Friday, August 18, 2006

"sEBuAh eLEgI di HaRi ke 17"

Sekeliling telah berubah semakin pekat, saat kendaraan roda dua pinjaman ini mulai mengepulkan deru, pertanda siap tuk dikendarai. Biasanya disaat seperti ini, kebanyakan orang sudah melepas lelah di rumah, sambil bercengkerama dengan keluarga atau sibuk dengan chanel yang ditawarkan banyaknya stasiun televisi. Atau..., jangan-jangan sudah ada yang tergolek layu di dalam hangatnya selimut tidur.

Bagiku, hari ini tak berbeda jauh dengan hari-hari sebelumnya. Hanya saja, kalo setiap harinya aku baru pulang saat malam menjelang, setelah kerjaan beres. Kali ini, di saat-saat yang istimewa (HUT RI; red) aku harus pulang subuh, karena nungguin editan edisi 17-an di Pejaten (baca: tempat ngedit gambar).

Rasanya sudah sangat lama, aku gak mengalami kejadian seperti ini. Pasalnya, aku gak terlibat dalam editan di luar kantor. Kalo 6 bulan lalu, program bulletin (berita spot; red) merupakan tempatku berkiprah dengan liputan yang tidak terlalu lama, beda dengan kali ini. Selain banyaknya kebutuhan gambar, editing merupakan kegiatan akhir yang membuat semua bahan-bahan tadi (gambar dan naskah: red) menjadi menarik untuk di tonton di televisi.

Sejurus kemudian, kendaraan ini mulai melaju pelan di jalanan Mampang – Lebak Bulus. Banyaknya bekas galian -yang aku gak tahu itu proyek apa-, masih meninggalkan sisa luka di kanan-kiri jalan, memaksaku harus ekstra hati-hati, agar tidak terselip/jatuh. Suasana masih saja ramai, padahal sudah hampir tengah malam. “Ya, inilah Jakarta, kota yang gak ada matinya!”, gumanku lirih.

Tepat di persimpangan Duren Tiga, saat lampu menyala merah. Kulihat segerombolan polisi sibuk melakukan razia. Ntah mengapa, setiap ada razia, aku selalu terlihat kikuk, padahal semua surat-surat lengkap. Pengalaman waktu saat SMP dulu menjadi mimpi buruk yang selalu menghantuiku. Saat itu, aku di berhentikan polisi, karena mengendarai motor butut tanpa dilengkapi surat. Jangankan surat kendaraan, SIM aja aku belum punya waktu itu. Tampang polisi yang garang and bengis, membuatku semakin tertekan. Ujung-ujungnya, sang polisi menawarkan damai dengan sejumlah uang –yang menurutku cukup besar- agar bisa bebas dari jeratan hukum. Tapi, ya.., namanya juga anak sekolahan, uang sebesar itu tetap aja gak bisa dipenuhi. Debat punya debat, -mungkin karena kasihan- akhirnya polisi tersebut mempersilahkanku lewat. Dan di akhir pembicaraan, dia berpesan agar menghindari razia polisi, jika surat-surat tak lengkap.

Tak terasa 20 menit waktu yang kubutuhkan untuk tiba di Pejaten, ditengah dinginnya angin malam yang mulai menusuk tulang. Aku harus segera tiba disana, untuk menjelaskan gambar yang akan di edit oleh editor. Sudah 2 hari ini aku berkutat dengan “capture” (memindahkan gambar video dari kaset ke mesin edit yang berupa komputer: red) sekaligus nungguin editan. Kalo sehari sebelumnya, aku harus nemanin edit plus nunggu “print-an” (hasil editan yang akan tayang di tivi; red). Hari ini aku harus berkutat dengan “ngapture” gambar dari berbagai materi (DVC PRO, Mini DV, VCD dan CD; red). Sungguh, sebuah kerja keras yang takkan pernah abis.

Berhubung besok adalah momen 17 Agustus, program kami berencana untuk menyuguhkan tayangan seputar 17-an. Sebuah tayangan, yang mengedepankan sisi-sisi lain sebuah peristiwa.

********

17 Agustus, sebuah momen yang tak asing di telingaku. Sewaktu sekolah dulu, momen ini menjadi saat yang paling di tunggu-tunggu. Pasalnya selain suasana –yang menurutku susah di deskripsikan-, aneka perlombaan selalu menghiasi saat-saat istimewa ini. Akibat lomba-lomba tadi, biasanya jam pelajaran akan semakin berkurang. Dan akhir dari semua itu; waktu bermain jadi lebih lama. Asyiiik....!!!

Tapi, kini semua itu telah berlalu. Beratnya himpitan ekonomi dan tuntutan kerja yang tak mau kompromi, membuatku hampir lupa momen bersejarah ini. Rasanya, aku tak lagi punya kenangan dengan peristiwa ini. Kalaupun ada, paling-paling cerita masa kecil tadi. Cerita kepahlawanan pejuang-pejuang dulu, hanya jadi onggokan cerita tanpa arti. Sebab, yang diperlukan sekarang adalah “uang”. Uang, yang bisa membuat segalanya lebih jernih. Uang yang membuat kita bisa menikmati hidup, bahkan mengenang saat–saat bersejarah itu. “Tapi uang tidaklah segalanya.”, begitu ujar teman lama yang aku sudah lupa namanya. "Semoga saja memang begitu!"

*******
Dan, semua kesemrautan bermula saat pagi tadi (baca: 16 Agustus 2006). Hanya karena bahan capture-an yang terpisah-pisah, terpaksa aku harus menyusuri kembali, kemana lenyapnya materi-materi tersebut. Sewaktu tiba di pejaten kemarin malam, aku hanya menemui 5 buah kaset. Sedangkan satu kaset satu lagi, beberapa CD film dan CD lagu, aku gak tahu terselip dimana. Untungnya, sebelum berangkat tadi pagi, kusempatkan mencari lagi di kantor. Eh…, ternyata benda tersebut masih ada di dalam file cabinet, tempat semua materi liputan berada.

Setelah semua bahan yang di butuhkan ter-capture, kini editor melanjutkan pekerjaannya. Dimulai dengan melihat secara seksama semua bahan dan naskah yang akan di edit, kini waktunya berkonsentrasi. Untuk gambar-gambar tertentu, biasanya editor sering kewalahan, karena tidak tahu gambarnya bercerita tentang apa. Disaat seperti ini lah dibutuhkan pendampingan oleh “camera person” yang mengambil gambar.

Sampai senja datang, ketika sang surya turun ke peraduannya, pekerjaan tersebut belum juga kelar. Kalo sebelumnya telah selesai dua segmen, kini tinggal segmen terakhir. Kegiatan menukar/menyusun gambar plus backsound musik yang dilakukan oleh editor mulai menampakkan hasil. Secara perlahan, kumpulan gambar-gambar tadi akhirnya jadi sebuah cerita.
Tak terasa, keesokanharinya, saat jam menunjuk pukul 04.50 wib dini hari (baca: 17 Agustus 2006), semua editan itu akhirnya kelar. Walau molor dari rencana semula, dengan sentuhan ajaibnya, Nandang –sang editor- tampak khusyuk menyelesaikan tahap demi tahap jalinan gambar yang dibutuhkan untuk jadi sebuah cerita.


*********

Masih dengan motor pinjaman, dinginnya udara subuh yang tak mau kompromi, kembali memaksaku menyusuri jalanan ibukota, menuju kantor. Sama seperti ketika berangkat tadi, jalanan masih saja ramai oleh hilir mudiknya penduduk Jakarta, yang seakan tiada henti.

Tapi, semua kerja keras tadi belum seberapa dibanding akhir cerita, tepat tanggal 17 Agustus 2006. Cerita yang membuat semuanya seakan tak ada arti. Pasalnya, setelah semalaman bersusah payah nemani ngedit, aku harus mengantar kaset print-an ke QC (quality control; red) di kantor. Di bagian inilah semua program yang akan ditayangkan di sensor ulang. Sehingga jika ada masalah, baik dari kualitas gambar ataupun isi materi, tak segan-segan mereka memulangkan kasetnya untuk di perbaiki kembali.

Tepat pukul 05.15 wib, aku tiba di kantor dan langsung menuju lantai dua, tempat QC berada. Di halaman depan, sebuah kesibukan yang lain dari biasanya segera menyapa. Ratusan orang terlihat sibuk memasang panggung ukuran raksasa. Kabarnya di tempat ini akan diadakan konser musik untuk memeriahkan HUT RI ke 61. Sebuah upacara perayaan semarak yang tak tanggung tanggung.

Sesampainya di QC, aku jadi bingung. Pasalnya, dari skedul acara hari itu, tak tertera jadwal programku. Untuk memastikannya, mereka pun menghubungi programming yang bertanggungjawab terhadap susunun acara. Tapi, lagi-lagi, programku tidak ada di roundown (susunan acara; red). Menurut mereka, jadwal pre empt (baca; tidak tayang) program tersebut sudah di kabarin sebulan lalu. “Mungkin produsernya tidak memberitakan ke semua kru”, begitu penjelasan mereka. Mendengar itu pun aku jadi semakin lemas. Abis, sudah susah-susah nemani ngedit semalam suntuk, tak tayang pula!

Aku hanya bisa berguman: “ini semua salah siapa? Atau, apa arti semua ini?”
Hari yang aneh! Saat semua orang terlihat larut dalam riuhnya semangat proklamasi, aku masih berkutat dengan sesuatu yang namanya “kerjaan”. Kerjaan yang semakin hari, semakin membelengguku. Membuat aku tak merdeka lagi, bahkan di saat hari kemerdekaan negeriku.

Makna proklmasi bagiku saat ini? Aaahhh, nanti dulu! Pusing mikirinnya! Mungkin saat semua permasalahan selesai dan rasa kantuk ini hilang, aku baru bisa memikirkannya. Tapi……..., sepertinya sekarang ini, aku butuh tidur! Bukan yang lain!

Akhirnya…., selamat ulang tahun negeriku. Semoga kau (baca: Indonesia) semakin jaya!

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN