Sunday, August 13, 2006

"sAAt SeJArAh aDa dI TaNgAn sAnG FoTOjURnALiS"

Siang itu, di tengah teriknya sang surya, seorang lelaki tua renta, berusia 72 tahun, terlihat sedih, saat menyusuri kembali tempat bersejarah itu. Tepatnya di jalan Hayam Wuruk. 30 - kota, sebuah bangunan yang punya nilai sejarah pernah berdiri kokoh. Dulunya, di tempat inilah dia dan para jurnalis foto legendaris lainnya, pernah berkumpul untuk menyetak dan menyebarluaskan foto hasil jebretan mereka ke berbagai media cetak di Indonesia bahkan mancanegara.

Saat menatap tempat itu, matanya mulai berkaca-kaca. Dia tak menyangka, kalo bangunan bersejarah tersebut, akhirnya harus rata dengan tanah. Kini, lokasi itu hanya menjadi lahan parkir, yang di sisi kanannya berdiri sebuah bangunan megah dengan nama “Bank Ganesha”. “Dulu, presiden Soekarno dan Soeharto pernah menjadikan tempat ini sebagai bangunan bersejarah. Tapi, ntah kenapa, tiba-tiba saja keluar surat yang menyatakan tempat ini telah beralih ke pihak lain. Kami sangat shock karenanya. Tapi kami gak bisa berbuat apa-apa.”, tuturnya lirih, seiring derai air mata yang turun membasahi pipi. Lelaki tua, yang tak tak lain adalah Piet Mendur -keponakan Frans Mendur, seorang fotografer legendaris yang mengabadikan peristiwa detik-detik proklamasi di tahun 1945-, menjadi genarasi terakhir yang masih mengalami semua peristiwa bersejarah itu.

Awalnya dia gabung di IPHHOS (Indonesia Press Photo Services; red), karena tertarik dengan keajaiban fotografi dan cerita-cerita petualangan sang paman. Berbekal pengetahuan fotografi seadanya, Piet mulai mengabadikan beberapa moment penting. Seiring kemampuan memotretnya yang semakin baik, dia pun tertarik untuk bergabung di IPHHOS pada tahun 1953.

Kini, di usianya yang mulai uzur, tak banyak yang bisa di perbuat. Menikmati masa tua di daerah Depok sambil bercengkrama dengan para cucu, membuatnya bisa mensyukuri hidup. Sesekali, dia terlihat hilir mudik di lantai dua Perpustakaan Nasional, untuk mendidentifikasi foto-foto koleksi IPHHOS, yang telah bercerai berai tanpa tanggal. Atau, di suatu kesempatan, masih banyak pihak yang mengundangnya sebagai pembicara di berbagai seminar kesejarahan ataupun koleksi foto-foto tua.

******
Dulunya di jalan Molinvliet Oost (kini Hayam Wuruk: red) 30 ini, berdiri sebuah kantor kontraktor Belanda. Dan, sejak Jepang masuk menjajah Indonesia, bangunan ini mulai tak ter urus. Akhirnya bangunan ini pun menjadi kosong tak berpenghuni. Selanjutnya, ketika Jepang kalah terhadap sekutu, gedung ini mulai digunakan untuk berkumpulnya para juru photo yang pro kemerdekaan. Banyak diantara mereka yang menyembunyikan klise dan hasil cetak foto mereka di tempat ini.

Ya, sebagian dari mereka (para fotojurnalis; red), telah hilang di telan jaman. Kini, tinggal “Piet Mendur” (72 tahun) dan “Meiti Mendur” (70 tahun) yang masih tersisa. Saat krisis moneter di tahun 1997 mengoyak-ngoyak regulasi keuangan kita, dan inflasi seolah tak terelakkan. Saat itulah mereka yang setia dengan payung IPHHOS (Indonesia Press Photo Services) mulai mengalami kesulitan financial. Sehingga, ribuan bahkan puluhan ribu klise hasil dokumentasi mereka, mulai terbengkalai. Untungnya pada tahun 1999, Perpustakaan Nasional, masih berbaik hati untuk menangani koleksi bersejarah tersebut, walau dengan konpensasi harga yang tak berimbang. “Sekarang saya sudah lega, karena koleksi bersejarah milik IPHHOS, sudah ada yang merawat!”, ujur Meity disela-sela perbincangan kami.

