Times untuk menerbitkan dokumen rahasia pemerintah, yang disebut Pentagon Papers pada tahun 1971. Para pendiri bangsa itu mengharuskan pers bebas dilindungi untuk memenuhi peran utamanya dalam demokrasi. Pers ada untuk melayani mereka yang di perintah, bukan mereka yang memerintah.
Pakar Amandemen Pertama Lee Bolingger, rektor University of Michigan mengatakan bahwa putusan pengadilan sebenarnya sederhana saja; dari keberagaman suara, orang-orang akan lebih bisa mengetahui kebenaran sehingga mampu mengatur hidup mereka sendiri.
Tahun 1800-an ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalisme (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk "pertempuran headline" antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas jurnalisme kuning adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan!
Jurnalisme kuning masih bisa bertahan, walau dorongan akan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi kian kuat.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, dan bersifat menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan membentuk organisasi profesi mereka. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
Di tangan pemegang yang handal dalam pers kuning pada peralihan abad XIX sebuah upaya membangun komunitas yang menyokong demokrasi tetap menjadi nilai inti. Pada kondisi terburuk mereka, Joseph Pulitzer dan William Randolph Hearst (baca: pelopor Koran kuning) masih bisa menggelitik dengan cita rasa sensasional maupun dorongan patriotik audiens mereka. Pulitzer menggunakan halaman depannya untuk memancing para pembacanya, sementara halaman isi mengajarkan bagaimana menjadi warga Amerika yang sebenarnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Tokoh pers nasional, Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya PWI di Arena Masa (1998) menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono (1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi harian, sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali mendirikan penerbitan yang dimodali pemodal nasional dan pemimpinnya orang Indonesia.
Dalam perkembangannya, pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan kemerdekaan bangsa. Salah satu fasilitas yang pertama kali direbut pada masa awal kemerdekaan adalah fasilitas percetakan milik perusahaan koran Jepang seperti Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar Baroe (Semarang).
Kondisi pers Indonesia semakin menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran untuk propaganda kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), dan The Voice of Free Indonesia.
Seperti juga di belahan dunia lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan. Tercatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada akhir 1940-an. Beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh, dan Suara Ibu Kota dibredel pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api Rakjat yang menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun ikut-ikutan memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak mengkritik tentara.
Selanjutnya dalam perkembangannya pada rejim OrLa dan OrBa tercatat 237 penerbitan pers yang di bredel, karena dinilai bertentangan dengan kepentingan nasional. Beberapa media besar seperti Tempo, Detik, Monitor, Ekspres, Sinar Harapan sempat di cabut ijinnya. Tak berhenti sampai disitu, beberapa wartawan senior pun sempat dipenjara, diantaranya Mochtar Lubis (9 tahun)
Jurnalisme kuning pun sempat mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka sejumlah koran dan majalah baru. Namun anehnya, jurnalisme kuning seakan belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional yang kadang tak disertai verifikasi, seperti: Lampu Merah, Nonstop, dll.
Bila kita melihat 300 tahun ke belakang, bahkan 3000 tahun lalu, mustahil rasanya memisahkan berita dari komunitas. Dan lebih mustahil lagi memisahkannya dari komunitas yang demokratis. Semoga tak ada lagi pembredelan!
(dari berbagai sumber)