Monday, October 23, 2006

"SaMpAi BeRaPa RoLiNgAn LaGi ....."


Ada yang berbeda di newsroom beberapa hari lalu. Saat baru pulang dari buka puasa bersama bareng kru Sila (Sisi Lain), kira-kira pukul setengah delapan malam, sekerumunan orang terlihat khusyuk memandang 3 buah pengumuman yang ditempel di 3 sudut berbeda di lantai 3 ini. Kiranya ada gerangan apa, ya?

Eh.., ternyata, mereka sibuk membaca aneka program dengan komposisi kru, yang akan melibatkan mereka (baca: anak-anak news) tentunya. “Bak, menanti hasil ujian UMPTN saja”. Ini lah ritual 6 bulanan, tradisi yang begitu lekat bagi news TRANS TV sejak kemunculannya pertama.

Setelah lewat dari tenggat yang ditentukan, perhelatan panjang itu pun akhirnya datang juga. Kabarnya, momen penting ini sudah tertunda 2 kali dari jadwal yang direncanakan. Dan setiap ada rolingan, efek yang dihadirkannya masih saja penuh letupan yang mengagetkan, sama seperti waktu itu (baca: kemarin-kemarin).

Walau begitu, bagi saya, rotasi (rolingan; red) perlu untuk menjaga spirit tetap menyala. ‘Ibarat lampu teplok yang mulai kehabisan minyak, minta segera diisi, agar sinarnya kembali benderang’. Pasalnya, setiap ada perputaran program, ada energi baru yang melingkupinya. Tapi, tak selamanya perubahan selalu terjadi. Sama seperti kali ini, aku masih di tempat yang sama. Meski, tak berubah (program), sepertinya semangat baru muncul kembali. Keinginan untuk berbuat lebih baik dari sebelumnya.

Adakalanya, rolingan ini memberi sesungging senyum bagi mereka yang menyenangi sebuah program. Tapi, tak jarang raut muka berubah muram, pertanda ekspektasi negatif, jika (mereka) ditempatkan di sebuah program, yang kurang disukai.

Meski ada segudang alasan, mengapa mereka kurang bergairah di sebuah program. Tetapi, tetap saja kita tak bisa memilih. Bukankah sebagai jurnalis, harus siap sedia ditempatkan dimanapun, sesuai dengan profesionalisme kita. Sebab, untuk itulah kita dibayar. Jika ada, yang merasa tidak ‘sreg’ dengan sebuah program, itu tandanya dia belum dewasa! (baca: menurutku, lho! He..he…he…). Atau.., ada baiknya dia mencari kerja sesuai dengan keinginannya itu.

Bagi buruh media seperti saya, rolingan memang tak begitu banyak bedanya. Mau dipindah ke program apa aja, ya, harus tetap enjoy dan mesti dijalani. Sebab, itulah etika pekerjaan! Bagi rekan-rekan yang baru bergabung maupun yang sudah lama, seringkali timbul pemahaman sempit terhadap sebuah program. Adanya bias semu terhadap program-program yang kurang diminati, karena beragam alasan, seringkali berakhir pada stigma kelas. Maksudnya, ada penggolongan terhadap kelas yang elegan maupun kurang elegan. Namun bukan berarti porsi program tersebut tidak bernilai. Bagiku semua sama bermaknanya. Bisa jadi, pemahaman ini bermula dari nilai rasa yang dipahami teman-teman berbeda. Ada yang merasa magazine lebih elegan dibanding bulletin, ataupun sebaliknya. Hal ini sah-sah saja, sebab setiap orang punya pandangan sendiri-sendiri. Program-program yang berbau kriminal atau spot news contohnya. Selain terkesan tidak elit, program tersebut juga jarang melakukan liputan ke luar kota, apalagi ke luar negeri. Kalaupun ada, pasti kesempatannya sangat kecil, berhubung jumlah kru yang besar. Atau, begitu banyaknya rekan-rekan yang senang dengan program-program magazine, yang notabene “favorit”, karena sering melakukan liputan luar kota dengan uang SPJ tentunya.
Selain itu, ada yang tetap sama dengan rolingan kali ini. Saat sebagian orang dipindah ke berbagai program, sebagian lagi malah mendapat promosi di baragam program, sebagai Asprod maupun Produser.

Menurutku, jika seseorang memang dianggap mampu menduduki posisi tersebut, mengapa tidak! Setiap orang mendapat hak yang sama untuk bisa berkarir lebih baik di tempat kerjanya. Hanya saja, jika diijinkan ber-otokritik, ada kegelisahan yang mengganjal pikiranku perihal banyaknya asprod di tempat ini.

Pertama. Sepanjang pengamatanku, tak ada kriteria yang jelas perihal pengangkatan seorang asprod. Pasalnya, jumlahnya demikian banyak. Kalau dulu, setiap orang yang diangkat menjadi asprod adalah orang yang dianggap mampu dengan segudang kriteria, seperti: punya pemahaman tentang jalannya on-air, bisa ngedit gambar, ngedit naskah, dll. Sedangkan sekarang lebih kepada ‘kedekatan’. Sebab tak jarang ada teman bacth I/II yang komplain ke atasan, sehubungan banyaknya teman bacth di bawahnya (baca: bacth III) yang telah promosi asprod. Mereka menanyakan, mengapa belum dipromosikan? “karena belum ada yang promosiin kamu”, jawabnya

Kedua. Kebanyakan asprod lebih ber-orientasi roundawn ketimbang berkreatifitas. Pasalnya, dari hari ke hari, mereka hanya berkutat pada sistem kerja yang itu-itu aja. Roundawn telah menjadi panutan kerjanya. Sedangkan kreatifitas dari segi konten/ isi program lebih banyak didominasi sang produser, walau tak semua program begitu. Selain itu, usia para asprod yang relatif muda dengan segudang energi, adalah masa-masa produktif. Masa untuk menghasilkan sesuatu. Menurutku, jika mereka masih berlaku sebagai reporter maupun campers, mungkin akan lebih produktif, ketimbang jadi asprod yang kebanyakan nyata-nyata mandul. Mandul disini maksudnya kurang kreatif, yang bisa jadi karena terjebak dengan semua rutinitas tadi. Kecuali, usia mereka mulai senja seiring menurunnya kadar energi, bolehlah diletakkan di meja redaksi. Sebagai contoh, di banyak stasiun televisi, jarang ditemukan asprod maupun produser dalam usia yang relatif muda. Walau bukan berarti, usia muda jadi halangan untuk menduduki posisi tersebut. Ada juga produser maupun asprod berusia muda, tapi tak sebanyak di TRANS. Pasalnya, mereka belum matang secara psikologis, (baca: kebanyakan masih lebih baik di lapangan). Selain itu, seringkali timbul friksi antara asprod dengan kru yang sebaya, akibat salah penyampaian (“post power syndrome”).

Ketiga. Ada persepsi yang berkembang di pikiran teman-teman, bahwa seseorang dianggap berhasil (baca: dalam pekerjaanya), jika diangkat menjadi asprod. Ibarat naik kelas, untuk bisa menggapai jenjang yang lebih tinggi, sepertinya asprod menjadi tolak ukur. Apakah kulturnya memang seperti ini, saya masih butuh penjelasan? Menurutku, jika seseorang dianggap bekerja dengan baik, bukan berarti dia harus menjadi asprod. Ada kompensasi lain yang bisa diberikan, seperti: kenaikan sallary! Sebab, di tivi lain, banyak reporter maupun campers yang memiliki salary lebih besar dibanding asprod maupun produser. Itu yang membedakannya dengan reporter/campers pada umumnya. Ada nilai senioritas disana.

Keempat. Jika kita arif melihat fenomena banyaknya asprod sekarang ini, ada kegelisahan terkandung di dalamnya. Bagaimana tidak, dalam setiap rolingan, selalu ada nama-nama baru yang di diangkat. Yang jika dijumlahkan, kini besarnya bisa mencapai 50 orang lebih. Pertanyaannya sederhana: mau dikemana-kan para asprod tersebut? Sementara program-program kita lebih bersifat tambal sulam. Artinya, program baru timbul jika ada program yang almarhum. Menurutku, bisa jadi, nantinya kita akan terjebak dengan kebijakan tersebut, saat program tidak bertambah, sedangkan jumlah asprod demikian banyaknya. Bisa dibayangkan apa yang bakal terjadi! Pasti mubazir! Sedangkan jika mereka diturunkan pangkatnya, jelas tak gampang.

Kelihatannya begitu ekstrim! Tapi itulah kenyataan lapangan yang terjadi, menurut sudut pandangku. Saat muncul rolingan baru, pasti terjadi perubahan disana. Jujur, aku bukan orang yang antipati dengan promosi tersebut. Aku juga bukan orang yang berambisi dengan embel-embel asprod ataupun produser. Bagiku, bekerja dengan baik dan jujur adalah ukurannya. Hanya saja, saat seorang teman berujar perihal rolingan, akal sehatku jadi tergelitik. “Sekarang bukan jamannya lagi bertanya, ada di program apa kita kini? Tapi pertanyaannya, sampai berapa rolingan lagi kita jadi asprod?” ucapnya. Mendengar itu, aku jadi senyum-senyum sendiri. He..he..he..!!!

No comments:

Post a Comment

ANTARA - Lingkungan

Climate Change News - ENN