Mungkin kita masih ingat saat-saat dramatik itu. Saat dimana pengakuan kedaulatan itu bermula. Saat dimana kita (baca: bangsa Indonesia) menyatakan kemerdekaan atas republik ini. Menjadi bangsa yang merdeka, lepas dari semua belenggu penindasan.

Kisah itu sendiri dimulai selepas Subuh, ketika dua orang fotografer yang bersaudara atas niat sendiri-sendiri meninggalkan rumah mereka menuju jalan Pegangsaan Timur nomor 56. Alex Mendur –ayah Meiti Mendur- yang bekerja sebagai kepala foto kantor berita Jepang Domei mengetahui bahwa akan ada peristiwa penting di kediaman Soekarno kala itu. Demikian pula halnya dengan sang adik, Frans Soemarto Mendur, yang mendapatkan keterangan serupa dari sumbernya di harian Jepang Asia Raya.

Rute yang masing-masing mereka ambil pagi itu sunyi-senyap, tapi bukan tanpa marabahaya. Kendati beberapa hari yang lalu negeri Matahari Terbit menyatakan kalah dalam Perang Pasifik, baru sedikit orang di kepulauan Indonesia yang mengetahui hal ini. Radio tetap di segel. Bendera Hinomaru terus berkibar di mana-mana. Patroli Jepang masih berkeliaran dengan senjata lengkap dan perangai yang lebih galak lagi dibanding biasanya. Sepanjang jalan keduanya pun terpaksa melangkah dengan mengendap-endap.
Saat mereka tiba di tujuan, sekitar jam 5 pagi, suasana di rumah Soekarno "tidak ribut, tidak meriah. Sopan dan tenang. “Menunggu kemungkinan tindakan représailles (pembalasan) dari tentara Jepang." Demikian kenang seorang pelajar putri yang hadir hari itu. Di sana telah berkumpul pula tokoh seperti Mohamad Hatta dan S.K. trimurti, selain beberapa anggota Pembela Tanah Air (PETA) dan masyarakat biasa. Jumlahnya tidak banyak, karena kejadian yang akan bergulir pada hari itu memang tidak disebarluaskan. Kakak-beradik Mendur yang baru bertemu saat itu malah merupakan satu-satunya juru foto yang hadir. Semua menanti.
Ketika matahari bergerak naik, Soekarno di dampingi Hatta akhirnya menampakkan diri untuk membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Alex dan Frans Mendur pun segera menjalankan profesinya, mengabadikan peristiwa bersejarah tersebut dengan kamera Leica mereka.
Pada saat itulah, di Jakarta, pada pukul 10 pagi, tanggal 17 Agustus 1945, sang fotojurnalis Indonesia lahir.

**********

Tak banyak yang menyangka, kalo foto-foto sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang banyak dimuat dalam buku-buku sejarah sebagian besar adalah hasil rekaman/koleksi dokumentasi Kantor Berita Foto IPPHOS. Karya para wartawan foto pejuang yang sejak dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan Inddonesia pada 17 Agustus 1945 dengan penuh semangat telah bertekad untuk ikut menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia berjuang bersama rekan-rekan pejuang lainnya dengan bersenjatakan kamera foto.

Untuk mewadahi keinginan para fotojurnalis itu, sebuah paguyuban pun dibentuk. Mereka sepakat untuk membentuk sebuah biro foto dengan nama IPHHOS. Selanjutnya kantor Berita Foto IPPHOS (Indonesia Press Photo Service) secara resmi berdiri sejak tanggal 2 Oktober 1946, oleh kakak-beradik Alexius Impurung Mendur (1907-1984) dan Frans Soemarto Mendur (1913-1971), serta kakak-beradik Justus dan Frans "Nyong" Umbas; Alex Mamusung dan Oscar Ganda. Namun sesungguhnya IPPHOS telah bergerak jauh sebelumnya yaitu pada awal tahun 1945, membantu perjuangan dengan jalan menyebarluaskan foto-foto perjuangan hasil liputannya melalui media massa lokal maupun internasional.

Lantas, ketika tiba saatnya rakyat Indonesia mengambil keputusan untuk menjadi bangsa yang merdeka para fotografer IPPHOS bersikap untuk berada di pihak Republik, sebuah pilihan yang tidak semudah yang kita duga. Sebagai profesional yang sudah memiliki karir sebagai fotografer di media-media cetak paling utama di zaman Hindia-Belanda dan Jepang, sebenarnya jauh lebih gampang bagi mereka untuk terus bekerja pada kekuatan asing. Ditambah lagi, sebagai etnis Minahasa yang dianggap dekat dengan bangsa Belanda baik dari segi historis, budaya maupun agama, mereka harus berjuang lebih keras untuk membuktikan komitmennya dibanding suku-suku yang lain di Indonesia.

Yang menarik, keberpihakan Alex Mendur dan kawan-kawan pada perjuangan kemerdekaan tidak serta-merta menjadikan mereka alat pemerintah RI. Berbeda dari Antara dan BFI yang bermula sebagai lembaga swasta tapi kemudian menempatkan dirinya dibawah naungan Kementerian Penerangan RI. IPPHOS sejak pertama didirikan hingga detik ini terus bertahan sebagai kantor berita yang independent.

Di satu sisi, ini menyangkut risiko yang tidak kecil dari segi ekonomi dan politik. Alex dan kawan-kawan, misalnya, tidak menerima gaji tetap dari pemerintah sebagaimana halnya Antara dan BFI. IPPHOS juga harus berjuang sendirian di Jakarta ketika Antara dan BFI turut hijrah mengikuti pemerintah RI ke Yogyakarta selama kurun waktu 1946-1949. Di sisi lain, strategi IPPHOS untuk memiliki dua perwakilan --satu di kota diplomasi Jakarta, satunya lagi di kota perjuangan Yogyakarta-- memperlihatkan kematangan pribadi dan profesionalisme para pendirinya yang mendapat gemblengan di penerbitan besar macam harian Java Bode dan majalah Wereld Nieuws en Sport in Beeld di tahun 1920-1930-an.
Di Yogyakarta, IPPHOS dijalankan oleh Frans Mendur yang terkenal gesit, pemberani dan bergaya kerakyatan. Foto-fotonya, yang memperlihatkan berbagai pertempuran dan kehidupan sehari-hari di wilayah Republik yang dikepung Belanda, menjadi salah satu senjata yang paling ampuh bagi perjuangan RI di dunia internasional. Sementara itu, Alex Mendur bersama "Nyong" Umbas yang luwes berbahasa dan bertata-krama a la Belanda bukan cuma bergaul dan meliput tokoh-tokoh Republik di Jakarta seperti Bung Sjahrir, tapi juga politikus, perwira militer, wartawan dan masyarakat awam di pihak lawan.
Dengan pilihan ini, sekali lagi IPPHOS mengambil risiko yang lebih besar dibanding kantor berita lainnya, karena Alex Mendur dan kawan-kawan lantas juga harus menghadapi berbagai tudingan sebagai wartawan yang "bermuka dua" dan "komersil" dari rekan-rekannya sesama juru kamera "kiblik" (Republik). Tapi, yang dilupakan banyak pejuang Indonesia ialah bahwa strategi IPPHOS itu justru sesuai dengan yang diterapkan oleh pemerintah RI sendiri. Seperti yang disinyalir sejarawan Robert Cribb, "ciri yang paling penting dari kampanye Republik di Jawa Barat adalah tidak adanya tuntutan yang nyata bagi para pengikutnya, selain loyalitas pribadi secara diam-diam. Tiap tindakan yang mengganggu kekuasaan Belanda merupakan suatu sumbangan yang diterima dengan senang hati. Bersikap tidak aktif berarti menyebabkan Belanda terus menduga-duga; bekerja untuk Belanda berarti mengifiltrasi musuh."
Harus diakui bahwa di tengah-tengah embargo politik dan ekonomi yang dilakukan Belanda terhadap kita saat itu, Mendur dan Umbas bersaudara justru bukan cuma memperlihatkan kedewasaan politik di atas wartawan foto Republik lainnya, tapi juga telah memilih taktik jitu yang terbukti menjamin kelangsungan hidupnya.
Dengan cara ini, mereka bisa mengirim materi foto ke kantong-kantong perjuangan, sekaligus menyelamatkan foto-fotonya dari sensor Belanda. IPPHOS menjadi satu-satunya kantor berita Indonesia yang berhasil menyelamatkan nyaris seluruh koleksinya, walaupun kantor mereka, seperti halnya Antara dan BFI, beberapa kali diserbu tentara Belanda. Alhasil, tidak ada satupun lembaga di Indonesia yang bisa mendekati keunikan, kekayaan dan orisinalitas foto-foto Alex Mendur dan kawan-kawan; koleksi IPPHOS merupakan satu-satunya karya visual yang paling penting yang kita miliki di Indonesia sekarang. Sementara sejak tahun 1950 foto-foto Antara dan BFI sudah tinggal debu, IPPHOS masih beroperasi dan menyimpan seperempat juta negatif asli.
Setengah abad kemudian, keberadaan koleksi itu menjadi semakin penting. Pertama karena sepanjang lima puluh tahun terakhir ini sangat sedikit sekali foto-foto zaman kemerdekaan yang bisa dilihat umum. Faktanya, karya para juru foto Republik yang pernah diterbitkan pemerintah atau swasta, baik untuk bacaan umum maupun kalangan akademis, jumlahnya tak sampai 200-an gambar, yang terus diulang-ulang pemakaiannya dari satu publikasi ke publikasi lainnya. Bila dihitung dari sekitar 22.000 negatif IPPHOS yang berasal dari kurun waktu 1945-1949 saja, jumlah itu berarti tak sampai 1%-nya!

Yang lebih mengejutkan lagi 99% foto karya Alex Mendur dan kawan-kawan yang belum pernah dipublikasikan itu justru memperlihatkan sebuah pandangan yang sangat bertentangan dengan gambaran yang disuguhkan oleh buku-buku sejarah dan kronik resmi tersebut.Sebagian besar adalah mengenai manusia biasa, petani, pedagang, buruh, wanita, anak-anak, dan tentara rendahan, bahkan ada pula pelacur, calo dan pemadat. Banyak yang menggambarkan kaum Republik, tapi tidak sedikit pula yang memperlihatkan orang-orang Belanda. Dalam kesemuanya, bahkan dalam sebagian besar potret para pemimpin, yang ditekankan adalah sisi mereka yang manusiawi.

Dari sinilah, misalnya, lahir foto Bung Karno yang asyik menonton para supir kepresidenan mereparasi mobil, juga sosok Amir Syarifuddin yang larut dalam tragedi Romeo and Juliet-nya Shakespeare di atas gerbong kereta yang membawanya ke hadapan regu tembak. Dari sini kita diajak merenung betapa warga Indo-Belanda bekas tawanan Jepang yang akan dipulangkan sama menderita dan berharapnya seperti keluarga campuran yang baru tiba di Tanjung Priok.

Foto-foto itu membuktikan betapa heroisme bukan hanya milik orang-orang besar dengan tindakan-tindakan besar mereka, atau cuma terjadi pada orang Indonesia saja, tapi juga berlaku bagi semua manusia yang di tengah-tengah badai sejarah yang menyeret mereka masih harus pula bergulat dengan kemanusiaannya yang boleh jadi sepele dan konyol --melawan lapar dan dahaga, mengatasi rasa takut dan bosan. Dan, itu membawa kita kepada hakekat yang paling penting bagi sebuah pengabdian dan idealisme.

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN