Selasa, Juli 25, 2006

"Saat Ketika Aku Mulai Berpikir...."

******
Saat membaca ulasan seorang teman di sebuah millis interen kantor tentang militansi kawan-kawan di lapangan terhadap profesi yang telah mereka pilih sebagai jalan hidup. Sungguh, tak dapat dipandang sebelah mata. Sebuah usaha untuk menyuguhkan yang terbaik sesuai dengan kemampuan yang ada, telah tertanam begitu lekat di jiwa-jiwa jurnalis tv, seperti kami.

Kisah peliputan yang dilakukan oleh daeng Andi dari Makassar, menjadi salah satu contoh nyata, perihal tanggungjawab profesi yang dianutnya. Dari ulasan teman tersebut, diberitakan bagaimana sang jurnalis tadi harus melakukan peliputan ke daerah yang sangat jauh letaknya dengan sumberdaya yang sangat terbatas. Pekatnya malam, seakan tak menjadi kendala, untuk menjadi yang pertama tiba di lokasi kejadian. Sebab setiap pemirsa selalu ingin tahu kejadian dari lokasi sebenarnya. Sementara tenggang deadline yang ada semakin menyiksa, memaksa dia harus segera mengirim gambar dan naskah ke jakarta. Sebuah pekerjaan yang harus dikerjakan dalam waktu yang nyaris bersamaan

Ibarat menyelam sambil minum air, itu yang sering kami lakukan. Tanpa pernah berpikir pamrih, kami harus bisa menyajikan sebuah peliputan yang komprehensif dan mendalam terhadap sebuah peristiwa. Tak pernah terbersit di benak kami, untuk mendapatkan sesuatu dari semua yang telah kami lakukan. Yang kami butuhkan hanya sebuah pengakuan. Pengakuan akan eksistensi profesi sebagai seorang jurnalis

Sudah menjadi pilihan, dimana kami harus mengorbankan banyak hal untuk profesi ini. Dalam sebuah diskusi ringan beberapa waktu lalu, kami mulai bercengkerama perihal semakin sedikitnya ruang kebebasan yang kami punya ketika memilih jalur ini.

Sewaktu pertama kali terjun di profesi ini, aku merasa semakin tak merdeka. Bukankah pekerjaan yang kita terima, harusnya menjadikan kita semakin merdeka? Ternyata yang kualami, tidak demikian. Aku yang dulunya punya kegemaran mendaki gunung, motret, nonton teater dan nongkrong, harus rela memendam keinginan itu dalam-dalam. Sebab semua telah tersita untuk sebuah kegiatan yang namannya "Liputan dan Liputan"

Dalam diskusi tersebut, akhirnya kita dapat menarik kesimpulan, bahwa di dunia pekerjaan ini, masih terjadi hukum "sebab-akibat". Sebuah hukum yang tidak mungkin berdiri sendiri tanpa yang lainnya. Atau dalam bahasa yang lebih keren, sering disebut dengan "konsekwensi". Ini akan terjadi saat kita memilih sesuatu. Sebuah konsekwensi dari pilihan yang telah kita buat. Tak beda ketika aku memilih jalur ini. Akhirnya, aku hanya bisa menghela nafas, semoga nantinya masih bisa menikmati semua kegemaranku itu.

Kembali kedunia pekerjaan. Rasanya setiap orang di tempatku bekerja melakukan tugas sesuai dengan jobdesknya. Para kameramen bertanggungjawab terhadap audio dan visual, para reporter bertanggungjawab terhadap naskah, para staff produksi bertanggungjawab terhadap on air dan staff RCD bertanggungjawab terhadap analisa share/rating dan peluang untuk bisa menumbangkan prgaram station lain. Tak ada seorangpun yang kelihatan membenci pekerjaannya. Sebab kalaupun ada, pasti dia takkan bertahan lebih dari satu semester di tempat ini

Cerita tentang idealisme rekan-rekan jurnalis tv di tempatku bekerja, bukan barang baru yang dapat ditawar-tawar. Setiap ada kejadian besar, baik konflik maupun bencana, semua kawan-kawan selalu berlomba untuk menjadi yang pertama bisa dilibatkan dalam peristiwa tersebut. "Nilai seorang jurnalis adalah ketika dia bisa menjadi yang pertama tiba di lokasi dan laporannya adalah yang pertama dari lokasi tersebut", begitu pendapat seorang jurnalis senior. Sehingga hampir setiap orang di tempatku bekerja selalu merindukan jika diutus ke tempat-tempat yang tingkat resikonya cukup besar.


Tapi, jika ditilik lebih dalam. Rasanya tidak adil jika perusahaan ini melalui para pemegang kebijakan selalu meminta hasil yang maksimum tanpa dibarengi kesejahteraan yang layak. Jika dibandingkan dengan rekan-rekan yang melakukan kegiatan sejenis di station lain, sepertinya kegiatan mereka lebih dihargai. Hal ini bisa dilihat dari "sallary"nya. Ini juga yang membuat banyak kawan berlomba-lomba keluar dari tempat ini, mencoba menggapai mimpinya di tempat lain.

Bicara gaji yang layak, aku jadi ingat kejadian dua bulan lalu. Sore itu, saat kita sibuk dengan komputer masing-masing, seorang teman mulai terlibat pembicaraan dengan seorang petinggi di kantor ini, perihal idealisme rekan-rekan di tempatku bekerja dengan minimnya sallary yang mereka terima. Dari perbincangan tersebut, dapat diambil kesimpulan, bahwa sang atasan merasa sekarang ini yang diperlukan adalah kerja keras dan proses belajar. Sedangkan menurut rekanku, yang tak mau kusebutkan namanya, merasa sudah bukan jamannya lagi kita masih berkutat dalam proses belajar. Belajar baginya adalah masa dua tahun lalu, masa dimana dia yang dulunya tidak mengetahui dunia jurnalist broadcast, sekarang telah menguasainya. Sedangkan kini, adalah masanya mencari uang

Aku juga sangat sepakat dengan temanku itu. Bukan karena semata-mata dia temanku, tapi lebih karena pendapatnya yang sangat rasional. Rasanya setiap orang punya masa untuk belajar dan punya masa untuk mencari uang. Bukankah sang atasan tersebut mengalami hal yang sama? Kalo tidak, dia pasti punya gaji yang sama denganku kini. Tapi kenyataannya tidak demikian. Dia malah punya sallary yang jumlahnya bisa 4-5 kali lipat bedanya dengan gajiku

Semoga kantor ini bisa melihat lebih jernih permasalahan yang dialami para jurnalis-jurnalisnya. Daeng Andi dan kami, merupakan contoh kaum jurnalis (idealis dan merdeka: red), yang butuh lebih dari sekedar pengakuan. Kami butuh penghargaan. Penghargaan akan hasil karya jurnalistik kami. Penghargaan yang diaktualisasikan dalam gaji bulanan yang disebut "Sallary". Sebab jangan pernah berhitung tenaga dengan semua yang telah kami korbankan. Juga, jangan pernah tanya seberapa besar loyalitas kami untuk kantor ini. Rasanya kami telah berikan yang terbaik, untuk station milik kita bersama ini

Aku hanya bisa berdoa, semoga perusahaan ini mengalami keuntungan yang luar biasa tahun depan, sehingga bonus dan gaji bisa berubah drastis. Kalo nggak berubah, kebangetan.

Salam!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN